Share

Dua

Sejak pernyataan cinta terlontar dari bibirnya, Gala menjadi mahasiswa yang pasif saat mata kuliah Tita. Ia berpikir sudah cukup untuk cari perhatian sebagai bentuk perkenalan diri saat di kelas. Sekarang, dirinya hanya duduk di pojok belakang dengan tangan bertopang dagu. Senyuman tidak pernah luput dari wajahnya. Laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam tersebut terus memperhatikan Tita walaupun dosennya itu sedang tidak menjelaskan apa pun. 

Di meja depan, Tita menyadari bahwa sejak dirinya masuk kelas, Gala tidak berhenti menatapnya. Terlintas satu ide untuk berbalik menjahili mahasiswanya tersebut. Ia membiarkan laki-laki itu menatapnya dari kejauhan. Lewat kamera ponselnya, Tita mengamati tingkah Gala.

Habis ini, kita lihat. Kamu masih berani natap dosenmu ini, gak?

Tita segera melancarkan aksinya. Ia mendongakkan wajah. Tatapannya lurus ke arah Gala. Mata mereka pun saling bertemu pandang. Tita bergeming tanpa senyuman. Dalam hati, ia ingin tertawa. Apalagi saat mahasiswanya itu menundukkan pandangan sambil tersipu di sepersekian detik saat tatapan mereka beradu.

Cuma segitu nyalimu wahai anak muda, batin Tita seraya tertawa kecil dengan ekspresi puas. Namun, ia tergemap saat Gala kembali menatapnya. Perempuan penyuka masakan padang itu pun kembali fokus dengan bukunya. 

Gala terkekeh pelan karena bisa membuat Tita salah tingkah. Ia pun melanjutkan aksinya memandangi wajah manis dosennya.

“Hei, Gala!”

Lambaian tangan dan sapaan Resta yang duduk di depannya membuat Gala terkejut. 

“Apa, sih, Ta? Ganggu saja.”

“Ganggu orang ngelamun maksudnya?”

“Udah, kamu hadap sana lagi,” ujar Gala mengusir Resta yang menghadap ke arahnya. 

Resta mengangkat bahunya. Ia mulai heran dengan kelakuan Gala beberapa hari ini. Pesaingnya untuk menjadi yang teraktif di kelas itu mendadak jadi pendiam saat mata kuliah dosen termuda itu sedang berlangsung.

Tita mengakhiri kelas saat dua SKS sudah terlewati. Laki-laki itu mendengkus kesal karena tidak bisa lagi memandangi pujaan hatinya.

“Ga, kamu habis bikin gara-gara sama Bu Tita, ya?” tanya Resta yang masih penasaran. 

“Enggak,” jawab Gala menyembunyikan kebenaran yang terjadi. “Emang kenapa?”

“Jadi pendiem kamu sekarang. Cuma di kelas Bu Tita masalahnya.”

“Perasaan kamu saja,” elak Gala seraya membereskan tasnya.

Resta menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia tidak percaya dengan jawaban Gala. Laki-laki yang kerap bersikap jahil itu mulai beranjak dari kursi.

Gala mengernyitkan kening melihat ekspresi Resta yang masih bergeming. Ia lalu mengusap sebentar pucuk kepala gadis berusia 20 tahun tersebut.

“Sana pergi rapat.”

Resta mendengkus kesal. Rasa penasarannya tidak juga terjawab. Ia pun menyusul Gala keluar kelas.

“Kamu itu mau jadi politikus apa pengusaha?” tanya Gala sambil berjalan bersisian dengan Resta.

“Gak tau masih lama itu, berproses dulu yang penting. Eh, jadi kaya kamu kayanya seru, Ga. Entrepreneur, wih, keren.”

Gala tertawa menanggapi pujian sahabatnya tersebut.

“Ya, sudah. Fokus kuliah jangan organisasi melulu yang ada di kepala,” tutur laki-laki dengan tas selempang berwarna coklat tua tersebut sambil menunjuk pelipis Resta.

Resta mencebik manja.

“Kamu gak tau, sih, Ga. Betapa nikmatnya jadi aktivis kampus.”

“Buang-buang waktu kalau buat aku,” ucap Gala dengan tampang mengejek.

Resta mengepalkan tangannya. Darahnya selalu mendidih jika Gala menjelekkan citra aktivis kampus dan juga organisasinya. Laki-laki di sebelahnya itu segera menghindar dengan berlari menjauhinya.

“Aku sumpahin kamu jadi aktivis kampus, Galaksi!” Pekikan Resta mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. 

“Gak bakal mempan!”

Dari jarak sepuluh meter, Gala terbahak karena bisa membuat teman terdekatnya di kelas tersebut akhirnya jengkel. Ia pun melangkah menuju kantin. Perutnya terasa melilit. Ia tidak sempat sarapan walaupun ibunya sudah menyiapkan makan pagi untuknya sebelum berangkat kuliah.

Setelah memilih makanan, ia pun menuju meja yang tersedia di kantin. Saat mencari tempat kosong, matanya seketika berbinar. Ia menemukan perempuan pujaannya sedang duduk bercengkerama dengan beberapa mahasiswa. Gala pun mengambil posisi di belakang Tita. 

“Alhamdulillah,” ucap Gala begitu melihat mahasiswa tadi beranjak dari bangku yang berada di hadapan Tita. Ia pun bergegas mendatangi wanita dengan seragam kerja berwarna abu-abu tersebut.

“Assalammualaikum, Bu Tita.”

Gala tersentak karena ucapan salamnya bersamaan dengan Fahmi, salah satu dosen yang juga menjabat sebagai Pembantu Dekan Tiga.

“Kok, Bapak di sini, sih?” protes Gala.

“Kamu yang ngapain di sini?” 

“Ya, mau makan, Pak.”

“Sama, saya juga mau makan,” ujar Fahmi sambil memberikan senyuman pada Tita. “Kamu pindah sana, masih banyak juga meja kosong.”

“Bapak juga, gak harus di sini, kan?” Gala tidak terima diusir.

Gala dan Fahmi terus berdebat. Tita hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dosen dan mahasiswa tersebut. Ia lalu membereskan bungkus makanan yang sudah disantapnya tadi.

“Waalaikumsalam, Pak Fahmi dan Galaksi. Saya pamit dulu. Silakan dilanjutkan obrolannya,” ucap Tita seraya berdiri.

Tita bergegas meninggalkan meja tersebut. Ia geregetan jika bertemu atasannya tersebut. Laki-laki bujang berusia 45 tahun itu selalu terang-terangan mendekatinya. Hampir satu jurusan tahu jika Fahmi memuja dirinya.

“Fahmi sama Gala klop horornya,” ucap Tita sambil bergidik.

Dua laki-laki itu hanya melongo melihat perempuan pujaan mereka berlalu dari hadapan. Mereka kembali beradu mulut.

“Gara-gara kamu ini, Galaksi Bima Sakti.”

“Bapak, dong. Coba ngalah sama yang muda.”

Mata Fahmi mendelik. Ia menampakkan muka sangar di depan mahasiwanya.

“Nilai kamu saya pangkas jadi D!”

Gala terperanjat. Ia lalu menangkupkan kedua tangannya. Fahmi pun beranjak meninggalkan meja dengan tertawa lepas karena bisa menjahili mahasiswanya.

“Gila! Sainganku gak kaleng-kaleng. Kelas kakap, usianya,” ucap Gala dengan tawa berderai.

***

Gala hanya bisa pasrah. Ia sulit sekali menemukan waktu untuk bisa berbincang berdua dengan Tita. Perempuan berbibir tipis itu selalu saja menghindar saat langkahnya mulai mendekat, entah itu di kantin atau pun depan kantor jurusan. Dirinya mulai kehabisan cara untuk meyakinkan Tita akan ucapannya di kelas saat itu. Ia bisa saja menggunakan ponsel. Namun, Gala bukan laki-laki seperti itu. Ia lebih memilih face to face untuk menunjukkan kesungguhan sikapnya. Bukan hanya kata-kata gombal lewat chat atau telepon.

Pagi ini Gala sudah bersiap untuk berangkat lebih pagi. Jarak antara kampus dan rumahnya hanya sekitar tiga puluh menit. Namun, sejak pukul setengah enam pagi laki-laki bertubuh atletis itu sudah tampil rapi. Kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga sebatas siku dan celana denim abu-abu. Gala terlihat sangat manly.

“Ga, cepetan sarapan,” titah ibu Gala dari arah dapur begitu mendengar putra bungsunya menyalakan mesin mobil.

“Iya ibuku sayang.”

“Sayang, sayang. Kemarin gak sarapan akhirnya malamnya ngeluh sakit perut.”

“Maaf,” ucap Gala manja seraya memeluk sang ibu dari arah belakang. Perempuan paruh baya tersebut tersenyum mendapati perlakuan manis dari sang anak.

“Kenapa berangkat pagi banget?”

“Mau jemput calon menantu Ibu.”

Ibu Gala membulatkan matanya. Beliau sangat senang mendengar kalimat tersebut. Sudah bertahun-tahun dirinya tidak melihat Gala mengenalkan pacarnya.

“Alhamdulillah, ternyata anakku masih normal. Masih suka cewek.”

Gala mengernyitkan kening. Mulutnya pun terbuka. Ia merasa ada yang aneh dengan kata-kata sang ibu.

“Ibu pikir aku suka sesama jenis? Astaghfirullah, ibuku.”

Ibu Gala tergelak. Beliau mengusap rambut sang anak dengan lembut.

“Bukan gitu. Beberapa tahun ini yang kamu ajak ke rumah itu cuma Dodi kalau gak teman cowok lainnya. Wajarlah ibu mikir yang aneh-aneh.”

Gala memukul keningnya pelan. Ia memang menutup hatinya untuk perempuan sejak putus dari Silmi, matan kekasihnya.

“Ibu setuju apa gak kalau punya mantu dosen, cantik, pintar, soleha?”

“Ibu itu demokratis. Terserah anaknya mau sama siapa. Yang penting cuma satu.”

“Apa itu?”

“Mencintai anakku apa adanya,” ucap ibu Gala sambil merengkuh sang anak dalam dekapan.

“Uuuuh, ibuku tayaaangg.”

“Eh, satu lagi, Ga.”

“Apa itu?”

“Seiman, syarat paling penting itu.”

Gala kembali memeluk ibunya. Sebagai anak bungsu, Gala memang sangat dekat dengan sang ibu yang sudah menjadi orang tua tunggal sepeninggal ayahnya sejak tiga tahun yang lalu. Ia berharap bisa menemukan jodoh yang mampu mencintai ibunya dengan tulus. Dan, Gala meyakini bahwa Tita adalah orang yang tepat.

***

Jam menunjukkan pukul 06.15 Wib. Mobil Honda Yaris yang dikendarainya sudah berada di area indekos Tita. Ia memang sengaja membuntuti dosennya itu agar mendapatkan waktu untuk berbincang berdua sebelum jam kuliah dimulai. Tidak ada sepuluh menit, terlihat motor Beat merah muda dikeluarkan dari pagar oleh perempuan berkerudung motif bunga tersebut. Gala menegakkan punggungnya bersiap mengikuti Tita.

“Titaku mantap juga bawa motornya,” ucap Gala berdecak kagum sambil menggelengkan kepala menyaksikan kecepatan Tita dalam mengendarai motor.

Namun, baru satu kilo meter jarak yang ditempuh, Tita meminggirkan motornya. Ia terlihat kesal ketika mencoba menghidupkan tombol starter.

Gala pun ikut menepikan mobilnya. Ia lalu turun menghampiri Tita.

“Motornya kenapa, Bu?”

Tita menoleh ke arah suara. Ia tercengang melihat Gala sudah ada di sampingnya.

“Kok, kamu di sini?”

“Saya lagi lewat, kan, jalan raya. Kenapa motornya?”

“Gak tahu. Mati.”

Gala pun memeriksa motor Tita. Ia juga kesulitan menyalakan mesinnya walaupun tangki bensin masih penuh.

“Gak bisa nyala ini. Coba saya hubungi dulu teman yang punya bengkel dekat sini.”

Tita mengangguk pelan. Ia tidak mau sampai terlambat datang ke kampus.

“Bu Tita tinggal di dekat sini?” tanya Gala basa-basi.

Tita kembali mengangguk tanpa senyuman. Ia masih jengkel dengan tingkah mahasiswanya itu. Tidak lama kemudian teman Gala datang. Montir itu pun memeriksa motor.

“Gimana, bisa gak?”

“Bisa. Ini masalah kecil, habis ini juga nyala.”

Tiba-tiba terlintas ide untuk kembali menjahili Tita.

“Bilang saja ini masalahnya berat harus dibawa ke bengkel,” ucap Gala lirih.

“Harus gitu?”

“Iya cepetan, Bro.”

Teman Gala pun menjelaskan pada Tita tentang kondisi motornya sesuai instruksi yang diberikan. Raut wajah panik mulai menghinggapi wajah bersih tersebut.

“Gak bisa cepat, Mas?”

“Gak bisa, Mbak. Harus dibongkar mesinnya.”

Tita hanya bisa pasrah. Baru kali ini kendaraan roda dua miliknya itu harus bongkar mesin. Ia pun mengizinkan motor kesayangannya dibawa ke bengkel. Perempuan dengan sepatu hitam setinggi tiga sentimeter itu mendengkus kesal. Pulsa pada ponselnya habis. Ia tidak bisa memesan ojek online.

“Bareng sama saya aja, Bu,” pinta Gala yang sedari tadi memperhatikan kegelisahan Tita.

“Gak perlu, terima kasih. Saya mau cari angkot aja,” ucap Tita sambil berlalu meninggalkan Gala.

“Yakin mau keringetan sampai kampus? Angkot masih jauh dari sini!” ujar Gala setengah berteriak.

Tita menghentikan langkahnya. Apa yang diucapkan Gala ada benarnya. Ia baru bisa menemukan angkot di pertigaan yang masih berjarak 500 meter dari tempatnya berdiri. Tentu itu akan membuatnya basah oleh keringat. Tita bergidik membayangkan tubuhnya lengket. Perempuan yang pandai memasak itu anti terhadap tubuh yang bau. Ia harus selalu wangi setiap saat.

Gala tersenyum penuh kemenangan. Tita akhirnya berbalik menuju tempatnya berdiri. Ia segera menuju mobil, lalu membukakan pintu untuk dosennya.

“Enggak, saya di belakang saja.”

“Emangnya saya taksi online, Bu? Sopir sama penumpang, depan belakang, gitu?”

Tita tidak menghiraukan Gala. Ia mencoba membuka pintu belakang, tetapi tidak berhasil juga. Masih dengan wajah yang terlihat dingin, ia pun menuju bangku depan. 

Gala tersenyum puas. Ia lalu menutup pintu dengan pelan. Pemuda itu sontak mengepalkan tangan ke udara.

“Yes!” ucapnya semringah.

Tita yang memperhatikan Gala dari spion, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ada perasaan terhibur yang menyelinap saat ini ketika melihat tingkah mahasiswanya tersebut.

Mobil pun melaju pelan. Suasana hening menyergap. Gala mengetukkan jemarinya pada kemudi untuk mengusir rasa gugup duduk berdua dengan pujaan hatinya.

“Ibu masih gak percaya dengan perasaan saya?” tanya Gala membuka obrolan.

Tita bergeming. Matanya fokus melihat jalanan.

“Demi Allah saya tidak main-main ingin melamar Ibu untuk jadi istri,” jelas Gala dengan tangan bergetar. Ia mengulang kedua kalinya ungkapan lamaran yang pernah terucap di kelas. “Demi Allah, Bu. Ini gak main-main.”

Tita terperanjat saat mendengar kembali pengakuan Gala. Ia bisa merasakan kesungguhan dari ucapan laki-laki yang selalu berpenampilan rapi tersebut. Perkataannya yang membawa nama Allah terasa menyentuh hatinya. Tita menghela napas dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status