"Mbak Elin!"
"Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu.
"Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.
Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur.
"Apa iya, Aish?"
"Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak."
"Misteri?"
"Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida."
"Hal yang tidak beres apa, Aish?"
"Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu."
"Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa?"
"Haduh, nanya mulu."
Aish menyambar toples berisi makanan di atas meja. kedua kakinya, nangkring di atas sofa. Anak itu, memang tidak jelas. Bukannya, menjawab, malah menghabiskan makanan di rumahku.
"Aish, jawab pertanyaan Mbak."
"Santai, Mbak. Aish sudah mempersiapkan rencana hebat untuk menyambut tamu spesial kita. Mbak cukup berakting seakan semuanya baik-baik saja."
Tok! tok! tok!
"Tuh, tamu kita sudah datang."
Tanpa basa-basi, aku berdiri dan menuju pintu depan. Membukanya , untuk mengetahui, siapa gerangan yang datang.
"Mas wisnu."
"Neng."
"Hei, Elina."
Senyumku pudar saat mengetahui, Mas Wisnu membawa serta gundiknya ke sini. Dasar suami tidak punya hati. Aku menyuruhnya pulang sendiri ke sini untuk menjelaskan masalah kami. Dia malah membawa pelakor.
"Ngapain kamu bawa Aida ke rumah kita? ini rumah kita berdua. Haram dimasuki wanita penggoda seperti dia."
"Elina, kamu harus menerima kehadiranku. Bagaimanapun, aku adalah istrinya Mas Wisnu," ujar Aida dengan bangga.
"Tidak, aku tidak ikhlas jika kakimu masuk ke dalam rumah ini."
"Terserah. Toh, ini rumah Mas Wisnu juga. Dia bebas mengajakku ke sini."
"Mas, suruh dia pulang."
"Neng, tolong dengarkan penjelasan Mas. Ayok, kita masuk. Aida harus tinggal di sini untuk sementara."
"Gila kamu, Mas. Tidak serumah saja, hatiku sakit sekali. Apalagi kami harus serumah. Sama saja, kamu membunuhku secara perlahan."
"Bukan gitu, maksud Mas, Neng."
"Halah, dasar para penghianat."
Tanganku langsung meraih rambut Aida yang tergerai. Aku jambak sekuat tenaga. Dia ikut membalas. Aku pelintir tangannya ke belakang punggung, agar dia tidak terus-terusan menarik kerudungku.
"Lepaskan, Neng. Jangan seperti ini."
Mas Wisnu berusaha melerai kami. Namun, emosi tingkat dewa, membuat diriku tidak terkontrol. Rasa kesal dan kecewa meledak sempurna. Sekuat apapun menahan amarah, tetap saja, aku hanya manusia biasa yang mempunyai batas kesabaran.
"Mbak, berhenti!"
Aish langsung menarikku. Hampir saja, Aida terjengkang, jika Mas Wisnu tidak memeganginya. Si*l, Suamiku malah lebih mementingkan istri keduanya.
"Jangan halangi Mbak, Aish. Sakit hati Mbak karena perbuatan mereka. Biar saja, perempuan itu babak belur."
Aida menatapku ketakutan. Dia malah bersembunyi di belakang tubuh Mas Wisnu. Dasar, perempuan tukang cari perhatian. Jika tidak ingat dosa, sudah tepar dia di tanganku.
"Mbak, dengarkan Aish. Ingat, kita harus tenang. Kuasai emosi, jangan sampai Mbak menyesal karena dipengaruhi amarah. Serahkan, pada Aish," bisik Aish sambil merangkulku.
Aku berusaha mengatur emosi. Jangan sampai, hidupku makin hancur karena tidak bisa mengontrol amarah.
"Mas Wisnu, Mbak Aida. Maafkan Mbak Elina, dia hanya syok dan butuh adaptasi. silakan masuk dulu. Gak enak malam-malam gini ribut," nasihat Aish pura-pura bijak.
"Mas tidak suka dengan sikap bar bar kamu Neng, kaya anak kecil saja," cerca Mas Wisnu.Aku hanya tersenyum sini mendengarnya. Apa dia tidak sadar, sikapku begini karena ulahnya sendiri.
"Ayok Mas, kita masuk. Aku takut," rengek Aida mengeratkan genggamannya.
"Ayok."
Mas Wisnu melewatiku. Dia sengaja menggandeng tangan Aida. Matanya, memancarkan kekesalan padaku. Sikapnya, menjadi tamparan yang sangat menyakitkan untukku. Sedangkan Aida, tersenyum penuh kemenangan.
"Tuh, pelakor makin berkuasa. Mas Wisnu jadi ilfil sama Mbak. Mangkanya, pake cara halus. Belum saatnya baku hantam," lirih Aish saat mereka sudah masuk ke dalam.
"Kamu gak tahu rasanya jadi Mbak Aish."
"Aish tahu rasanya jadi Mbak. Kita ini sedarah, apa yang Mbak rasakan, akan sampai juga ke hati Aish. Kali ini saja, ikuti cara Aish. Aish gak rela kalau mereka terus menyakiti Mbak."
"Baiklah. Katakan, Mbak harus apa?"
"Minta maaf sama mereka. Sementara itu, Aish akan siapkan hadiah buat mereka."
"Hadiah apa?"
"Nanti Mbak juga tahu. Percaya sama Aish."
Aku hanya terdiam tanda pasrah. Pikiran sudah buntu, biarlah kali ini, Aish yang beraksi.
"Ayok ikut, Aish. Akting yang bener."
Aish manarikku menuju ruang tamu. Mas Wisnu dan Aida sudah duduk di sana. Aida makin memanfaatkan kesempatan, untuk membuatku cemburu. Dia terus bergelayut manja di samping Mas Wisnu.
"Mbak, buru ngomong."
"Hmmm .... Mas Wisnu, dan Aida, aku minta maaf."
"Yang ikhlas dong, kalau minta maaf," celetuk Aida.
"Iya, aku minta maaf banget. Gak seharusnya, aku bersikap anarki, meskipun kalian juga salah," tuturku memaksakan untuk tersenyum.
"Iya Neng, Mas bakal jelasin semuanya. Tapi, beri waktu Mas untuk istirahat dulu." Aku hanya mengangguk.
Kalau bukan karena penasaran atas rencana Aish, aku tidak sudi minta maaf kepada mereka. Harusnya, mereka yang merasa bersalah karena telah menorehkan luka yang sangat dalam.
"Ya sudah, lebih baik Mas Wisnu dan Mbak Aida, makan dulu. Aish udah persiapkan semuanya."
"Nah, gitu dong. Tahu ajah kalau aku lapar. Ayok, Mas."
Tanpa rasa malu, Aida mengajak Mas Doni menuju ruang makan. Api cemburu, semakin terasa membakar jiwa. Namun, Aisah terus memberi kode, agar aku tenang.
"Silakan dimakan. Ini jus jambu buat Mbak Aida dan Mas Wisnu. Pasti seger deh."
Aneh, Aish malah bersikap ramah. Bahkan, dia sengaja menyajikan dua gelas jus, khusus untuk mereka.
Ayam goreng, tempe, sambel, dan lalapan, sudah terhidang di meja. Aku memang sengaja masak untuk makan malam. Tak menyangka, rutinitas makan kali ini, harus satu meja bersama adik maduku.
"Makasih Aish. Ayok, kita makan," perintah Mas Wisnu.
Nasi di piring, terus aku aduk-aduk, tanpa berselera memakannya. Berbeda dengan Aish yang terus makan dengan lahap. Begitu pula Mas Wisnu dan Aida.
"Aduh, perut ko, mules gini yah," ujar Mas Wisnu setelah menghabiskan sepiring makanan dan segelas jus.
"kebanyakan makan sambelnya, kali, Mas Wisnu. Langsung ke WC kamar Mbak Elin ajah," saran Aish.
Mas Wisnu berlari ke kamar mandi. Aish terlihat mengulum senyum. Apa sebenarnya yang dia lakukan?
"Jangan-jangan, kalian kasih obat pencahar di makanan kami?"
"Eh, jangan asal nuduh. Buktinya, kami makan biasa saja," jawabku.
"Terus, kenapa, hwua ... ko, aku ngantuk banget, yah."
"Langsung ke kamar tamu ajah, Mbak Aida. dari pada tidur di ruang makan. Sini, aku anterin."
Aish memapah Aida menuju kamar. Dia terlihat sempoyongan menahan kantuk. Sedangkan Mas Wisnu, belum kembali dari kamar mandi. Aku hanya duduk mematung, sambil berpikir.
"Gimana Mbak, hadiah penyambutan tamu kita, berjalan sukses bukan?" tanya Aish saat kembali duduk di sampingku.
"Apa yang kamu lakukan, Aish?"
"Hahaha, hanya memberi sedikit obat pencahar di jus Mas Wisnu, dan obat tidur di jusnya si Aida," bisik Aish.
Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar pengakuan Aish. Dia sangat cerdas. Meskipun, rasa tidak tega sangat kuat kepada Mas Wisnu."Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida.""Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida."Terus Mbak harus Apa?""Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai Amazon. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong.""Ide luar biasa.""Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish.""Hahah
"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu."Pergi kamu, Setan!""Ayok, kita liat."Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan."Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida."Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. "Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu.""Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini.""Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku."Diam kamu. Pasti kamu 'kan yan
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil." Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. "Ada yang ngintip, nih," sindirku. "Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?" "Maksud kamu?" tanyaku. Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu. "Tidak Neng. Aida memang suka aneh." "Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin" "Baik-baik, aku akan adil." "Nah, gitu dong." Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. "Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan." "Per
POV Wisnu"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung."Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya.""Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram."Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak.""Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya.""Wisnu, mau ke mana?""Aku mau kembali ke Jakarta.""Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan
Pov Elina"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan." Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri."Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu
Prang!Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi."Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya."Mas istigfar, Mas," seruku panik."Jangan pergi, Elin aku mohon." "Biarin aja, Mbak. Dia cuman drama doang. Kalau gak mau kehilangan, harusnya jangan mendua," sungut Aish."Mas tidak bercanda, Elina. Tolong jangan pergi. Mas sangat mencintaimu.""Modus!" sergah Aish."Ayok, Aish, kita pergi," seruku."Tidak."Mas Wisnu menghadang kami. Dia berjaga di pintu, agar aku tak bisa keluar. Kenapa kamu nekat seperti ini, Mas?"Awas!" teriak Aish."Tolong biarkan kami pergi, Mas!" hardikku."Silakan, pergi. Jika kamu rela melihatku mati.""Arrgh!" jerit aku dan Aish saat melihat darah bercucuran.Serpihan kaca, berhasil membelah lapisan kulit Mas Wisnu. Jelas terlihat, kulit yang menganga dengan cairan merah yang perlahan melingkari tangannya."Mas wisnu, hiks, hiks."Tanpa pikir
"Berhenti!" Aku pasang badan agar Arka tidak lagi dipukul. Mas Wisnu menatap heran. Dia menggelengkan kepala seakan tak percaya, bahwa aku lebih membela Arka dibandingkan suami sendiri."Elina, jangan halangi aku. Pria itu sudah kurang ajar!" umpat Mas Wisnu."Elina, mari ikut bersamaku. Tinggalkan suami tak berguna seperti dia."Kenapa Arka berbicara seperti itu? pasti ada sesuatu yang tidak beres. "Diam! tidak boleh ada yang bertengkar. Mas Wisnu jangan main hakim sendiri.""Kenapa kamu bela dia, Elina? sudah jelas, dia merendahkanku. Dia bicara bohong kalau kamu mantannya. Dia juga berani mengancam akan merebutmu dariku.""Tenang, Mas Wisnu. Sepertinya pria itu memang jujur. Buktinya, kemarin-kemarin dia juga sengaja membantu Elina mengacaukan resepsi kita. Biarkan Elina pergi bersamanya. Mereka juga sama-sama penghianat ," ujar Aida memanas-manasi."Jangan ikut campur, Aida. Keberadaanmu malah menambah keruh suasana!" bentak Mas Wisnu sambil menghempaskan tangannya."Elina, ayok
POV AidaNamaku Aida Anandita, putri tunggal keluarga Reno Kusuma. Pemilik bisnis properti di Bandung. Ayah aslinya orang jawa, tetapi tinggal di Bandung karena menikah dengan Ibu. Sejak kecil, Ibu meninggalkan kami karena sakit. Namun, aku tak pernah merasa kekurangan kasih sayang, karena sering di asuh Bu Anna, Istri sahabat karib Bapak. Persahabatan mereka sangat erat. Itu pula yang terjadi denganku dan Anaknya--Wisnu.Keluarga Mas Wisnu sangat berhutang Budi pada Ayahku. Apalagi, saat Pak Wijaya meninggal. Semua kebutuhan kuliah Mas Wisnu, dan modal usaha Ibunya, ditanggung Ayahku."Aida, Mas seneng banget," seru Mas Wisnu. Saat libur kuliah tiba, kami selalu bermain bersama. Menyempatkan waktu bertemu atau bertukar pesan saat saling jauh. Mas Wisnu kuliah di Yogyakarta, sedangkan aku masih setia di Bandung. Tinggal bersama Ayah, dan sering berkunjung ke rumah Mas Wisnu."Kenapa, Mas? tumben pulang dari Jogja mukanya cerah gitu.""Mas udah jadian sama Elina, perempuan yang sering