POV AidaNamaku Aida Anandita, putri tunggal keluarga Reno Kusuma. Pemilik bisnis properti di Bandung. Ayah aslinya orang jawa, tetapi tinggal di Bandung karena menikah dengan Ibu. Sejak kecil, Ibu meninggalkan kami karena sakit. Namun, aku tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, karena sering di asuh Bu Anna, Istri sahabat karib Bapak. Persahabatan mereka sangat erat. Itu pula yang terjadi denganku dan Anaknya--Wisnu.Keluarga Mas Wisnu sangat berhutang Budi pada Ayahku. Apalagi, saat Pak Wijaya meninggal. Semua kebutuhan kuliah Mas Wisnu, dan modal usaha Ibunya, ditanggung Ayahku."Aida, Mas seneng banget," seru Mas Wisnu. Saat libur kuliah tiba, kami selalu bermain bersama. Menyempatkan waktu bertemu atau bertukar pesan saat saling jauh. Mas Wisnu kuliah di Yogyakarta, sedangkan aku masih setia di Bandung. Tinggal bersama Ayah, dan sering berkunjung ke rumah Mas Wisnu."Kenapa, Mas? tumben pulang dari Jogja mukanya cerah gitu.""Mas udah jadian sama Elina, perempuan yang sering
POV ElinaTok! tok! tok!"Siapa yang bertamu pagi-pagi gini, Aish?" tanyaku heran."Gak tahu, sana Mbak aja yang buka. Biar Aish lanjut masak dan bawa ke depan.""Oke siap.""Assalamualaikum."Tok! tok! tok!Suara ketukan pintu bertalu-talu. Siapa gerangan orang yang bertamu sepagi ini? ketukannya berkali-kali dan sangat nyaring. Seperti orang mau ngajak tawuran."Buka!" "Iya sebentar."Ceklek!"Aduh, lama banget. Iqis kesel ama Bunda. Iqis 'kan mau makan macakan Bunda," rengek anak kecil bermata indah itu.Pagi ini, dia begitu cantik. Menggunakan baju muslim berwarna pink dengan kerudung warna senada. Tangannya memegang boneka beruang berwana coklat susu. Bibir tipisnya menyiratkan kebahagian."Ya ampun, maaf anak cantik. Tante lagi masak, jadi lama buka pintunya." Aku berjongkok sambil memegang tangannya."Ko, Bunda bilang Tante? Bunda gak akuin Iqis anak Bunda?"Bibir Iqis manyun dengan sempurna. Wajah cerah seketika sendu seperti awan mau hujan."Eh, ko, sedih.""Bilqis, ini T
"Duduklah Elina," perintah Arka saat kami tiba di kontrakanku.Ribuan luka bertebaran di hati. Jika tak ingat malu, aku ingin mengamuk seperti seekor sapi yang kena stres saat mau dipotong."Mas Arka lebih baik pulang saja. Aku tahu, Mas sibuk mengurus klien baru. Soal rekomendasi hidangan acara para pengantin, nanti bisa konfirmasi langsung ke koki restoranku.""Gak papa aku tinggal?"Aku hanya mengangguk lemas. Bilqis ikut murung di sampingku. Dia terus menggenggam tangan ini."Baiklah, sepertinya kamu butuh waktu sendiri. Soal Wisnu, jika kamu butuh pengacara hebat untuk di pengadilan nanti, hubungi aku. Kita buat mereka menyesal." Aku hanya tersenyum tipis meresponnya.Kenapa Arka ikut berambisi membalas keburukan mereka? membuatku semakin penasaran saja. Namun, mulut seakan terkunci rapat tak ingin banyak bicara."Aku pamit.""Hati-hati."Arka berlalu meninggalkan kami. Hanya tersisa aku dan Bilqis. "Bunda, jangan nangis, Iqis jadi sedih," ucap Bilqis berkaca-kaca. Aku peluk t
"Maaf Bu. Harusnya ibu yang bertanya pada diri sendiri. Kesalahan apa yang Ibu perbuat, sampai membuat rumah tangga kami hancur," jawabku penuh penekanan.Ibu hanya membisu. Matanya berkaca-kaca. Perkataanku bagai busur yang melesat tepat sasaran. Menancap kuat di hatinya."Elina jangan pergi," rengek Mas Wisnu seperti anak kecil.Irasnya sudah tak karuan. Rasa penyesalan, kesedihan, dan penderitaan begitu tergambar di wajahnya. Seketika, hatiku ikut pilu. Namun, logika memaksa untuk pergi."Elina, aku akan mengejarmu kemana pun. Kamu hanya untukku.""Wisnu ayok pulang!" Ibu menahan Mas Wisnu agar tak mendekat kepadaku. Sedangkan aku, berusaha tak acuh atas panggilannya."Sabar yah, Mbak Elina."Sebelum masuk mobil, Mas Alzam menghampiri untuk memberi semangat. Wajahnya yang teduh, menyalurkan energi ketenangan untukku."Allah selalu menghibur hati yang sedih melalui firmannya. Seperti yang sudah di jelaskan dalam Al Quran Surat Al-Baqarah Ayat 186: Dan apabila hamba-hamba-Ku bert
POV Wisnu"Wisnu, Ibu tak pernah mengajarkanmu untuk merendahkan diri seperti itu," bentak Ibuku setelah Elina pergi dari ruang sidang.Kenapa Ibu tak mengerti sedikit pun perasaanku? Berkali-kali aku katakan, bahwa cintaku hanya milik Elina. "Semua karena Ibu. Jika Ibu tak memaksaku menikah dengan Aida, pernikahanku tak akan hancur seperti ini.""Jangan salahkan Ibu. Kamu sendiri yang menghamili Aida.""Aku sudah bilang, anak dalam kandungan Aida bukan anakku."Plak!"Gila kamu, Wisnu."Tamparan dari Ibu mendarat tepat di pipi kananku. Bukan kulit yang sakit, tapi hati. Tak menyangka Ibu berbuat seperti itu. Dia lebih mendukung Aida dibandingkan aku. Bukan membantu mencari solusi, Ibu malah menambah lukaku semakin menganga."Ibu gak tahu rasanya jadi Wisnu." Aku berjalan menjauh darinya."Mas mau ke mana? jangan pergi.""Diam, jangan halangi aku. Dasar perempuan pembohong. Kalau tidak mendengarkan hasutan darimu, aku tak akan terbawa emosi untuk menalak Elina.""Mas, itu bukan salah
POV Elina "Mereka sudah pergi, Aish?" tanyaku setelah solat isya.Hati yang awalnya panas karena drama Mas Wisnu dan Aida, mulai tenang kembali. Air wudu dan solat, ampuh memberi ketenangan kepada jiwa yang dibendung masalah kehidupan."Sudah aman, Mbak. Untung mereka pergi. Kalau tidak, jurus mautku akan dikeluarkan.""Bar bar kamu, Aish," ujarku datar."Gak papa, dari pada jadi manusia lebay. Jangan hanya bisa menangis meratapi hidup. Sesekali harus nekat memperjuangkan kebahagiaan diri sendiri.""Betul kamu Aish. Jangan lemah.""Iya dong. Kalau bukan diri kita yang berusaha kuat, siapa lagi yang mau menguatkan? jangan selalu berharap di beri motivasi orang lain. Karena dorongan terbesar hanya berasal dari diri sendiri, dan keyakinan pada Allah.""Aish, tumben ot*kmu encer," ledekku."Sembarangan. Aish emang adik Mbak yang paling pintar. Mbak lupa, sejak kecil, Aish yang selalu membantu Mbak mengalahkan anak-anak cowok yang nakal. Sampai Mbak sudah dewasa seperti sekarang ini, Ai
Mas Wisnu membeli dua tiket masuk. Bukit paralayang masih harus di tempuh dengan jalan kaki. Sepanjang jalan, kami disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Aku sengaja jalan lebih cepat, agar tak bersisian bersamanya."Elina, tunggu.""Apalagi? jalannya lama banget kaya siput.""Maaf Neng, Mas mau kebersamaan kita semakin lama. Jadi, jangan buru-buru, yah.""Lebay.""Bukannya lebay. Kebersamaan diantara kita, adalah sejarah hidup yang paling indah dalam kehidupan Mas. Setiap detiknya, berusaha Mas rekam sebaik mungkin diingatan. Agar saat tua nanti, terus terkenang dalam pikiran dan hati."Kami saling bertatapan. Mas Wisnu menunjukan sebuah ketulusan, yang biasa aku lihat selama enam tahun ini."Jangan bicara cinta. Jika Mas malah mendua," jawabku datar. Mata menatap penuh kecewa."Neng ...."Mas Wisnu meraih tanganku. Meletakkannya di atas dada bidangnya. Degup jantung bisa aku rasa."Lihat mata Mas, dan rasakan desiran cinta yang ada di dada ini. Mungkin, mulut bisa berdusta, tapi
POV AishPlak!Pipi terasa panas. Tak menyangka Mbak Elina lebih membela pria bucin dibandingkan adiknya sendiri. Aku sudah menjadi garda terdepan membelanya. Namun, dia malah jadi perempuan bo*d*h yang dengan mudah bisa disentuh Wisnu.Emosi membuncah, saat menyaksikan mereka ci*m*an di dalam mobil. Setan apa yang merasuki kakakku, sampai berbuat tak waras seperti itu."Aish, buka dulu. Maaf Mbak gak sengaja nampar kamu."Mbak Elina menggedor pintu kamarku. Aku tak perduli. Mau didobrak sekali pun, aku tak acuh. Air mata menetes begitu saja. Padahal, aku bukan tipe perempuan yang mudah menangis. Benar-benar tak ikhlas jika Wisnu kembali dengan kakakku. Bukan karena aku punya rasa terhadap kakak iparku, tak Sudi. Aku hanya tak tega, jika kakakku di sakiti dan diinjak harga dirinya oleh manusia tak punya prinsip seperti Wisnu."Aish, buka pintunya. Maafin Mbak, Aish."Bodoamat. Meskipun Sampai subuh terus berteriak, aku tak akan membuka pintu. Walau perut terasa lapar. Mbak Elina terl