"Udah jangan protes, Mita lebih butuh!" ucap Mas Bram dingin.
Astaga!
"Mas, aku cuma ...." Belum sempat aku menyuarakan protes lagi, tiba-tiba Mama mertua datang dari arah kamarnya.
"Ada apa sih ribut-ribut?" tukasnya tajam, seketika membuat nyaliku terasa ciut. Sudah tentu masalah akan tambah runyam dan panjang.
"Ini lho, Ma Mbak Naya pengen cantik dandan kayak Mita," jawab Mita, sembari tangan sebelah kirinya berkecak pinggang sementara tangan kanannya menunjuk ke arahku.
"Hah? Apa Mama gak salah dengar?" Terlihat wajah mengejek, dan Mita hanya mengendikkan bahu sementra Mas Bram, berlalu meninggalkan kami. Ia memang tidak suka berdebat hal semacam ini, baginya tidak ada gunanya. Padahal aku juga ingin pergi meninggalkan perdebatan, kupingku sudah terasa tidak enak hampir tiap hari memdengar ocehan Mama atau pun Mita. Tetapi, itu bukan pilihan yang baik.
"Udah gak usah dandan segala, tugas kamu itu di rumah, dan di kasur. Jangan kebanyakan gaya. Sok kecakepan pake mau niru gaya orang kota segala, kamu tu gak bakalan bisa kayak Mita, kelasnya beda. Gak selevel." Aku mencebik.
"Udahlah, Ma kasian Mbak Naynya jangan dimarahin terus, nanti tambah setres dan keriput." Mita terkekeh usai melontarkan ucapan yang sama sekali tidak ada bagus-bagusnya.
"Mama gak habis pikir sama kelakakuan kakak iparmu ini, sudah untung jadi istri Bram dan menantu Mama, malah minta yang gak penting."
"Ya namanya juga, orang kampung lihat orang cantik dikit ya pasti iri."
"Tapi, kan kalau aku cantik Mas Bram juga yang senang, juga gak malu-maluin Mama sama Mita," protesku.
"Udahlah gak usah diperpanjang, kamu juga ngapain pake ikut-ikutan pengen gaya kayak gitu. Udah siapin tas kerja, Mas!" Bentak Mas Bram, yang datang dari arah dapur membuat tubuhku terlonjak karena kaget.
Mama dan Mita pun tertawa melihat, Mas Bram marah padaku. Entah kapan akan seperti ini.
Aku pun segera masuk ke dalam kamar dan mengambil tas kerja Mas Bram, lalu memberikan padanya. Aku tidak ingin dia marah lagi dan masalah ini tambah panjang. Kasian Ibu sama Bapak di kampung kalau mereka sampai tau nasib anaknya di sini, mereka sudah tua aku tidak boleh membebani mereka lagi, terutama beban pikiran.
Setelah Mas Bram berangkat kerja, dan Mita pergi ke sekolah, kini di rumah hanya ada aku dan Mama juga Rania. Seperti biasa mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk mencuci semua pakaian kotor di rumah ini tugas yang tidak boleh kulupakan. Untungnya ada mesin cuci, kalau tidak entah apa yang akan terjadi padaku saat harus mencuci semua pakaian kotor milik kami bertiga juga Mama dan Mita.
Sebelum mencuci pakaian, aku terlebih dahulu memeriksa semua saku pakaian, takut ada uang receh yang ikut masuk ke dalam mesin cuci, saat memeriksa saku celana Mas Bram aku menemukan sebuah nota pembelian handpone baru. Di sana tertera dengan harga lima juta rupiah.
Handpone buat siapa, perasaan aku tidak melihat Mas Bram pake HP baru? Apa untuk Mita? Atau Mama? Hatiku bertanya-tanya, sementara kulihat dirumah ini tidak ada yang menggunakan HP baru. Lalu untuk siapa Mas Bram membeli ini?
Biar saja kusimpan siapa tau suatu saat nanti diperlukan. Mataku kembali membulat saat melihat sebuah alat kontrasepsi yang masih ada isinya, benda seperti ini aku pernah melihatnya iklan di tivi, aslinya baru kali ini. Untuk apa Mas Bram menggunakan ini perasaan kami tidak pernah menggunakan ini saat berhubungan.
Pikiranku semakin berkecamuk dan pertanyaan demi pertanyaan menari-nari di kepalaku. Namun, aku segera menepis praduga yang tidak-tidak. Barangkali ini bukan kepunyaan Mas Bram. Tetapi kenapa ada dalam saku celana Mas Bram? Bukankah ini aneh?
"Naya ... Itu cuciannya kenapa masih numpuk kayak gitu, belum kamu cuci?" teriak Mama dari arah dapur dekat tempat menyuci.
Aku yang tengah perang dengan pikiranku, terlonjak kaget mendengar teriakan Mama dan segera menyimpan benda-benda yang kutemukan di saku Mas Bram ke bawah bantal, dan buru-buru mendekati Mama.
"Kamu ngapain aja? Kamu tidur ya?" tanya Mama ketus.
Aku menggeleng, "Gak kok, Ma. Aku cuma ngambil cucian Mas Bram."
"Lama amat sih, ngambil gitu aja. Udah cepat beresin!"
"I-iya, Ma."
Sembari mencuci pikiranku kembali teringat tentang penemuan benda asing dan mencurigakan di saku celana Mas Bram tadi. 'Mas sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku, dan apa yang sudah kamu lakukan di luar sana tanpa sepengetahuanku?'
Usai mencuci aku segera menjemurnya, rasanya pinggangku terasa mau patah. Lebih baik aku merehatkan diri sejenak di kursi taman belakang sembari menatap jemuran yang begitu banyak. Dari ujung pakaian yang menjuntai airnya pun mulai menetes, membasahi tanah.
Belum juga lima menit aku beristirahat Mama sudah berteriak lagi.
"Enak ya, malas-malasan, Mama heran dipelet apa Bram sama kamu hingga bisa nikah sama perempuan lelet kayak kamu," ucap Mama sembari berkecak pinggang. Entah yang keberapa kali hinaan demi hinaan yang terlontar dari mulut Mama. Seolah aku ini benda yang memang cocok untuk dihina.
"Ma-maaf, Ma. Aku cuma istirahat sebentar." Aku mencoba membela diri.
"Udah istirahatnya bisa nanti, itu di meja belum ada sayur yang matang satu pun sebentar lagi Mita pulang, Mama juga udah lapar!"
Aku memang belum masak, karena mencuci pakaian terlebih dulu, lagian nasi goreng pagi tadi masih ada. Ya sudahlah dari pada berdebat lebih baik aku mengalah saja, mungkin memang sudah nasibku.
Aku segera mengambil tas yang biasa kubawa ke pasar untuk membeli sayur. Biasanya aku membeli sayur untuk jatah beberapa hari. Kadang juga beli sayur yang keliling. Aku sengaja mengajak Rania takut mengagu Mama kalau ia bangun nanti.
Tiba di pasar aku segera membeli segala kebutuhan dapur untuk beberapa hari kedepan, saat tengah sibuk memilih kentang tiba-tiba orang-orang berlarian dengan wajah panik dan cemas ada juga yang beristighfar.
"Mbak ada apa, Mbak?" tanyaku ikut cemas, pada seorang perempuan yang juga ikut berlari ke arah jalan.
"Ada kecelakan, Mbak."
"Astagfirullahhaladzim," Kentang yang kupegang pun hampir terjatuh, aku segera mengakat tas belanjaan dan tubuh Rania dan mendekat ke sumber kecelakaan.
Semua orang sudah berkerumun, aku pun berusaha menerobos masuk diantara kerumunan melihat siapa yang kecelakaan, terdengar bisik-bisik bahwa kecelakaan korban tabrak lari. Saat melihat tubuh yang terkulai lemah, dan berlumur darah rasanya aku mau pingsan, namun setelah memperhatikan dengan seksama ternyata korban adalah seseorang yang kukenal, jantungku semakin berdegub kencang. Aku pun segera memeluk tubuh korban dan berteriak minta tolong.
Bersambung ..
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."