"Mbak Mira, terima kasih ya. Karena Mbak Mira telah paham dengan keadaanku," ucap Lusi."Iya, Lusi, sama-sama. Aku harus paham, sebab yang namanya manusia pasti punya problem. Kehidupan yang kita jalani tidak akan selamanya bisa sesuai harapan kita," sahutku."Ya sudah, Mbak, aku pamit ke toko dulu ya. Assalamualaikum," pamit Lusi.Aku pun mengiyakan, saat Lusi pamit untuk pergi ke toko. Kemudian ia pergi meninggalkanku sendirian, yang sedang bingung memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Setelah Lusi kembali ke toko, setelah ia selesai membicarakan apa yang ingin diungkapkannya. Aku melamun seorang diri, membayangkan bagaimana nasib toko kueku, ketika Lusi sudah tidak ada lagi nanti? Sedangkan aku baru saja melahirkan dan tidak bisa membuat kue seperti dulu. Menurut Lusi, ia akan pergi sekitar satu minggu lagi. Jadi aku harus segera mencari orang untuk menggantikan Lusi membuat kue, mumpung masih ada waktu untuk mencari orang yang tepat pengganti Lusi tersebut. Setelah setelah
"Alhamdulillah, akhirnya Meri mau menggantikan Lusi. Kalau sampai Meri tidak mau, pasti toko kueku terbengkalai. Semoga dengan kedatangan Meri nanti, toko kueku akan semakin berkembang, aamiin," harapku.Kemudian aku mengangkat tubuh Nadyra dan segera memberikan asi kepadanya. Tidak berapa lama anak keduaku yang bernama Azka pulang dari sekolah dan langsung masuk ke kamarku untuk menyalamiku. Alhamdulillah, aku mempunyai anak-anak yang shaleh, semoga gadis kecilku juga menjadi anak yang shaleha, aamiin."Assalamualaikum, Bu, Kakak pulang," ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya."Waalaikumsalam, Kak Azka, alhamdulillah Kakak udah pulang tuh, Dek. Bagaimana belajarnya hari ini, Kak, lancar?" Aku bertanya keadaan Azka di sekolah, setelah aku menjawab salam dari anakku yang nomer dua ini."Lancar dong, Bu, Kakak bisa menjawab semua soal ulangan hari ini," sahut Azka.Ia menjawabnya dengan begitu bersemangat, kebetulan hari ini memang ada ulangan harian di sekolah Azka."Alhamdul
"Lho, kok ada foto Mas sama Meri sedang berpelukan begini sih? Kamu dapat dari mana, Dek?" Mas Romi bertanya dengan sorot mata yang menatap tajam ke arahku."Aku dikirim Susi, Mas. Katanya kalian berdua ada hubungan spesial, bener nggak sih Mas apa yang dia bilang? Karena aku melihat foto kalian juga terlihat begitu mesra," tanyaku mau minta penjelasan.'Dek ... Dek, kamu itu lebih percaya Mas suami kamu, sama Merry Adik kamu, atau sama Susi temen kamu? Temen yang sudah merebut mantan pacar kamu, sewaktu kamu masih sekolah dulu. Kalau memang kamu lebih percaya sama Susi, Berarti kamu salah besar, Dek. Karena Mas sama Merry itu tidak ada hubungan spesial, terkecuali hubungan antara kakak ipar dan adik ipar. Kamu jangan mau di bodohi sama Susi dong, Dek. Dia itu hanya menginginkan, supaya hubungan kamu dan Mas berantakan. Kamu tahu nggak, Dek, kalau Susi dan suaminya sekarang hubungannya sedang goyang. Karena suaminya Susi ketahuan selingkuh, makanya dia memanas-manasi kamu. Mungkin t
"Mbak, kenapa belanjanya hampir setiap hari, menunya cuma itu-itu saja?" Marni, bertanya kepadaku saat sedang berbelanja ditulang sayur keliling."Iya, Mar. Anak- anak yang meminta. Mereka ingin makan sayur bening bayam, sama tahu tempe ditepungin." Aku, menjawab pertanyaan Marni, yang masih memilih dan memilah sayuran.Entah, sayuran seperti apa yang sedang dia cari. Sebab, dari tadi kerjaannya hanya membolak balik dagangan saja. Aku yang baru datang saja sudah menemukan, sayuran apa yang aku mau. Tetapi, Marni belum ada satupun yang dipilihnya."Bilang saja kalau Mbak itu nggak punya duit, nggak usah bawa nama anak-anak segala, Mbak." Marni berkata dengan nada menyepelekanku."Iya bener tuh, Marni. Si Mira ini setiap hari memang kerjaannya cuma membeli sayuran murah. Bagaimana, anak-anaknya mau pintar dan badannya gemuk, coba! Dikasih makanannya saja seperti ini terus setiap hari. Mana tubuh Romi anak saya, semakin hari malah semakin kurus saja kelihatannya. Karena, dia mempunyai ist
"Iya, Marni kamu memang benar. Si Mira itu orangnya memang sok sibuk banget. Padahal, dia kerjaannya cuma masak begituan. Ia itu nggak punya kerjaan, hanya membersihkan rumah kontrakan yang hanya sepetak." Bu Ratmi, kembali menimpali ucapan Marni.Sebenarnya, aku ingin sekali berbalik badan dan kembali ke tempat tongkrongannya Marni dan Bu Ratmi. Aku ingin membalas ucapan mereka, yang masih berada di tempat dagangnya Mang Adi. Aku ingin membalas semua ucapan mereka berdua, yang semakin keterlaluan saja. Tetapi aku mengurungkan niatku itu, aku tidak mau ribut hanya karena sedang terbawa emosi. Karena menurutku tidak akan ada untungnya juga buat aku, kalau meladeni ucapan mereka dengan emosi. Lebih baik, aku segera pulang dan segera masak, serta beres-beres rumah kontrakan. Supaya pekerjaanku di rumah cepat kelar, setelah itu aku bisa kembali melanjutkan hobiku menulis novel online. Karena aku setiap hari menulis, setelah pekerjaanku kelar, serta anak-anakku sudah pada berangkat sekola
"Pelit amat sih kamu, sama Ibu suamimu. Masa iya, minta minyak saja nggak boleh." Bu Ratmi, berkata dengan entengnya."Bukannya nggak boleh, Bu. Tapi, minyaknya, jangan semuanya dibawa Ibu, dong. Nanti, Mira mau goreng tempe, sama tahunya pakai apa?" Aku, bertanya kepada mertuaku. Semoga saja, ia berbaik hati mau membagi dua minyak gorengnyanya. Masa iya, aku baru saja membeli minyak goreng sebanyak dua liter. Sekarang, aku harus membelinya lagi. Tidak lucu, 'kan?"Ah, sudahlah! Awas, Ibu mau pulang! Kamu, kalau mau menggoreng tempe atau tahunya, beli lagi aja minyaknya sana, repot amat sih! Kalau nggak, kamu menggorengnya pakai minyak goreng bekas saja." Bu Ratmi, berbicara seenaknya saja, tanpa mau mengerti perasaanku."Tapi, Bu," kataku."Minggir kamu, Mira!" ucap Bu Ratmi, sambil mendorong tubuhku.Hampir saja aku terjatuh, kalau aku tidak berpegangan ke lemari makan yang ada di sana. Bu Ratmi, bukannya mendengar apa yang mau aku katakan. Tetapi, ia malah melengos pergi tanpa pedu
"Astagfirullah. Masa iya sih, Bu. Kok bisa, Mira, sampai setega itu? Aku nggak nyangka, ternyata sifat aslinya Mira seperti itu ya, Bu." Bu Ami sampai beristigfar saat mendengar cerita dari Bu Asmi."Iya benar, Bu. Marni sampai nangis-nangis lho, datang kerumah saya. Ia menceritakan semuanya ini kepada saya. Karena saya orangnya tidak tegaan, jadi saya memberi uang seratus ribu buat berobat anaknya Marni. Saya kasih lho, Bu Ami. Bukannya ngutangin," terang Bu Asmi, ia berkata dengan banyak penekanan di setiap katanya, seolah menegaskan."Ih, Mira, Ibu nggak nyangka lho, kalau kamu ternyata sejahat itu. Sudah sana, lebih baik kamu pergi saja mencari warung lain, kalau untuk beli minyaknya! Aku nggak sudi menerima uang, dari orang yang jahat seperti kamu. Yang ada, nanti aku terkena imbas dari kelakuan kamu itu." Bu Ami mengusirku, ia tidak mau meladeni aku belanja, ternyata ia sudah termakan oleh ucapannya Bu Asmi tersebut.Rupanya memang benar apa kata pepatah, kalau mulut itu lebih ta
Sepertinya Mas Romi ragu, saat aku mengajaknya belanja ke supermarket. Mungkin dia berfikir dari mana aku mempunyai uang buat belanja. Sedangkan, uang yang dia kasih ke aku perharinya, saja tidak menentu. Kadang tiga puluh ribu, lima puluh ribu, maksimal tujuh puluh ribu. Terkadang juga, dia tidak memberi sama sekali. Bukan karena pelit suamiku memberinya segitu, tetapi karena memang penghasilan dari menarik angkot tidak menentu, tergantung dari hasil tarikannya. Jika, telah membeli bensin dan memberikan setoran kepada pemiliknya, tetapi masih ada sisa uang, maka itulah pendapatannya hari ini. Begitulah, sistem kerja di angkutan umum."Ada, lah Mas, kalau untuk berbelanja keperluan dan jajanan anak. Makanya, aku ngajak Mas jalan. Atau mungkin, Mas mau nambahin uang buat belanjaannya?" tanyaku balik, setelah aku menjawab pertanyaan suamiku."Nih, Mas tambahin lima puluh ribu. Alhamdulillah, itu pendapatan Mas hari ini. Lumayanlah, buat beli bensin untuk pulang pergi ke supermarket." Ma