Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja?
Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluruh kegiatan ekskul, kami tidak berhenti belajar. Terkadang kami membuat kuis dadakan untuk satu sama lain, dan mentraktir minuman bersoda atau teh lemon dingin bagi yang kalah. Aku juga menghabiskan waktu istirahat dan sela sela pergantian jam pelajaran untuk mempelajari materi lomba. Hingga akhirnya perlahan aku merasa jarak kemampuan kami semakin kecil. Aku cukup percaya diri dengan kemampuanku sekarang, dan itu juga berkat dukungan Derald.
“Aku ingin pergi.” Kata Derald tiba-tiba ketika aku baru saja mengeluarkan catatan berisi materi latihan kami dari dalam tas. Hari itu seperti biasa, aku dan Derald berkumpul di bawah pohon.
“Hah? Apa yang kau bicarakan tiba-tiba? ahaha.. Kau aneh.” aku melihatnya sedang menopang dagunya bosan. Seperti berpura pura sebagai anak kecil.
“Aku bilang aku ingin pergi”
“Kemana?”
Dia kemudian melirikku yang menatapnya kebingungan.
“Hei, setelah ini semua selesai, ayo kita jalan!”
Tiba tiba aku bisa merasakan jantungku sempat berhenti berdetak sepersekian detik tadi. Atau mungkin ia sedang melompat. Apapun itu aku dapat merasakannya dengan jelas. Apa dia bermaksud mengajakku kencan? Heyy tidak tidak, terlalu cepat untuk berkesimpulan seperti itu tanpa bukti Sofia. Tetaplah tenang!.
“Setelah ini semua selesai, aku sudah ada jadwal berduaan dengan uang hasil lomba ini.”
AAAHHH! Sofiaaaa, bicara apa kau ini??? Apa apaan dengan nada bicara yang datar itu? Mengapa tiba tiba ada kata berduaan? Membicarakan uang disaat seperti ini benar-benar nampak seperti orang yang membosankan! Meskipun itu memang niatku yang sebenarnya, tidak bisakah aku mengatakan hal lain? Dasar bodoh.
“Berduaan dengan uang ya..” jawab Derald dengan nada bosan yang sama.
Kau lihat? Derald bahkn sudah merasa jijik dengan diriku setelah aku mengatakannya dengan begitu datar. Habislah sudah… Siapapun tolong kubur aku sekarang. Aku tidak mampu bicara apapun lagi setelahnya dan hanya menunduk. Derald kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Apa kau tidak ingin berduaan …” dia menyingkap rambut yang menutupi wajahku. Mata kami kemudian bertemu. “…. denganku?”
Selama beberapa detik angin lembut sore hari bertiup, sembari diriku yang masih menatap matanya. Tatapan dari mata hitamnya yang begitu dalam dan jujur, seperti menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan. Kali ini dia tidak tersenyum, dan aku masih membisu.
Dia melanjutkan kata katanya.
“Ahahaha, ada apa? Kau tiba-tiba jadi sekaku patung selamat datang. Kau pasti tidak berpengalaman menghadapi laki-laki.” Seketika aku merasa jiwaku baru saja kembali masuk dalam tubuhku. “A,Aku tidak begitu!” bentakku untuk menghindari agar wajahku tidak menampakkan sesuatu yang aneh. Dia kemudian meresponku. “Kau pasti ...”
“Hai, Hai, waktu bermesraan sudah berakhir, kalian berdua.” Seru Jimmy diikuti Bobyang berjalan bersama menuju kesini. Dibelakangnya tampak Ellen dan Stacy yang sibuk mengobrol dalam topik mereka sendiri. Aku mencoba menengahi kesalah pahaman yang terjadi.
“Kami tidak..”
“Tenanglah, kami tidak akan mengatakan apapun pada mereka berdua, benar kan Bob?” Jimmy mengisyaratkan “mereka berdua” yang dimaksud adalah Ellen dan Stacy. Bob kemudian merespon dengan menutup mulutnya dengan tangan seperti menutup sebuah zipper dan membuang kuncinya. Tetap saja ini suatu kesalahpahaman besar, meski aku akui, aku memiliki sedikit harapan bahwa itu benar.
“Tapi tetap saja bukan seperti itu teman teman. Derald, bantu aku jelaskan pada mereka.” Derald melihat kearah lain dengan tetap menopang dagunya.
“Derald!” teriakku kesal, tapi aku tetap berupaya agar suaraku tidak terdengar terlalu jauh. Sisi menyebalkannya itu muncul diwaktu yang tidak tepat. Sangat tidak tepat. Sedangkan dua cowok itu terkekeh panjang menertawakan kejadian ini. Apa Derald sengaja melakukannya? Apa intensi sebenarnya? Aku tidak bisa memahami cowok ini. Atau bahkan cowok manapun.
“Hai semua, apa kami terlewat sesuatu?” Ellen dan Stacy baru sampai dan menyapa kami berempat. “Tidak, hanya ada pemandangan 2 rakun yang sibuk mendekatkan diri satu sama lain tadi.” Kata Jimmy santai. Aku langsung memukul lengannya. “Jim!” bisikku. Jimmy hanya tertawa bersama Bob. “Wah ada apa ini? Kalian mencurigakan. Hmmm” sekarang giliran Stacy ikut menimpali.
“Oke, semua sudah berkumpul. Ayo segera kita mulai berlatih. Waktu kita tidak banyak kawan-kawan.” Oh, Derald tiba-tiba bicara memfokuskan tujuan pertemuan kami yang sempat tak jelas arahnya. Warna tiba tiba berbeda, kembali menjadi sosok pemimpin tim. Benar benar secara tiba-tiba. Aku tak paham lagi.
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli
“Siaaap, MULAIII!!!”Aku menutup mataku. Mulai merasakan tubuhku bergerak maju tanpa menggerakkan kakiku. Tanpa sadar aku mengencangkan pelukanku padanya. Sepertinya aku sempat menjerit ketika dia mulai berlari, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Aku membenamkan wajahku dibalik punggungnya yang lebar. Antara takut jatuh atau malu. Derald kembali berbicara ditengah nafasnya yang terengah. “*hufh* Kau berat ya..” “Jangan bicarakan itu sekarang, aku akan jatuh!” teriakku panic. Tapi Derald hanya tertawa dan terus melanjutkan larinya kearah teman-teman kami di bawah pohon. Aku mendengar sayup terdengar teriakan mereka dari kejauhan. Tetapi lagi lagi, yang bisa kuingat hanya diriku yang sedang memeluk Derald sambil berlari sekarang.&
“Ayo” kata Derald. “Kemana?” tanyaku sambil berdiri. “Ke bawah pohon. Kau mau menunggu sendirian di lapangan ini?” Saat itu juga aku baru sadar orang-orang sudah pergi. “Ya... baiklah.” Sampai di ‘markas’ tempat kami biasa berlatih, aku langsung bersandar pada pohon itu. “Ah.. nyaman sekali” kataku perlahan bersandar. “Tadi itu sangat menyenangkan, seru sekali.. Seandainya kita tidak berdebat, pasti kita bisa menjawab semuanya.” Aku membuka tutup botol minumku dan mulai meminumnya. “Aku sudah mengatakan jawabannya, tapi kau malah bilang jawabanku salah.” Jawabnya. Kami terus bercerita tentang seleksi tadi. Itu memang topik yang bagus untuk saat ini. Sore itu sangat nyaman. Bersandar di bawah pohon,
“Lomba akan diadakan 3 hari lagi. Karena lomba ini diadakan bersamaan dengan Pekan Pramuka, maka kita akan bersama dengan anggota pramuka dan klub sains dari berbagai daerah. Kita juga akan menginap 2 hari 1 malam disana.” Suara kemudian menjadi riuh, padahal kami hanya ber 6. Tapi aku hanya terdiam. Bukannya aku tidak suka jika itu menginap. Masalah terbesarnya berada di orangtuaku. Bagaimana aku akan mendapatkan izin untuk ini?Menginap? Bahkan untuk bermain bersama teman-temanku diluar hari sekolah saja sudah cukup untuk membuat satu rumah terasa kaku dan dingin. Itu terakhir kali terjadi di sekolah dasar. Aku hanya memiliki 72 jam tersisa sampai waktunya tiba nanti. Apa aku harus memicu permasalahan itu lagi? Atau aku harus mundur dari kesempatan ini? Tapi aku benar benar tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang uang lomba, teman teman, atau Derald. Ini tentang diriku dan kesempatanku untuk berkembang. Aku mungkin tidak akan mendapat kesempatan yang s
“Tunggu, tunggu dulu, Derald. Setelah kupikir pikir sepertinya tidak usah. Hahah, Iya, aku baik baik saja. Aku akan mencoba untuk mengatasi ini sendiri. Hahaha.. iya..” Kataku dengan tawa janggung disetiap selanya. “Kenapa?” Derald bertanya seperti benar benar tidak mengerti apa dan mengapa. Gawat, aku sungguh belum menemukan alasan yang pas untuk kukatakan padanya dan mencegahnya bertemu orangtuaku. Derald kembali berbicara. “Tenang saja, kau tau, semua sponsor acara sekolah kita sampai saat ini? Akulah yang menegosiasikannya selama aku bergabung dengan OSIS. Ini pasti akan berjalan lancer. Percayalah. Hahaha..” katanya sangat percaya diri sambil menepuk pundakku dengan maksud menghibur. Tapi aku tetap sama sekali tidak terhibur. “Oh, benar juga. Karena 3 hari lagi kita akan berangkat, bagaimana jik
Di bawah, aku sudah melihat ayah dan Bill yang berada di depan TV sambil menungggu ibu yang sedang menyiapkan makan malam. Bau masakan ibu sudah menyeruak kemana mana, sepertinya akan segera matang. Aku dengan kaos putih longgar dan celana pendek hitamku langsung ikut menubrukkan diri ke sofa tempat ayah dan Bill. “Kau tidak membantu ibumu, Sofia?” Ayah menegurku namun tidak melihat mataku ketika berbicara. Dan akupun juga melakukan hal yuang sama. “Ibu sebentar lagi sudah selesai.” Jawabku singkat, nampaknya ayah juga tidak peduli dengan apapun jawabanku. Seperti biasa. Jujur saja, semakin aku beranjak ‘tua’, aku semakin tidak ingin berbicara dnegan orangtuaku, khusunya ayah. Entahlah, aku hanya tidak nyaman. Insitngku mengatakan akan selalu ada hal tak baik jika aku berbicara secara dalam dengan ayahku. Tapi saat ini nampaknya ayah nampaknya punya lebih dari satu topik untuk diceritakan.
Selama berlari Derald tidak melepas genggaman tangannya padaku. Tempo larinya juga disesuaikan dengan kemampuan fisikku. Aku menyadarinya karena kecepatan berlarinya tidak secepat waktu itu ketika menggendongku. Ini terasa sangat menyenangkan. Meskipun agak melelahkan untuk fisikku yang lemah. Aku merasa payah tiba tiba. “Tunggu disini, aku akan segera kembali.” Katanya padaku ketika dia berhenti berlari. Dia kemudian masuk ke salah satu rumah yang cukup besar dengan banyak motor disana. Dia kemudian keluar dengan menaiki motor besar dan helm yang sudah nagkring manis di kepalanya. Derald mengangkat kaca helmnya. “Naiklah, jika terlalu lama kita tidak akan sempat berkeliling.”Tanganku yang sedang meraih helm yang disodorkannya terhenti karena kalimatnya tadi. “Tunggu, apa yang baru saja ka―”&nb