Setelah dibuat bingung oleh kehadiran Hansa, Vindreya keluar dari kamar mandi lalu berjalan menuju dapur. Di sana, dia melihat Kenzo tampak sedang terburu-buru menyajikan makanan di atas meja.
Merasa ada seseorang di dekatnya, Kenzo mendongakkan kepalanya dan mendapati Vindreya sedang berjalan ke arahnya.
“Hai, Sayang,” sapa Kenzo ramah.
Kenzo berjalan cepat menghampiri Vindreya yang masih sekitar 1 meter lagi untuk tiba di meja makan. Laki-laki itu berdiri di belakang Vindreya lalu memegang lembut pundaknya dan mendorongnya hingga akhirnya duduk di depan makanan yang masih sedikit berasap itu.
“Ayo, dimakan,” suruh Kenzo, masih dengan senyum ramahnya.
Vindreya mengangguk pelan. Dia melihat ada yang aneh dengan suaminya itu yang tampak terburu-buru seperti ada sesuatu yang sedang dikejar.
Vindreya mulai memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Dia mengunyahnya dengan pelan sambil beberapa kali melihat Kenzo yang terus saja memandangnya.
“Kamu nggak makan?” tanya Vindreya.
Kenzo tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Vindreya masih belum berani berbicara banyak pada Kenzo. Gadis itu kemudian kembali memasukkan suapan kedua ke dalam mulutnya. Di sisi lain, Kenzo melihat jam tangannya lalu melihat dengan khawatir ke luar jendela.
“Ada apa, Kenzo?” tanya Vindreya.
Kenzo kembali melihat Vindreya lalu tertawa kecil. “Liat ini jam berapa. Jam setengah 9 pagi.”
“Hm? Jadi?”
Kenzo tertawa kecil lagi. “Aku kerja, Sayang.”
“Oh, ya udah. Kalo gitu kamu berangkat aja sekarang.”
“Setelah kamu makan baru aku berangkat.”
“Eh, nggak apa-apa. Kamu berangkat aja sekarang. Aku ngerasa nggak enak kalo kamu telat.”
Kenzo tersenyum hangat. “Ya, udah kalo kamu udah nyuruh gitu.”
Kenzo beranjak dari kursinya lalu berjalan ke sebelah Vindreya kemudian mengecup kening istrinya itu. “Aku berangkat, ya.”
Vindreya agak terkejut lalu mengangguk pelan dengan perasaan kikuk.
…
Sudah sekitar 4 jam yang lalu Kenzo pergi dan masih belum pulang hingga sekarang. Vindreya duduk di sofa sendirian sambil menonton TV, tentunya masih dengan perasaan asing pada sekitarnya.
Bugh!
Vindreya terperanjat kaget dengan kepalanya yang spontan menoleh ke sisi kanannya, asal suara itu. Sepertinya ada sesuatu di halaman rumahnya.
“Apa itu Kenzo?” tanya Vindreya pelan.
Vindreya beranjak dari sofa lalu berjalan pelan keluar dari rumah. Di luar, alisnya tiba-tiba merapat mendapati seorang lelaki asing yang tampaknya baru saja melompat dari atas pagarnya dan kini sedang membersihkan telapak tangannya yang tadi menyentuh tanah untuk menahan tubuhnya.
Vindreya lagi-lagi ketakutan. Dia berjalan mundur dengan pelan, mencoba tidak menciptakan sedikit pun suara.
“Hai, Vindreya,” sapa laki-laki asing yang rupanya sudah lebih dulu melihat Vindreya itu.
Vindreya refleks menghentikan langkah kakinya lalu melihat dengan kaku pada laki-laki asing itu.
Laki-laki itu berjalan sampai akhirnya dia tiba tepat di depan Vindreya. “Kenzo nggak ada di rumah, ‘kan?” tanyanya sambil mendongakkan kepalanya ke dalam rumah Vindreya.
Vindreya hanya mengangguk kaku.
“Huh. Bagus, deh. Jadinya, kita bisa berduaan tanpa perlu ada yang ganggu.”
“Ka--kamu siapa?”
Laki-laki itu tersenyum getir. “Kamu jadi nggak ingat sama aku kayak gini gara-gara dia, Vin. Apa aja yang tersisa di ingatan kamu?”
Vindreya menatap bingung sampai akhirnya dia menggeleng.
“Nggak ada apapun yang bisa kamu ingat, ya? Kenzo itu bener-bener kejam.”
Alis Vindreya merapat. Bagaimana bisa Kenzo yang selalu bersikap ramah dan hangat itu disebut kejam oleh laki-laki asing ini?
Laki-laki itu meraih kedua tangan Vindreya dan menggenggamnya erat. “Vindreya, aku adalah Elvano, tunangan kamu.”
Deg!
Vindreya spontan menarik tangannya. Keanehan apa lagi ini? Setelah suami, sekarang tunangan?
“Ta--tapi aku udah bersuami. Nggak mungkin aku punya tunangan lagi,” elak Vindreya yang memang saat ini sedang mencoba untuk percaya bahwa Kenzo adalah suaminya.
“Bersuami? Oh, aku tau. Pasti Kenzo bilang ke kamu kalo dia adalah suami kamu, ya?”
Vindreya mengangguk.
“Vin, cowok itu bohong. Dia bukan suami kamu. Satu-satunya kekasih kamu adalah aku. Kenzo bukan siapa-siapa kamu.”
“Kenzo bilang aku kecelakaan dan hilang ingatan.”
“Dia bohong, Vin. Nggak ada satu pun tentang Kenzo yang bener. Kamu tau? Dia adalah orang jahat yang sengaja nyulik kamu dari aku, cuci otak kamu sampai kamu lupa semuanya, dan mengaku bahwa kalian adalah sepasang suami istri. Tapi, kayak yang aku bilang tadi bahwa dia bohong.”
“Gimana caranya aku percaya sama kamu? Apa buktinya kalo semua yang kamu bilang itu adalah kebenarannya?”
“Nggak ada satu pun bukti yang bisa ngasih tau kamu kebenarannya kecuali perasaan kamu sendiri.”
“Berarti yang bener adalah Kenzo.”
“Hah? Kok bisa dia yang bener? Udah aku bilang dia itu pembohong, Vin.”
“Tadi kamu bilang aku harus percaya sama perasaan aku karena itu adalah satu-satunya bukti kebenarannya, ‘kan? Meskipun masih ngerasa asing, tapi ada perasaan nyaman yang aku rasain saat ada di deket Kenzo.”
“Kalo hanya tentang perasaan nyaman, aku juga bisa kasih itu untuk kamu, Vin. Ayo, ikut aku. Kita buktiin bahwa kamu juga akan ngerasa nyaman sama aku.”
Elvano tiba-tiba menarik tangan Vindreya lalu membawanya masuk ke dalam rumah kemudian mengunci pintunya.
“Lho. Kamu mau ngapain?” tanya Vindreya kaget.
~bersambung
“Lho. Kamu mau ngapain?” tanya Vindreya yang kaget karena Elvano tiba-tiba mengajaknya masuk ke rumah dan mengunci pintunya.Bukannya menjawab pertanyaan Vindreya, Elvano malah asik melihat isi rumah itu. “Oke, jadi apa yang bisa kita berdua lakuin di sini, ya?”Vindreya sangat ketakutan. Bagaimana jika Elvano melakukan sesuatu yang buruk? Gadis itu kemudian tiba-tiba teringat pada Hansa, si gadis di balik cermin itu.“Hansa, kamu di mana? Please, tolong aku,” batin Vindreya.Hansa memang aneh sekaligus ajaib. Wujudnya tidak tampak, tetapi suaranya terdengar dan menjawab kekhawatiran Vindreya.“Vindreya, tenang aja. Elvano nggak mungkin bakal ngelakuin sesuatu yang buruk sama kamu. Asal kamu tau aja bahwa menjadi tunangan Elvano adalah keinginan kamu,” kata Hansa yang suaranya hanya bisa didengar oleh Vindreya.Alis Vindreya merapat dan lagi-lagi berucap dala
Vindreya berlari sekencang yang dia bisa menjauhi rumah di mana Kenzo dan Elvano sedang berdebat memperebutkannya. Beberapa kali Vindreya menengok ke belakang untuk melihat apakah kedua laki-laki itu mengejarnya atau tidak. Cukup mengagetkan bahwa tak ada satu pun di antara Kenzo dan Elvano yang mengejarnya. Ada apa ini? Apakah mereka benar-benar mencintai Vindreya atau tidak? Namun, ini membuat Vindreya bisa bernapas lega karena telinganya tak perlu lagi terganggu dengan perdebatan itu.Entah sudah berapa lama dan berapa jauh Vindreya berlari, tetapi entah kenapa dia tidak merasa lelah sedikit pun. Matahari yang tadinya bersinar terik, kini berganti dengan bulan yang menerangi gelapnya malam.Vindreya melihat ke kanan dan kirinya. Aneh sekali. Ada banyak rumah dengan lampu menyala seperti pada umumnya, tetapi sejak tadi dia tidak melihat ada satu orang pun di sana. Dunia asing itu seolah-olah hanya ditinggali oleh Vindreya, Kenzo, Elvano dan Hansa.
Di dunia nyata, tampak seorang dokter sedang memeriksa kondisi Vindreya yang sudah berhari-hari ini tidak sadarkan diri.“Gimana keadaan anak kami, Dok?” tanya Freya, ibu dari Vindreya dengan raut panik.Dokter menggantung stetoskop miliknya ke lehernya setelah selesai memeriksa detak jantung Vindreya. “Anak Ibu dan Bapak baik-baik aja. Jantungnya berdetak normal dan nggak ada tanda-tanda yang nunjukkin kalo dia sakit.”Gavin, ayah dari Vindreya melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan enteng. “Ya, iyalah dia baik-baik aja. Dia itu cuma tidur. Lagian juga ada selang medis yang bisa salurin makanan dan minuman ke tubuhnya. Jadi, apa yang perlu dikhawatirin?”“Dok, apa Vindreya perlu dibawa ke rumah sakit? Mungkin dia harus diberi perawatan intensif atau operasi biar bisa bangun lagi.” Freya tampak semakin panik.Gavin tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalan
Setelah mendengar penuturan Vindreya yang terkesan lebih suka berada di alam mimpi karena semua keinginannya bisa terwujud di sana, Freya tampak kecewa sekaligus sedih. Ya, itu wajar. Ibu mana yang akan rela jika ditinggal oleh putri sematawayangnya selama berhari-hari demi sebuah “mimpi”?“Terus gimana sama Mama dan Papa, Sayang? Kami sedih kalo kamu lebih suka berada di dunia mimpi dibanding ada di sini bersama kami.” Mata Freya berkaca-kaca lagi.“Ah. Cengeng lagi kamu, Frey. Vindreya, lihat. Kamu udah bikin Mama nangis, lho. Berdosa nggak, tuh?” Lagi-lagi Gavin mencari gara-gara dengan menggoda Vindreya.“Ih, Papa!” Vindreya melepas selang medisnya lalu bersembunyi di belakang Gavin. “Hibur Mama, Pa. Jangan sampe Mama keburu nangis bombai gara-gara aku.”Gavin melipat kedua tangannya di depan dada. “Nggak mau, ah. ‘Kan kamu yang buat Mama nangis. Ya, harusn
"Cie elah. Uwu-uwuan katanya. Emang siapa pangeran lo?” tanya salah satu siswa. Vindreya tersenyum remeh. “Ah, kayak gitu aja pake nanya segala. Harusnya kalian tau siapa di kelas ini yang cocok jadi pangeran.” “Eh, itu Elvano!” teriak salah satu siswi ketika Elvano baru saja masuk ke kelas. Kelas seketika gaduh. Para siswi berlarian mengerumuni Elvano, si laki-laki tampan, kaya dan berbakat di bidang seni itu. “Elvano, selamat ya. Lagi-lagi lo berhasil jadi pemenang dalam lomba melukis tingkat nasional itu,” ucap salah satu sisiwi. “Selamat, Elvano. Lo hebat banget,” kata siswi yang lain. “Bagi tipsnya dong gimana caranya biar bisa pinter menggambar sama melukis, El.” Bola mata Vindreya tak bisa bergerak ke manapun kecuali terpaku pada visual Elvano yang menurutnya sangat menawan. T
Vindreya merapikan rambutnya terlebih dulu kemudian berjalan dengan anggun keluar kelas. Di depan pintu, dia menengok ke kanan dan ke kiri hingga akhirnya menemukan Kenzo yang sedang berjalan menuju kelas. Tanpa pikir panjang lagi, Vindreya bergegas menghampiri laki-laki itu.“Ehem. Pagi, Ken,” sapa Vindreya yang sudah berdiri tepat di depan Kenzo.Kenzo menghela napas panjang. “Lo lagi. Awas. Jangan halangin jalan gue.”Bukannya memberikan Kenzo jalan, Vindreya malah tersenyum semakin lebar. “Hari ini gue udah masuk sekolah lagi setelah nggak masuk berhari-hari sebelumnya. Lo ….”“Gue nggak kangen sama lo kayak temen-temen yang lain. Awas.”“Aaah, bercanda, nih. Jangan malu lah bilang kangen sama istri sendiri.”Alis Kenzo merapat ditambah dengan tatapan ta
Setelah Bu Risa selesai membagi setiap siswa dengan pasangannya masing-masing, guru itu izin keluar kelas karena ada rapat guru. Kelas yang tadinya tenang, kini perlahan mulai ribut kembali dengan segala macam jenis pembicaraan.Di salah satu meja, tampak Hansa membuka buku paket bahasa Indonesia dan buku tugasnya di atas meja Kenzo. Di sisi lain, Kenzo malah menunjukkan ketidaktertarikannya mengerjakan tugas dengan menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya di bangku.“Ayo, kerjain.” Hansa tak mau menatap mata Kenzo yang menyebalkan itu, melainkan hanya menatap bukunya.“Lo aja yang kerjain.” Seperti biasa, Kenzo selalu saja ketus.Karena kesal, Hansa akhirnya menatap Kenzo dengan tatapan agak tajam. “Tapi ‘kan ini tugas berpasangan.”“Hem? Emang siapa pasangan lo?”“Lo.”“Oh, ya? Kapan gue nembak lo?”
Siang itu Freya sedang duduk di atas sofa sambil menonton TV. Ketika sedang asik menonton, samar-samar terdengar suara Vindreya sedang mengobrol dengan Hansa di teras rumah.“Aku pulang,” ucap Vindreya kemudian.Freya bangkit dari sofa, mematikan TV, lalu bergegas pergi ke pintu utama untuk menyambut putrinya itu yang baru saja pulang sekolah.“Hai, Sayang. Gimana sekolahnya hari ini?” tanya Freya sambil memberikan tangan kanannya pada Vindreya untuk dicium.“Yah, betulah, Ma. Seperti biasa.”“Lagi ada masalah, ya?” tanya Freya yang melihat wajah anaknya tampak murung.“Ma, aku salah ya jatuh cinta sama dua cowok sekaligus?” Vindreya to the point.“Hem? Em, ayo duduk dulu.”Freya merangkul pundak Vindreya lalu mengajak putrinya itu duduk di sofa yang berada di ruang tamu.“Gimana, Ma? Aku sa