Vindreya berlari sekencang yang dia bisa menjauhi rumah di mana Kenzo dan Elvano sedang berdebat memperebutkannya. Beberapa kali Vindreya menengok ke belakang untuk melihat apakah kedua laki-laki itu mengejarnya atau tidak. Cukup mengagetkan bahwa tak ada satu pun di antara Kenzo dan Elvano yang mengejarnya. Ada apa ini? Apakah mereka benar-benar mencintai Vindreya atau tidak? Namun, ini membuat Vindreya bisa bernapas lega karena telinganya tak perlu lagi terganggu dengan perdebatan itu.
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh Vindreya berlari, tetapi entah kenapa dia tidak merasa lelah sedikit pun. Matahari yang tadinya bersinar terik, kini berganti dengan bulan yang menerangi gelapnya malam.
Vindreya melihat ke kanan dan kirinya. Aneh sekali. Ada banyak rumah dengan lampu menyala seperti pada umumnya, tetapi sejak tadi dia tidak melihat ada satu orang pun di sana. Dunia asing itu seolah-olah hanya ditinggali oleh Vindreya, Kenzo, Elvano dan Hansa.
“Hansa! Kamu di mana?! Aku butuh kamu untuk jelasin semua keanehan ini! Apa ini masih belum waktu yang tepat?! Hansa!”
Vindreya berteriak sekencang mungkin, tak peduli jika itu akan membuat pita suaranya rusak. Yang dia inginkan hanyalah kejelasan dan bisa keluar dari dunia asing itu.
Lagi-lagi bulan berganti matahari. Suasana sejuk dan gelap malam hari, kini berubah menjadi hari yang lebih cerah oleh sinar matahari dengan keadaan yang lebih hangat.
Vindreya terduduk dengan pasrah di atas jalanan yang begitu sunyi. Air matanya mengalir. Dia kesepian dan kebingungan. Entah harus ke mana dia sekarang.
“Hansa!” teriaknya sekali lagi.
“Iya, Vindreya. Aku selalu di dekat kamu,” ucap seseorang.
Vindreya langsung menoleh ke belakang dengan penuh harap. “Hansa!”
Vindreya refleks memeluk gadis yang pernah dia temui di cermin kamar mandi itu. Tangisan Vindreya semakin menjadi-jadi. Dia memeluk Hansa dengan begitu erat, takut akan kehilangan seseorang yang mungkin menjadi satu-satunya harapan baginya itu.
Hansa melepas dengan lembut pelukan Vindreya lalu menatap dalam pada gadis malang itu. “Bagaimana, Vindreya? Kamu udah puas?”
Alis Vindreya merapat beriringan dengan tangisnya yang mulai mereda. “Hah? Puas? Maksud kamu?”
“Vindreya, berada di dunia yang isinya hanya ada kamu, Kenzo, Elvano dan aku seperti ini adalah keinginan kamu. Dicintai dan diperebutkan oleh dua laki-laki itu juga adalah keinginan kamu. Memilih aku sebagai kunci jawaban atas semua keanehan ini juga adalah keinginan kamu.”
Vindreya menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Aku nggak ngerti maksud kamu. Gimana bisa semua ini keinginan aku, sementara aku nggak ingat apapun?”
Hansa tersenyum manis sekali. “Baiklah. Ini saatnya aku ceritain semua kebenarannya sama kamu, Vin.”
Vindreya mengangguk semangat penuh harap. “Iya, Hansa. Ayo, ceritain semuanya. Setelah itu, kembaliin aku ke dunia aku yang sebenarnya.”
Hansa tertawa kecil. “Diri kamu sendiri yang bisa bawa kamu ke dunia kamu yang sebenarnya. Vindreya, dunia asing yang sedang kamu tempati ini nggak nyata. Ini hanya mimpi.”
“Hah?”
“Ini hanya mimpi, Vin. Kamu punya kemampuan untuk mengendalikan mimpi kamu. Malam itu sebelum tidur, kamu sendiri yang merencanakan untuk memimpikan Kenzo sebagai suami kamu, Elvano sebagai tunangan kamu, dan aku sebagai penyelamat kamu di dunia asing yang isinya hanya kita berempat. Kamu sendiri juga yang ingin untuk nggak membawa memori apapun dari dunia nyata ke dalam mimpi kamu.”
Alis Vindreya merapat bahkan hampir bertaut. “Aku ngelakuin itu? Kenapa aku pengen mimpi kayak gitu?”
“Karena di dunia nyata, kamu selalu sulit untuk deketin dua cowok itu. Kamu capek karena nggak pernah ada kemajuan selama berusaha deketin mereka. Itu sebabnya kamu gunain kemampuan kamu untuk wujudin keinginan kamu.”
“Siapa itu Kenzo, Elvano dan kamu sendiri di kehidupan nyata dalam hidup aku?”
“Kita bertiga sekelas, Vin. Kenzo dan Elvano adalah dua cowok yang kamu suka. Aku adalah sahabat kamu, teman semeja kamu. Kamu paham sekarang?”
Vindreya mengangguk.
“Kalo gitu, akhiri mimpi kamu sekarang dan kembalilah ke dunia nyata kamu.”
“Kalo aku balik ke dunia nyata, itu artinya Kenzo dan Elvano nggak akan cinta sama aku lagi? Mereka nggak akan rebutin aku lagi?”
Hansa mengangguk sambil tersenyum hangat.
“Ah. Kalo gitu aku masih mau ada di dunia mimpi ini. Dicintai oleh mereka berdua bener-bener buat aku bahagia.”
“Aku udah duga kamu bakal ngomong kayak gitu. Vin, kamu diciptain bukan untuk hidup di dunia mimpi. Nggak akan ada perkembangan apapun kalo kamu terus ada di sini. Ingat juga gimana perasaan orang-orang di kehidupan nyata kamu. Mereka pengen kamu segera bangun.”
“Tapi gimana sama Kenzo dan Elvano?”
“Tenang aja, Vin. Seperti biasa, di dunia nyata aku selalu bantu kamu untuk deketin mereka. Kita bisa kerja sama.”
Vindreya mengangkat jari kelingking kanannya. “Janji, kamu bakal bantu aku?”
Hansa tersenyum lalu ikut mengangkat jari kelingking kanannya kemudian menautkannya dengan kelingking Vindreya. “Iya, Vin. Aku janji. Ayo, bangun sekarang.”
~bersambung
Di dunia nyata, tampak seorang dokter sedang memeriksa kondisi Vindreya yang sudah berhari-hari ini tidak sadarkan diri.“Gimana keadaan anak kami, Dok?” tanya Freya, ibu dari Vindreya dengan raut panik.Dokter menggantung stetoskop miliknya ke lehernya setelah selesai memeriksa detak jantung Vindreya. “Anak Ibu dan Bapak baik-baik aja. Jantungnya berdetak normal dan nggak ada tanda-tanda yang nunjukkin kalo dia sakit.”Gavin, ayah dari Vindreya melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan enteng. “Ya, iyalah dia baik-baik aja. Dia itu cuma tidur. Lagian juga ada selang medis yang bisa salurin makanan dan minuman ke tubuhnya. Jadi, apa yang perlu dikhawatirin?”“Dok, apa Vindreya perlu dibawa ke rumah sakit? Mungkin dia harus diberi perawatan intensif atau operasi biar bisa bangun lagi.” Freya tampak semakin panik.Gavin tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalan
Setelah mendengar penuturan Vindreya yang terkesan lebih suka berada di alam mimpi karena semua keinginannya bisa terwujud di sana, Freya tampak kecewa sekaligus sedih. Ya, itu wajar. Ibu mana yang akan rela jika ditinggal oleh putri sematawayangnya selama berhari-hari demi sebuah “mimpi”?“Terus gimana sama Mama dan Papa, Sayang? Kami sedih kalo kamu lebih suka berada di dunia mimpi dibanding ada di sini bersama kami.” Mata Freya berkaca-kaca lagi.“Ah. Cengeng lagi kamu, Frey. Vindreya, lihat. Kamu udah bikin Mama nangis, lho. Berdosa nggak, tuh?” Lagi-lagi Gavin mencari gara-gara dengan menggoda Vindreya.“Ih, Papa!” Vindreya melepas selang medisnya lalu bersembunyi di belakang Gavin. “Hibur Mama, Pa. Jangan sampe Mama keburu nangis bombai gara-gara aku.”Gavin melipat kedua tangannya di depan dada. “Nggak mau, ah. ‘Kan kamu yang buat Mama nangis. Ya, harusn
"Cie elah. Uwu-uwuan katanya. Emang siapa pangeran lo?” tanya salah satu siswa. Vindreya tersenyum remeh. “Ah, kayak gitu aja pake nanya segala. Harusnya kalian tau siapa di kelas ini yang cocok jadi pangeran.” “Eh, itu Elvano!” teriak salah satu siswi ketika Elvano baru saja masuk ke kelas. Kelas seketika gaduh. Para siswi berlarian mengerumuni Elvano, si laki-laki tampan, kaya dan berbakat di bidang seni itu. “Elvano, selamat ya. Lagi-lagi lo berhasil jadi pemenang dalam lomba melukis tingkat nasional itu,” ucap salah satu sisiwi. “Selamat, Elvano. Lo hebat banget,” kata siswi yang lain. “Bagi tipsnya dong gimana caranya biar bisa pinter menggambar sama melukis, El.” Bola mata Vindreya tak bisa bergerak ke manapun kecuali terpaku pada visual Elvano yang menurutnya sangat menawan. T
Vindreya merapikan rambutnya terlebih dulu kemudian berjalan dengan anggun keluar kelas. Di depan pintu, dia menengok ke kanan dan ke kiri hingga akhirnya menemukan Kenzo yang sedang berjalan menuju kelas. Tanpa pikir panjang lagi, Vindreya bergegas menghampiri laki-laki itu.“Ehem. Pagi, Ken,” sapa Vindreya yang sudah berdiri tepat di depan Kenzo.Kenzo menghela napas panjang. “Lo lagi. Awas. Jangan halangin jalan gue.”Bukannya memberikan Kenzo jalan, Vindreya malah tersenyum semakin lebar. “Hari ini gue udah masuk sekolah lagi setelah nggak masuk berhari-hari sebelumnya. Lo ….”“Gue nggak kangen sama lo kayak temen-temen yang lain. Awas.”“Aaah, bercanda, nih. Jangan malu lah bilang kangen sama istri sendiri.”Alis Kenzo merapat ditambah dengan tatapan ta
Setelah Bu Risa selesai membagi setiap siswa dengan pasangannya masing-masing, guru itu izin keluar kelas karena ada rapat guru. Kelas yang tadinya tenang, kini perlahan mulai ribut kembali dengan segala macam jenis pembicaraan.Di salah satu meja, tampak Hansa membuka buku paket bahasa Indonesia dan buku tugasnya di atas meja Kenzo. Di sisi lain, Kenzo malah menunjukkan ketidaktertarikannya mengerjakan tugas dengan menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya di bangku.“Ayo, kerjain.” Hansa tak mau menatap mata Kenzo yang menyebalkan itu, melainkan hanya menatap bukunya.“Lo aja yang kerjain.” Seperti biasa, Kenzo selalu saja ketus.Karena kesal, Hansa akhirnya menatap Kenzo dengan tatapan agak tajam. “Tapi ‘kan ini tugas berpasangan.”“Hem? Emang siapa pasangan lo?”“Lo.”“Oh, ya? Kapan gue nembak lo?”
Siang itu Freya sedang duduk di atas sofa sambil menonton TV. Ketika sedang asik menonton, samar-samar terdengar suara Vindreya sedang mengobrol dengan Hansa di teras rumah.“Aku pulang,” ucap Vindreya kemudian.Freya bangkit dari sofa, mematikan TV, lalu bergegas pergi ke pintu utama untuk menyambut putrinya itu yang baru saja pulang sekolah.“Hai, Sayang. Gimana sekolahnya hari ini?” tanya Freya sambil memberikan tangan kanannya pada Vindreya untuk dicium.“Yah, betulah, Ma. Seperti biasa.”“Lagi ada masalah, ya?” tanya Freya yang melihat wajah anaknya tampak murung.“Ma, aku salah ya jatuh cinta sama dua cowok sekaligus?” Vindreya to the point.“Hem? Em, ayo duduk dulu.”Freya merangkul pundak Vindreya lalu mengajak putrinya itu duduk di sofa yang berada di ruang tamu.“Gimana, Ma? Aku sa
“What?! Kok bisa?”Salah satu siswa mengangkat bahunya. “Katanya masih diselidiki sama polisi.”“Gue denger-denger, katanya Pak Toni ditemuin udah berlumuran darah sama istrinya yang baru bangun tidur tadi pagi. Di sekitar tempat kejadian nggak ditemuin satu benda tajam pun dan kemungkinan besar Pak Toni dibunuh.”“Siapa yang bunuh?” Vindreya semakin antusias.“Nggak tau. Itu juga masih diselidiki.”“Ish …. Udah pasti dibunuh itu sama seseorang. Nggak mungkin Pak Toni bunuh diri karena nggak ditemuin benda tajam di sana, ‘kan? Huh, kejam banget yang bunuh Pak Toni. Semoga aja orang itu dapat balasan yang setimpal,” kata Vindreya yang sudah terbawa emosi.Bug!“Aaa!” teriak beberapa siswi karena kaget.Para siswa yang sedang asik mengobrol itu sontak melihat ke sebuah meja yang berada tak jauh di d
“Tadi pas ngasih minuman ini, dia nyebut lo angsa lagi?”Hansa mengangguk dengan ekspresi cemberut.“Hahaha. Sabar ya, Han. Tenang aja. Hari ini juga pasti bakal gue kasih tau ke Kenzo.”…Vindreya dan Hansa masuk ke kelas mereka. Kelas itu tampak sepi karena sebagian besar siswa sedang berada di kantin setelah jam olahraga selesai. Yang tersisa hanyalah beberapa siswi yang sedang mengobrol dan Kenzo.Mata Vindreya tertuju pada meja Kenzo. Laki-laki itu sepertinya sedang tidur dengan kepala di atas meja membelakangi posisi Vindreya berdiri. Di pinggir meja itu tampak ada sebotol minuman yang tadi Vindreya berikan pada Kenzo sudah dalam keadaan kosong. Vindreya tersenyum dan dibuat melamun lagi.‘Minumannya udah diminum sama Kenzo,’ batin Vindreya.“Vin, ayo duduk. Mau sampe kapan berdiri di sini?” tanya Hansa.“Gue masih pengen liat pangeran hitam gue yang suka tidur di kelas itu, Han.” Vindreya masih saja tersenyum w