Aku terlonjak kaget mendengar suara Bass yang tiba-tiba mengusik pendengaranku. Aku beralih menatap ke sumber suara, ternyata Dewa.
"Mau tau aja urusan orang," celetukku lalu pergi meninggalkannya menuju dapur.
Sekilas kulihat Dewa beralih menatap ke jendela mungkin rasa penasarannya tidak bisa ditahan. 'Dasar kepo' gumamku sambil terus melangkah.
Tiba di dapur aku segera menaruh barang-barang yang tadi kubeli ke atas meja.
"Eh, Non Naya," ucap Bi Jum yang biasa mengurus bagian dapur.
Aku tersenyum membalas sapaan dari Bi Jum sembari tanganku bergerak lincah mengeluarkan barang-barang dari kantong plastik.
"Itu mau ngapain, Non?"
"Saya mau masak cake spesial buat, Oma, Bi," jawabku sembari tersenyum lebar.
"Aduh sebaiknya, Bibi aja yang masak, Non. Saya takut Nyo ...."
Belum sempat Bi Jum menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotongnya. "Udah Bibi tenang saja, saya biasa mengerjakan pekerjaan rumah apa lagi yang ber
"Andai, Mas Bram tidak memberiku talak tiga tentu saja aku mau, Ma," jawabku memelankan suara. Aku yakin dengan begitu bertambahlah rasa penyesalan Mas Bram, juga Mama.Suasana sejenak hening."Jangankan cuma membantu, Naya di perusahaan, bahkan jika anak Ibu adalah suami yang bertanggup jawab dan menyanyangi cucu saya, tentu saja aku sendiri yang akan menjadikannya direktur di salah satu perusahaan saya," ucap, Oma seperti orang yang tengah menyesal. Aku tidak tau, apa yang dikatakan Oma benar adanya atau hanya ingin membuat keluarga Mas Bram semakin bertambah menyesal, karena kehilangan kesempatan.Mata Mama terbelalak mendengar ucapan, Oma. Sementara Mas Bram kulihat menelan saliva seperti orang yang sedang ngiler sesuatu."Di-direktur?" tanya Mas Bram terbata."Betul," jawab Oma singkat."Bu saya mohon, batalkan perceraian ini. Aku yakin Naya sama Bram masih saling mencintai, kita jangan jadi orang tua yang egois," ucap Mama terisak semb
Dewa dan Mas Bram sejenak saling tatap seperti film india yang sebentar lagi akan menari dan menyanyi. Namun, Dewa yang memang tidak suka basa-basi, kembali cuek dengan ciri khasnya dan mengajak kami untuk segera pulang."Ayo, Oma kita pulang!" ajak Dewa tanpa menghiraukanku. "Hei, kamu kenapa masih diam disitu apa mau tinggal di sini?" ketusnya."Samsul," panggil Oma saat Pak Samsul tengah menuju parkiran.Pak Samsul pun mendekat. "Terima kasih untuk kerja samanya," ucap, Oma sembari menyambut tangan Pak Samsul."Sama-sama, Bu. Senang bisa membantu," balas Pak Samsul."Terima kasih, Pak!" Aku pun ikut mengucapkan rasa terima kasih karena telah membantu sidang perceraian ini."Sama-sama, Mbak Naya. Kalau begitu saya pamit dulu, karena masih ada urusan yang harus saya selesaikan," pamit Pak Samsul. "Mari, Bu, Mbak!"Pak Samsul pun pergi menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mobil Dewa. Sementara Mas Bram masih berdiri di tempa
Usai meeting aku kembali ke ruanganku, dan duduk dikursi kebesaran. Setelah bercerai dengan Mas Bram, Oma benar-benar menyerahkan perusahaan untuk kukelola. Namun, Oma tidak lepas tangan begitu saja ia tetap memantau perkembangan perusahaan.Dengan masukan-masukan petinggi-petinggi perusahaan aku mulai paham dan mengerti apa yang mesti kulakukan sebagai pemimpin demi kemajuan perusahaan, seperti hari ini meeting berjalan dengan lancar dan memenangkan tender. Meski begitu tak lantas membuatku merasa puas karena masih banyak yang harus kupelajari. Untuk pertama kali, Dewa juga merasa bangga akan usahaku.Aku mengambil gelas di atas meja yang sudah terisi dengan air, lalu meneguknya dengan pelan, tiba-tiba aku teringat Mas Bram. Sejak kami bercerai hampir tiap hari ia datang ke rumah dengan alasan ingin bertemu Rania, di saat jam istirahat. Tak jarang ia juga datang di saat jam pulang kantor. Namun, sudah beberapa hari ini, Mas Bram tidak datang ke rumah baik siang atau p
Meira terlihat nampak syok mendapati tas dan bajunya basah, pelayan lelaki itu pun nampak panik dan ketakutan. Ia segera mengambil tisu untuk mengelap baju dan tas Meira."Eh, eh mau ngapain kamu?" cegah Meira bangkit sembari membersihkan sisa air di atas tasnya."Lo tau gak berapa mahalnya tas yang gue pakai, gaji Lo setahun aja gak bakalan bisa beli," bentak Meira dengan kesal.Eh, tunggu dulu itukan tas yang waktu itu? Dih belagu banget, Meira tas diskonan gitu aja dia bilang mahal pake buanget, terus pake ngerendahin orang lagi, bener-bener bikin geleng kepala itu orang."Ma-maf, Mbak," ucap pelayan itu dengan gemetar."Panggil bos, Lo biar Lo dipecat sekalian,""Jangan, Mbak. Saya tidak mau di pecat, saya sangat membutuhkan pekerjaan ini," jawab pelayan itu memelas."Kalau, Lo gak mau di pecat sekarang juga berlutut di kaki gue, minta maaf!" tegas Meira, sambil menyentakkan high heelnya di atas mar-mar. Seketika membuat pel
Tiba di kantor aku segera masuk ke dalam ruanganku, sementara Nisa kembali ke meja kerjanya.Baru saja masuk, sudah dikagetkan oleh seorang laki-laki yang tengah duduk dikursi kerjaku dengan posisi membelakangi."Si-siapa?" tanyaku dengan suara yang sengaja kukeraskan, takut kalau ternyata itu penjahat yang ingin menculikku.Lelaki itu langsung memutar kursinya, ternyata Dewa."Ngapain kamu di situ?" tanyaku kesal setelah mengetahui siapa orangnya."Dari mana aja, Lo? Lihat udah jam berapa?" tanyanya sambil menunjuk jam yang menempel di dinding.Aku menatap jam di dinding, astaga ternyata hampir dua setengah jam aku keluar, gara-gara perempuan sundal itu jadi telat balik ke kantor.Sebisa mungkin aku bersikap tenang," Mau tau aja urusan orang," ketusku pura-pura cuek, dan melangkah menuju kamar mandi, untuk mencuci muka dan berwudu.Usai berwudu aku pun segera keluar, kulihat Dewa masih berdiri di dekat meja menatapku sembari m
"Bisa gak sih gak usah ngagetin orang, kalau aku jantungan terus mati gimana?" gerutuku kesal dengan panggilan Dewa tiba-tiba.Bukannya minta maaf, Dewa malah tersenyum. "Kalau, Lo mati ya tinggal kuburin susah amat!" jawabnya santai, kurang asem memang ini anak, bicara seenaknya saja. "Lagian ngapain sih dari tadi, Lo senyam-senyum?" tanyanya kemudian dengan alis terangkat. Membuatku terkejut, jadi dari tadi Dewa memperhatikan aku, Oh May God, kurang kerjaan banget."Em ... Mau tau aja urusan orang," jawabku terbata."Khem ... Atau jangan-jangan, Lo punya rencana jahat ya, gara-gara ditinggal nikah mantan," tebaknya sembari menatapku dengan memicingkan sebelah mata."Enak aja, ya e-enggaklah, kalau ngomong suka benar, eh maksudnya asal aja," jawabku kesal. Duh, kok jadi keceplosan. Lagian Dewa ngapain sih pake merhatiin aku segala."Dah lah ayo pergi!" ajak Dewa, mengalihkan pembicaraan."Kemana?"Dewa menoyor kepalaku, membuat
"Me-meira, kenapa kamu bisa ada di sini, Nak? Terus kenapa kamu pakai baju seperti itu?" Lelaki itu tak kalah terkejut melihat Meira, dengan dandanan pengantin. Belum sempat, Meira menjawab. Tiba-tiba Mas Bram datang bertanya pada, Meira."Papa? Siapa yang kamu sebut Papa ?"Meira semakin terlihat panik, wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat mendengar pertanyaan dari Mas Bram yang datang tiba-tiba."Dan kamu, siapa kamu? Kenapa Meira bisa menyebut kamu dengan sebutan Papa?" Mas Bram menunjuk ke arah Pak Rudi supir pribadi di rumah Oma."Mas, aku bisa jelasin semuanya," ucap Mita dengan wajah panik, sembari berusaha memegang tangan Mas Bram."Apa yang kamu sembunyikan dari, Mas. Meira?" tanya Mas Bram dengan suara tertahan.Meira nampak terkejut melihat, Mas Bram begitu emosi, rahangnya mengeras. Membuat wajah Meira nampak pias, dan terdiam."Meira ...." panggil Mas Bram."Kamu tau, Mas siapa ini?" Akhirnya aku ikut bi
"Maafkan anak saya, Non!" ucap Pak Rudi merasa tak enak. "Selama ini saya tidak tau kalau ternyata, Meira begitu dan menjadi penyebab rumah tangga, Non hancur," sesal Pak Rudi, dengan wajah tertunduk."Tidak perlu minta maaf! Mungkin ini adalah jalan takdir rumah tanggaku, jadi Bapak tidak perlu merasa tak enak," jawabku berusaha membesarkan hati, ya bagaimanapun aku tidak bisa serta merta menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidupku, setiap orang punya jalan takdirnya masing-masing."Sekali lagi saya mohon maaf, Non! dan saya ingin mengundurkan diri sebagai supir pribadi keluarga, Non," ucap Pak Rudi masih dengan kepala tertunduk.Ucapan Pak Rudi tak urung membuatku terkejut, atas keputusan yang diambilnya. Namun, sebisa mungkin aku tetap harus bijak menghadapi semua ini."Bapak tidak perlu berhenti kerja hanya karena merasa tak enak, setiap orang akan menjalani takdirnya masing-masing, saya tidak menyalahkan anak, Bapak sepenuhnya. D