Share

Chapter 8

Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja?

               Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluruh kegiatan ekskul, kami tidak berhenti belajar. Terkadang kami membuat kuis dadakan untuk satu sama lain, dan mentraktir minuman bersoda atau teh lemon dingin bagi yang kalah. Aku juga menghabiskan waktu istirahat dan sela sela pergantian jam pelajaran untuk mempelajari materi lomba. Hingga akhirnya perlahan aku merasa jarak kemampuan kami semakin kecil. Aku cukup percaya diri dengan kemampuanku sekarang, dan itu juga berkat dukungan Derald.

               “Aku ingin pergi.” Kata Derald tiba-tiba ketika aku baru saja mengeluarkan catatan berisi materi latihan kami dari dalam tas. Hari itu seperti biasa, aku dan Derald berkumpul di bawah pohon.

               “Hah? Apa yang kau bicarakan tiba-tiba? ahaha.. Kau aneh.” aku melihatnya sedang menopang dagunya bosan. Seperti berpura pura sebagai anak kecil.

               “Aku bilang aku ingin pergi” 

               “Kemana?”

               Dia kemudian melirikku yang menatapnya kebingungan.

               “Hei, setelah ini semua selesai, ayo kita jalan!”

               Tiba tiba aku bisa merasakan jantungku sempat berhenti berdetak sepersekian detik tadi. Atau mungkin ia sedang melompat. Apapun itu aku dapat merasakannya dengan jelas. Apa dia bermaksud mengajakku kencan? Heyy tidak tidak, terlalu cepat untuk berkesimpulan seperti itu tanpa bukti Sofia. Tetaplah tenang!.

               “Setelah ini semua selesai, aku sudah ada jadwal berduaan dengan uang hasil lomba ini.”

               AAAHHH! Sofiaaaa, bicara apa kau ini??? Apa apaan dengan nada bicara yang datar itu? Mengapa tiba tiba ada kata berduaan? Membicarakan uang disaat seperti ini benar-benar nampak seperti orang yang membosankan! Meskipun itu memang niatku yang sebenarnya, tidak bisakah aku mengatakan hal lain? Dasar bodoh.

               “Berduaan dengan uang ya..” jawab Derald dengan nada bosan yang sama.

               Kau lihat? Derald bahkn sudah merasa jijik dengan diriku setelah aku mengatakannya dengan begitu datar. Habislah sudah… Siapapun tolong kubur aku sekarang. Aku tidak mampu bicara apapun lagi setelahnya dan hanya menunduk. Derald kemudian melanjutkan kata-katanya.

               “Apa kau tidak ingin berduaan …” dia menyingkap rambut yang menutupi wajahku. Mata kami kemudian bertemu.  “….  denganku?”

               Selama beberapa detik angin lembut sore hari bertiup, sembari diriku yang masih menatap matanya. Tatapan dari mata hitamnya yang begitu dalam dan jujur, seperti menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan. Kali ini dia tidak tersenyum, dan aku masih membisu.

               Dia melanjutkan kata katanya.

               “Ahahaha, ada apa? Kau tiba-tiba jadi sekaku patung selamat datang. Kau pasti tidak berpengalaman menghadapi laki-laki.” Seketika aku merasa jiwaku baru saja kembali masuk dalam tubuhku. “A,Aku tidak begitu!” bentakku untuk menghindari agar wajahku tidak menampakkan sesuatu yang aneh. Dia kemudian meresponku. “Kau pasti ...”

                “Hai, Hai, waktu bermesraan sudah berakhir, kalian berdua.” Seru Jimmy diikuti Bobyang berjalan bersama menuju kesini. Dibelakangnya tampak Ellen dan Stacy yang sibuk mengobrol dalam topik mereka sendiri. Aku mencoba menengahi kesalah pahaman yang terjadi.

               “Kami tidak..”

               “Tenanglah, kami tidak akan mengatakan apapun pada mereka berdua, benar kan Bob?” Jimmy mengisyaratkan “mereka berdua” yang dimaksud adalah Ellen dan Stacy. Bob kemudian merespon dengan menutup mulutnya dengan tangan seperti menutup sebuah zipper dan membuang kuncinya. Tetap saja ini suatu kesalahpahaman besar, meski aku akui, aku memiliki sedikit harapan bahwa itu benar.

               “Tapi tetap saja bukan seperti itu teman teman. Derald, bantu aku jelaskan pada mereka.” Derald melihat kearah lain dengan tetap menopang dagunya.

               “Derald!” teriakku kesal, tapi aku tetap berupaya agar suaraku tidak terdengar terlalu jauh. Sisi menyebalkannya itu muncul diwaktu yang tidak tepat. Sangat tidak tepat. Sedangkan dua cowok itu terkekeh panjang menertawakan kejadian ini. Apa Derald sengaja melakukannya? Apa intensi sebenarnya? Aku tidak bisa memahami cowok ini. Atau bahkan cowok manapun.

               “Hai semua, apa kami terlewat sesuatu?” Ellen dan Stacy baru sampai dan menyapa kami berempat. “Tidak, hanya ada  pemandangan 2 rakun yang sibuk mendekatkan diri satu sama lain tadi.” Kata Jimmy santai. Aku langsung memukul lengannya. “Jim!” bisikku. Jimmy hanya tertawa bersama Bob. “Wah ada apa ini? Kalian mencurigakan. Hmmm” sekarang giliran Stacy ikut menimpali.

               “Oke, semua sudah berkumpul. Ayo segera kita mulai berlatih. Waktu kita tidak banyak kawan-kawan.” Oh, Derald tiba-tiba bicara memfokuskan tujuan pertemuan kami yang sempat tak jelas arahnya. Warna tiba tiba berbeda, kembali menjadi sosok pemimpin tim. Benar benar secara tiba-tiba. Aku tak paham lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status