Gala terlihat tidak bersemangat. Persyaratan untuk terjun menjadi aktivis tidak semudah yang dibayangkannya. Belum lagi hari ini dirinya tidak bisa bercengkerama dengan Tita.
“Muka ditekuk melulu dari tadi. Kenapa Bu Dosen?” tanya Dodi heran.
Gala menggelengkan kepalanya. Ia lalu meraih ponselnya. Jemarinya mulai membuka I*******m. Matanya berbinar mendapati story Tita berada di pojok paling kiri. Ia segera menyentuh layar. Tampak gambar Kopipiko dengan tulisan di sampingnya.
[Baru sampai kos lupa mau beli ini. Butuh penyegaran]
Gala segera membuka W******p, kemudian mulai mengirim pesan pada nomor Tita.
[Habis maghrib aku jemput, ya]
[Gak mau]
[Jangan curang atau aku yang menang]
[Gak bisa gitu]
[Bisa, itu kesepakatan kita]
[Ya sudah]
Gala tertawa senang. Ia akhirnya bisa mengalihkan rasa suntuknya menghadapi diklat minggu depan. Berkumpul dengan mahasiswa yang baru melewati masa remaja akhir. Itu sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Selepas salat Maghrib di samping musala dekat coffee shop miliknya, ia segera berbenah diri. Laki-laki dengan kaos putih itu mulai merapikan rambutnya. Parfum kesayangan tidak lupa ia semprotkan ke seluruh badan.
“Wangi banget. Mau ke mana?” tanya Dodi.
“Jemput Bu Dosen.”
“Kencan terus!” ledek Dodi sambil menggelengkan kepalanya.
“Kencan di sini aja. Awas jomlo dilarang iri.”
“Emang kamu udah diterima?”
“Belum juga.”
Gala dan Dodi pun terbahak.
“Ya sudah, aku berangkat dulu.”
Gala melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Malam minggu jalanan di kota Malang lumayan padat. Tidak lama kemudian ia sudah tiba di depan indekos Tita.
[Aku sudah sampai]
[Oke, tunggu]
Gala keluar dari mobil. Ia lalu berdiri dekat pintu mobil sebelah kiri. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya pada kendaraan berwarna putih kesayangannya. Ia kembali bermain ponsel seraya menunggu kedatangan Tita.
“Hai”
Gala mendongakkan kepala saat mendengar sapaan dari suara yang sangat dikenalnya. Ia sontak terpukau melihat penampilan Tita.
“Kok, bengong.”
“Eh, enggak. Biasa, ada bidadari lagi berdiri di depanku. Jadi gak konsen.”
‘Gombal,” ujar Tita sambil memukul lengan Gala dengan tasnya. Laki-laki itu tertawa sambil pura-pura mengaduh.
Gala pun membukakan pintu mobil untuk Tita. Ia benar-benar memperlakukan wanita itu dengan sangat manis. Mobil putih itu lalu melaju dengan pelan.
“Kita mau ke mana, Ga?”
“Ke suatu tempat yang ingin didatangi seorang Tita saat ini.”
Tita mengernyitkan kening. Ia sendiri tidak paham dirinya ingin pergi ke mana saat ini. Hanya kasur yang ingin ditujunya. Namun, ancaman Gala tadi di chat membuatnya mengurungkan diri untuk istirahat lebih awal.
“Kayanya aku lagi gak pengen ke mana-mana. Kamu sok tau banget, ya.”
“Masa?”
Tita manggut-manggut.
“Ada. Kamu pingin ke suatu tempat.”
“Kaya ngerti saja isi pikiranku.”
“Emang tahu,” ucap Gala yakin.
Tita menoleh ke arah laki-laki yang berada di balik kemudi tersebut. Ia jadi penasaran dengan tempat yang akan dituju.
“Tempatnya sederhana, sih. Tapi di sana, kamu akan mulai mengenal sedikit demi sedikit tentang Galaksi Mahendra.”
“Pede, aku gak mau mengenal seorang Galaksi.”
Gala mencebik.
“Karena takut jatuh cinta, kan?” goda Gala sambil tergelak.
Tita menoleh sekilas ke arah Gala. Ia hanya bisa menggelengkan kepala mendapati rasa percaya diri pemuda itu yang berlebihan.
“Sok tahu banget, sumpah. Lama kelamaan kamu itu menjengkelkan.”
“Nah, jangan jengkel nanti jadi cinta,” ucap Gala seraya terkekeh.
“Udah, deh. Hentikan mobilnya, aku turun sini saja.”
Gala terperanjat mendapati ancaman dari Tita.
“Bercanda, bercanda. Maaf, ya. Pokoknya kamu bakal senang kalau sampai sana.”
Tita tersenyum puas. Satu kali gertakan saja bisa membuat Gala menghentikan gombalannya. Namun, dalam hati, ia penasaran juga dengan perkataan penuh teka-teki yang keluar dari bibir mahasiswanya tersebut. Wanita dengan lipstik berwarna blushing nude itu kembali menatap Gala penuh tanya.
***Gala mengarahkan kemudi ke kanan, berbelok menuju parkiran Kopipiko. Ia menoleh sekilas ke arah Tita. Wanita itu terlihat berseri-seri sambil manggut-manggut.“Selamat datang di Kopipiko.”
Tita tertawa sambil melirik ke arah Gala.
“Aku paham sekarang. Kamu lihat story-ku, ya?”
Gala terkekeh sambil membuka seat belt. Ia lalu berjalan ke arah pintu sebelah kiri. Seperti biasanya, dirinya selalu siap menyambut Tita keluar dari mobil. Gala pun mengajak wanita dengan kerudung berwarna hitam tersebut untuk masuk ke Kopipiko.
“Silakan duduk. Mau pesan apa, Ibu?”
Tita tergelak mendapat perlakuan selayaknya pelayan restoran dari Gala.
“Hazelnut Latte ada, Mas?”
“Oke siap. Tunggu sebentar, ya.”
Gala berlalu menuju meja pembuatan kopi. Tita yang berada di kursi pojok mengernyitkan keningnya melihat laki-laki yang malam ini mengenakan kaca mata itu sibuk mempersiapkan pesanannya. Ia tampak cekatan meracik minuman yang sedang populer di kota dingin ini. Tidak lama kemudian, Gala kembali dengan satu gelas Hazelnut Latte di tangannya.
“Hazelnut Latte istimewa,” ucap Gala sambil menyerahkan pesanan Tita.
“Ini serius yang buat kamu, Ga?” tanya Tita tidak percaya. Gala mengangguk sambil memimcingkan mata sebelah kanan.
“Cobain, deh.”
“Gak bikin sakit perut, kan?”
Gala terbahak mendengar pertanyaan Tita. Wanita itu lalu menancapkan sedotan berwarna hitam ke bagian atas gelas. Namun, benda panjang itu tidak juga sukses menembus plastik penutup walaupun Tita sudah berulang kali menusukkannya.
“Kok, susah, sih?”
Gala menatap Tita seraya tersenyum. Ia kemudian mengambil gelas di tangan wanita berhidung mancung tersebut.
“Gini caranya aku kasih tahu. Baca doa dulu. Bismillah.”
Gala lalu menancapkan sedotan ke gelas plastik tersebut. Anehnya, hanya satu kali tusukan dan berhasil. Wanita di depannya membeliak sambil menutup mulut karena tersipu. Tanpa Tita duga, Gala tiba-tiba mendekatkan tabung plastik tipis berwarna hitam itu ke bibirnya.
“Eits, apa-an ini?”
“Udah, tinggal disedot aja.”
“Gak, gak. Malu diliatin orang.”
Tita meraih gelas yang ada di tangan Gala. Ia mulai menyeruput minuman manis tersebut. Tegukan pertama, ia tersentak. Rasa minuman ini lebih enak dari yang biasanya ia beli di kedai yang sama.
“Eumh, enak banget. Hazelnutnya kerasa,” puji Tita yang langsung mendapat reaksi dari Gala yang langsung berpose dengan jari telunjuk dan jempol memegang dagu. “Kok, kamu yang bikin?”
Gala tersenyum sambil memperlihatkan deretan gigi putihnya. Ia membiarkan Tita menebak makna dari ekspresinya tersebut.
“Kamu bajak Kopipiko?”
“Enak aja.”
“Terus? Oh, jangan-jangan kedai ini milik temanmu atau saudaramu?”
Gala kembali tersenyum. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
“Ish, apa sih, Ga? Aku gak mau minum lagi kalau gak jelas gini.”
“Bentar, jangan sewot gitu, dong,” kata Gala sambil melambaikan tangangan ke meja bar. “Do!”
Dodi yang sedang bersantai segera melangkah menuju meja Gala dan Tita.
“Kenalkan, ini dia Dodi owner Kopipiko,” ucap Gala menyambut kedatangan rekan kerjanya tersebut. Dodi yang baru datang sontak kebingungan.
“Eh, iya, iya. Salam kenal,” ujar Dodi setelah mendapat kedipan dari Gala. Ia pun berkenalan dengan Tita.
“Kok, gak ikut ngobrol di sini, Mas?” tanya Tita saat Dodi berpamitan untuk kembali ke meja bar.
“Waduh, saya gak enak sama Gala, Mbak. Ini aja udah dikedipin buat balik. Ganggu orang kencan katanya.”
Dodi tertawa jahil sedangkan Gala hanya tertunduk malu-malu.
“Siapa yang kencan?” tanya Tita.
Sambil terkekeh, Dodi menunjuk Gala dan Tita. Ia segera berlalu sebelum mendapat lemparan sandal dari sahabatnya itu.
Gala terdiam dalam duduknya. Ia menikmati wajah yang tengah sibuk dengan minumannya tersebut.
Kenapa akau bisa cinta banget sama kamu, Tita?
“Gala!”
Pekikan Tita membuat Gala tersadar dari lamunannya.
“Kenapa?” tanya Gala tergopoh.“Jahilnya selalu kelewatan. Ini apa?”Telunjuk Tita mengarah pada tulisan di gelas plastik yang ia pegang. Tertulis Ny. Galaksi untuk nama pemesan. Gala terbahak melihat wajah masam Tita.“Itu doa. Semoga segera terkabul, ya Allah.”Ucapan yang terlontar dari bibir Gala terdengar tulus di telinga Tita. Hal tersebut membuat hatinya bergetar. Ia menundukkan pandangannya sambil menyeruput minuman. Laki-laki dengan hoodie berwarna merah tua itu tersenyum menatap wajah ayu yang sedang tersipu. Suasana menjadi hening. Gala menikmati rasa canggung ini.“Kok, aku lapar, ya?” tanya Tita tiba-tiba. Ia tidak nyaman jika terus dipandangi oleh Gala.“Ya Allah, lupa pesan makan,. Bentar aku order dulu. Mau makan apa?”“Ayam geprek level pedas gila, deh.”“Oke, aku pesan dulu.” ucap Gala kemudian berlalu menuju kedai ayam geprek di sebelah Kopipiko.Tita mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya terhenti pada gambar Gala sedang memegang trofi. Namun,
“Bagi peserta yang masih berada ditenda, harap segera berkumpul untuk salat Maghrib berjamaah.”Ghifari memberi instruksi kepada peserta dengan menggunakan megaphone. Mereka pun berhamburan menuju tempat utama yang berada di tengah lingkaran tenda-tenda.Di dalam salah satu tenda, Gala menutupi tubuhnya dengan sarung yang ia bawa dari rumah.“Ga, kamu gak ikutan salat?” tanya teman satu tenda Gala.“Eng—gak. Kayanya aku la--gi meriang, sa--lat di tenda saja.”“Oh, ya sudah. Aku keluar dulu.”Gala mengangguk dengan tubuh yang gemetar. Setelah memastikan temannya itu berada di luar, ia segera membuka sarungnya. Ia pun bergegas untuk salat Maghrib. Saat baru selesai berdzikir, Gala mendengar ada yang berbicara di depan tenda.“Gala sakit? Masa, sih? Kayanya tadi bugar, kok.”“Tadi pas aku mau salat, dia gemetar gitu ngomongnya. Meriang katanya.”“Serius?”Gala dengan saksama mendengarkan perbincangan tersebut. Ia hapal suara perempuan yang berbicara dengan teman satu tendanya itu. Suara
“Ketika ijazah sudah di tangan, saya bukannya sibuk mencari lowongan. Kenapa bisa begitu? Karen orang-orang yang saya kenal saat jadi aktivis yang memberikan informasi tentang itu semua. Jadi, salah satu manfaat ikut organisasi saat kuliah itu adalah memudahkan kalian mendapatkan pekerjaan. Oh, iya, satu lagi. Simpan baik-baik sertifikat kalian. Banyak yang bilang kertas-kertas itu gak ada fungsinya. Salah besar!”Sekali lagi, Gala merasa dikuliti. Semua yang ada di pikirannya selama ini dibahas oleh pemateri.“Ketika kalian melamar pekerjaan, sertakan sertifikat-sertifikat itu. Baik IMG, HMJ, BEM, bahkan kalau kalian ikut organisasi minat bakat seperti fotografi atau olah raga di kampus. Masukkan semua bareng ijazah. Insya Allah, pihak yang kalian tuju akan mempertimbangkan. Asal IPK kalian bukan nasakom loh, ya.”Semua tergelak mendengar kata nasakom atau nasib satu koma. Indeks prestasi kumulatif yang dipastikan susah untuk segera lulus. Pemateri pun melanjutkan ceritanya.“Kenapa
“Kamu mau mundur? Berarti Tita gak salah kalau bilang Gala itu seperti anak kecil.”Gala terkesiap mendengar ucapan Dodi. Ia lalu mengusap wajahnya. Dirinya merasa seketika berubah menjadi tidak bijaksana saat kasmaran kali ini.“Aku harus tetap nuruti persyaratan Tita, gitu?”“Ya, kalau kamu udah gak cinta, ngapain dituruti. Logikanya tolong dimainkan.”Gala menghela napas panjang. Di hatinya masih terlukis jelas sebentuk cinta yang utuh untuk Tita.“Masalahnya kamu terlalu cinta sama dia, itu!” ungkap Dodi dengan jari telunjuk mengarah pada wajah Gala.“Terus gimana? Aku chat gak dibaca. Ke kosnya, dibilang gak ada terus. Ke kantor jurusan, menghindar. Di kelas pun, dingin. Serba salah rasanya.”“Bro ... Bro, kamu itu ganteng. Tapi pengalaman sama cewek kalah level sama aku,” ejek Dodi sambil terbahak. “Nih, aku kasih tahu. Beberapa cewek itu ada yang gak suka terlalu dikejar. Yang ada mereka suka ilang feeling kalau cowoknya agresif. Ngerti gak?”“Kaya gimana itu?”“Kaya kamu,” ja
Tita tersentak mendengar kalimat ancaman yang keluar dari bibir Gala. Kenekatan laki-laki itu masih saja belum berkurang. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum puas karena lift berhenti di lantai tujuannya.Gala mendengkus kesal mendapati strateginya gagal. Akan tetapi, dirinya tidak kehilangan akal.“Titania Pangesti!” panggil Gala yang juga keluar dari lift dengan nada sedikit keras. Lorong gedung kuliah bersama itu sudah sepi karena aktivitas terpusat di kelas. Tita masih terus berjalan, tidak memedulikan ulah konyol Gala.“Maukah kamu—“Ucapan Gala terhenti saat Tita berbalik arah. Tatapan wanita dengan ransel berwarna hitam di punggungnya itu tajam, tanpa seutas senyuman. Ia berjalan mendekat ke arah pemanggil.Tita berdiri di hadapan Gala yang seketika mematung. Ia menarik napas dalam.“Sebagai seorang muslimah yang baik, aku memaafkanmu. Sudah paham? Terima kasih.”Tita meninggalkan Gala tanpa menunggu respon atas ucapannya. Pemuda di belakangnya itu tersenyum bahagia.“Terima k
Angka terakhir yang tertera di papan berwarna putih sontak membuat Gala syok. Dari sepuluh kertas tersisa, hanya tiga yang memilih dirinya. Ghifari bisa dipastikan melenggang dengan mulus ke pemilihan umum raya mahasiswa bulan depan. 46 berbanding dengan 44, hanya selisih dua angka, sangat tipis.Gala menghela napas panjang. Dalam pikirannya sekarang cuma ada satu, bersiap kehilangan cinta yang sedang ia perjuangkan.“Ini namanya politik, Ga. Ada yang menang ada yang kalah,” kata Resta menguatkan Gala. Ia merasa kecewa teman satu kelasnya itu tidak lolos. Visi dan misi Gala menurutnya sangat unggul di atas Ghifari. Namun, hasil akhir memang berada di tangan para pemilih.Gala izin pulang lebih awal. Ia menjabat tangan semua yang ada di ruangan tersebut. Dirinya berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk betukar pikiran.“Kamu orang yang punya pendirian, karaktermu kuat. Suatu saat BEM butuh orang sepertimu.”Wildan merangkul Gala yang mengangguk sambil tersenyum.Tapi tidak
Mobil Gala sudah terparkir di depan indekos Tita. Ia bahagia karena bisa kembali menjemput pujaan hatinya. Awalnya, ibu dosen itu menolak untuk ikut rencananya. Namun, Gala kembali mengingatkan perjanjian mereka saat di restoran dulu. Tita tidak mungkin membiarkan Gala menang dan menikahinya.Tita sudah siap di depan rumah. Ia mengenakan kulot plisket dan kemeja dengan hiasan tali pada pinggangnya. Gala berdecak kagum atas ciptaan tuhan yang hampir sempurna di matanya itu.“Ada yang aneh?” tanya Tita saat melihat Gala mengamati penampilannya.“Ada.”“Yang mana?”Tita tampak sibuk meneliti setiap inci pakaian dan kerudung yang dikenakannya. Namun, ia tidak menemukan satu pun yang dianggapnya aneh. Gala tertawa kecil melihat Tita panik.“Cuma satu yang aneh.”“Iya, apa?”“Suaminya mana, Bu?”Tita mencebik, lalu memukulkan tas selempang kecil berwarna marun ke lengan Gala. Pemuda itu pura-pura mengaduh. Ia segera membukakan pintu mobil untuk wanita cantik itu.“Kita mau ke Kopipiko?”“Bu
“Kamu niat mau nyalon, apa gak, sih?” tanya Resta begitu Gala tiba di indekosnya..“Niat banget. Tadi A—““Aku udah nungguin dari pagi tapi kamu baru nongol malam. Kira-kira dong, kalau bikin janji!”Belum sempat Gala menyelesaikan ucapan, Resta sudah mencecarnya. Ia manggut-manggut. Dirinya sudah menduga bahwa Resta akan mendampratnya. Wajah gadis dengan rambut dikuncir ala ekor kuda itu terlihat masam.“Maaf, Ta. Aku gak pegang ponsel seharian ini.”“Tumben?” tanya Resta sinis.Gala hanya menjawab dengan kekehan. Tidak mungkin dirinya menceritakan satu hari yang manis bersama Tita dan juga ibunya kepada Resta.“Bentar, tadi aku udah beli nasi goreng buat kamu. Aku ambilin dulu,” kata Gala kemudian berlalu menuju mobilnya.Resta masih kecewa dengan sikap Gala yang tidak menepati janji. Ia bahkan harus membatalkan janji dengan Inara—teman kosnya—untuk menjenguk salah satu teman yang sakit hanya untuk seharian menunggu Gala.“Nih, nasi goreng ikan asin favoritmu.”“Mau nyogok?”“Ya, ud