Share

Kecurigaan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-25 12:29:50

Aku segera berlari mendekati Aluna. Putri kecilku menangis sambil memegangi lututnya. Melihatku berlari Mas Tara tersentak lalu melangkah tepat di belakangku.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" Kulihat setiap inci tubuhnya. Ada sedikit goresan di lututnya, pasti karena terjatuh lagi.

"Sini sakit, Ma." Aluna menyentuh lutut kanannya.

"Maaf, ya, Mbak. Saya tidak sengaja." Wanita itu menatap Aluna dengan rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Mbak. Namanya juga tidak sengaja," ucap Mas Tara sambil menatap ke arah kami. Bukan, bukan ke arahku atau Aluna. Melainkan ke arah wanita muda yang memakai pakaian renang itu.

Aku kembali memperhatikan wanita dengan pakaian kurang bahan itu. Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi di mana?

Tubuh langsing khas anak muda dengan bibir ranum menjadi daya tarik di mata laki-laki. Apa termasuk di mata suamiku? Apa mungkin Mas Tara menyukai daun muda?

Astaga! Segera kutepis pikiran aneh yang tiba-tiba masuk. Jangan sampai aku salah menduga lagi.

"Maaf, sepertinya aku pernah melihat kamu. Tapi di mana, ya?" Kalimat itu akhirnya keluar.

"Mbak mungkin salah lihat, saya orang baru di sini," jawabnya begitu meyakinkan.

Ah, sudahlah aku mungkin salah lihat. Bukankah di dunia ini banyak orang mirip? Mungkin dia salah satunya.

"Berarti aku salah lihat. Kalau begitu aku permisi." Aku gendong Aluna menuju kolam renang khas anak-anak.

Mas Tara sudah berganti pakaian, ia mengajak Aluna masuk ke kolam renang. Tawa bahagia keluar dari mulut mungil putriku begitu pula Mas Tara, mereka asyik bermain air.

Aluna memang baru berusia empat tahun tapi ia sudah mulai bisa berenang. Berbeda denganku yang hanya bisa renang gaya batu. Alias tenggelam.

Dari kecil aku tak menyukai olahraga renang. Jika pergi ke tempat wisata yang ada kolam renang aku hanya diam. Tak jarang aku menjadi tempat penitipan barang.

Berulang kali Mas Tara membujukku untuk ikut masuk ke dalam kolam. Namun aku tetap tak mau. Di saat semua orang tertawa bahagia bermain air. Aku justru duduk diam sambil memainkan ponsel. Lucu, tapi itu kenyataannya.

Alunan lagu pop terdengar, sesekali aku ikut bernyanyi untuk menghilangkan sedikit penat yang ada. Menunggu adalah hal yang membosankan meski sudah ditemani ponsel. Namun tetap saja rasa jenuh singgah dan menyapa.

"Mama, mau mie." Aluna sudah berdiri di hadapanku dengan tubuh basah kuyup dengan air.

Tidak berapa lama Mas Tara berdiri di belakangnya. Dia usap wajah yang masih basah. Sorot mentari membuatnya terlihat semakin menawan. Andai kaos itu dilepas semua mata pasti tertuju ke arahnya. Ah, pikiran kenapa berkelana ke mana-mana.

"Ma...."

"Eh, iya, Sayang."

Aku terkesiap, segera kualihkan mata ini dari Mas Tara.

"Aluna mau mie goreng," pintanya.

"Papa mau apa?" Kulirik Mas Tara yang sudah menjatuhkan bobot di kursi yang terbuat dari besi itu.

"Kopi panas saja, Ma," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Ekor matanya tengah mencari sesuatu. Entah apa, aku pun tidak ingin tahu.

"Gak mau makan, Pa?"

"Gorengan juga boleh." Lagi ia sibuk menatap ke sana kemari. Seolah tengah mencari seseorang.

Astagfirullah....

Gara-gara kejadian kemarin membuat pikiran ini selalu dilanda rasa curiga. Namun jika kecurigaanku menjadi kenyataan bagaimana?

"Oke, Mama belikan dulu."

"Ayo, Pa, kita berenang lagi." Aluna menarik tangan Mas Tara hingga berada di tepi kolam. Kemudian mereka kembali berenang.

Aku melangkah melewati beberapa orang yang tengah duduk tak jauh dari tempat penjual mie instan dan aneka jajanan. Aku masih berdiri tak jauh dari penjual. Banyaknya pembeli membuatku harus ekstra sabar. Untung saja Mas Tara dan Aluna masih asyik bermain di dalam air.

"Mie goreng satu, gorengan satu porsi, kopi satu dan es teh manis dua," pintaku pada penjual.

"Duduk dulu, Mbak. Masih antri." Dia menunjuk bangku kosong yang ada di belakangku.

Aku mengangguk kemudian menjatuhkan bobot di bangku kosong.

"Mbak yang tadi, kan?" Suara lembut seorang wanita mengusik kenyamanan dudukku.

Aku menoleh ke kanan, perempuan yang tadi bertabrakan dengan Aluna duduk di sampingku. Kini pakaiannya sudah berganti meski masih sama. Sebagian besar tubuhnya terekspos. Celana pendek dengan kaos tanpa lengan yang ketat menempel di tubuh rampingnya.

Aku beristigfar dalam hati saat melihatnya berpakaian seperti itu. Namun untuk menasehati juga tak mungkin. Kami tak saling mengenal, tidak sopan jika aku mengkritik seseorang yang baru saja kutemui.

"Adik kecil tadi di mana, Mbak?" tanyanya.

"Di sana." Aku menunjuk ke arah kolam renang bagian anak-anak.

"Berenang dengan Papanya, ya. Papa idaman ya seperti itu," ucapnya dengan mata fokus ke arah Aluna dan Mas Tara.

"Maksudnya?"

"Bukan apa-apa, kok, Mbak." Perempuan itu terlihat gugup dan salah tingkah.

"Perkenalkan nama aku Imelda, Mbak siapa namanya? Dari tadi berbincang tapi tidak tahu namanya," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanan.

"Alin." Kuterima uluran tangan itu.

"Imelda sekolah di mana?" Iseng kutanyakan hal itu.

Dia menyebutan nama salah satu sekolah di daerah Solo. Benar dugaanku, dia masih berstatus pelajar. Namun kenapa pakaiannya seperti itu?

Setelah beberapa saat berbincang pesananku telah selesai dibuat. Aku pun segera berpamitan lalu melangkah pergi meninggalkan bangku itu.

"Mbak Alin." Aku menghentikan langkah lalu menoleh kembali ke arahnya.

"Ikut gabung boleh, Mbak?" tanyanya dengan mata penuh harap.

Ada keraguan yang menelusup tapi rasa tak tega lebih mendominasi. Ah, kenapa susah membuang rasa iba yang berlebihan ini?

Mas Tara dan Aluna keluar dari kolam dia melangkah mendekat ke arah kami.

"Kakak yang tadi, ya," ucap Aluna polos.

Imelda mulai memperkenalkan diri, sepertiku Mas Tara dan Aluna menerimanya dengan baik.

"Kamu ke sini sendiri?" tanyaku.

"Iya Mbak," jawabnya sambil melirik ke arah kananku, tepat di mana Mas Tara duduk.

Entah perasaanku saja atau bagaimana, Imelda seolah mencuri pandang ke arah suamiku. Apa jangan-jangan ia tertarik dengan Mas Tara?

Ya Allah, aku salah. Harusnya aku tak mengizinkan dia bergabung di maja kami. Sudah terlanjur mau bagaimana lagi?

"Kamu tidak punya pacar? Biasanya anak muda suka pergi dengan kekasihnya saat liburan seperti ini, tapi kamu malah sendirian."

Pertanyaan itu keluar dengan sendirinya. Entah kenapa rasa penasaran begitu besar pada Imelda.

Imelda diam, ini membuatku tak enak hati. Apa aku telah salah bicara?

"Maaf jika ucapanku salah."

"Tidak kok, Mbak. Aku memang punya pacar tapi pacarku sedang asyik dengan keluarganya."

Uhuk... Uhuk....

Mas Tara tersedak, kopi yang ada di mulutnya menyembur keluar.

Ya Tuhan apa jangan-jangan mereka memiliki hubungan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
sulikah
Betul bangettttt itu
goodnovel comment avatar
Khaira
Terlalu gampang ditebak ceritanya
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
waaa...imelda mungkin kalo malam dia suka ngetem di silir...hahaha...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Ending

    "Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Alin Pulang ke Kampung

    Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kepergian Alin

    Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Kemarahan Satriya

    Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Bentakan Satriya

    Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba

  • Memergoki Suamiku Dengan Gundiknya   Gara-gara Aluna

    "Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status