Share

Part 7

"Mbak Elin!"

"Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."

Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu.

"Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.

Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur.

"Apa iya, Aish?"

"Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak."

"Misteri?"

"Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida."

"Hal yang tidak beres apa, Aish?"

"Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu."

"Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa?"

"Haduh, nanya mulu."

Aish menyambar toples berisi makanan di atas meja. kedua kakinya, nangkring di atas sofa. Anak itu, memang tidak jelas. Bukannya, menjawab, malah menghabiskan makanan di rumahku.

"Aish, jawab pertanyaan Mbak."

"Santai, Mbak. Aish sudah mempersiapkan rencana hebat untuk menyambut tamu spesial kita. Mbak cukup berakting seakan semuanya baik-baik saja."

Tok!  tok! tok!

"Tuh, tamu kita sudah datang."

Tanpa basa-basi, aku berdiri dan menuju pintu depan. Membukanya , untuk mengetahui, siapa gerangan yang datang.

"Mas wisnu."

"Neng." 

"Hei, Elina."

Senyumku pudar saat mengetahui, Mas Wisnu membawa serta gundiknya ke sini. Dasar suami tidak punya hati. Aku menyuruhnya pulang sendiri ke sini untuk menjelaskan masalah kami. Dia malah membawa pelakor.

"Ngapain kamu bawa Aida ke rumah kita? ini rumah kita berdua. Haram dimasuki wanita penggoda seperti dia."

"Elina, kamu harus menerima kehadiranku. Bagaimanapun, aku adalah istrinya Mas Wisnu," ujar Aida dengan bangga.

"Tidak, aku tidak ikhlas jika kakimu masuk ke dalam rumah ini."

"Terserah. Toh, ini rumah Mas Wisnu juga. Dia bebas mengajakku ke sini."

"Mas, suruh dia pulang."

"Neng, tolong dengarkan penjelasan Mas. Ayok, kita masuk. Aida harus tinggal di sini untuk sementara."

"Gila kamu, Mas. Tidak serumah saja, hatiku sakit sekali. Apalagi kami harus serumah. Sama saja, kamu membunuhku secara perlahan."

"Bukan gitu, maksud Mas, Neng."

"Halah, dasar para penghianat."

Tanganku langsung meraih rambut Aida yang tergerai. Aku jambak sekuat tenaga. Dia ikut membalas. Aku pelintir tangannya ke belakang punggung, agar dia tidak terus-terusan menarik kerudungku.

"Lepaskan, Neng. Jangan seperti ini." 

Mas Wisnu berusaha melerai kami. Namun, emosi tingkat dewa, membuat diriku tidak terkontrol. Rasa kesal dan kecewa meledak sempurna. Sekuat apapun menahan amarah, tetap saja, aku hanya manusia biasa yang mempunyai batas kesabaran.

"Mbak, berhenti!"

Aish langsung menarikku. Hampir saja, Aida terjengkang, jika Mas Wisnu tidak memeganginya. Si*l, Suamiku malah lebih mementingkan istri keduanya.

"Jangan halangi Mbak, Aish. Sakit hati Mbak karena perbuatan mereka. Biar saja, perempuan itu babak belur." 

Aida menatapku ketakutan. Dia malah bersembunyi di belakang tubuh Mas Wisnu. Dasar, perempuan tukang cari perhatian. Jika tidak ingat dosa, sudah tepar dia di tanganku.

"Mbak, dengarkan Aish. Ingat, kita harus tenang. Kuasai emosi, jangan sampai Mbak menyesal karena dipengaruhi amarah. Serahkan, pada Aish," bisik Aish sambil merangkulku.

Aku berusaha mengatur emosi. Jangan sampai, hidupku makin hancur karena tidak bisa mengontrol amarah.

"Mas Wisnu, Mbak Aida. Maafkan Mbak Elina, dia hanya syok dan butuh adaptasi. silakan masuk dulu. Gak enak malam-malam gini ribut," nasihat Aish pura-pura bijak.

"Mas tidak suka dengan sikap bar bar kamu Neng, kaya anak kecil saja," cerca Mas Wisnu.

Aku hanya tersenyum sini mendengarnya. Apa dia tidak sadar, sikapku begini karena ulahnya sendiri.

"Ayok Mas, kita masuk. Aku takut," rengek Aida mengeratkan genggamannya.

"Ayok."

Mas Wisnu melewatiku. Dia sengaja menggandeng tangan Aida. Matanya, memancarkan kekesalan padaku. Sikapnya, menjadi tamparan yang sangat menyakitkan untukku. Sedangkan Aida, tersenyum penuh kemenangan.

"Tuh, pelakor makin berkuasa. Mas Wisnu jadi ilfil sama Mbak. Mangkanya, pake cara halus. Belum saatnya baku hantam," lirih Aish saat mereka sudah masuk ke dalam.

"Kamu gak tahu rasanya jadi Mbak Aish."

"Aish tahu rasanya jadi Mbak. Kita ini sedarah, apa yang Mbak rasakan, akan sampai juga ke hati Aish. Kali ini saja, ikuti cara Aish. Aish gak rela kalau mereka terus menyakiti Mbak."

"Baiklah. Katakan, Mbak harus apa?"

"Minta maaf sama mereka. Sementara itu, Aish akan siapkan hadiah buat mereka."

"Hadiah apa?"

"Nanti Mbak juga tahu. Percaya sama Aish."

Aku hanya terdiam tanda pasrah. Pikiran sudah buntu, biarlah kali ini, Aish yang beraksi.

"Ayok ikut, Aish. Akting yang bener." 

Aish manarikku menuju ruang tamu. Mas Wisnu dan Aida sudah duduk di sana. Aida makin memanfaatkan kesempatan, untuk membuatku cemburu. Dia terus bergelayut manja di samping Mas Wisnu.

"Mbak, buru ngomong."

"Hmmm .... Mas Wisnu, dan Aida, aku minta maaf."

"Yang ikhlas dong, kalau minta maaf," celetuk Aida.

"Iya, aku minta maaf banget. Gak seharusnya, aku bersikap anarki, meskipun kalian juga salah," tuturku memaksakan untuk tersenyum.

"Iya Neng, Mas bakal jelasin semuanya. Tapi, beri waktu Mas untuk istirahat dulu." Aku hanya mengangguk.

Kalau bukan karena penasaran atas rencana Aish, aku tidak sudi minta maaf kepada mereka. Harusnya, mereka yang merasa bersalah karena telah menorehkan luka yang sangat dalam.

"Ya sudah, lebih baik Mas Wisnu dan Mbak Aida, makan dulu. Aish udah persiapkan semuanya."

"Nah, gitu dong. Tahu ajah kalau aku lapar. Ayok, Mas."

Tanpa rasa malu, Aida mengajak Mas Doni menuju ruang makan. Api cemburu, semakin terasa membakar jiwa. Namun, Aisah terus memberi kode, agar aku tenang.

"Silakan dimakan. Ini jus jambu buat Mbak Aida dan Mas Wisnu. Pasti seger deh."

Aneh, Aish malah bersikap ramah. Bahkan, dia sengaja menyajikan dua gelas jus, khusus untuk mereka.

Ayam goreng, tempe, sambel, dan lalapan, sudah terhidang di meja. Aku memang sengaja masak untuk makan malam. Tak menyangka, rutinitas makan kali ini, harus satu meja bersama adik maduku.

"Makasih Aish. Ayok, kita makan," perintah Mas Wisnu.

Nasi di piring, terus aku aduk-aduk, tanpa berselera memakannya. Berbeda dengan Aish yang terus makan dengan lahap. Begitu pula Mas Wisnu dan Aida. 

"Aduh, perut ko, mules gini yah," ujar Mas Wisnu setelah menghabiskan sepiring makanan dan segelas jus.

"kebanyakan makan sambelnya, kali, Mas Wisnu. Langsung ke WC kamar Mbak Elin ajah," saran Aish.

Mas Wisnu berlari ke kamar mandi. Aish terlihat mengulum senyum. Apa sebenarnya yang dia lakukan?

"Jangan-jangan, kalian kasih obat pencahar di makanan kami?" 

"Eh, jangan asal nuduh. Buktinya, kami makan biasa saja," jawabku.

"Terus, kenapa, hwua ... ko, aku ngantuk banget, yah."

"Langsung ke kamar tamu ajah, Mbak Aida. dari pada tidur di ruang makan. Sini, aku anterin."

Aish memapah Aida menuju kamar. Dia terlihat sempoyongan menahan kantuk. Sedangkan Mas Wisnu, belum kembali dari kamar mandi. Aku hanya duduk mematung, sambil berpikir.

"Gimana Mbak, hadiah penyambutan tamu kita, berjalan sukses bukan?" tanya Aish saat kembali duduk di sampingku.

"Apa yang kamu lakukan, Aish?"

"Hahaha, hanya memberi sedikit obat pencahar di jus Mas Wisnu, dan obat tidur di jusnya si Aida," bisik Aish.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status