“Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa
Dengan raut datar, Adam mengamati barang-barang yang tergeletak di lantai. Sebotol susu yang masih berada dalam kantong belanjaan, roti yang tersisa setengah, dan sebuah buku yang terjungkal. Tak satu pun dari mereka bersih dari noda merah. Setelah termenung sejenak, sang pria menekuk lutut. Sambil berkedip lambat, ia memeriksa apa yang tertulis pada halaman pertama buku itu. “Kepada siapa pun yang menemukan buku ini, tolong kirimkan ke alamat berikut.” Membaca dua potong kalimat itu, Adam tertegun. “Apakah dia menuliskan pesan wasiat?” Seraya mengerutkan alis, ia memeriksa halaman selanjutnya. “Kepada Mia, Julian, Gaby, dan Max. Sesuatu yang buruk sedang menimpaku. Sepertinya, ini karma buruk yang harus kuterima akibat kejahatanku dulu. Tapi kalian jangan khawatir. Amber Lim tidak pernah menyerah. Aku pasti berusaha untuk menepati janjiku kepada kalian.” Setelah menyimak paragraf pertama, Adam mengerutkan alis. Sembari menggeleng samar, ia melirik ke arah yang ditempuh sang wan
Tanpa sadar, Amber menelan ludah. Setelah menarik napas berat, ia berkata dengan suara dalam. “Sudah kubilang, aku bukan perempuan seperti itu.” “Begitukah?” gumam Adam sambil menyipitkan mata. Sedetik kemudian, ibu jarinya bergerak pelan mengelus bibir sang wanita. “Bukankah kau sudah terbiasa menawarkan tubuhmu kepada laki-laki yang ingin kau rebut? Gadis-gadis tadi bahkan menyebutmu pelakor internasional.” Setelah menepis tangan sang pria dari wajahnya, Amber meruncingkan tatapan. “Tutup mulutmu. Kau tidak mengerti dengan apa yang kau sebut.” “Bagian mana yang tidak kumengerti?” selidik Tuan Dingin seraya memiringkan kepala. “Cara kau menawarkan tubuhmu? Atau bagaimana asal mula kau mendapat julukan itu?” “Aku bukan perebut suami orang,” tegas Amber dengan mata yang telah kembali berkaca-kaca. “Kau tidak berhak mencapku dengan sebutan itu.” Selang keheningan sesaat, Adam mulai mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku tidak peduli dengan latar belakangmu. Sekarang, yang harus kita pik
Dengan mata terbelalak, Amber memutar-mutar keran. Sesekali, ia mendongak. Namun malang, tidak setetes air pun turun dari kepala shower. “Ada apa ini? Kenapa kerannya tidak mau menyala?” gumam wanita itu, khawatir. Selang beberapa saat, ia mengenakan pakaian lagi dan keluar dari kamar mandi. “Apakah kau mempermainkanku lagi? Airnya tidak jalan,” gerutu Amber kepada si pemilik pondok. Dengan santainya, Adam membalas, “Apakah kau memutar keran ke arah yang benar?” Dalam sekejap, kerut alis sang wanita berubah menjadi lengkung tinggi. “Kau kira aku sebodoh itu?” Setelah mendengus kesal, sang pria pun masuk ke kamar mandi. Tanpa basa-basi, ia memutar keran. “Lihatlah! Tidak ada air yang meluncur. Kau menipuku,” ujar Amber sambil berkacak pinggang dan mendongakkan dagu. “Ini bukan salahku. Sepertinya, pemanas pipa rusak lagi,” timpal Tuan Dingin, sama sekali tanpa beban. “Lalu, bagaimana caranya aku mandi? Aku tidak mau terus-menerus menghirup bau tomat ini.” Tiba-tiba, Adam menyu
Ketika membuka kotak obat, Amber tertegun. Foto seorang wanita berambut merah dengan gaun putih telah menyita perhatiannya. “Hm? Foto siapa ini?” Dengan mata bulat, Amber memeriksa bagian belakang kertas foto. Sayangnya, tidak ada tulisan di sana. “Kenapa Beruang Gila itu menyimpannya di kotak obat? Apakah sakitnya bisa hilang hanya dengan melihat foto ini?” Setelah mengamati beberapa saat, Amber mulai mengangguk-angguk. “Ini pasti perempuan yang dia cintai. Pantas saja Beruang Gila itu membenciku. Aku sangat bertolak belakang dengan perempuan lemah lembut yang anggun ini.” Ketika hendak mengembalikan foto itu, sang wanita terkesiap. Dengan mata yang bergetar hebat, ia mengamati potret laki-laki yang menggendong seorang bayi. “B-bukankah ... ini Adam Smith?” Dengan tangan yang terluka, Amber mendekatkan foto itu ke matanya. Namun, belum sempat ia berkedip, Tuan Dingin tiba-tiba mencengkeram lengannya. “Berani-beraninya kau membongkar barang pribadiku?” hardik pria dengan napas
Amber terbangun ketika seseorang menendang kakinya. Sambil mengerang, ia meregangkan otot-ototnya yang pegal. Namun, begitu melihat Tuan Dingin berdiri dengan sekop di tangan, wanita itu spontan beranjak. Dengan mata bulat, ia bertanya, “Kenapa kau membawa alat itu?” “Ini bukan waktunya bersantai. Sekarang juga, bersihkan tumpukan salju yang menghalangi jalan,” tutur Adam sambil menjatuhkan sekop. Dengan sigap, sang wanita menangkapnya. “Jalan mana?” “Semua jalan di sekitar rumahku, termasuk jalur untuk mobil dan jalan menuju kolam. Aku mau berjalan tanpa halangan,” sahut sang pria, lantang. Alis sang wanita sontak berkerut. “Baiklah, tidak perlu berteriak sekencang itu. Akan kulakukan setelah sarapan.” “Siapa bilang kau boleh sarapan? Kau tidak akan mendapat makanan sebelum selesai bekerja. Hanya air minum yang boleh kau masukkan ke mulutmu.” Sembari menggertakkan geraham, Amber mempertajam tatapan. “Aku ini pelayan di rumah ini, bukan budak. Kenapa kau melarangku makan?” “Tida
“Orang-orang berkata kalau aku telah merebut Max dari Gaby. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu,” tutur Amber sebelum mendesah samar. “Aku yang lebih dulu mengenal Max, aku yang lebih dulu menyukainya, dan aku juga yang lebih dulu dekat dengannya.” “Apakah kalian dulu berpacaran?” tanya Adam, terdengar penuh simpati. Sambil tersenyum miris, sang wanita menggeleng. “Tidak. Karena itulah, aku sangat marah ketika Gaby datang. Bagaimana mungkin dia bisa langsung mendapatkan Max, sedangkan aku yang sudah bertahun-tahun mengejarnya tidak pernah diberi kesempatan?” “Kau berpikir kalau Gaby telah merebut Max darimu?” simpul Adam seraya melirik. Sekali lagi, Amber menggeleng. “Entahlah. Max tidak pernah menjadi milikku. Aku tidak bisa mengklaim kalau Gaby sudah merebutnya. Hanya saja, aku tidak terima kalau kesempatanku lenyap. Waktu itu, aku menolak percaya kalau mereka sudah menikah.” “Lalu kau berusaha merebut laki-laki itu dari istrinya?” Nada bicara Adam kembali terdengar mengha
“Lepaskan!” pekik Amber saat mendapat kesempatan bernapas. Namun, sedetik kemudian, mulutnya kembali dibungkam. Wajahnya sampai memerah karena gelagapan. Sadar bahwa Amber belum sempat mengumpulkan oksigen, Adam pun turun ke leher sang wanita. “Berhentilah!” teriak Amber di sela desah napas. “Ini pelecehan! Aku akan menuntutmu kalau kau—” Lagi-lagi, sang pria menargetkan bibirnya. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, Amber tak mampu melawan. Sekuat apa pun ia mendorong, pundak di atasnya tidak juga menjauh. Adam terus mengambil kenikmatan dari bibirnya. Kelelahan, sang wanita akhirnya berhenti meronta. Sambil mengerutkan alis, ia memejamkan mata rapat-rapat. Hatinya panas terbakar kecewa dan marah. “Kenapa Beruang Gila ini selalu menyiksaku? Tidak bisakah dia memperlakukanku dengan layak?” batin Amber sembari menelan kepedihan. Menyadari kepasrahan sang wanita, Adam pun menghentikan aksinya. Seraya mengatur napas, ia memperhatikan air mata yang membasahi pelipis Amber. “Ck, aku