Share

Chapter 7

“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja.

               “Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas.

               “Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta materi. Aku tidak akan —dan memang tidak ingin― kalah dari Derald. Akan kupastikan dia melongo saat mengetahui kemampuanku yang sebenarnya.

               Aku menghabiskan banyak waktuku untuk belajar lebih dan lebih lagi untuk lomba ini. Seperti di jam istirahat, di sela sela pergantian jam pelajaran, hingga waktu dirumah pun aku terus membaca. Aku benar benar serius dengan perkataanku ingin menyainginya.

               “Hmm, sedang apa kau?”

               Ah, suara itu lagi. Tanpa melihatnya aku mendecak lidahku ditengah waktuku membaca buku. Aku kesal.

               “Derald, berhenti menggangguku. Kau sudah melakukan hal yang sama diwaktu yang sama dengan posisi yang sama selama 3 hari berturut turut. Kita bahkan tidak sekelas.” Dia masih berdiri di pojok mejaku dengan bertumpu dengan kedua tangannnya, hingga akhirnya dia menurunkan tubuh tingginya dan menjajarkan kepalanya untuk menatapku.

               “Mau selama apapun kau membaca buku tebal itu, kau tidak akan bisa mengalahkanku, Sofia.” Katanya santai, aku jadi merasa diremehkan.

               “Haah.. Pergilah, cari orang lain untuk—”

               “Tidak mau.” Sahutnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Aku hanya menatapnya kesal dan mencoba mengabaikannya.

               “Terserahlah, aku tidak ada waktu untuk meladenimu.”

               Sejenak setelah aku bicara, semuanya terdengar hening. Tidak ada lagi jawaban berisik yang menyahutku. Ketika aku melirik, ternyata Derald sudah tidak disini.

               Tunggu, apa dia benar benar pergi?

               Jadi… dia sudah pergi?

               Apa aku memperlakukannya terlalu kasar? Aku tiba tiba merasa tidak enak.

               Tanpa bergerak sedikitpun dari posisiku, aku melirik sekelilingku untuk memastikan apakah Derald sungguh pergi. Yang kudapati adalah ruang kelas yang masih sepi, hanya ada beberapa orang saja, yang ku deteksi sebagai mereka yang tidak memiliki sirkel pertemanan, aku turut prihatin dan memahami perasaan mereka. Tapi tetap tdak ada sosok Derald. Apa benar aku sudah menyakitinya? Apa kita bermusuhan sekarang? Padahal aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Ah, perrasaan ini benar benar membuatku berpikir berlebihan. Salah satu kelemahanku, overthinking.

               Aku segera menutup bukuku dan bernajak dari tempat duduk. Bergegas keluar untuk mencari Derald. Sampai selangkah keluar pintu kelas, aku hampir dibuat jantungan dengan daun pintu yang tiba tiba bergerak. Beruntung aku tidak menjerit atau berteriak semacamnya. Kemudian muncul sesuatu dari baliknya.

               “Kau mencariku?” Ternyata itu Derald, lagi. Baru saja aku mengkhawatirkannya, tapi nampaknya orang ini masih sehat wal afiat baik lahir dan batin tanpa kurang suatu apapun. Aku menghela nafas sesaat dan tidak bicara untuk menormalkan tubuhku setelah kejutan tadi, Derald melanjutkan kalimatnya tanpa jeda berarti.

               “Ya.. aku sudah tau pasti kau akan mencariku...” Uh, gayanya melipat tangan itu  membuatku sebal. “Apa kau mengkhawatirkanku?” Sekarang dia melempar lirik jahil padaku. Cukup tampan untuk membuatku tertegun, tapi tidak cukup untuk menghilangkan rasa kesalku yang tertuju padanya. Aku menghela nafas sejenak.

               “Kau beruntung aku tidak reflex menampar wajahmu yang menyebalkan itu beberapa detik lalu.”

               “Ahahaha, aku penasaran apakah itu akan terasa sangat manis, hm?” Sekarang seorang Derald mencoba untuk menggodaku. Aku baru mengetahui dia memiliki sisinya yang ini. Sisi yang menyebalkan, tapi sejujurnya… aku tidak terlalu terganggu dengan itu.

               “Berhenti bermain-main, aku akan pergi.” Aku memutar badanku 180 derajat dengan cepat untuk kembali ke tempatku membaca tadi.

               “Tunggu, Sofia...” Sekarang dia menahan tanganku. “Maaf aku tidak bermaksud untuk bermain-main.” Tanpa perintah khusus dari otakku, tubuhku melemaskan otot-ototnya. “Belakangan ini kau tampak sangat sibuk dengan buku-buku itu, kau bahkan jarang terlihat berada dikantin ataupun diluar rumahmu. Apa kau bahkan sempat makan? A-aku agak mencemaskan kondisimu, jadi aku berniat untuk membuatmu sedikit lebih rileks. Maaf aku berlebihan.”

               Ah.. dia menyadarinya.

               Jadi begitu…

               Apa dia memperhatikanku sebagai partnernya? Atau sebagai temannya? Atau,.. Ugh, sial, aku tidak bisa mengontrol emosiku.

               “Tenang saja.” Kataku pelan, aku tidak tau apakah aku sengaja mengatakannya atau hanya tidak sengaja keluar dari pikiranku. Kemudian aku menyadari aku agak sedikit tersenyum. “A-aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku juga tetap cukup makan. Jadi kau tidak perlu khawatir.” Aku bicara sambil menunduk karena malu. Derald terdengar terkekeh setelahnya. “Ta-tapi, untuk memikirkanku..” tanpa sadar aku meremas tangannya dalam genggamanku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk mengangkat kepala agar perasaanku dapat tersampaikan dengan jelas. “Terima kasih ya, Derald!” akupun tersenyum sambil mengatkannya. Akhirnya aku melakukannya. Menyampaikan perasaan itu, ternyata sangat sulit.

               Aku melihat wajah Derald sekilas setelah aku bicara. Aku melihat matanya agak sedikit terkejut kemudian membuang muka. Dia mengangkat tangan menuju arah wajahnya, tapi aku tidak dapat melihat jelas apa yang dia lakukan. “Ka-kalau begitu, sampai ketemu di tempat biasa nanti, Sofia.” Dia memutar badannya. “Iya, sampai jumpa nanti!” kataku tersenyum, dan Derald pun pergi. Meski aku merasa sesenang ini sekarang, aku bertnaya-tanya apa aku boleh untuk merasa seperti ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status