Home / Rumah Tangga / Meminjam Benih Kakak Ipar / 5. Tidak Bisa Menahan Diri

Share

5. Tidak Bisa Menahan Diri

Author: Manorra Lee
last update Last Updated: 2025-09-21 17:32:23

“Apa yang mengganggu pikiranmu?”

Di tengah kegiatan menyantap sashimi, Agra dibuat sangat terganggu dengan gerakan gelisah Deana. Wanita itu tidak berhenti menggoyangkan kaki, dan menjatuhkan sumpit ke mangkok hingga menimbulkan dentingan nyaring.

Dengan tatapan polos ia mendongak, bola matanya bergerak cepat seolah sedang mencari alasan.

“Tidak ada. Hanya saja ….” Ia melihat ke arah pintu.

“Kenapa Ivan lama sekali. Apa aku harus keluar untuk mencarinya?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Di sisi lain, ia tidak mau disangka melarikan diri dari kecanggungan, walaupun memang itu yang sebenarnya ingin ia lakukan.

“Kenapa harus repot-repot, kamu bisa menggunakan ponselmu.” Agra menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.

Mengikuti arah pandang Agra, ragu-ragu Deana mengambil ponsel itu dan mengetikkan sesuatu. Di dalam hati ia menggerutu kesal karena seolah pria itu tidak membiarkannya keluar.

Pesan terkirim, Deana meletakkan ponselnya kembali, bersamaan dengan pintu yang dibuka dari luar. Deana mengira itu suaminya, ternyata seorang pelayanan.

“Maaf mengganggu waktunya, Tuan dan Nyonya. Pak Ivan berpesan, dia meminta maaf karena ada urusan mendadak yang sangat penting. Sebagai permintaan maaf beliau memesankan dessert terbaik dari resto kami.”

Pelayan lelaki yang masih muda itu meletakkan nampan berisi dua mangkok kecil es krim yang terlihat lezat.

“Maaf, apakah dia mengatakan ke mana akan pergi?” tanya Deana, cemas. Tidak menyangka Ivan akan benar-benar meninggalkannya.

“Tidak Nyonya, Pak Ivan tidak mengatakan apa pun selain yang saya sampaikan tadi.”

Tubuh Deana mendadak lemas. Keresahan yang tercetak di wajahnya bisa dilihat dengan jelas oleh Agra. Pria itu berdeham dan menyuruh pelayanan untuk segera keluar, kemudian memusatkan pandangan pada Deana.

“Aku akan mengantar pulang.” Ia tidak keberatan. Toh, mereka tinggal di rumah yang sama.

Deana menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku bisa pulang dengan taxi online.”

Ia tidak bisa terjebak dalam suasana canggung dan kaku ini lebih lama. Ia akan mati kaku kalau tidak segera melarikan diri, tatapan pria itu membuatnya seperti bihun kering.

Agra meletakan sumpit di meja dan berkata dengan nada malas, “Kita tinggal di rumah yang sama, kenapa bertingkah seperti orang asing?” tanyanya, lebih terdengar seperti keluhan.

Deana tertegun untuk beberapa saat, berpikir kakak iparnya itu tidak sedingin sebelumnya, dan justru terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Begitu tersadar, ia menggelengkan kepala seraya mengibaskan tangan.

“Bu-bukan seperti itu. Aku hanya tidak ingin ada yang salah paham,” cicitnya, beralasan.

Sebenarnya bukan sebuah masalah besar kalaupun mertuanya melihat. Hanya saja, ia benar-benar tidak bisa terus berdua dengan pria itu. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya, sebab jantungnya tidak berhenti berdebar dan matanya ingin menyelami ketampanan Agra ebih lama.

Kalau terus-menerus seperti ini, Deana bisa benar-benar mati.

“Kamu takut Ivan cemburu?” Agra tertawa, hanya beberapa detik sebelum wajahnya berubah datar. Ia meraih es cream yang tadi dibawakan pelayanan, lalu menyantapnya dengan serius.

“Habiskan makananmu. Mau atau tidak, kita akan pulang bersama."

Tidak ada yang bisa Deana lakukan selain diam dan menurut, sambil sesekali curi-curi pandang ke arah Agra. Sedangkan kepalanya bekerja, memikirkan apa yang harus ia lakukan nanti.

Mengenyampingkan rasa takut dan gelisah, mungkin ini waktu yang tepat untuk mengambil hati calon penerus kerajaan bisnis keluarga Mahawira itu.

Sekarang ia mengerti kenapa kakek lebih memilih Agra ketimbang Ivan. Dalam ekspresi apa pun, semua orang akan tahu dia pria yang pintar, tegas dan berwibawa. Berbeda dengan Ivan yang memiliki citra pembangkang dan kekanakan.

Meskipun begitu, Deana akan tetap mendukung suaminya, dan mendapatkan keturunan untuk menggeser posisi Agra. Sebagai istri yang baik, ia tidak ingin suaminya diremehkan dan dihina

Semangat dan rasa yakin yang menggebu tiba-tiba menghinggapi Deana.

Aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan benih kakak ipar, batinnya yakin.

Deana tersenyum cerah begitu semua makanan di hadapannya bersih. Ia bersumpah kali ini tidak akan memuntahkannya sedikit pun.

“Kakak, aku sudah selesai.”

Agra yang nyaris memejamkan mata karena tiba-tiba pusing pun mendongak menatapnya. Jakunnya bergerak naik turun bersama saliva yang meluncur kasar di tenggorokan. “Hemm ….” Ia hanya bergumam.

Menyadari keanehan di wajah Agra, Deana bertanya dengan panik, “Wajah kakak merah, apakah kakak sakit?”

Spontan ia mencondongkan tubuhnya, meletakkan punggung tangannya di dahi Agra dengan kening mengkerut. Sedangkan tangannya yang lain memegang punggung tangan Agra yang sama panasnya.

Seketika, matanya melebar dengan bibir sedikit terbuka. “Astaga!” pekiknya. “Bagaimana ini, kakak ipar panas sekali. Dia demam."

Agra yang merasakan tangan lembut menyentuh permukaan kulitnya pun dilanda gelisah dan enggan melepaskan ketika Deana berusaha menarik tangannya.

“Ada apa, Kakak? Aku harus menghubungi Ivan. Atau ingin pergi ke rumah sakit dengan taxi saja?” Deana benar-benar panik, menatap wajah Agra dan pergelangan tangannya yang dicengkeram sangat erat.

Menahan rasa panas yang tidak biasa di tubuhnya, Agra memejamkan mata, lalu menggeleng disertai geraman samar. “Sialan!” Ia malah mengumpat. Tentu, kata itu membuat Deana terkejut.

“Pulanglah sendiri dengan taxi. Aku bisa mengurus diriku sendiri,” ucap Agra sembari melepaskan tangan Deana perlahan.

“T-tapi …. Aku tidak bisa melakukannya.” Tanpa pikir panjang, Deana memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang miliknya, kemudian menghampiri Agra, tangan kecilnya bertengger di bahu lebar Agra. “Ayo, aku akan membantumu pergi ke rumah sakit.”

Jari-jari yang secara tidak langsung menyentuh tubuhnya membuat Agra meremang, sesuatu di bawah sana terasa sakit dan sesak. Berkali-kali ia mengumpat di dalam hati, merutuki keputusan Deana yang mungkin akan disesalinya nanti.

Deana memapah pria itu keluar dengan susah payah. Ia berhenti di depan pintu restoran, tidak tahu harus membawa Agra ke mana.

Rumah sakit? Atau langsung pulang? Tangannya gemetar menahan tubuh pria itu.

“Bawa aku ke mobil …,” suara Agra rendah dan berat, terdengar seperti perintah.

Deana mengangguk dan menuntunnya menuju parkiran, setelah ini ia berencana untuk memesan taxi berhubung ia tidak bisa menyetir. Begitu pintu mobil terbuka, ia membantu Agra duduk di kursi penumpang, lalu ikut masuk untuk memastikan pria itu baik-baik saja.

Namun, belum sempat menutup pintu, Agra sudah bergerak cepat. Tangannya yang panas mencengkeram tengkuk Deana, menarik tubuh mungil itu ke arahnya.

“Kakak—” seruan itu langsung terputus ketika bibir Agra mendarat kasar di bibirnya.

Deana terkejut, matanya membesar. Tubuhnya menegang, tidak siap dengan serangan mendadak itu. Akan tetapi, Agra tidak memberi kesempatan untuk menolak. Bibirnya menekan, menuntut, menggerus dengan panas yang membakar. Napasnya berat.

Semakin dalam ia melumat, semakin tidak terkendali gairah yang menguasainya.

Desahan lolos di tenggorokan Deana. Tangannya berusaha mendorong dada bidang Agra, tetapi cengkeraman di pinggangnya justru semakin kuat, membuatnya tidak bisa menghindar. Dalam satu tarikan, Agra menguasai mulut Deana sepenuhnya.

“Aku tidak pernah membayangkan ini terjadi, Deana. Kamu sendiri yang menyerahkan diri padaku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   6. Ke Dokter?

    “Kakak ipar …. Jangan lakukan ini, jangan ….” Deana meronta dengan tidak terkendali saat tangan Agra perlahan menyusup ke dalam pakaiannya. Ia membeku begitu tangan hangat itu menyentuh permukaan kulit punggungnya tanpa penghalang.Sebuah lenguhan lolos tanpa sadar. Tangannya justru melingkar di leher Agra, membiarkan bibir pria itu menginvasi dada bagian atasnya. “Apa Ivan bisa memberimu ini, hem? Responmu seperti wanita yang sudah lama tidak disentuh.” Suara Agra rendah dan serak, menggerogoti kewarasannya.Tidak, Ivan tidak bisa memberikan kesenangan yang sama. Sudah lama sekali sejak Ivan mempermainkannya seperti ini. Sejak dituntut untuk memiliki keturunan, Ivan hanya fokus menumpahkan benih tanpa melakukan hal lain, seolah dia hanya menginginkan anak dan tidak peduli akan kepuasan Deana atau dirinya sendiri.“Kenapa tidak menjawab?” Agra mendongak, mengarahkan mata gelap berkabutnya ke wajah Deana yang duduk mengangkang di pangkuan. Tangannya perlahan merambat ke depan tubuh

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   5. Tidak Bisa Menahan Diri

    “Apa yang mengganggu pikiranmu?”Di tengah kegiatan menyantap sashimi, Agra dibuat sangat terganggu dengan gerakan gelisah Deana. Wanita itu tidak berhenti menggoyangkan kaki, dan menjatuhkan sumpit ke mangkok hingga menimbulkan dentingan nyaring.Dengan tatapan polos ia mendongak, bola matanya bergerak cepat seolah sedang mencari alasan. “Tidak ada. Hanya saja ….” Ia melihat ke arah pintu. “Kenapa Ivan lama sekali. Apa aku harus keluar untuk mencarinya?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Di sisi lain, ia tidak mau disangka melarikan diri dari kecanggungan, walaupun memang itu yang sebenarnya ingin ia lakukan.“Kenapa harus repot-repot, kamu bisa menggunakan ponselmu.” Agra menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.Mengikuti arah pandang Agra, ragu-ragu Deana mengambil ponsel itu dan mengetikkan sesuatu. Di dalam hati ia menggerutu kesal karena seolah pria itu tidak membiarkannya keluar.Pesan terkirim, Deana meletakkan ponselnya kembali, bersamaan dengan pintu yang dibuka dari l

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   4. Makan Malam

    “Kamu benar-benar menghancurkan segalanya!” Ivan menatap tajam sang istri yang duduk di tepi ranjang, sedang menunduk meremas tangannya yang dingin dan gemetar. “Kamu harus bertanggung jawab!”Dengan takut-takut Deana mengangkat kepalanya, sorot mata tajamnya berembun, bibirnya yang bergetar sedikit terbuka.“Aku sudah bertanggung jawab, mengobatinya dan membantunya bekerja semalaman kalau kamu tahu! Tentu saja kamu tidak tahu, kamu tidak pernah mau tahu apa yang kulakukan!” teriaknya, tertelan bersama saliva yang meluncur kasar di tenggorokan. Ia tidak bisa mengatakannya, ia tidak bisa berteriak seperti itu kepada Ivan.Tiga tahun ini ia selalu bersikap lembut dan baik, sekalipun pria itu telah menyakitinya. Karena ia mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini. “Ap-apa yang harus kulakukan?” tanyanya kemudian, dengan terbata. Tenggorokannya mendadak sakit, suaranya keluar dengan kasar seperti memuntahkan kerikil. “Ivan, aku belum siap untuk melakukannya sekarang. Ak-aku butuh w

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   3. Gara-Gara Kopi

    "Apa yang kamu lakukan di sana?" Ivan yang sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan tiba-tiba bertanya ketika melihat Deana masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuh di atas ranjang."Aku ingin beristirahat. Memangnya kenapa? Ada yang harus kubantu?" Ia baru saja mencuci piring dan membereskan meja setelah makan malam. Tubuhnya sangat lelah disamping merasa tertekan karena Carla tidak berhenti menyinggungnya soal kehamilan."Kakak ada di mana?" tanya Ivan."Aku melihatnya sedang menerima telpon di ruang tengah, sepertinya dia sedang sibuk," jawab Deana acuh tak acuh. Sejujurnya ia sedang menghindari rencana Ivan dengan mengatakan Agra sedang sibuk, lantaran ia belum siap melakukan sesuatu. Entah kenapa, tatapan kakak iparnya itu membuat jantungnya berdebar-debar."Tck! Mungkin dia sedang bekerja." Ivan menarik napas panjang. "Begini saja. Kamu buatkan dia kopi dan sedikit basa-basi agar nantinya tidak terlalu kaku.”"Tapi, Ivan, aku benar-benar lelah. Besok saja ya, sekarang biark

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   2. Kediaman Mahawira

    Rumah besar keluarga Mahawira selalu tampak megah, tetapi bagi Deana, rumah itu terasa seperti penjara yang pintunya sudah dikunci rapat. Ia menelan ludah susah payah ketika kini sudah menghadap pintu besar itu."Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak perlu takut. Kita cukup mengatakan kalau rumah kita dalam renovasi dan terpaksa menginap untuk beberapa hari. Bukankah itu bukan sesuatu yang sulit?" Ivan berbisik tajam di telinganya.Mau tidak mau Deana mengangguk, walau kepalanya terasa berat.Saat tangan Ivan terulur akan mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Ivan langsung memasang wajah sumringah, kontras dengan aura gelap yang tadi ia pancarkan."Kakak?" sapanya, tersenyum lebar, terlihat polos seperti anak kecil. Kebetulan sekali kakaknya itu ada di rumah. Jadi, tidak perlu repot-repot mencari alasan agar dia datang.Kening Agra mengerut, terkejut lantaran tidak biasanya Ivan datang. Namun, bukan hal itu yang membuatnya heran. Pandangannya mengarah pada Deana yang m

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   1. Mandul

    “Suami anda tidak bisa menghasilkan keturunan.” Kata-kata itu bergema di telinga Deana Kamanta.Ia duduk kaku di kursi rumah sakit, jemarinya gemetar menggenggam kertas hasil pemeriksaan yang masih hangat. Sedangkan matanya berulang kali membaca baris yang sama, berharap ada kesalahan cetak, berharap dokter keliru. Akan tetapi, tidak. Kata-kata itu tertulis sangat jelas.Infertilitas pria.Suaminya mandul, seperti yang dokter sampaikan.“Memalukan!” Ivan Mahawira, suaminya, bergumam seraya berjalan mondar-mandir di depannya. Sama seperti dirinya, ia juga sangat kecewa.Mendengar itu, lantas Deana mendongak, kemudian berdiri. Ia meraih lengan suaminya, berusaha menenangkannya. Ivan berhenti bergerak ketika Deana berbicara, “Aku tahu ini berat buat kita, tapi kamu harus tahu kalau ini bukan salah siapa-siapa. Ini medis, bukan Aib. Kita bisa coba program bayi tabung, donor sperma atau—” “Diam!” Ivan menoleh, matanya merah menyala dan suaranya menggema di sepanjang koridor. “Jangan seo

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status