Semoga suka dengan 3 bab kita hari ini, MyRe. Semangat!!
"Ra-Raela?" Raela yang sedang menatap ke arah lain langsung menoleh pada seseorang yang memanggilnya. Dia begitu terkejut saat melihat orang yang memanggilnya, membuat matanya reflek melebar. 'He-hei … orang tua Morgan juga di sini?' batin Raela. Dia tiba-tiba teringat kalau dia pernah dipermalukan oleh kedua orang ini saat di pesta pertunangan Morgan. Entah kenapa, mengingat itu Raela menjadi gugup dan cemas setelah melihat kedua orang ini. Dia takut dipermalukan lagi oleh kedua orang ini. "Amora, kau kenapa kedua orang ini?" tanya Harvey tiba-tiba, menunduk sedikit untuk menatap istrinya yang berada di sebelahnya. Diam-diam smirk tipis muncul di bibirnya. Raela menoleh pada Harvey dengan ekspresi gugup lalu kembali menatap Nirmala dan Yoga. "Kurasa tidak, Su-suami," jawab Raela gugup bercampur sedikit malu sebab harus memanggil Harvey dengan panggilan 'suami. Ini di tempat umum dan banyak sekali orang di sini. Raela sangat malu. "Su-suami?" beo Nirmala dan Yoga, menatap Rae
"Yah, orang seperti kami harus bekerja jauh lebih keras supaya bisa dapat uang," ucap Ralea sambil berjongkok mengambil albumnya yang terjatuh. Melihat itu, mata Nirmala dan Yoga kembali melotot syok. Ba-bagaimana bisa Raela punya banyak uang? Bahkan memiliki black card dan empat kartu debit. Raela mengeluarkan sejumlah uang dari dalam album foto kemudian menyerahkan uang tersebut pada Nirmala. "Ongkos pulang buat kamu dan suamimu. Masih ada lebihnya nanti, bisa kalian pakai untuk berobat anak kalian.""Raela!" geram Nirmala, marah bercampur sangat malu luar biasa. Bagaimana tidak? Para pekerja di toko ini dan beberapa pelanggan, menatap remeh ke arahnya dan suaminya. "Eits, nggak usah malu, Ibu. Aku tahu kok kalian datang ke sini untuk minta sumbangan," ucap Raela dengan santai. "Sekarang sumbangannya sudah dapat kan. Gih, pulang," ucap Raela kembali. Nirmala mengepalkan tangan secara kuat, dia melempar uang ke lantai kemudian beranjak dari sana dengan langkah terburu-buru. Suami
Raela mengetuk pintu ruang kerja suaminya, di mana saat ini dia berada di dalam ruang kerja Harvey. Raela perlu pamit pada pria itu, dia ingin ke kampus untuk mendaftar wisuda. Setelah dipersilahkan masuk, Raela berjalan ke ruangan suaminya dan menghadap pada pria itu. Beginilah kehidupannya bersama pria ini, sangat kaku dan seperti seorang bos dan anak buah. Harvey sangat berwibawa, tetapi sekaligus pendiam dan tak lebih suka hening. Apa-apa … Raela harus menghadap pada Harvey, termasuk izin keluar rumah. "Mas, aku izin ke kampus," ucap Ralea pada Harvey. Pria itu hanya diam dan tetap fokus pada pekerjaannya, membuat Raela diam-diam menghela napas sambil menatap jengah pada sosok tembok tersebut. 'Giliran 'begituan saja dia banyak gerak dan seketika lemah lembut. Tapi jika nggak gituan, dia jadi batu. Apa enaknya jadi batu?' batin Raela, masih menunggu suaminya bersuara. Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya pria dingin itu mendongak padanya. "Humm," dehem Harvey, memberi iz
"Hah? Emang ada yah dodol Paris?" tanya Sheena sambil menatap bingung ke arah Raela, di mana Raela senyum kaku padanya. "Kak, aku ingin melihat oleh-oleh yang …-" Sheena berniat meminta kakaknya agar menyuruh Raela menyerahkan paper bag tersebut padanya. Sheena tak berniat merampas milik Raela, dia hanya penasaran. Namun, ucapannya dipotong oleh sang kakak. "Supir sudah menunggumu di depan. Pulang," ucap Harvey, membuat Sheena membelalak tak percaya. "Kakak mengusirku?" Sheena melotot horor ke arah kakaknya. "Daddy dan Mommy mungkin sudah di rumah. Kau tidak ingin bertemu dengan mereka?" ucap Harvey. Sheena menggembungkan pipi, akan tetapi tetap menuruti ucapan kakaknya. Dia mengumpulkan paper bag merah–oleh-oleh dari kakaknya, kemudian segera beranjak dari sana. Raela ikut mengantar ke depan dan setelah Sheena pulang, dia kembali ke ruang keluarga. Ternyata Harvey sudah tak ada di sana dan paper bag hitam untuknya juga tak ada di sana. "Nyonya, Tuan sudah ke atas, dan Nyonya s
Raela mengedikkan pundak secara santai. "Nek, aku sudah menikah loh dan tidak mungkin aku menemui mantanku. Apalagi saat ini suamiku sedang kerja. Walaupun semisal aku izin pada suamiku untuk menemui cucumu yang notabene-nya adalah mantanku, tetap saja pasti suamiku kepikiran. Dan bagaimana jika karena hal itu suamiku jadi over thinking padaku? Bagaimana jika karena hal itu, pekerjaannya jadi tak beres? Daripada aku memberikan kepedulianku pada cucumu, yah jelas dong aku lebih milih peduli pada suamiku sendiri.""Benar juga. Kalau adik ini kenemui mantannya, suaminya pasti akan kecewa padanya," ucap seorang laki-laki, mendukung dan setuju pada perkataan Raela. Yang lainnya menganggukkan kepala, paham dan setuju pada Raela. "Si cewek juga benar. Kondisi mantannya bukan urusannya, tetapi urusan keluarga nenek ini.""Udah, Dek. Pulang saja, tak usah ikut dengan nenek ini. Benar katamu, kamu tidak ada sangkut pautnya lagi dengan mantan kamu. Dan … mending fokus ke suami sendiri," ucap s
"Raela, akhirnya kamu datang." Raela senyum tipis pada perempuan tua tersebut, tak lain adalah nenek Morgan. Perempuan tua ini meminta mereka agar bertemu dan Raela setuju. Akan tetapi dia tak datang sendiri, dia ditemani oleh Sheena. "Apa yang ingin Nenek bicarakan denganku?" tanya Raela to the point. "Begini, Morgan sudah satu minggu lebih dirawat di rumah sakit, dan tiga hari yang lalu dia sadar. Namun, dia menolak makan dan menolak diperiksa oleh dokter. Kondisinya yang lumpuh membuatnya syok dan bersedih, Nak," curhat Sindi, nenek Morgan. "Jadi hubungannya denganku apa, Nek?" tanya Raela kembali. "Kamu perempuan yang Morgan cintai, Nak. Dan Nenek yakin sekali jika kamu menemui Morgan dan membujuknya untuk makan, Morgan pasti mau," ucap Sindi dengan nada pelan, terkesan memohon supaya Raela bersedia ikut ke rumah sakit dengannya. "Mohon maaf sebelumnya, Nenek, tapi aku dan cucu anda sudah tidak punya hubungan lagi. Kami sudah putus, dan semisal dia tidak mau makan atau apapu