“Kau tidak sportif, rupanya,” desah Adam dengan alis melengkung tinggi. “Kalau kau tidak ingin disentuh, kau seharusnya lebih berhati-hati menggerakkan tanganmu. Amber sontak menggigit bibir. Jemarinya terkepal erat mengaku bersalah. “Bukannya tidak sportif. Kau tahu kalau ini bagian privat wanita, bukan? Mana mungkin aku membiarkanmu menyentuhnya?” “Bukan hanya wanita, tapi pria juga!” bantah si Beruang Gila sembari memasang tampang terhina. “Kaum kalian tidak boleh menyentuh kaum kami seenaknya. Itu juga pelecehan.” “Tapi aku tidak sengaja. Kalau kau membalas, itu baru sengaja.” Amber mulai tampak putus asa. Kakinya sedikit demi sedikit menjauh dari sang pria. Sedikit demi sedikit pula, Adam bergerak maju. Rahangnya berdenyut-denyut menuntut keadilan. “Aku tidak bisa membiarkanmu terus mencuri keuntungan dariku. Sudah terlalu banyak kelonggaran yang kuberikan kepadamu.” “Apa maksudmu? Aku tidak pernah menyentuhmu,” sanggah sang wanita sebelum terbelalak. Gerakannya baru saja te
"Bukankah kau mau mengajariku? Kenapa malah membawa sekop ke luar?" tanya Amber ketika mendapati Adam berjalan menuju pintu. Laki-laki itu telah mengenakan kostum outdoor lengkap. "Aku harus mengambil kayu di gudang. Stok kita menipis." Selang satu kedipan, sang wanita meraih mantelnya. "Kalau begitu, aku ikut. Lain kali, aku bisa melakukan pekerjaan ini untukmu." Mendengar inisiatif Nona Lim, Adam sontak mengerutkan alis. "Kau bukan perempuan manja lagi, rupanya." "Sejak awal memang bukan. Kau saja yang menilaiku begitu," timpal Amber seraya merebut senter dan menepuk lengan Tuan Dingin. "Ayo bergegas!" Dengan penuh semangat, wanita itu memimpin jalan. Ia tidak tahu bahwa Adam kini bergeming menatap jejak sentuhannya. “Perempuan itu ... apakah dia masih belum sadar juga? Kau selalu membuat kekacauan besar dalam hatiku, Amber.” Setelah mengembuskan napas pasrah, sang pria berjalan mengekor. Selagi Adam sibuk menyerok salju yang menghalangi pintu gudang, Amber mendongak memandan
Di belakang mata yang nyaris melompat keluar, otaknya mulai bekerja keras membengkokkan kebenaran. “Oh, itu ... maksudku ... dia tunangan sekaligus sahabatku. Tapi kami menganggap satu sama lain seperti sahabat. Bukankah itu lebih akrab?” Sambil mendenguskan tawa, Adam melanjutkan pekerjaan. “Ya, ya, ya. Sahabat yang menyamar menjadi tunangan. Kalian kompak sekali membohongiku.” “Kami tidak berbohong. Kami memang sudah bertunangan,” sanggah Amber, sedikit memaksa. “Lalu, di mana cincin pertunangan kalian?” Dengan raut tegang, sang wanita menunjuk ke arah jalan. “Perampok itu yang mengambilnya.” Sambil menggeleng-geleng, Adam membersihkan sarung tangannya dari serbuk kayu. “Cukup, Nona Lim. Kau mungkin bisa membohongi orang lain, tapi tidak denganku. Bibirmu agak menguncup setiap kali mengucapkan kebohongan.” Spontan saja, Amber menarik bibirnya mundur. “Tidak. Aku tidak berbohong,” tegasnya dengan suara pelan dan raut aneh. “Menurutmu, hukuman apa yang cocok diberikan untuk mur
Mendengar pembelaan itu, sang desainer sontak tercengang. "Kau datang jauh-jauh kemari dengan otak kosong?" "Tidak. Aku tahu banyak tentang perhiasan. Hanya saja, aku belum memikirkan brand-nya. Untuk saat ini, aku ingin mempelajari pengetahuan dasar saja. Baru setelah itu, aku memikirkan langkah yang lebih jauh." "Memangnya, perhiasan apa yang mau kau buat?" sela Adam terdengar garang. Meski agak ragu, Amber mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin gelang, kalung, anting ... semua perhiasan yang memancarkan kemewahan." Adam spontan mendengus dan membuang muka. "Kau bersikeras ingin belajar dari desainer terbaik. Tapi ternyata, niatmu saja tidak jelas." "Niatku jelas. Aku suka perhiasan dan ingin membuat yang terbaik. Aku ingin memberikan karya pertamaku kepada Evans kecil demi menepati janji," sanggah Amber tanpa merasa bersalah. "Tapi itu saja tidak cukup, Nona Lim. Perhiasan bukan hanya simbol kemewahan, tapi juga tentang pesan yang ingin disampaikan melaluinya." Melihat ketegas
"Justru kaulah yang suka menyentuhku. Lihat saja kedua tanganmu," protes Amber, tidak mau menampakkan kecanggungan. Bukannya melepas, Adam malah menggoyang-goyangkan telapak tangan dalam genggamannya. "Aku melakukan ini sebagai tindakan pencegahan. Kaulah yang memulai perkaranya. Kalau kau tidak mengusik barang-barangku, aku tidak akan memegangmu." Malas berdebat, sang murid akhirnya menghela napas. "Baiklah, aku tidak akan menyentuh apa-apa lagi. Sekarang, tolong tunjukkan proyek barumu, Tuan Smith." “Oke.” Seketika, ekspresi sang desainer berubah serius. Alisnya tidak lagi melengkung tinggi dan sudut bibirnya pun kaku. "Tapi sebelum itu, kau harus berjanji dulu kepadaku." "Berjanji apa?" tanya Amber dengan nada tak senang. Ia mengira pria itu masih bercanda. "Kau akan memegang rahasia besarku. Jadi, berjanjilah untuk tidak mengkhianatiku," pinta Adam sungguh-sungguh. Mengetahui keseriusan Tuan Smith, sang murid tak lagi manyun. "Tenang saja. Aku tidak akan membocorkan info
“Kalau tidak berharga, tidak mungkin para arkeolog berlomba-lomba mencarinya. Kau menyinggung perasaan mereka, Nona Lim,” gumam Adam sambil terus memainkan rambut hitam muridnya. “Tapi itu berbeda. Mereka mencari amber untuk mempelajari dinosaurus dan sejenisnya, bukan untuk perhiasan. Dilihat dari sisi mana pun, batu itu tidak akan pernah menandingi berlian.” Sedetik kemudian, Amber mendorong lebih kuat. “Sekarang menyingkirlah! Aku lapar dan ini saatnya makan siang.” Tiba-tiba, Adam menggenggam sebelah tangan muridnya dan merapatkan pandangan. “Kau tahu kenapa orang tuamu memberimu nama itu?” “Apa?” balas sang wanita, galak. “Kau dan batu itu sama-sama sensitif dan rapuh.” Kekesalan Amber sontak meletup-letup. “Kau menyindirku?” Ia berusaha terdengar garang walau hatinya masih dilanda kegugupan. “Hanya mengatakan kejujuran,” desah Adam sembari memangkas jarak. Sang wanita kini dapat merasakan embusan napasnya. “Tapi, di sisi lain, kalian sama-sama menarik.” Tanpa terduga, pri
Tanpa melepas pagutan, Tuan Smith mendorong Amber sedikit demi sedikit menuju kamar. Ketika ia merebahkan sang murid ke atas kasur, barulah wanita itu tersentak. “Adam ....” Belum sempat Amber bicara, pria itu kembali membungkam mulutnya. Tabuhan drum dalam dada sontak bertambah kencang. “Gawat,” pikir wanita yang tidak berdaya itu. “Ini tidak boleh dibiarkan. Sadarlah, Amber. Beruang Gila ini tidak mencintaimu. Dia hanya pria yang kesepian dan saat ini kau adalah pelampiasannya.” Dengan sekuat tenaga, Nona Lim melawan kehendak hati. “Adam—“ Tuan Smith tidak membiarkannya lepas. Tangan pria itu malah bergerak ke arah selatan. Sebelum si Beruang Gila sampai ke tujuan, Amber mendongak membebaskan mulutnya. “Adam, hentikan!” Pria itu seketika membuka mata. Napasnya yang terengah-engah terasa membara di leher sang wanita. Setelah beberapa kali mengerjap, ia akhirnya mengangkat wajah. Begitu menangkap sorot mata Amber yang nyaris putus asa, ia bergegas bangkit dan mencengkeram kepala.
Amber terbangun oleh kehangatan yang menggelitik lehernya. Sesekali, kelembutan itu berpindah ke pundak, membuatnya terbuai dan enggan membuka mata. Pijatan di dekat jantung pun menambah kenyamanan, membuatnya betah memperpanjang tidur. Ketika sesuatu memasuki bagian selatan, barulah perempuan itu membuka mata. Erangannya sendiri telah membangkitkan kesadaran. “Selamat pagi, Tukang Tidur,” sapa Adam tanpa memindahkan jari. Dengan lembut, dikecupnya pipi merah Amber. “Kita melakukannya lagi?” tanya wanita itu dengan suara serak. “Ya. Kau mau memarahiku lagi?” Sang pria mengangkat sebelah alis dan memperhalus gerakan. Akan tetapi, sang wanita malah kembali terpejam dan mendesah. “Apa gunanya aku marah? Semua sudah terjadi,” bisik Amber sebelum memutar badan dan menatap Adam lebih lekat. “Sihir apa yang kau gunakan kepadaku?” Sembari tersenyum miring, si Beruang Gila menggelitik telinga Nona Lim dengan napasnya. “Kaulah yang menyihirku. Aku tidak bisa melepasmu dari benakku.” Mend