Share

Chapter 9

Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini.

               Aku.

               Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan peliharaan kami. Kalau ada yang bertanya padaku tentang perasaanku pada Derald, maka jawabanku mungkin hanya…

               “Well, kami cuma teman”. Maksudku, ayolah,sepasang muda mudi yang duduk dibawah pohon bukan berarti saling mencinta kan? Mungkin mereka hanya sedang belajar?

               Meski aku juga tidak terlalu yakin dengan jawaban itu. Aku sebenarnya juga merasa bingung. Terkadang apa yang dilakukan Derald dan bagaimana dia bertindak dihadapanku bukan seperti apa yang dilakukan antar teman.   

               Waktupun terus berjalan, bagi dari cabang lomba manapun di tim 2 sekarang sudah lebih siap dari sebelumnya. Namun kami tetap berkumpul di bawah pohon itu setiap harinya dengan berbagai kesibukan tambahan selain tetap berlatih, seperti mengerjakan tugas, atau bahkan bermain.

               Seperti hari itu, cukup banyak waktu yang tersisa, dan kami memutuskan sehari sebelum seleksi kami akan bersantai.

               “Hei, semuanya! Lihat apa yang kupunya!” Bob datang dan berhasil menarik perhatian kami semua di bawah pohon. Bahakn mungkin juga beberapa orang lain di sekitar. Mata semua orang tampak sangat penasaran dengan apa yang Bob bawa. Ya, setumpuk kartu. “Aku mendapatkannya dari anak anak di Klub Permainan Papan. Kita akan bermain kali ini.” Bob menjelaskan dengan sangat antusias, begitu juga yang lainnya. Mungkin juga Derald. “Aku tidak ikut. Aku tidak ingin menang dan mengecewakanmu, Bob. Maaf” kata Derald. “Sombongnya..” kataku sambil meliriknya yang cengar cengir. “Tidak tidak, ini bukan soal menang atau kalah. Ini tentang.. Harga dirimu.” Jelas Bob sambil memperlihatkan kartu kartu itu. “King and His People?” tanyaku.

               Permainan yang sudah cukup lama aku tidak memainkannya. Ada kartu raja dan rakyatnya. Jika kau mendapat kartu Raja maka kau bisa memerintahkan rakyat dengan menyebutkan angka pemain dan kegiatannya. Hanya ada satu kartu raja dan perintahnya dianggap ‘mutlak’ sesuai norma. Kartu akan terus dikocok juga dibagikan kembali secara acak pada tiap pemain. Aku jadi ingat ketika aku pertama kali bermain dengan teman temanku di sekolah dasar. Aku menangis karena mendapat perintah untuk menepuk bahu orang asing yang lewat karena aku sangat pemalu dulu. Benar benar payah.

               “Ya, aku rasa ini bagus untuk mendekatkan dan meningkatkan kekompakan tim.” Derald berkomentar. “Sudahlah, siapa peduli, aku hanya ingin mengetahui rahasia kalian semua! Hahaha..” kata Stacy. “Tapi aku akan lebih dulu menjebakmu Stace.” Ya, Ellen memang yang paling dekat dengan Stacy, sudah menjadi wajar dia menjahilinya. “Ah, bicara tentang rahasia, aku jadi ingat rahasiamu juga sudah kuketahui, benar kan’? Derald?” Jimmy menggoda. “Hmm? Yang mana?” Derald pura pura bodoh sambil tersenyum. Jenis senyum yang berbeda kali ini. Entahlah. “Sepertinya akan menyenangkan!”

               “Oke.. permainan dimulai! Aku akan mengocok kartu dan membagikannya.” Bob memulai. Tapi aku merasa ada yang kurang. Sepertinya dimulai terlalu cepat. “Kita… tidak menetukan batas perintahnya?” Bob terkekeh mengerikan “Ehehe.. Jika perintah yang diberikan sudah disetujui 2/3 dari kita, maka perintah itu mutlak.” Dia kemudian tersenyum dengan cara yang mengerikan juga. Aku berpikir ada yang benar benar aneh disini. Tapi  jika kuingat, tentunya kami sudah cukup ‘dewasa’ untuk menetukan mana yang boleh dan tidak.

               Masing masing kami sudah mendapat kartu. Aku mendapat angka 2. Aku melihat Ellen mendapat angka 4 dan Bob angka 5. Berarti kartu raja ada di antara Stacy, Jimmy dan Derald. “Oh aku jadi raja!” Kata Stacy sedikit terkejut kemudian dengan cepat berubah menjadi tawa jahat. “Ahahaha.. Aku perintahkan pemain nomor 5 untuk mendeskripsikan orang yang disukainya!” dia memerintah dan menunjuk Ellen. Eh?.

               “Aku pemain nomor 5” jawab Bob bingung. Kami juga bingung.

               “Eh? Bukannya Ellen nomor 5?” Stacy kebingungan.

               “Aku nomor 4.” Jawab Ellen datar kemudian menertawakan Stacy.

               “AAHHH… Siaal! Huh.. baiklah. Bob silakan.”

Baru pertama kalinya aku melihat Bob memiliki wajah agak malu seperti itu. Meski dia menutupnya dengan tertawa bersama kami dan tubuhnya yang agak sedikit gempal.

“Hmm apa yaa, yang jelas dia perempuan.” Kami tertawa mendengar jawabannya, hingga Stacy memintanya untuk lebih spesifik.

“Di..Dia memiliki rambut panjang, selalu memakai pita dikepalanya. Tulisannya juga sangat bagus.” Kami menunggu kelanjutan ceritanya hingga dia tiba tiba berhenti.

“Ah sudahlah, itu sudah cukup kann??” Bob nampak kesal tetapi aku bisa melihat dia antusias ketika menceritakannya. Tapi kami semua belum bisa mengenali siapa yang dimaksud, khususnya aku yang bahkan tidak mengunjungi kelas lain keculai diminta oleh guru. Derald kemudian berbicara, lagi lagi dengan nada datar sambil mengangguk.

“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang detik itu juga.

“AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status