Share

Meminang Bu Dosen
Meminang Bu Dosen
Penulis: Reni Hujan

Satu

“Kapan kamu mau nikah? Udah kepala tiga, Nduk. Mbok, ya, jangan mikir karir terus. Temenmu udah pada punya anak. Apa kamu mau dicarikan jodoh lagi?”

Tita tersentak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan bapaknya. Hanya sebuah pertanyaan tetapi dirasakannya bagai sebuah ancaman. Sudah dua kali keluarganya berusaha mencarikan jodoh untuknya. Namun, Tita selalu saja punya alasan kuat saat menolaknya.

“Nggak usah, Pak. Tita bisa cari sendiri.”

“Kapan? Bapakmu ini wes sepuh. Jangan sampai yang jadi wali nikah itu masmu.”

“Astagfirullah, Bapak. Kenapa ngomong gitu lagi,” ucap Tita seraya menundukkan pandangannya. Kepalanya mulai pening. Bukan satu atau dua kali bapaknya berkata seperti itu. Setiap meneleponnya, akhir-akhir ini, beliau selalu mengingatkan putri bungsunya bahwa usianya sudah tidak lama lagi. “Mohon doanya saja, Pak. Semoga disegerakan bertemu jodoh.”

“Aku gak kurang kalau doakan kamu, Nduk. Kamunya yang ndablek, males nikah!” jelas bapak Tita dengan nada suara yang meninggi.

“Bukan gitu, Pak. Jodohnya belum datang yang pas.”

“Wes, terserah! Pokoknya lebaran tahun depan kalau kamu belum punya calon, bapak paksa kamu nikah sama anaknya pak lurah!”

Sambungan telepon pun terputus. Tita mengerjap, tidak percaya dengan kalimat terakhir yang terdengar. Seketika kepala perempuan berusia tiga puluh tahun itu kembali pusing. Ia sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menghindar dari perjodohan. 

Lima tahun yang lalu, saat baru lulus dari program magister, keluarganya sudah mencarikan jodoh tetapi Tita berhasil menolaknya. Ia masih ingin mengabdikan diri menjadi dosen, sesuai cita-citanya. Orang tuanya pun pasrah. Mereka juga bangga dengan pencapaian putri bungsunya yang berhasil direkrut langsung setelah wisuda pasca sarjana oleh almamaternya di Universitas Surya Gemilang, salah satu kampus swasta terunggul di Jawa Timur.

Saat menginjak usia 28 tahun, ayahnya kembali memintanya untuk segera menikah. Kebetulan saat itu, ia mendapat beasiswa Erasmus Plus di Spanyol. Ia pun terhindar dari perjodohan. Namun, sekarang ia harus berpikir keras untuk itu. Kesibukan mengajar di kampus bukanlah hal yang bisa menghambat jalannya perjodohan bagi pandangan keluarganya.

Tita menyandarkan kepalanya di kursi. Hanya ada Rindu, mahasiswi part time di jurusannya.

“Assalammualaikum, Bu Tita.”

“Wa’alaikumsalam,” jawab Tita dengan mata terpejam. Saat membuka mata, ia tersentak melihat sosok yang menyapanya. Ia lalu menegakkan punggungnya.

“Kamu lagi!” pekik Tita tertahan. “Ada apa, Galaksi?”

Gala hanya mesem mendapat pertanyaan dari dosennya. Ia lalu duduk di depan meja Tita.

“Eh, yang nyuruh kamu duduk siapa?”

“Saya capek, Bu. Naik tangga dari lantai tiga ke lima,” ujar Gala dengan wajah memelas. 

Tita masih menahan emosinya. Ia melirik sekilas ke arah Rindu yang terkekeh sambil membekap mulut. Gadis itu pun segera memutar posisi menghadap komputer begitu mendapati tatapan tajam dosennya tersebut.

“Ada perlu apa ke sini?” tanya Tita dengan raut wajah jutek.

“Ibu gak cocok pasang wajah galak gitu. Jadinya malah kelihatan imut,” ucap Gala sambil menatap Tita yang melongo. Laki-laki bertubuh tinggi itu menyunggingkan seutas senyuman.

“Kamu kurang ajarnya kelewatan. Gak cukup di kelas tadi?”

Tita memajukan tubuhnya dengan kedua tangan saling bertaut di atas meja. Tatapan perempuan berkerudung motif itu semakin tajam. Gala ikut menegakkan punggungnya.

“Maaf, Bu,” ujar Gala sambil menangkupkan kedua tangannya. Dengan gerakan tangan, ia kembali berkata, “bagaimana kalau ibu duduknya agak mundur sedikit?”

“Kenapa memangnya?” tanya Tita heran.

“Cantiknya udah kelewatan soalnya.”

Rindu yang membelakangi mereka tidak bisa menahan tawanya. Ia pun menggelengkan kepala melihat tingkah adik tingkatnya tersebut.

Tita menghela napas dalam. Sorot matanya tajam menatap Gala. Jari telunjuk wanita muda itu terlihat mengarah pada pintu.

“Keluar sekarang dari kantor saya.”

“Bu, saya belum—“

“Keluar!”

“Oke, oke. Ini tugas teman-teman, Bu.”

Tita menerima lembaran kertas yang diserahkan Gala dengan kasar. Laki-laki berambut lurus itu terkesiap. Ia lalu menyunggingkan senyuman yang memperlihatkan lesung pipit pada pipi sebelah kirinya.

“Ga,” panggil Rindu saat Gala melewati mejanya.

“Apa?”

“Kelewatan kamu memang,” jawab Rindu sambil terkekeh. “Tapi keren.”

Gala pun memicingkan matanya sebelah sambil berlalu dari kantor jurusan. Ia menarik napas dalam. Apa yang ia lakukan hari ini, baginya bukanlah hal yang melewati batas. Ia dengan sepenuh hati mengutarakan perasaannya bahwa ia mengagumi seorang Titania Pangesti, dosen Eokonomi Mikro di kelasnya. Namun, Tita menanggapinya dengan pandangan yang berbeda.

Di dalam kantor ....

“Rindu, sini bentar,” panggil Tita. Mahasiswi tingkat empat itu mendekat ke meja dosennya.

“Iya, Bu. Ada apa?”

“Kamu kenal Galaksi?”

“Kenal, Bu. Dia kan, adik tingkat saya.”

“Maksudnya kenal baik?”

“Gak juga, sih, Bu. Pernah satu kelas saja. Kenapa, Bu?” tanya Rindu penuh selidik.

“Dia trouble maker kayanya, ya?”

Rindu mengernyitkan keningnya. Ia lalu menggelengkan kepalanya pelan.

“Dia itu malah gak neko-neko kaya teman-teman yang lain, Bu. Pendiam, pintar, bijaksana Gala itu, Bu.”

“Masa?” tanya Tita tidak percaya. Ia memang baru mengajar kelas Gala kurang lebih satu bulan ini, sekitar delapan pertemuan. Ia akui laki-laki itu memang termasuk mahasiswa yang pandai dan aktif bertanya. Namun, sikap Gala hari ini begitu menjengkelkan hatinya.

“Gala itu aslinya udah tua, Bu. 25 tahun, telat masuk kuliah saja.”

Tita terperanjat mendengar fakta tentang Gala. Pantas saja sikap yang ditunjukkannya jauh lebih matang dari kebanyakan mahasiswa di kelas tersebut. Wajahnya pun tidak menunjukkan usianya, tetap terlihat muda seperti teman-temannya di kelas.

“Emang kenapa, Bu?”

“Ah, enggak. Cuma mau nanya saja. Ya sudah, kamu balik kerja.”

Tita kembali menyandarkan punggungnya. Ia mulai mengingat setiap pertemuan di kelas Gala. Laki-laki itu memang kerap mencuri pandang ke arahnya. Baginya itu hal biasa. Ia memaklumi dirinya sendiri jika ada mahasiswa yang bertingkah seperti itu. Bagaimana tidak, status yang masih belum menikah, kerap kali dijadikan incaran mahasiswa untuk bersikap sedikit jahil. Namun, apa yang dilakukan Gala tadi di luar perkiraannya.

Aku gak seharusnya emosi kaya gitu.

Tita merutuki dirinya sendiri. Gala tidak sedang mempermalukan dirinya di depan umum. Laki-laki itu mendatanginya saat teman-temannya sudah keluar dari kelas. Hanya tersisa dirinya dan Gala. Biasanya, ia sebagai dosen yang lebih dulu meninggalkan kelas. Akan tetapi, ia harus menunggu file yang baru diunggah selesai, baru bisa menutup laptop.

Notifikasi W******p pada ponselnya berbunyi. Tertera nama Fara—kakaknya—pada layar.

Cepetan cari calon suami. Bapak udah emosi saja bawaannya.

Kepala Tita semakin berdenyut. Ia tidak membalas pesan Fara tetapi malah menenggelamkan wajahnya di atas meja denga berpangku pada kedua tangannya.

***

Gala memasuki coffee shop miliknya dengan langkah gontai. Dodi yang sedang duduk santai menyambut dengan antusias.

“Gimana, Ga? Katakan cintanya sukses?”

“Sukses,” jawab Gala lesu.

“Congrats, Bro! Tapi, kok, lesu?”

“Sukses diamuk yang benar.”

Dodi seketika terbahak mendengar jawaban Gala. Laki-laki bernama lengkap Galaksi Mahendra itu lalu duduk di samping sahabat yang juga rekan kerjanya tersebut.

“Kamu nekat, pantesan diamuk.”

“Gak nekat nanti keburu pergi lagi. Bisa lebih parah kalau sampai diambil orang.”

“Termasuk kuat, loh, ini. Memendam rasa sekian lama dan baru diungkapkan.”

Gala mengangguk sambil menatap layar ponsel. Matanya tidak beranjak dari I*******m atas nama Titania Pangesti. Wanita yang sudah memporak-porandakan hatinya sejak satu setengah tahun yang lalu, saat dirinya masih menjadi mahasiswa baru.

“Beda kayanya jatuh cinta kali ini, Ga? Tapi lebih ke arah positif, sih.”

“Iya, udah lama hatiku mati karena pengkhianatan itu,” tutur Gala mengingat saat menyesakkan lima tahun yang lalu. Mantan kekasih yang ia harapkan menjadi istrinya ternyata berselingkuh hanya karena ia belum menjadi pengusaha sukses.

“Kejar terus bu dosen. Gak ada peraturan mahasiswa dilarang nikahin dosen.”

“Iyalah, jelas. Yang ada itu dilarang nikahin mahasiswi satu kampus.”

“Masa?” tanya Dodi terkejut.

“Bayangin aja, nikahin satu orang aja katanya penuh perjuangan, apalagi satu kampus. Sanggup?”

“Biasa, ae, Bos.”

Gala dan Dodi pun terbahak bersama. Mahasiswa semester empat itu kembali membuka Instagramnya. Ada story terbaru dari Tita. Gala segera membukanya. Terlihat unggahan foto dosen muda dengan baju lengan panjang berwarna kuning dan rok plisket biru navy tersebut yang sedang duduk di tepi kolam renang. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya di tiang. Wajahnya tampak sendu.

Gala membaca dengan saksama tulisan yang tertera di foto tersebut.

Hari ini masih nano-nano. Kapan aku mendapatkan rasa yang manis saja?

“Jika kamu menikah denganku, Titania.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status