Sam menyukai beragam olahraga yang menantang, yang utama, Sam suka olahraga beladiri. Pencak silat dan karate adalah yang paling dikuasainya. Sam juga seorang pendaki berpengalaman. Menyukai Off Road, juga motocros.
Berkat penguasaan ilmu beladirinya, Sam direkomendasikan oleh kawannya seorang Pengusaha Batu Bara kepada Mr. Ben. Sudah empat tahun ini Sam menjadi pengawal pribadi Mr. Ben. Juga karena Sam memiliki pengalaman bekerja sebagai marketing di perusahaan Batu Bara milik kawannya itu, Mr. Ben tak hanya mempercayakan keamanan dirinya ketika sedang berada di Indonesia, melainkan mempercayakan pengawasan seluruh asetnya yang ada di Indonesia kepada Sam.
Dari kegemarannya pada olahraga kendaraan ekstrim, Sam nampak terbiasa memacu Landcruser berukutan bongsor itu serupa mengemudikan City Car. Lalu lintas Jakarta di pagi buta memang masih lengang, Sam lebih leluasa mengemudikan Landcruser dengan kecepatan tinggi untuk ukuran kecepatan dalam kota, tanpa pedulikan Widya yang berungkali memohon pada Sam agar cara mengemudinya wajar tanpa manufer berbahaya.
Entah sudah berapa kali Widya memekik meminta Sam jangan seperti kesetanan mengemudikan Landcrusernya. Widya khawatir Sam hilang kendali meski jalanan masih sangat lengang. Di tengah ketakutan dan jengkel oleh cara mengemudi Sam, Widya melepas sabuk pengaman agar memudahkannya menoleh ke belakang Landcruser.
Antara jarak lima puluh meter di belakang Landcruser, Widya melihat adanya sebuah Sedan hitam mengikutinya dalam kecepatan berimbang menjaga jarak aman dengan Landcruser. Berdetik lamanya Widya memperhatikan Sedan hitam, sedang kedua tangannya mencengkram sandaran kursi yang didudukinya agar tak terjerembab oleh guncangan Landcruser saat bermanufer.
Setelah memperhatikan nomor polisi Sedan hitam yang dilengkapi lampu pada plat nomornya, Widya mengenali nomor Polisi Sedan itu dengan sangat jelas. Sedan itu adalah miliknya.
"Sam...!" Widya kembali duduk seperti semula, "...berhenti, Sam!"
"Ada yang mengikuti kita, Widya!" Sanggah Sam belum juga menurunkan kecepatan.
"Itu temanku, Sam!" Widya masih bersuara tinggi.
Seketika Sam melambatkan kendaraan.
"Sedan itu milikku. Temanku sendiri yang mengendarainya."
"Temanmu?" Sam lekas menepikan Landcruser.
"Eummm, lebih tepatnya, dia bekerja padaku sebagai pelindungku," jelas Widya ketika Landcruser berhenti.
"Pelindungmu? Pengawal pribadimu?" Sam mengintip kaca spion kabin. Sam melihat Sedan hitam turut berhenti antara empat puluh meter di belakangnya.
"Begitulah, kira-kira. Tapi kalau aku sedang menemani tamu hotel saja, aku mempekerjakannya. Sekedar jaga-jaga bila aku menemui tamu hotel yang mungkin saja bertindak jahat terhadapku. Lain daripada itu, kalau aku tidak sedang melayani tamu hotel, hubungan kami sebatas teman. Bukan bos dan majikan. Laginpula, siapa aku? Harus dikawal setiap saat?"
"Kenapa dia harus diam-diam membuntuti kita? Kenapa kamu tidak memberitahuku kalau Pengawalmu itu mengikutimu?" Selidik Sam.
"Aku tidak minta dia mengikutiku? Dan aku tidak tahu dia membuntuti kita?"
"Lantas, bagaimana Pengawalmu tahu kamu sedang bersamaku?"
"Mungkin dia khawatir mengetahui aku keluar dari hotel tanpa memberitahunya?"
"Dia tahu kamu keluar dari hotel tanpa kamu beritahu?" Melalui matanya, Sam menuntut penjelasan Widya yang masuk akal.
"Setiap aku bekerja, dia membekali aku alat penanda keberadaanku. Dia dapat memantauku dari ponselnya."
"GPS?"
"Ya."
Sam terdiam berdetik lamanya. Berulangkali Sam meninjau Sedan hitam melalui spion kabin.
"Bagaimana ini?" Tanya Widya mendadak bingung setelah tahu pengawalnya sigap telah mengikuti dan mengetahui keberadaan dirinya.
"Kalau kamu masih mempercayaiku. Katakan pada pengawalmu, jangan khawatirkan keselamatanmu. Tidak perlu mengikutimu. Dan, jangan bicarakan apa pun yang terjadi di dalam kamar hotel pada Pengawalmu."
"Pengawalku berhak tahu atas semua apa yang aku alami, Sam. Itu kesepakatan kerja antara aku dengannya. Dia mengikuti aku sekarang, karena keselamatanku tanggungjawabnya."
"Anggap saja ini pengecualian. Kalau kamu memaksa memberitahu pengawalmu soal kematian Mr. Ben, silahkan kamu pindah ke mobilmu dan pulang. Aku tak lagi bertanggungjawab bila di kemudian hari kamu harus memenuhi panggilan Polisi untuk diperiksa atas kematian Mr. Ben."
Widya bungkam tercenung bermenit lamanya. Mimpi buruk-pun tidak, pada malam sebelumnya, tetapi hari ini Widya merasakan hari terburuk yang dialaminya seumur hidup. Menghadapi lelaki hidung belang dengan beragam karakter adalah hal biasa bagi Widya.
Pernah bertemu lelaki tua yang hanya menggerayangi sekujur tubuhnya saja karena alat vitalnya tak mampu lagi berdiri, menghadapi lelaki yang bisa ereksi setelah menonton film dewasa terlebih dahulu, juga pernah melayani seorang ibu muda yang mau berhubungan intim dengan suaminya setelah menyaksikan suaminya berhubungan intim Widya terlebih dahulu, dan masih banyak lagi kegilaan orang-orang yang pernah menggunakan jasa Widya dalam urusan seks. Tapi kali ini, untuk kali pertama Widya mendapati seorang yang seharusnya mendapat pelayanan dirinya, mati sebelum sempat bersentuhan fisik sama sekali.
"Kamu bisa melakukannya sekarang?" Sambung Sam mendesak.
Widya menoleh cepat pada Sam dan melalui mata ia menuntut arahan.
"Tentu kamu menyimpan nomor telepon pengawalmu?"
"Sungguh aku tidak sedang masuk perangkapmu, Sam? Tidak-kah aku hendak dicelakai?" Widya menuntut diyakinkan.
"Tadi aku sudah mempersilahkan kamu pindah kendaraan bersama Pengawalmu. Apa keuntunganku, kalau aku hendak memperdayaimu?"
Widya segera merogoh tas wanita di pangkuannya memungut ponselnya. Tidak lebih selusin kata bicara per-telepon, Widya mengakhiri percakapan singkat.
Mengerti apa yang dibicarakan Widya per-telepon dengan Pengemudi Sedan, Sam kembali perhatikan spion kabin. Sam melihat sedan hitam di belakangnya bergerak mendekati Landcruser.
"Perlukah aku turun menemui pengawalmu?" Tanya Sam ketika Widya bersiap turun dari Landcruser.
"Jika menurutmu itu lebih baik? Aku menghargaimu, Sam," Widya sudah membukan pintu.
Sam turut turun tanpa mematikan mesin, kemudian berdiri membelakangi Landruser menyambut Pengemudi Sedan yang baru saja berhenti lima meter di belakang Landcruser.
Widya berdiri menjejeri Sam seraya matanya curi-curi pandang menikmati tubuh tegap Sam. Sedari Sam duduk di belakang kemudi, Widya sudah menaksir tinggi tubuh Sam melampaui tinggi dirinya. Setelah berdiri berjejer dengannya, sosok Sam kian nyata menjulang.
Naluri kewanitaan Widya terpesona oleh tubuh Sam yang tinggi besar dengan bobot proporsional. Mengenakan celana jeans biru belel, kemeja kotak-kotak khas skandinavia dengan lengan kain kemeja digulung hingga sikut, kancing kemeja terbuka sepenuhnya memperlihatkan kaos putih di bagian dalamnya, bersepatu boots warna coklat, menjadi padu padan pakaian yang terkesan sederhana namun menjadikan pemakainya nampak seorang lelaki dewasa penuh kharisma yang diidamkan banyak wanita.
Seorang lelaki umur tiga puluhan bertubuh gempal telah keluar dari Sedan. Berpakaian serba hitam, tak terkecuali jaket kulit yang dikenakannya, ia melangkah tenang merangsek ke hadapan Sam dan Widya.
"Hallo, Bung!?" Sam mendahului menyapa.
"Hallo..." Pengemudi Sedan mengulurkan tangan pada Sam, "...Tyo."
"Sam. Samudera Ilham," balas Sam sebutkan nama lengkapnya.
"Tyo. Aku baik-baik saja. Maaf aku keluar dari hotel tidak mengabarimu," Widya berharap pengertian.
Tyo berpaling pada Widya, "Ok. Tidak masalah. Aku mengikutimu, hanya memenuhi tanggungjawabku."
"Terima kasih, Tyo."
"Jadi, aku tak perlu melanjutkan tugasku mengawasimu, Widya? Atau bagaimana?"
"Sam ini, temanku. Kamu boleh pulang bersama mobilku. Silahkan kamu tidur nyenyak tanpa harus memelototi ponselmu untuk memantauku. Setelah aku pulang, kamu boleh mengembalikan mobilku ke apartemenku," anjur Widya berbohong dan berharap Tyo tak bertanya macam-macam.
"Oh, kalian berteman?" Pandang Tyo terbagi di antara Sam dan Widya, "aku kira tamu...?"
"Sam ini kolega orang yang aku temani di hotel," sela Widya, "tapi sebelumnya memang Sam teman lamaku. Kami juga merasa ini kejutan bisa bertemu dengan cara yang tak disangka?" Widya ber-alibi.
Tyo manggut-manggut tetapi matanya menyiratkan curiga.
"Dulu kami satu sekolah di SMP dan SMA," Sam turut berbohong.
"Begitu? Baik. Jadi mulai detik ini aku bebas dari tanggungjawabku, Widya?"
Widya mengangguk, "Pulanglah, Tyo. Selama aku bersama Sam, aku baik-baik saja."
Tyo terdiam sejenak, lalu. "Boleh tahu, kalian hendak ke mana? Pagi buta begini seperti terburu-buru?" Tanya Tyo untuk Widya dan Sam, tapi matanya hanya mengarah pada Widya.
Widya merasa tersedak oleh kebingungan menjawab. Widya mengerling pada Sam berhatap bantuan jawaban dari Sam.
"Ada semacam urusan pekerjaan di luar kota, Tyo," jelas Sam.
Tyo berpaling cepat pada Sam. "Oh, kamu mengajak Widya keluar kota, Sam?" Mata Tyo menyelidik.
"Sam tidak mengajak aku. Urusan ini memang atas kesepakatan kami berdua," Widya membetulkan.
"Baiklah, Widya. Aku tekankan sekali lagi, sesuai keputusanmu, mulai detik ini aku tak bertanggungjawab atas keselamatanmu. Begitu? Aku tak ingin sesuatu terjadi padamu, lalu kamu menyalahkan aku karena dianggap lalai."
"Benar, Tyo. Kamu bebas dari tanggungjawabmu untuk tugas mengawasiku. Kamu boleh bawa pulang kendaraanku ke rumahmu. Setelah aku pulang, aku akan mengabarimu."
"Baiklah, Widya," Tyo kembali berpaling pada Sam, "Sam, aku percayakan keselamatan Widya padamu. Ke mana pun kamu membawa Widya, aku harap kamu memperlakukannya dengan baik sebagai seorang teman. Sesuai pengakuanmu sendiri," pungkas Tyo menyalami Sam.
"Tentu, Tyo," Sam menyambut tangan Tyo yang dirasainya tangan Tyo mengirim pesan tegas padanya: jangan macam-macam terhadap Widya.
Tyo telah memutar balik arah sedan dan melesat ke arah semula ia datang. Sam dan Widya lekas memasuki Landcruser.
"Kenapa aku bisa kompak denganmu membohongi Tyo? Sedang aku sendiri belum tahu aku ini akan kamu bawa ke mana, Sam?" Widya merasa bersalah telah membohongi Pengawalnya sendiri.
"Kita akan ke Pangandaran," jelas Sam.
Sam mulai melajukan Landcruser, kali ini dengan kecepatan wajar meski dalam ukuran Widya, laju Landcruser masih tergolong cepat namun terkendali.
"Ke Pangandaran?"
"Ya."
"Itu pantai yang indah. Sudah lebih tiga kali aku mengunjunginya. Keperluan apa kita ke sana?"
"Tadi disela sakaratulmautnya, Mr. Ben sempat mengutusku untuk mengambil sesuatu di Pangandaran. Sekaligus berpesan agar menjauhkanmu dari Polisi yang akan memeriksamu."
Kembali Widya didera ketakutan setiap mendengar Polisi disebut oleh Sam. "Apakah aku pasti dicari Polisi, Sam?"
"Bukan hanya kamu. Aku pun pasti akan dicarinya. Juga orang-orang yang dianggap pernah berinteraksi dengan Mr. Ben, akan dimintai keterangan. Tetapi kita berdua sangat mungkin jadi yang utama dicari Polisi. Aku dan kamu adalah orang terakhir yang berinteraksi sangat dekat dengan Mr. Ben sebelum kematiannya."
"Kapan kematian Mr. Ben akan diketahui Polisi?" Suara Widya bergetar disertai wajah memucat.
"Setelah kematian Mr. Ben diketahui pihak hotel, tentu. Kapan? Kita berharap pihak hotel terlambat mengetahuinya."
"Sam. Tadi itu, aku melihat mata Tyo mencurigai kita?"
"Mungkin? Tapi aku lebih setuju, jika kamu mengatakan: Tyo cemburu padaku."
"Cemburu?"
"Ya."
"Aku tidak ada hubungan lain dengannya selain aku membayar jasanya untuk melindungiku?"
"Aku dan Tyo sama-sama lelaki. Aku bisa melihat isyarat cemburu dari matanya. Juga genggaman tangannya saat bersalaman tadi sebelum dia pergi, tangannya mengirim pesan padaku agar aku tidak macam-macam terhadapmu."
"Aku rasa Tyo cukup profesional? Dulu aku telah menolaknya secara halus, tapi dia tak lantas membenciku dan masih mau bekerja padaku?"
"Dia pernah menyatakan cintanya, padamu?"
"Ya. Antara setahun lalu."
"Hmm, dugaanku tak berlebihan rupanya? Mudah-mudahan Tyo juga profesionsal dengan cemburunya? Tidak mengacaukan upayaku menjauhkanmu dari kejaran Polisi."
"Maksudmu?" Widya menangkap nada sindiran sekaligus kewaspadaan dari perkataan Sam, "Tyo bisa saja merepotkan kita setelah dia mengetahui apa yang terjadi di kamar hotel?" Widya menerka.
"Aku berharap Tyo tidak menyimak berita di tv atau sosial media apa pun hari ini. Jika Tyo sampai tahu..." Sam enggan meneruskan, ia lebih memacu Landcruser setelah memasuki gerbang Tol Cakung ke arah Cikampek.
"Sam...?" Desak Widya menuntut Sam melanjutkan perkataannya. Widya tahu Sam melihat kemungkinan buruk bisa saja muncul dari Tyo.
"Kamu bisa istirahat barang sebentar, Widya! Aku perlu konsentrasi penuh agar kendaraan ini bisa lebih cepat melaju. Waktunya sarapan pagi nanti, aku akan masuk Rest Area dan membangunkanmu," pungkas Sam kian meningkatkan kecepatan laju kendaraan.
Landcruser melesat menyeruak bentangan jalan tol yang masih sepi. Di ufuk Timur, perlahan pajar mulai menampakan diri.
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener