Share

Delapan

Gala menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau belajar mengaktualisasikan diri di kampus. Rasa tidak suka itu muncul karena aku memang belum mengenal dunia aktivis yang seutuhnya. Aku hanya melihat dari luar. Seperti kegiatanmu yang sangat padat dan kadang mengesampingkan kuliah, meskipun cuma sekali dua kali kalau kamu. Mungkin ada satu hal di sana yang aku harus tahu agar tidak gampang menyepelekannya.”

Resta manggut-manggut. Ia memahami penjelasan panjang Gala.

“Niatan yang bagus juga.”

“Kamu mau, kan, bantu aku mengenal BEM?” pinta Gala dengan penuh harap. Resta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. “Kapan mulai dibantunya?”

“Sore ini setelah kuliah.”

“Yes!” pekik Gala begitu bersemangat. Langkah untuk menjadi ketua BEM akan segera terbuka. “Makasih adik cantik.”

“Sama-sama.”

Resta tersenyum tipis. Ia selalu sedih ketika mendengar kata adik keluar dari bibir Gala. Dirinya ingin bisa dianggap lebih dari itu. Sahabatnya itu tidak pernah menyadari perasaan khusus yang tersimpan dalam relung hatinya.

Gala dan Resta menikmati jeda waktu kuliah sambil makan siang. Menjelang pukul satu, mereka pun kembali ke kampus. Ada jadwal kuliah hingga sore. Total enam SKS untuk hari ini.

***

Mata kuliah terakhir hampir usai. Gala masih memikirkan respon anak BEM saat dirinya muncul kembali. Jika tidak mendapat sambutan yang baik, pasti akan mendapat timpukan sepatu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Demi rasa cintanya untuk Tita, ia harus menjilat ludahnya sendiri.

Cinta kenapa seberat ini?

Ponsel di saku celana denim Gala bergetar. Ada notifikasi W******p dari Tita. Ia segera membukanya.

[Jangan lupa anterin ambil motor]

[Gak mau]

[Nilai D]

[Ampun cinta]

Setelah balasan terakhir Gala, Tita hanya menjawab dengan gambar tangan mengepal. Gala terkekeh pelan.

[Selesai ngajar jam berapa?]

[Habis ini. Tunggu di parkiran. Jangan kelihatan jalan bareng]

[Kenapa?]

[Dosen dan Mahasiswa X]

Gala menahan tawanya. Ia mengusap keningnya membaca huruf X besar berwarna merah. Tita masih juga menganggap tabu hubungan antara dosen dan mahasiswa.

Perkuliahan pun berakhir. Gala bergegas ke luar kelas. Belum sampai pintu, ia menghentikan langkah, kemudian memutar tubuhnya.

“Ta, ditunda dulu ke BEM-nya, ya.”

“Kenapa? Malu sama Ghifari, ya?”

“Enggak, enak saja.”

“Terus, kenapa gak jadi?”

“Ada janji, penting,” ujar Gala seraya berlalu dari hadapan Resta.

Gadis itu pun beranjak dari duduknya. Ia berjalan menyusuri koridor lantai lima. Sejenak, ia mendekat ke pagar tembok yang di bawahnya terdapat tempat parkir khusus mobil. Keningnya berkerut saat matanya menangkap sosok Gala yang berdiri di samping mobil Yaris putih. Laki-laki itu sedang membukakan pintu untuk perempuan berkerudung.

“Bu Tita?”

****

Pagi ini, Gala kembali berangkat ke kampus seorang diri. Motor Tita sudah diambil dari bengkel kemarin sore. Tidak ada lagi alasan untuk bisa mengajak dosennya itu semobil bersamanya. Ada rasa rindu menyelinap dalam hatinya. Jatuh cinta kepada seorang Titania membuatnya merasa mendapatkan suntikan semangat untuk menjalani hidup yang lebih baik. Tidak ada lagi penyesalan atas masa lalu yang pernah memberi luka.

Hanya ada dua mata kuliah untuk hari ini. Gala sudah membuat janji kembali dengan Resta untuk berkunjung ke kantor BEM. Ia harus mengesampingkan gengsi demi mencapai tujuannya menjadi Gubernur Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Dirinya akan meminta maaf kepada Ghifari dan teman-temannya atas ucapannya kemarin.

“Kalau gagal lagi, aku gak mau bantu untuk masuk BEM,” ancam Resta begitu sahabatnya itu masuk kelas dan duduk di sebelahnya.

“Sadis banget. Jadi, pasti jadi hari ini.”

“Tapi aku masih penasaran. Tujuanmu yang sebenarnya untuk jadi aktivis.”

Gala tergemap, Resta masih menyangsikan niatannya.

“Kan, aku sudah bilang.”

“Masih gak percaya aja, Galaksi yang suka mengejek Claresta dengan aktivitasnya di organisasi, tiba-tiba mau gabung. Aneh, sih.”

Gala mengusap keningnya. Ia maklum jika Resta berpikir seperti itu. Apalagi gadis secerdas itu pasti mampu menganalisa keadaan.

“Ya sudah kalau gak mau. Aku minta bantuan yang lain saja,” ucap Gala dengan wajah cemberut.

“Udah tua masih suka ngambek,” cetus Resta sambil tergelak. Gala pun mendengkus kesal.

“Eh, kemarin kamu pulang bareng Bu Tita?”

Gala terperanjat mendengar ucapan Resta yang mengetahui bahwa dirinya pulang bersama dosen mereka itu.

“Kok, tahu?”

“Pas lihat aja dari lantai lima.”

“Oh ... kebetulan ketemu di dekat parkiran. Sekalian aja aku barengin, satu arah juga, kan.”

Resta manggut-manggut. Tidak ada yang perlu dicurigai untuk mahasiswa yang berbuat baik terhadap dosennya.

“Aku pikir kamu mau nyogok nilai,” cetus Resta sambil terbahak. “Eh, aku penasaran tau, Ga. Kok, Bu Tita yang almost perfect itu belum nikah juga, ya?”

“Mulai nggosip, nih. Coba tanyain,” ujar Gala menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia harus menyimpan erat pendekatannya kepada Bu Tita dari siapa pun yang ada di kampus ini.

Obrolan mereka terhenti saat dosen masuk ke kelas. Dua mata kuliah pun terlewati. Resta, sesuai janjinya akan mengajak Gala ke kantor. Menjelang siang, basecamp aktivis mahasiswa ekonomi itu tampak lengang. Hanya ada Ghifari dan satu temannya yang berada di sana.

“Assalammualikum,” sapa Resta.

“Waalaikumsalam. Wah, kebetulan anget, aku baru mau W******p,” ucap Ghifari begitu melihat Resta. Ia lalu membuka tasnya, mencari proposal yang akan dibicarakannya bersama gadis berhidung mancung tersebut. “Ini ada yang—“

Ucapan Ghifari terputus begitu melihat sosok yang berada di belakang Resta.

“Kamu mau apa lagi?” Mata Ghifari tajam menatap Gala. “Masih kurang puas mengejek kami?”

Resta menghela napas dalam. Ia sudah menduga reaksi yang akan ditunjukkan teman-temannya.

“Tenang, Gala ke sini gak ada maksud seperti dulu,” ujar Resta mencoba menenangkan Ghifari yang mulai tersulut emosi. Ia pun meminta Gala duduk di sebelahnya.

“Mau kesini ngapain?” tanya Ghifari dengan raut wajah sinis.

Bukan karena Tita, gak sudi aku ke sini, rutuk Gala dalam hati. Dirinya muak dengan sikap belagu Ghifari.

Resta menyenggol lengan Gala dengan sikunya. Gadis itu memberi instruksi lewat tatapan mata.

“Jadi begini, aku ke sini mau minta maaf karena ucapanku kemarin.”

Ghifari dan teman-temannya terkejut dengan ucapan yang baru saja keluar dari bibir Gala.

“Ikhlas minta maafnya?” tanya Ghifari masih dengan tatapan ketus.

Gala mengernyitkan kening. Ia berusaha untuk tidak terpancing emosi. Meladeni sikap Ghifari sama saja menyetarakannya dengan usia mahasiswa itu. Gala sudah pernah  melewati masa-masa tersebut.

“Insya Allah, ikhlas,” ucap Gala tenang. Ghifari pun terdiam, raut wajahnya berubah lebih bersahabat.

“Jadi gini, Ghi. Gala sudah menyadari, apa yang keluar dari ucapannya itu karena pengetahuannya yang minim akan organisasi di lingkup mahasiswa,” jelas Resta. ”Gala ingin mulai belajar organisasi.”

Ghifari tercengang mendengar penjelasan Resta. Laki-laki keturunan arab itu melirik sekilas ke arah Gala yang tengah manggut-manggut.

“Yakin mau gabung sama kita, Ga?”

“Insya Allah, yakin. Persyaratannya apa?” tanya Gala bersemangat.

“Loh, kamu belum kasih tahu Gala, Ta?”

Resta menggelengkan kepala. Ia menyerahkan penjelasan tentang prosedur masuk BEM kepada Ghifari. Dirinya takut dibilang mengada-ada oleh Gala, melihat langkah-langkah yang tidak semudah membalikkan telapak tangan itu.

“Jadi gini, untuk jadi anggota itu bergantung pada ketua BEM yang sedang menjabat setiap periodenya. Bukan perwakilan tiap jurusan seperti di tingkat universitas karena pemilihan umum pun sudah dilakukan secara demokrasi, seperti yang ada di negara kita.”

Gala manggut-manggut. Dalam hatinya masih mencibir para mahasiswa yang ingin berpolitik.

Ghifari melanjutkan penjelasannya.

“Kalau mau masuk jadi anggota BEM harus ikut organisasi ekstrakampus terlebih dahulu, Ga.”

Gala mengernyitkan keningnya.

“Gak bisa langsung masuk?”

Resta menggeleng pelan.

“Kamu harus ikut Ikatan Mahasiswa Gemilang atau Himpunan Mahasiswa Surya. Itu dua organisasi terbesar di kampus kita.”

Gala menghela napas dalam. Ia malas berurusan dengan prosedur yang berbelit.

“Harus seperti itu?” tanya Gala pada dua mahasiswa di hadapannya. Mereka mengangguk dengan kompak.

“Kamu harus terdaftar dulu menjadi anggota IMG atau HMS.”

Kepala Gala berdenyut. Ia membayangkan aktivitasnya akan tersita dengan prosedur masuk organisasi. Gala berdecak kesal mengingat permintaan Tita.

“Kalian anggota apa?”

“Aku sama Resta ikut IMG.”

“Ya sudah, aku mau daftar IMG.”

Resta tercengang mendengar keinginan Gala. Ia tidak memberitahukan sejak awal karena paham Gala akan kembali mencibir prosedural yang lumayan ketat. Ternyata dirinya salah,  Gala berminat bergabung dengan IMG.

“Yakin?” tanya Resta kembali menegaskan.

“Iya, jangan banyak tanya lagi.”

Resta tersenyum, kemudian mengambil berkas untuk pendaftaran IMG. Gadis itu menyuruh Gala mengisi formulir.

“Sudah. Resmi jadi anggota sekarang?” tanya Gala selesai mebubuhkan tanda tangan pada selembar kertas berwarna putih tersebut.

Ghifari terbahak menanggapi pertanyaan Gala.

“Belumlah, kamu harus ikut diklat dulu baru diterima sebagai anggota.”

“Apa?!”

Kepala Gala semakin berdenyut. Diklat berarti harus bermalam. Jika seminar seperti bidang yang ditekuninya, ia tidak masalah. Namun, jika harus menginap ia tidak bisa. Bisnisnya harus selalu dipantau setiap hari.

“Kebetulan diklat open member gelombang kedua jadwalnya minggu depan. Kamu datang di saat yang tepat,” imbuh Resta yang dijawab dengan anggukan lemah oleh Gala. Mau tidak mau dirinya harus ikut serta, demi Tita dan cinta yang tengah diperjuangkannya.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status