“Hei,” desah Adam sembari mengelus pipi sang kekasih dan memajukan wajahnya. “Lihat aku, Amber ... lihat aku!” Di bawah alis yang berkerut tipis, mata sang wanita kembali terbuka. Tatapannya lemah dan tampak sangat lelah. “Kau tidak perlu panik lagi. Aku sudah di sini, bersamamu,” bisik sang pria sembari memberikan senyum terbaik semampunya. Selang satu kedipan, tangan Amber terangkat mencengkeram mantel kekasihnya. “Adam ....” “Benar, ini aku. Sekarang kendalikan dirimu! Atur napasmu!” Adam menggenggam jemari dingin sang wanita untuk memberinya kekuatan. “Ayo, Precious. Kau pasti bisa.” Sambil mengangguk samar, Amber mencoba untuk menarik napas lebih panjang. Malangnya, desakan dalam dada terlalu besar untuk dikalahkan. “Tidak bisa,” desahnya sebelum menjatuhkan lebih banyak air mata. Sedetik kemudian, Adam memindahkan tangan sang kekasih ke perut. “Coba pikirkan bayi kita! Dia juga ingin bernapas. Kau tidak boleh menyerah.” Tiba-tiba, Amber balik mencengkeram tangan Adam. Sam
Dari kursi di samping tempat tidur, Amber terus menggenggam tangan Adam. Sesekali, ia mengangkat telapak besar itu dan menempelkannya di pipi. Namun, bukannya menjadi tenang, hatinya malah semakin gundah. Melihat kegelisahan wanita itu, Tuan Berg pun membuka pintu lebih lebar dan berjalan masuk. "Tak usah khawatir, Nona. Kakakku adalah dokter terhebat di daerah sini. Jadi, analisisnya tidak mungkin salah. Tuan Smith baik-baik saja." "Tapi kenapa dia belum bangun juga? Ini sudah lebih dari tiga jam," timpal Amber dengan suara serak dan kerut alis yang dalam. Merasa iba, Tuan Berg duduk di sampingnya. "Meskipun Tuan Smith adalah laki-laki yang kuat, dia tetap butuh waktu untuk pemulihan. Jadi, biarkan saja dia beristirahat. Yang penting, lukanya sudah diobati dan tanda vitalnya aman." "Dia pasti bangun, bukan?" tanya Amber lirih. "Tentu saja. Sekarang, bagaimana kalau kau ikut makan bersama kami? Putri dan keponakanku sudah datang. Mereka menunggumu di ruang makan." Dalam sekeja
Tak tahan menyaksikan kehebohan keluarga besarnya, Tuan Berg pun mengangkat tangan. “Perhatian, perhatian! Bukankah kita baru saja mendapat pelajaran berharga dari Ella dan Freja? Kenapa kalian malah melakukan kesalahan mereka sekarang?” Dalam sekejap, orang-orang di meja makan itu terdiam. Tidak ada lagi yang berani membicarakan tentang kanibal. Mereka sadar bahwa hal itu belum tentu benar. Mereka telah terhasut oleh kabar yang beredar. “Sepertinya, Anda harus menjelaskan tentang julukan itu, Tuan Smith. Mengapa Anda dipanggil kanibal?” Mendengar usulan Ella tersebut, Amber spontan menggoyangkan tangan yang menggenggamnya. “Adam, apa kau mau aku yang menceritakannya?” bisik wanita itu cemas. Sambil tersenyum kecil, sang pria menggeleng. “Tetaplah di sampingku. Itu saja sudah lebih dari cukup.” Sedetik kemudian, ia menarik napas dalam-dalam dan melebarkan lengkung bibir. “Sejujurnya, aku mengalami depresi berat setelah bercerai. Demi menyembuhkan diri, aku menyendiri di sebuah po
Adam dan Amber terbelalak ketika telinga mereka menangkap suara ketukan. Tidak ada lagi gerakan yang berani mereka lakukan. Napas pun mereka embuskan dengan sangat hati-hati. "Kau dengar itu?" bisik Amber seraya melirik ke arah pintu. Belum sempat Adam menjawab, suara ketukan kembali terulang. "Maaf, Nona Lim, apakah kalian sedang sibuk?" "Ada hal penting yang ingin kami sampaikan." Dalam sekejap, pasangan itu sama-sama melangkah mundur. Tanpa aba-aba, mereka beradu untuk membetulkan pakaian. "Kenapa gadis-gadis itu datang di saat seperti ini?" gerutu Adam sambil menutupi kekacauan di balik sweater besarnya. Sambil menahan tawa, Amber mengangkat pundak. "Entahlah. Kau tunggu di sini saja. Biar aku mengajak mereka bicara di luar." "Jangan lama-lama," pinta Adam dengan tampang memelas. Sang wanita otomatis mendengus gemas. Usai mengangguk, ia berjalan keluar, meninggalkan sang kekasih dengan tampang kusut. "Aku seharusnya menunggu lebih malam," sesal pria itu sebelum menggar
Lengkung alis Adam otomatis mendesak dahi. Napasnya tertahan sedangkan mulutnya terkatup rapat. Bagaimana mungkin ia lupa mengubah ponselnya ke mode senyap? “Sejak kapan kau membagikan kontakmu kepada orang lain? Kenapa aku tidak pernah tahu?” tanya Amber dengan nada heran. Setelah mengerjap, sang pria bergegas membentuk lengkung kecil dengan bibirnya. “Aku juga terkejut ponselku tiba-tiba bergetar. Ini pasti salah sambung. Hanya kau dan Tuan Berg yang menyimpan kontakku,” terang Adam sebelum menolak panggilan. Sambil mengerucutkan bibir, Amber mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, ia mengubah ekspresi kembali ramah lalu menoleh ke kanan dan kiri. "Freja, Ella, aku harus pulang sekarang. Kupercayakan kepada kalian untuk memilih foto mana yang terbaik. Aku yakin, kalian punya selera tinggi. Dan ingat! Jangan sebar foto-foto kami ke mana pun. Jagalah rahasia kami seperti Tuan Berg menyimpan video kami!" "Tenang saja, Amber. Kami bisa diandalkan," timpal Freja sambil menaikkan sebela
“Maafkan aku, Amber. Aku hanya tidak ingin kau terbebani oleh masalah baru,” desah Adam sambil meraih pundak di hadapannya. “Tapi kenyataannya, kau malah membuat masalah yang lebih besar!” pekik Amber seraya menepis tangan sang pria. Air mata kini mengalir deras di wajahnya. Pemandangan itu sukses memperluas luka di hati Adam. Sambil tertunduk, laki-laki itu menggenggam penyesalan. “Aku tahu. Ini salahku.” “Sekarang apa lagi yang akan kau lakukan? Pergi menemui orang tuaku? Berlutut di hadapan mereka dan membiarkan orang-orang itu menghajarmu lagi? Atau berlutut di depan gedung badan administrasi?” sindir Amber dengan suara tersedak. Tak sanggup memikul rasa bersalah, Adam terpejam dan mendesah pasrah. “Aku tidak tahu ....” “Lakukan saja! Bukankah kau selalu gegabah? Kau selalu berpikir dari sudut pandangmu saja, tanpa memperhitungkan akibat dari sisi lain. Kenapa tidak sekalian saja kau bakar gedung itu?” “Tidak, Amber,” sanggah sang pria diiringi gelengan pelan. “Kau adalah d
“Adam!” panggil Amber sembari beranjak dari kursi. Dengan senyum semringah, ia menghampiri lalu duduk di pangkuan sang kekasih. “Lihatlah! Apakah ini bagus?” Dengan alis melengkung tinggi, sang pria memperhatikan ekspresi wanita itu. “Kau sudah menentukannya?” “Ya,” sahut Amber sebelum mengangkat buku catatannya lebih dekat ke mata sang pria. “Coba perhatikan!” Sedetik kemudian, decak kagum Adam mengudara. “Sebuah liontin?” desah pria itu dengan nada tak percaya. Sambil tersenyum simpul, sang wanita mengangguk. “Max dan Julian memiliki liontin yang berisi foto kedua orang tua mereka. Menurutku, anak-anak mereka juga harus punya. Liontin itu bisa menjadi pengingat sekaligus pemberi semangat.” “Semacam jimat?” celetuk Adam seraya memiringkan kepala. “Ya, semacam pembawa keberuntungan,” timpal Amber dengan mata berkilat semangat. “Jadi, bagaimana menurutmu?” Adam spontan mengerutkan alis, pura-pura berpikir. Setelah raut wajah sang wanita berubah was-was, barulah ia mengembangkan
"Keberhasilan apa yang kau maksud, Bas?" tanya Amber sembari menggeleng samar. "Tolonglah ... jangan berpura-pura bodoh. Langsung saja ucapkan terima kasih kepadaku dan yang lain. Kami tidak akan meminta bayaran," timpal Sebastian ringan. Tak kuat menanggung beban pertanyaan dalam benaknya, sang wanita pun mememejamkan mata rapat-rapat. "Tunggu dulu! Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku dan Adam sungguh tidak tahu apa-apa. Kami baru mengaktifkan ponsel sekarang. Dan yang kami lihat sejak tadi hanyalah komentar dari para haters." Suasana mendadak hening sejenak. Sebastian tampaknya butuh waktu untuk mencerna keadaan. "Jadi, kau tidak tahu apa saja yang sudah kami lakukan?" "Ya!" sahut Amber dengan anggukan dalam. Mata bulatnya kini memancarkan ketegangan kepada Adam. "Kupikir kalian diam-diam memantau lewat komputer. Ternyata tidak?" gumam si penelepon seperti sedang bergelut dengan pikiran. "Tolong jangan bertele-tele, Tuan Evans. Ceritakan saja! Amber bisa ping