“Ternyata Eros yang jobdesc-nya jodoh-jodohin orang punya kisah cinta yang tragis.”Siang itu, rombongan peserta residensi bersama Daffa berkunjung ke perpustakaan publik yang berlokasi di Chalkida. Dari jendela, Adisti dapat mengamati Jembatan Evripos yang menghubungkan antara Evia dengan daratan utama Yunani. Hijaunya pepohonan yang menyatu dengan birunya cakrawala membingkai pemandangan itu bak sebuah lukisan.Di sampingnya, Batara mengecek buku-buku yang Adisti ambil untuk referensi. Salah satunya salinan Metamorphoses yang dia jadikan sebagai rujukan utama.“Welcome to Greek myth.,” ujat Adisti. “Makanya aku pengin ngulik lebih jauh tentang cerita Eros dan Psyche. Terus bikin cerita retell yang latar tempat sama waktunya lebih modern.""Menarik. Boleh aku jadi beta reader-nya?” Batara mengembalikan buku-buku pilihan Adisti. “Atau kita saling kasih feedback. Aku mau mau nulis tentang cerita tragis dari mitologi Yunani juga.”Kening Adisti mengernyit. “Cerita mana yang kamu pilih?”
Biyan sedang memilih pakaian saat Salma meneleponnya. Entah mengapa dia yakin panggilan ini berkaitan dengan percakapan terakhirnya bersama Utari yang berujung pada kecanggungan.“Kamu di mana?” tanya Salma tanpa basa-basi saat Biyan menerima panggilan. “Bagaimana kegiatanmu selama seminggu di Evia?”“Di vila, lagi beres-beres.” Biyan memilih kaus hijau tua dan celana pendek khaki. Simpel, tetapi nyaman. Dia tak mau terkesan berlebihan saat mampir ke tempat Adisti. “Mama enggak joging hari ini? Di sana masih pagi, kan?”“Mama biasanya joging sama Utari.” Belum satu menit masuk ke pembicaraan, ibunya sudah menyinggung nama sang mantan. “Dia cerita kamu minta sewa laptop. Padahal kamu bisa beli baru, Biyan. Uangnya Mama transfer.”“Daripada uangnya Mama hamburkan buat laptop, coba alokasikan buat pasang Wi-Fi di vilaku," sahut Biyan, straight to the point. “Seminggu ini aku bisa survive karena langganan koran bahasa Inggris, tapi belum tentu bertahan sampai tiga bulan ke depan.”Terdeng
“Kamu hampir tenggelam?”“Iya, Pa, untungya Mas Biyan gerak cepat.” Adisti mengelus-elus lengan atasnya; salah satu bagian tubuh yang suaminya pegang erat saat menyelamatkannya. “Eh dia malah nawarin aku buat les berenang. Langsung aku terima.”Kekhawatiran dalam suara Gumilar berganti decak tak percaya. “Jangan bilang kamu sengaja lompat ke kolam, ya.”“Mana mungkin! Papa kan tahu aku lihat bak air besar aja langsung pusing.”Kejadian di pesta barbeque cenderung konyol dari sudut pandang Adisti. Dia mengenakan pakaian yang disarankan Indah, termasuk lingerie yang dijadikan atasan. Bahkan sampai meminjam catokan Chelsea untuk merapikan rambut. Perempuan itu yakin Biyan menaruh ketertarikan saat mereka bertukar pandang.Bukannya mendapat momen berduaan, kecerobohan membawa Adisti pada petaka. Namun siapa duga berkat kecelakaan itu, dia mendapatkan kesempatan lebih bagus. Sebuah silver lining, mencatut dari salah satu istilah favoritnya.“Ingat, kamu tetap harus hati-hati saat kalian be
Saat kembali ke kolam renang, Biyan meminta Adisti berganti pakaian. “Temanku datang. Orang Indonesia juga,” dia menjelaskan sambil menyerahkan handuk padanya. “Aku menahannya di ruang tamu, jadi kamu bisa leluasa mandi dan memakai baju. Setelah itu, temui kami langsung di ruang makan.” Tanpa perlu perkenalan, Adisti dapat menebak ‘teman’ yang Biyan maksud: Utari. Memangnya siapa lagi antek yang Salma terjunkan buat menghalangi misinya? Pasti bakal lebih seru kalau mereka bertemu saat dia masih basah kuyup di kolam. Utari dijamin kepanasan mendapatinya sudah melangkah sejauh ini. Apalagi menilai reaksi Biyan sepanjang latihan yang singkat tadi, Adisti yakin suaminya mati-matian menahan diri agar tak menyentuhnya melampaui batas. Permainan kontak fisik tak pernah gagal, terutama untuk pria yang sangat dia cintai. Setelah merapikan rambut dan pakaian, Adisti setengah malas turun menuju ruang makan. Sebelum kakinya menyentuh lantai saja dia dapat menangkap sayup-sayup obrolan yang dit
“Gimana perkembangan misi besarmu?”Di perpustakaan, Adisti dan Batara tengah membereskan kebutuhan yang akan dibawa ke pusat kota. Sementara Chelsea dan Randy sedang menunggu kedatangan Daffa di lantai bawah. Kunjungan ke book club hari ini menjadi momen yang mereka nantikan untuk mendapatkan refereansi dari sumber-sumber tebaik.Bagi Adisti, perjalanan tersebut adalah peluang terbarunya mendekati Biyan.“Misi?” Perempuan itu bersitatap dengan Batara sampai sang lawan bicara melirik ke arah balkon yang mengarah ke vila suaminya. “Oh, maksudmu rencanaku buat mendekati Mas Biyan. Sejauh ini cukup bagus, semalam kami bertukar pesan sampai ketiduran.”Batara memasukkan laptop ke dalam messenger bag. “Perlu kubantu buat melakukan sesuatu? Misalnya kalau kamu mau jalan berdua sama dia di dermaga, aku bisa alihkan perhatian teman-teman ke tempat lain.”Tawaran yang menggoda, tetapi riskan mengundang kecurigaan. Adisti juga tak mau masalah pribadinya tercampur urusan profesional. “Kita dinne
Ketika mengamati Biyan lahap menyantap pasta with stuffed mushroom, Adisti berusaha menahan kata-kata yang siap meluncur dari bibir.Karena suami yang dia kenal bertahun-tahun tak suka jamur.“Jadi itu sesuatu yang pengin kamu pastikan…” Batara, yang menemani Adisti bersantai di pinggir kolam renang, menyadari perubahan sikapnya di taverna. Sesampainya di vila, pria itu tanpa basa-basai menanyakan kondisi.“Kenapa, kalau boleh aku tahu, suamimu sampai enggak suka makan jamur? Apa dia punya alergi?”Adisti menggeleng lemah. “Mas Biyan enggak punya masalah sama jamur… sampai ikut mendaki setahun setelah kami pacaran. Salah satu temannya ngambil jamur yang ternyata beracun. Syukurnya dia cuma lemes sama dehidrasi gara-gara terus muntah, tapi sejak itu malah ogah ngelihatnya, apalagi makan.”Batara manggut-manggut. “Berarti, keracunan makan jamur jadi salah satu pengalaman yang memorinya ikut terhapus gara-gara kecelakaan.”Kejadian di taverna tadi menyadarkan Adisti akan potensi berubahn
“Welcome to writers’ lounge!”Adisti, bersama Chelsea yang menemaninya diskusi sepanjang pagi di pinggir kolam renang, mengacungkan fruit punch saat Biyan datang. Pria itu tertegun sesaat sebelum tersenyum simpul dan mendekati mereka. Dia juga serius saat mengabari akan datang membawa laptop pada salah satu pesan yang dikirimkan.“Aku ke dalam dulu.” Chelsea mengambil tablet dan minumannya; seakan-akan tahu kehadirannya tak diperlukan dalam pertemuan itu. “Kalau mau tambahan, fruit punch-nya bisa diambil di kulkas. Have fun!”Adisti merapikan tempat yang diduduki Chelsea, sementara Biyan menaruh laptop di meja pendek. “Apa aku ganggu meeting kalian?”“Enggak sama sekali. Brainstorming kami udah beres dari sejam lalu,” tukasnya. “Terus aku kepikiran fruit punch yang kamu pesan di taverna. Ya udah sambil nunggu, kami bikin dalam porsi lebih banyak.”“I feel honored.” Biyan terkekeh, lalu menerima minuman yang disiapkan perempuan itu. “Seharusnya aku yang bawa sesuatu ke sini, soalnya ka
Jam di dasbor menunjukkan pukul sepuluh malam saat Utari memarkirkan mobil di pelataran vila. Biyan mengecek barang-barang bawaannya, lalu kala bersiap melepas seat belt, sosok di sampingnya bertanya,“Bi, apa aku boleh numpang tidur di sini?”Jari Biyan hampir terjepit mendengarnya. “Apartemenmu punya jam malam?”Perempuan itu mengulum bibir. “Enggak, aku—aku capek. Besok pagi langsung balik, kok. Ada meeting yang perlu kuhadiri.”“Lalu, kamu mau tidur pakai dress itu?”“I won’t, silly!” Utari meraih sesuatu di jok belakang. Sebuah ransel mini. “Kebetulan aku bawa pakaian ganti. Jaga-jaga kalau aku harus lembur atau pengin pakai baju lebih nyaman buat perjalanan pulang.”Setelah sekian tahun, Utari belum melepas kebiasaan membawa pakaian cadangan. Satu hal yang diam-diam Biyan ikuti dan membawa manfaat besar saat harus dinas ke luar kota. Mengejutkan bagaimana interaksi dua insan manusia dapat saling mempengaruhi, terlepas dari perubahan dinamika yang dilalui.“Kamu bisa pakai kamar