LOGIN“Kakak ipar …. Jangan lakukan ini, jangan ….” Deana meronta dengan tidak terkendali saat tangan Agra perlahan menyusup ke dalam pakaiannya. Ia membeku begitu tangan hangat itu menyentuh permukaan kulit punggungnya tanpa penghalang.Sebuah lenguhan lolos tanpa sadar. Tangannya justru melingkar di leher Agra, membiarkan bibir pria itu menginvasi dada bagian atasnya. “Apa Ivan bisa memberimu ini, hem? Responmu seperti wanita yang sudah lama tidak disentuh.” Suara Agra rendah dan serak, menggerogoti kewarasannya.Tidak, Ivan tidak bisa memberikan kesenangan yang sama. Sudah lama sekali sejak Ivan mempermainkannya seperti ini. Sejak dituntut untuk memiliki keturunan, Ivan hanya fokus menumpahkan benih tanpa melakukan hal lain, seolah dia hanya menginginkan anak dan tidak peduli akan kepuasan Deana atau dirinya sendiri.“Kenapa tidak menjawab?” Agra mendongak, mengarahkan mata gelap berkabutnya ke wajah Deana yang duduk mengangkang di pangkuan. Tangannya perlahan merambat ke depan tubuh
“Apa yang mengganggu pikiranmu?”Di tengah kegiatan menyantap sashimi, Agra dibuat sangat terganggu dengan gerakan gelisah Deana. Wanita itu tidak berhenti menggoyangkan kaki, dan menjatuhkan sumpit ke mangkok hingga menimbulkan dentingan nyaring.Dengan tatapan polos ia mendongak, bola matanya bergerak cepat seolah sedang mencari alasan. “Tidak ada. Hanya saja ….” Ia melihat ke arah pintu. “Kenapa Ivan lama sekali. Apa aku harus keluar untuk mencarinya?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Di sisi lain, ia tidak mau disangka melarikan diri dari kecanggungan, walaupun memang itu yang sebenarnya ingin ia lakukan.“Kenapa harus repot-repot, kamu bisa menggunakan ponselmu.” Agra menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.Mengikuti arah pandang Agra, ragu-ragu Deana mengambil ponsel itu dan mengetikkan sesuatu. Di dalam hati ia menggerutu kesal karena seolah pria itu tidak membiarkannya keluar.Pesan terkirim, Deana meletakkan ponselnya kembali, bersamaan dengan pintu yang dibuka dari l
“Kamu benar-benar menghancurkan segalanya!” Ivan menatap tajam sang istri yang duduk di tepi ranjang, sedang menunduk meremas tangannya yang dingin dan gemetar. “Kamu harus bertanggung jawab!”Dengan takut-takut Deana mengangkat kepalanya, sorot mata tajamnya berembun, bibirnya yang bergetar sedikit terbuka.“Aku sudah bertanggung jawab, mengobatinya dan membantunya bekerja semalaman kalau kamu tahu! Tentu saja kamu tidak tahu, kamu tidak pernah mau tahu apa yang kulakukan!” teriaknya, tertelan bersama saliva yang meluncur kasar di tenggorokan. Ia tidak bisa mengatakannya, ia tidak bisa berteriak seperti itu kepada Ivan.Tiga tahun ini ia selalu bersikap lembut dan baik, sekalipun pria itu telah menyakitinya. Karena ia mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini. “Ap-apa yang harus kulakukan?” tanyanya kemudian, dengan terbata. Tenggorokannya mendadak sakit, suaranya keluar dengan kasar seperti memuntahkan kerikil. “Ivan, aku belum siap untuk melakukannya sekarang. Ak-aku butuh w
"Apa yang kamu lakukan di sana?" Ivan yang sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan tiba-tiba bertanya ketika melihat Deana masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuh di atas ranjang."Aku ingin beristirahat. Memangnya kenapa? Ada yang harus kubantu?" Ia baru saja mencuci piring dan membereskan meja setelah makan malam. Tubuhnya sangat lelah disamping merasa tertekan karena Carla tidak berhenti menyinggungnya soal kehamilan."Kakak ada di mana?" tanya Ivan."Aku melihatnya sedang menerima telpon di ruang tengah, sepertinya dia sedang sibuk," jawab Deana acuh tak acuh. Sejujurnya ia sedang menghindari rencana Ivan dengan mengatakan Agra sedang sibuk, lantaran ia belum siap melakukan sesuatu. Entah kenapa, tatapan kakak iparnya itu membuat jantungnya berdebar-debar."Tck! Mungkin dia sedang bekerja." Ivan menarik napas panjang. "Begini saja. Kamu buatkan dia kopi dan sedikit basa-basi agar nantinya tidak terlalu kaku.”"Tapi, Ivan, aku benar-benar lelah. Besok saja ya, sekarang biark
Rumah besar keluarga Mahawira selalu tampak megah, tetapi bagi Deana, rumah itu terasa seperti penjara yang pintunya sudah dikunci rapat. Ia menelan ludah susah payah ketika kini sudah menghadap pintu besar itu."Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak perlu takut. Kita cukup mengatakan kalau rumah kita dalam renovasi dan terpaksa menginap untuk beberapa hari. Bukankah itu bukan sesuatu yang sulit?" Ivan berbisik tajam di telinganya.Mau tidak mau Deana mengangguk, walau kepalanya terasa berat.Saat tangan Ivan terulur akan mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Ivan langsung memasang wajah sumringah, kontras dengan aura gelap yang tadi ia pancarkan."Kakak?" sapanya, tersenyum lebar, terlihat polos seperti anak kecil. Kebetulan sekali kakaknya itu ada di rumah. Jadi, tidak perlu repot-repot mencari alasan agar dia datang.Kening Agra mengerut, terkejut lantaran tidak biasanya Ivan datang. Namun, bukan hal itu yang membuatnya heran. Pandangannya mengarah pada Deana yang m
“Suami anda tidak bisa menghasilkan keturunan.” Kata-kata itu bergema di telinga Deana Kamanta.Ia duduk kaku di kursi rumah sakit, jemarinya gemetar menggenggam kertas hasil pemeriksaan yang masih hangat. Sedangkan matanya berulang kali membaca baris yang sama, berharap ada kesalahan cetak, berharap dokter keliru. Akan tetapi, tidak. Kata-kata itu tertulis sangat jelas.Infertilitas pria.Suaminya mandul, seperti yang dokter sampaikan.“Memalukan!” Ivan Mahawira, suaminya, bergumam seraya berjalan mondar-mandir di depannya. Sama seperti dirinya, ia juga sangat kecewa.Mendengar itu, lantas Deana mendongak, kemudian berdiri. Ia meraih lengan suaminya, berusaha menenangkannya. Ivan berhenti bergerak ketika Deana berbicara, “Aku tahu ini berat buat kita, tapi kamu harus tahu kalau ini bukan salah siapa-siapa. Ini medis, bukan Aib. Kita bisa coba program bayi tabung, donor sperma atau—” “Diam!” Ivan menoleh, matanya merah menyala dan suaranya menggema di sepanjang koridor. “Jangan seo







