"Kami baru saja pulang dari dokter kandungan. Akan ada bayi di rumah ini," ucap Garneta.
Edlyn tidak mengalihkan mata dari buku yang dibacanya. "Aku benci bayi, apalagi bayi di dalam kandunganmu."
"Kita akan menjadi keluarga yang bahagia," lanjut Garneta, matanya memandangku penuh kemenangan. Kepalanya bersandar di bahu Pak Aksara.
"Hasna, tolong panggil semua pegawai. Aku ingin memberitahu kabar bahagia ini," perintah Pak Aksara.
"Baik, Pak," sahutku. Sebenarnya apa yang direncanakan Pak Aksara? Berita mengenai dirinya telah menikah dengan Garneta sudah menyebar karena ulah Bu Rosie.
Aku memanggil semua pekerja di rumah ini, ada Lenni, Pak Wirjo, Roni dan Pak Heri--satpam rumah.
Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan
"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad