"Tapi karena kau istriku, kau boleh tetap di sini," seru Zeeshan tiba-tiba, "dengan syarat, lepas pakaianmu dan bergabung denganku."
Mendengar ucapan terakhir Zeeshan, mata Nindi seketika melebar dan ekspresinya kaget bercampur shock. Dia melepas sandal berbulu yang dia kenakan lalu berbalik badan, di mana dia langsung melempar sandal tersebut ke arah Zeeshan yang masih berada di dalam kolam renang. Pyuung' Namun Zeeshan menghindar dengan cepat sehingga sandal Nindi tersebut berakhir terlempar ke seberang kolam. "Genit! Mesum!" ucap Nindi dengan nada setengah marah. "Humm?" Zeeshan menaikkan sebelah alis, "atas dasar apa kau menilaiku mesum?" "Masih nanya!" Nindi berkacak pinggang, "kamu--" "Mas," tegur Zeeshan cepat. "Yah itu, Mas menyuruhku melepas pakaian. Tujuannya apa coba? I-ingin menggrepe-grepe tubuhku yah," ucap Nindi dengan nada menggebu-gebu. Zeeshan berdecih pelan, lagi-lagi menaikkan sebelah alis sambil menatap intens ke arah istrinya. "Perempuan bodoh, kau istriku. Tak masalah jika memang aku ingin melakukan itu padamu. Cepat kemari," titah Zeeshan di akhir kalimat. Nindi menyilangkan tangan di depan dada. Seketika dia mengingat ucapan adiknya, mengenai dadanya yang rata dan …- sesuatu yang cukup menakutkan. 'Jangan-jangan dia ingin mempermak alami my bukit barisan lagi, biar makin gede. Oh no! Aku nggak mau, Tuhan. Ukurannya begini saja, aku sesak napas kalau lari pagi. Apalagi kalau ukuran jumbo seperti gunung merapi. Big no!' batin Nindi, semakin mengeratkan pelukannya pada diri sendiri. "Me-mesum!" ucap Nindi lagi, berdiri gemetar di tempatnya. "Muka lempeng, sikap sok sok cool, tapi isi kepala … mesum!" Zeeshan mendengus pelan, menatap dingin ke arah Nindi yang terus mengatainya sebagai pria berotak mesum. Hell! Bukankah perempuan ini istrinya? Jadi apa yang salah? "Dulu saja Mas Zeeshan menyebutku si centil dan genit, eh tahu-tahunya sekarang-- ck ck ck ck … aku nggak nyangka!" Nindi geleng-geleng kepala, "malah kamu seperti pria kurang belain. Mesum!" Zeeshan mengatupkan rahang dan tatapan semakin tajam–menghunus ke arah Nindi. Zeeshan tiba-tiba naik dari kolam, setelah itu berjalan dengan langkah tenang namun pasti menuju ke arah Nindi. Nindi melebarkan mata, panik ketika melihat Zeeshan menghampirinya. Nindi segera berlari ke arah pintu, berniat kabur dari ruangan tersebut. Menyesal! Nindi menyesal bertahan di tempat ini, dan seharusnya dia mendengarkan ucapan Alice untuk secepatnya keluar. Saat Nindi mengira bisa keluar dari tempat ini karena dia sudah dekat dengan pintu, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar memeluk pinggangnya dari arah belakang. Tangan itu menariknya dari pintu, lalu pemilik tangan kekar tersebut menggendongnya–melangkah menjauh dari pintu. "To-tolong!" pekik Nindi, mencoba meminta bantuan pada siapapun di luar ruangan tesebut. "Tolooooong …," teriak Nindi kembali. Byurr' Zeeshan melompat ke dalam kolam, membuat Nindi yang berada dalam gendongannya juga ikut masuk ke kolam. Nindi reflek memejamkan mata secara erat, reflek memeluk tubuh Zeeshan. Masih dalam air kolam, Zeeshan menatap wajah Nindi secara intens, memperhatikan wanita yang tengah menutup mata tersebut dengan sebuah senyuman tipis. Namun, saat mata Nindi terbuka, senyuman tipis itu seketika hilang tanpa jejak. Nindi mengerutkan kening, menatap berang dan kesal pada Zeeshan. Bon cabe dihadapannya ini benar-benar! Zeeshan naik ke atas permukaan, otomatis Nindi yang masih ia peluk juga ikut ke permukaan. "Hahhh." Nindi mengeluarkan napas dengan panjang, setelah itu memburu napas lalu mencoba menenangkan diri. "Aku sedang hamil! Bisa tidak lembut sedikit saja?" kesal Nindi, di mana matanya sudah berkaca-kaca karena merasa Zeeshan keterlaluan sebab menjeburkan dirinya ke kolam. Yah, walau pria ini juga ikut menjeburkan diri. "Bisa," jawab Zeeshan santai, tiba-tiba menangkup pipi Nindi lalu memaksa perempuan itu supaya mendongak padanya. Pria itu mencium bibir Nindi secara lembut, akan tetapi penuh gairah yang membakar. Ciuman itu berhasil menenangkan perasaan tak nyaman dalam hati Nindi, akan tetapi sayangnya ciuman itu hanya sebentar. Zeeshan melepasnya begitu saja lalu menatap Nindi dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kapan aku menyebutmu centil dan genit?" tanya Zeeshan tiba-tiba, nadanya terkesan lembut dan berat. Ada sesuatu yang tersirat dalam pancaran matanya. Entah kenapa Nindi merasa aneh mendengar suara Zeeshan ini. Mungkin karena sudah terbiasa mendengar nada dingin dan bada lempeng Zeeshan. "Dulu, sudah lama," jawab Nindi pelan. Perasaannya terasa semakin aneh, ada gejolak yang membuatnya merasa tak nyaman. Nostalgia! Akan tetapi mengingat kenangan buruk. "Saat aku … memberimu kado dan kamu-- Mas menolaknya lalu menyebutku perempuan genit dengan masa depan suram," lanjut Nindi. Perasaannya kacau akan tetapi raut mukanya jutek. "Aku tak mengingat pernah mengatakan hal seperti itu padamu," jawab Zeeshan tenang. 'Ya, aku maklum sih dia nggak ingat. Aku kan tak sepenting itu untuknya. Jadi kenapa dia harus ingat?! Jelas saja aku dilupakan.' batin Nindi, hanya menatap datar ke arah suaminya. "Tapi aku menginginkan mu, Nin," lanjut Zeeshan, memasukkan tangan ke dalam baju Nindi. Perempuan itu melebarkan mata, berniat menjauh akan tetapi Zeeshan menahan tubuhnya. Satu tangan pria itu masih memeluk pinggangnya. "Mas gila?! I-ini di ruang terbuka dan-- maksudku temboknya tembok kaca. Siapapun bisa melihat kita," ucap Nindi dengan nada panik bercampur takut. Sialnya Zeeshan tidak mendengarkannya. Pria itu tetap melanjutkan aksinya, bahkan dia berhasil melepas baju yang Nindi kenakan. "Ma-mah Mas!" Nindi memberontak, mendorong Zeeshan supaya menjauh darinya. Setelah berhasil lepas, Nindi mencoba berenang ke pinggir, tetapi lagi-lagi Zeeshan berhasil menangkapnya. "Mas Zeeshan!" pekik Nindi. Zeeshan menaikkan sebelah alis. "Bukankah kau bilang aku harus lembut?" "Bu-bukan lembut ke arah sana. Ck, bisa nggak sih otak Mas jangan isinya cuma itu saja?" "Bisa. Tapi kau terlanjur merusakku." "Hah?!" Nindi cengang mendengar ucapan Zeeshan tersebut. What the hell?! Dia me-merusak Zeeshan?! Dia-- perempuan merusak seorang pria? Zeeshan psycho overdosis! *** Alice merasa gelisa ketika mendengar suara teriakan. Dia ingin ke ruangan itu untuk memastikan, akan tetapi Oliver menahannya. "Jangan ke sana," ucap Oliver, mereka berdua berada tak jauh dari lift di lantai 2, disuruh untuk berjaga. "Tapi teriakan itu … aku khawatir, Pak Oliver," tutur Alice dengan sopan. "Tenanglah. Tak akan terjadi sesuatu di sana. Perempuan yang berada di ruangan itu adalah istri Tuan, dan Tuan tidak mungkin melakukan hal berbahaya pada istrinya. Tuan juga tak mungkin menyakiti Nyonya," ucap Oliver. "Tapi-- teriakan itu dan sebelumya Tuan pernah bertengkar dengan Nyonya Zana karena Nyonya Zana memasuki ruangan itu. Ku-kurasa Tuan juga marah pada istrinya karena masuk ke ruangan itu." Alice berkata dengan nada cemas. 'Marah karena Nyonya Zana meletakkan bebek karet di kolam kesayangan Tuan, dan bebek karek itu bukan hanya satu tapi sampai memenuhi kolam. Jelas saja Tuan marah.' batin Oliver, menatap datar ke arah Alice. "Intinya jangan ke sana. Jangan khawatir juga. Nyonya Nindi adalah istri Tuan, dan posisi istri jelas berbeda dari seorang kakak." "Baiklah. Aku paham," jawab Alice seadanya. Meski begitu, dia masih cemas. Sepertinya terjadi sesuatu di ruangan itu. Beberapa jam berlangsung, tuannya akhirnya keluar dari ruangan tersebut. Zeeshan keluar sambil menggendong Nindi yang dibalut dengan handuk kimono. Begitu juga dengan tuannya yang hanya mengenakan handuk kimono. Zeeshan melangkah tenang, berjalan seperti biasa seakan perempuan yang ia gendong tak memiliki massa atau berat. Oliver langsung menekan tombol lift, lalu setelah lift terbuka dia dan Alice langsung membungkuk–mempersilahkan Zeeshan yang menggendong nyonya-nya untuk masuk. "Tolong minta maid untuk membuatkan susu hangat, antar ke kamarku," titah Zeeshan pada Oliver, tangan kanannya tersebut dengan patuh menganggukkan kepala. "Tuan, apakah malam ini Tuan akan ke ruang kerja?" tanya Alice cepat, menekan tombol agar lift tak tertutup. "Maaf karena lancang," lanjutnya. "Tidak," jawab Zeeshan singkat, menekan tombol untuk menutup pintu lift. "Apa yang kau lakukan, Alice?! Tuan sangat tak suka sikap yang seperti kau lakukan tadi. Itu sangat tidak sopan dan terkesan lancang. Ingat! Kau hanya bawahan!" tegur Oliver secara tegas pada Alice. "Tapi Tuan terlihat tidak marah." Sangkalnya. Oliver hanya menghela napas, segera beranjak dari sana dan memilih turun lewat tangga. *** Saat ini Nindi ada di toko buku, tengah membaca sinopsis sebuah novel yang akan ia beli. Mengenai kejadian tadi malam, di kolam, demi Tuhan! Nindi kapok dan tak mau menginjakkan kaki ke sana lagi. Setelah Zeeshan membawanya ke kamar, Nindi juga langsung tidur. Sempat bangun, karena Zeeshan membangunkannya khusus untuk minum susu. Tadi pagi, dia cepat-cepat pergi–tanpa sarapan hanya demi menghindari Nindi. Sial! Karena adegan luar bisa yang ia lakukan dan Zeeshan di kolam itu, Nindi kembali canggung dan sangat kikuk pada Zeeshan. "Ck, pokoknya aku harus berpisah darinya. Aku nggak mau lama-lama menjadi istrinya. Dia itu gila, kelihatannya cuma mau tubuhku doang. Dan lagian … dia terlihat kecintaan banget sama sekretarisnya. So-- aku memang tak punya alasan untuk bertahan menjadi istrinya," gumam Nindi pelan, menghela napas lalu pindah ke rak lain. Dia mencari buku yang cocok dan pas untuknya. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah buku yang menurutnya sangat bagus. "Jatuh Cinta Setelah One Night Stand. Wow, bagus banget bukunya," gumam Nindi, meraih buku tersebut dan langsung membawanya ke kasir. Namun, ketika Nindi ingin membayar buku, sebuah tangan kekar lebih dulu terulur untuk membayar buku tersebut. Nindi segera menoleh ke belakang, menatap terkejut ke arah Zeeshan yang sudah berada tepat di belakangnya. Deg' 'Parfum ini-- parfum lamanya yah?' batin Nindi, sempat gagal fokus saat mencium aroma parfum suaminya yang menusuk indera penciumannya. Dia masih sangat hapal dengan aroma ini, karena dulu–saat high school, Nindi menandai kemunculan Zeeshan dengan aroma ini. Setiap kali dia mencium aroma ini, itu berarti Zeeshan ada di sekitarnya. Dulu, setiap kali mencium aroma parfum ini, Nindi merasa sangat senang dan berbunga-bunga. Zeeshan adalah crush-nya saat high school. Namun, sekarang rasanya aneh tapi tetap mendebarkan. 'Mas Zeeshan tak mengganti parfum?' batinnya, termenung karena mencium aroma yang membuatnya bernostalgia.Semoga suka dengan satu bab kita, MyRe. Jangan lupa ULASAN MANISNYA YAH DI KOLOM Komentar TERLUAR. Bagaimana pendapat MyRe tentang aroma parfum, pernah tidak MyRe tiba-tiba rindu setelah mencium parfum seseorang? Oh iya, apa yah kira-kira alasan Zeeshan tak ganti parfum? Sehat selalu untuk MyRe semua, dan terus semangat yah dalam menjalani hari-hari. Papai ... IG:@deasta18 (Follow untuk mendapatkan informasi terbaru seputar novel kita)
'Mas Zeeshan tak mengganti parfum?' batinnya, termenung karena mencium aroma yang membuatnya bernostalgia. Zeeshan mencengkeram pergelangan tangan Nindi lalu menarik perempuan itu supaya beranjak dari sana. "Lepaskan!" pekik Nindi, memaksa tangannya lepas dari cengkeraman Zeeshan–setelah mereka berada di luar toko, "ck, lepaskan cengkeramanmu! Pergelangan ku sakit," cicit Nindi masih berusaha melepas cengkeraman tangan suaminya dari pergelangannya. Zeeshan melepas pergelangan tangan Nindi, setelah itu melayangkan tatapan tajam yang terasa membunuh dan menyeramkan. "Siapa yang mengizinkanmu keluar, Hum?""Aku tidak butuh izin siapapun," ucap Nindi dengan nada datar, bergegas pergi dari sana akan tetapi Zeeshan menariknya–memaksa Nindi agar ikut dengannya. Zeeshan membuka pintu mobil lalu memaksa Nindi untuk masuk ke dalam. Setelah itu, dia juga masuk ke dalam mobil–menyalakan mobil lalu melaju dari sana. "Kau perempuan yang bersuami, Nindi!" peringat Zeeshan tiba-tiba, "hidupmu ta
"Tapi karena kau istriku, kau boleh tetap di sini," seru Zeeshan tiba-tiba, "dengan syarat, lepas pakaianmu dan bergabung denganku." Mendengar ucapan terakhir Zeeshan, mata Nindi seketika melebar dan ekspresinya kaget bercampur shock. Dia melepas sandal berbulu yang dia kenakan lalu berbalik badan, di mana dia langsung melempar sandal tersebut ke arah Zeeshan yang masih berada di dalam kolam renang. Pyuung' Namun Zeeshan menghindar dengan cepat sehingga sandal Nindi tersebut berakhir terlempar ke seberang kolam. "Genit! Mesum!" ucap Nindi dengan nada setengah marah. "Humm?" Zeeshan menaikkan sebelah alis, "atas dasar apa kau menilaiku mesum?" "Masih nanya!" Nindi berkacak pinggang, "kamu--" "Mas," tegur Zeeshan cepat. "Yah itu, Mas menyuruhku melepas pakaian. Tujuannya apa coba? I-ingin menggrepe-grepe tubuhku yah," ucap Nindi dengan nada menggebu-gebu. Zeeshan berdecih pelan, lagi-lagi menaikkan sebelah alis sambil menatap intens ke arah istrinya. "Perempuan
"Anda sangat perhatian. Sekali lagi terima kasih, Tuan," ucap Alice, sekretaris Zeeshan yang ikut makan malam bersama. Nindi menatap sejenak pada perempuan itu, dalam hati dia meringis dan kecewa. Sungguh Zeeshan menyuruhnya memasak semua menu di sini hanya untuk menyenangkan sekretarisnya? 'Cinta ditolak memanglah menyakitkan. Tapi mantan Crush menyuruh masak untuk wanita lain, ternyata itu jauh lebih menyakitkan. Bon Cabe monyet!' batin Nindi, berupaya tetap tenang walau hatinya sakit dan ngilu. "Seingatku semua makanan di atas meja ini, tak pernah dimasak oleh chef di rumah ini," ucap Zeeshan dengan datar, menoleh pelan ke arah sekretarisnya, "jadi kau mencoba ini di mana sehingga semua makanan ini bisa menjadi makanan favoritmu?" "Ah yah, Tuan benar." Oliver membernarkan ucapan Zeeshan, "setiap kali kau ke negara ini, kau tinggal di sini dan otomatis hanya makan di rumah ini. Dan … kenapa semua makanan ini menjadi makanan favorit, Alice, sedangkan chef di sini saja tak pern
Keduanya seperti musuh! "Oh iya, Kaze, aku bawakan kotak bekal untukmu. Nanti, setelah kamu sampai di sana, kamu langsung makan yah," ucap Nindi dengan nada riang, menyerahkan sebuah kotak bekal untuk adiknya. Sekalian ingin memecah suasana tegang yang tercipta entah karena apa. Kaze meraih kotak bekal tersebut sambil melirik ke arah Zeeshan yang terlihat menampilkan ekspresi datar. "Kapan kalian berangkat? tanya Nindi pada adiknya. Sebenarnya dia datang ke kampus adiknya untuk berpura-pura sebagai pacar palsu Kaze. Ada seorang dosen muda yang menyukai adiknya, tetapi Kaze tak suka pada dosen tersebut. Oleh sebab itu dia meminta Nindi datang ke sini. Kaze dan team-nya akan melakukan penelitian di sebuah kota, hari ini adalah hari keberangkatan mereka. Meminta kakaknya datang di saat sekarang adalah moment yang pas bagi Kaze untuk memamerkan Nindi sebagai pacar dihadapan dosen gatal tersebut. Namun, rencana Kaze bisa dikatakan gagal karena Nindi membawa suaminya ke tempa
"Demi pria lain. Selingkuhanmu?" Nindi menatap handphonenya yang dilempar oleh Zeeshan. Rasa kesal dan marah seketika memenuhi dirinya. Nindi bangkit dari sofa lalu berdiri, menatap menantang ke arah Zeeshan. "Mau demi selingkuhanku atau bukan, itu bukan urusanmu!" ketus Nindi, segera beranjak dari sana dengan menyenggol lengan Zeeshan. Dia menghampiri handphone miliknya yang Zeeshan lempar lalu mengambilnya. Saat Nindi berdiri–sebelumnya berjongkok untuk mengambil handphonenya, tiba-tiba saja Zeeshan sudah berada di belakangnya. "Jadi benar jika kau berselingkuh?" ucap Zeeshan dengan nada marah yang tertahan. "Bukan urusanmu," jawab Nindi ketus, menatap Zeeshan dengan alis menekuk. Rahang Zeeshan seketika mengatup, menatap Nindi dengan marah. Dia mencengkeram Nindi kemudian menarik perempuan itu secara kasar ke atas ranjang. Bug' Dengan amarah yang menyelimuti diri, Zeeshan mendorong kasar Nindi ke atas ranjang–membuat Nindi terhempas kuat, berakhir berbaring di tengah.
'Kalau bukan karena kau mengandung anakku, aku tidak akan menikahimu. Aku tidak peduli pada penampilanmu.' Tiba-tiba saja ucapan Zeeshan waktu itu, kembali mengiang dalam kepala Nindi. Jika Nindi pikir lagi, Zeeshan sebenarnya tak peduli pada penampilannya dulu. Namun, karena mereka menikah, Zeeshan ingin Nindi merubah penampilan. Pria itu menyuruhnya berpenampilan lebih rapi, bukan karena Zeeshan suka padanya. Namun, karena pria itu ingin menjaga nama baik dan reputasi. Harusnya Nindi memahami itu dan tak berharap apapun. Nindi menghela napas lalu segera masuk ke dalam rumah. Melihat Zeeshan ada di ruang tengah, sedang duduk di sofa sambil berbincang dengan tangan kanan serta perempuan tadi, Nindi memilih beranjak dari sana. Untuk apa Nindi ke sana dan bergabung?! Toh, Zeeshan melewatinya begitu saja, tak mengatakan apapun dan langsung masuk ke dalam rumah ini bersama perempuan tadi. Namun meski begitu, Nindi menyuruh maid untuk membuatkan minuman pada Zeeshan dan tangan ka