KATHERINE BENNET - POV Sang Mantan
Setelah makan malam, Katherine menemukan koran di rak majalah salah satu meja dan membawanya ke kursi di sisi lain ruangan itu. Kebanyakan konten koran itu berkaitan dengan pasar saham, bisnis yang berkembang, dan industri lainnya. Di halaman sembilan, ada beberapa berita tentang perusahaan William. Dan tentu saja berita itu disertai dengan foto pria itu karena William adalah sang CEO. Pada foto itu William duduk di mejanya, lengan kemejanya digulung menunjukkan lengan bawahnya yang kecokelatan, dan dasinya longgar. Pria itu tampak tangguh, seperti pebisnis, dan, sialan, seksi sekali. Foto itu tidak diragukan lagi di ambil oleh seorang wanita. Katherine menarik napas dalam-dalam dan mencoba menahan diri untuk tidak mengaguminya. Pikirannya mengingatkan betapa playboy-nya si William, bagaimana pria itu hampir menghancurkan hatinya. Dan pertemuan mereka baru-baru ini, gadis itu mengetahui bahwa pria itu telah merayu seorang wanita yang sudah menikah segera melenyapkan kekaguman gadis itu terhadapnya. Katherine melipat koran dan mengembalikannya ke tempat semula. Setelah gadis itu membuat beberapa alasan tentang sakit kepala, dia segera meninggalkan pesta untuk kembali ke kamarnya .
Di kamarnya, tempat tidurnya telah disiapkan dan gaun tidur rumput putih terbentang cantik di atas selimut, tetapi sang pelayan telah menutup jendela dan membuat kamar itu menjadi panas. Sambil mendesah sedikit, Katherine membukanya lagi, menarik tirai, dan menyalakan kipas angin di langit-langit. Gadis itu mandi air dingin dengan cepat lalu menggosok giginya.
Karena dia telah membawa beberapa pekerjaannya yang masih belum terselesaikan, gadis itu dengan rapi meletakkannya di meja dan duduk di kursi sebelum mulai mengerjakan pekerjaannya. Pekerjaan Katherine cukup sederhana, hanya beberapa kontrak yang perlu dia tinjau dan tinggalkan komentar, dan biasanya gadis itu dengan cepat dapat menyelesaikannya, tetapi kali ini Katherine merasa sulit untuk berkonsentrasi, dan setelah berjuang selama hampir satu jam, gadis itu akhirnya menyerah juga.
“Jika aku melanjutkan membaca dokumen ini, aku akan benar-benar sakit kepala,” katanya pada diri sendiri kemudian meletakkan kembali kertas-kertas itu ke dalam foldernya, lalu menyimpannya sebelum berjalan menuju tempat tidur.
Katherine melipat kembali selimutnya ke bagian bawah tempat tidur dan memutuskan untuk menanggalkan gaun tidurnya lalu menyelinap ke bawah bedcover. Udara terlalu panas bahkan untuk mengenakan baju tidur. Setelah mematikan lampu, gadis itu menenangkan diri untuk tidur.
Katherine berbaring di sana untuk beberapa saat, menatap ke dalam kegelapan, mendengarkan desir lembut kipas angin di atasnya, sementara kejadian hari itu berputar kembali di benaknya seperti film yang menyedihkan. Dan yang paling mengganggu benaknya adalah sosok William Windsor yang tidak diinginkan dan terus mengganggu pikirannya.
Setelah beberapa saat, Katherine memutuskan bahwa tidak ada gunanya kehilangan tidur hanya karena memikirkan pria itu, jadi ia berbaring miring kemudian memejamkan matanya. Ia sama sekali tidak menyadari bagaimana malam itu akan berubah menjadi sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
* * * * * * *
WILLIAM WINDSOR - POV Sang Duke Playboy
“Aku seharusnya tidak melakukan ini,” William Windsor berkata pada dirinya sendiri untuk kelima kalinya sembari melirik Rolex yang terbungkus di pergelangan tangannya. Ini terlalu berbahaya. Selain itu, William telah memutuskan bahwa sudah waktunya untuk bersikap seperti seorang Duke dan bukan playboy. Dia harus menuruti keputusannya sendiri dan tidak membiarkan dirinya terpikat kembali bahkan jika itu hanya untuk mengenang masa lalu. Namun saat pria itu menutup matanya, dia bisa mengingat bagaimana wanita itu berdiri oh begitu dekat sehingga lekuk payudaranya yang tidak ditutupi oleh gaunnya dapat terlihat oleh mata semua orang. Ketika wanita itu berbisik mengatakan bahwa tubuhnya adalah milik William untuk di ambil, bagaimana bisa pria itu menolak godaan? Hampir merupakan dosa untuk menolak apa yang disuguhkan di hadapannya. Tubuhnya telah menanggapi bujukan wanita itu dengan penuh keinginan meskipun akal sehatnya mengatakan bahwa ingatan tentang tubuh mereka di antara seprai sebaiknya dilupakan.
Tetap saja, William mengambil senter dan mulai melintasi koridor yang tidak dikenalnya untuk mencapai tempat di mana wanita itu berada sambil berharap orang lain saat ini sedang aman terlelap di tempat tidur mereka masing-masing. Tidak ada yang akan melihat pria itu turun dari balkonnya di tengah malam seperti ini terutama karena William telah mengganti kemeja biru mudanya menjadi T-shirt hitam dan jaket kulit. Jika kebetulan seseorang memergokinya, pria itu bisa memberi tahu mereka bahwa dia tidak bisa tidur dan ingin mencari udara segar.
Alasan itu saja sudah cukup terutama karena dia memegang posisi sepenting Earl dan suatu hari akan menjadi seorang duke. William menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan rencananya.
* * * * * *
KATHERINE BENNET
Malam ini sangat melelahkan karena Katherine harus menyaksikan musuh bebuyutannya, Paris de Bourgh, mencuri curi pandang ke arah William. Sejujurnya, gadis itu tidak cemburu. Lagipula, dialah yang memutuskan hubungannya dengan William. Namun tetap saja hal itu menyebalkan untuk ditonton, apalagi ketika Paris sudah jelas-jelas menikah dengan sahabat Katherine, Jaxon de Bourgh. Apakah wanita itu tidak memiliki kesopanan dan etika bertingkah laku layaknya wanita yang sudah bersuami ?
Tatkala berbaring di tempat tidurnya, Katherine hanya bisa berharap bahwa Paris dan William sedang tidur di kamar masing-masing karena dia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Jaxon dengan pengkhianatan yang terang-terangan. Setelah beberapa menit yang damai, gadis itu akhirnya tertidur lelap.
Meskipun hal itu tidak berlangsung lama. Katherine tidak yakin apa yang telah membangunkannya. Mungkin angin dingin menerpa kulitnya yang terbuka, hampir seolah-olah dia tidak berada di bawah selimut. Katherine bisa bersumpah bahwa dia telah menutup jendela tetapi mengapa tirai pucat itu bergerak melayang ke dalam ruangan? Kelopak matanya terlalu berat untuk tetap terbuka sehingga gadis itu akhirnya menyerah pada kelelahan dan menutup matanya sekali lagi, mencoba kembali tidur.
Namun kemudian dia merasakan kasur di sampingnya tertekan oleh sebuah beban dan tubuh gadis itu langsung membeku.
Sial. Sial. Sial. Siapa ini? Apakah pencuri?
Lengan yang kuat terulur ke tubuh gadis itu, menarik tubuhnya ke tubuh laki-laki yang telanjang dan terangsang dan sebelum Katherine bisa memprotes, mulut yang hangat mengejutkannya dengan sebuah ciuman yang dalam dan sensual. Dan untuk sesaat yang mengejutkan, gadis itu dapat merasakan tubuhnya melengkung ke arah pria itu, memberikan sebuah tanggapan. Detik berikutnya kewarasannya kembali dan Katherine berusaha melepaskan bibirnya yang bengkak dari kuluman bibir pria itu. Dengan cepat dia meletakkan kedua tangannya di dada pria itu dan mendorongnya menjauh tapi pria itu jauh lebih kuat darinya. Katherine merasa semakin putus asa, gadis itu menggunakan kukunya sebagai senjata dan mulai mencakar pria itu dan saat cengkeraman pria itu sedikit mengendur, Katherine mengambil kesempatan untuk berguling ke sisi tempat tidur, menjauh dari tubuh hangat pria itu.
“Apa-apaan ini, Paris?!”
Tangan kanan gadis itu sibuk membabi buta mencari saklar lampu dan dalam sepersekian detik, cahaya membanjiri ruangan. Katherine berbalik untuk melihat siapa yang sudah dengan tidak sopan masuk ke kamarnya dan melakukan tindakan tidak pantas terhadapnya. Berdiri tegak di samping tempat tidur gadis itu tidak lain adalah William Edward Harold Windsor alias mantan pacarnya ketika SMA.
Ya Tuhan! Mengapa pria itu harus terlihat begitu tampan ketika gadis itu seharusnya membencinya untuk selamanya karena pria itu adalah orang yang merusak pernikahan sahabatnya?
“Kate?” ujar pria itu dengan suara serak, raut kebingungan di wajahnya terlihat jelas. “Kenapa kau di sini?”
“Um, mungkin karena ini kamarku?” Katherine melawan sensasi terbakar yang dia rasakan di pipinya dan mencoba yang terbaik untuk tetap tenang saat dia membungkuk untuk mengambil seprai, menyeretnya ke atas untuk menutupi payudaranya yang telanjang.
Dasar sialan!
Begitu gadis itu terlihat lumayan tertutup — sesopan mungkin dalam situasi seperti itu, dia meletakkan kedua tangannya di pinggul dan menatap pria itu dengan satu alis terangkat. “Dan lagi, aku yang seharusnya bertanya padamu. Apa yang kau lakukan di kamarku, William?”
Sebelum pria itu dapat menjawab pertanyaannya, terdapat ketukan keras di pintu, diikuti oleh suara Patrycia yang bertanya, “Apakah kau baik-baik saja, Katherine? Salah satu security baru saja menginformasikan bahwa ada seorang penyusup yang terlihat di taman.”
William memejamkan matanya sebentar sambil menggumamkan sesuatu yang keras dan nyaris tak terdengar. Kemudian pria itu meraih boxer yang sudah ia buang di lantai dan memakainya sementara Katherine mengalihkan pandangannya ke tempat lain, berusaha untuk tidak melihat tubuh telanjang pria itu.
“Cepat pakai bajumu,” ujar Katherine seraya bergegas saat dia meraih jubah mandinya sendiri.
Sebelum William berhasil mengenakan kembali celana atau kemejanya, kunci pintu kamar Katherine berputar dan detik berikutnya, pintu pun terbuka. Patrycia, sang tuan rumah, melenggang masuk dan di belakang wanita itu adalah Karina alias penggosip terbesar di kota dan Jaxon, sahabat Katherine yang memutuskan untuk datang ke pesta ini karena mencemaskan istrinya.
“Well, well, well” kata Karina dengan senyum jahat dan mata biru berbinar. “yang terjadi disini , hmm? Cinta lama bersemi kembali?”
***
“Mungkin sebelum kalian mengatakan sesuatu yang jelas-jelas bukan tempatmu untuk berkomentar,” ujar William dingin. “Kalian dapat menggunakan energi kalian untuk melakukan sesuatu yang berguna seperti meninggalkan ruangan sehingga aku dan Kate dapat memiliki privasi dan berpakaian.”
“Yah, selama kalian berdua bisa saling menjaga tangan dan menghindari godaan untuk melakukan seks lagi,” komentar Karina sebelum wanita itu berbalik dan keluar dari ruangan. Patrycia mengikuti di belakangnya. Jaxon adalah orang yang terakhir pergi. Sahabat Katherine itu hanya berdiri di sana, matanya membesar dengan penuh ketidakpercayaan dan rahangnya menganga lebar.
“Jaxon de Bourgh, aku tahu kau adalah sahabat Katherine sejak TK—”
“SMA,” ujar Katherine mengoreksi.
William memutar bola matanya tidak sabar dan menghela nafas. “Oke, sejak SMA tapi kamu benar-benar harus berhenti menatap Kate dan keluar sekarang juga.”
Akhirnya, Jaxon berkedip lalu berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Katherine menelan ludah dengan susah payah. Gadis itu belum pernah berada di kamar sendirian dengan pria mana pun apalagi William. Bahkan ketika mereka pacaran di SMA, mereka selalu berkencan di luar. Saat ini, sepuluh tahun kemudian, di sinilah mereka berada di sebuah kamar bersama dan hampir tidak mengenakan pakaian. Betapa gilanya itu?! Katherine hampir tidak percaya bahwa pria itu telah menyeretnya ke dalam situasi yang memalukan seperti ini.
“Kenapa kau datang kesini?”
“Apakah belum jelas juga?” William mengambil celana panjangnya dan memakainya, jelas tidak peduli fakta bahwa gadis itu masih di sini dan memiliki dua mata yang berfungsi dengan baik.
“Demi Tuhan, ambil pakaianmu dan pakailah di kamar mandi.”
William memutar matanya dan mulai mengambil pakaiannya dari lantai. Meskipun pria itu tampak kesal, dia menuruti permintaan Katherine. “Kupikir ini adalah kamar orang lain.”
“Oh, biarkan aku tebak. Kamar Paris?” Katherine berkomentar sambil memutar bola matanya yang indah.
Yang mengejutkannya, William berbalik dan wajahnya tampak terkejut. Dia menyipitkan matanya dan meskipun seharusnya Katherine takut namun d tidak. Dia melipat tangannya di depan dada dan memiringkan kepalanya ke satu sisi. Akhirnya, pria itu memecah kesunyian dan bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Satu, aku tidak buta. Dan dua, jika kau ingin kita melakukan percakapan yang layak maka kenakan pakaianmu terlebih dahulu.”
Ketika pria itu berada di kamar mandi, Katherine dengan cepat melepas jubah mandinya dan mengenakan kembali pakaian hariannya dan pada saat William berjalan keluar dari kamar mandi, gadis itu sudah duduk manis di sisi tempat tidur dan siap untuk melakukan percakapan paling memalukan yang pernah ia lakukan dengan mantan pacarnya.
WILLIAM WINDSOR"Apa yang kau pikir telah kau lakukan ?!" seru Kate sambil mencengkeram ujung handuknya sedikit lebih erat. "Dan bagaimana kau bisa masuk ke sini?""Melalui pintu depan seperti orang normal," jawab William, mengangkat satu alisnya saat dia menatap istrinya dengan penuh tanya. Dia kemudian bersandar ke dinding di dekat pintu dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana jeans gelapnya. "Kau tahu, daripada bertanya kepadaku, bolehkah aku menyarankanmu untuk bertanya pada diri sendiri mengapa kau tidak mengunci pintu depanmu dengan benar? Ini bukan lingkungan yang baik." Dia mengerutkan kening, untuk sepersekian detik ada kekhawatiran di mata hijau zamrudnya."Aku pasti lupa," kata Kate sambil mendesah kecil. "Aku tadi cukup terganggu.""Oleh apa? Pekerjaanmu lagi?" Kali ini kekhawatiran dalam suara pris itu terlihat jelas. "Apa kau mengatakan kantormu menelepon lagi?""Usaha yang bagus." Kate memberinya tatapan tajam. "Aku tidak pernah memberitahumu." Kemudian seolah-ol
William Windsor menatap cairan cokelat keemasan di gelasnya untuk beberapa saat sambil mendengarkan teman-temannya membicarakan hal-hal yang sedang terjadi dalam hidup mereka. Cas meneleponnya di sore hari, memberi tahu dia bahwa Nathaniel, atau dikenal dengan nama panggilan 'Niel', ada di kota. Niel, yang merupakan pemain sepak bola profesional, tidak pernah benar-benar tinggal di satu tempat karena dia harus melakukan perjalanan dari satu stadion ke stadion lain yang merupakan bagian dari pekerjaannya. Karena Kate telah mengatakan bahwa dia akan makan malam dengan teman-temannya, William tidak punya apa-apa untuk dilakukan di malam hari."Liam," panggil Niel, menatap William dengan cemberut. “Kau sangat pendiam. Apa yang terjadi?" Dia meneguk birnya dan bersandar di kursinya. Niel adalah satu-satunya orang dari mereka berlima yang benar-benar minum bir."Tidak ada apa-apa." William mengalihkan pandangannya dari minumannya ke temannya dan mengangkat bahu. "Hanya lelah."“Keuntungan m
Tapi William tidak punya urusan lain di Central Park. Faktanya, yang dia lakukan hanyalah berjalan di sampingnya dan berbicara dengannya tentang hal-hal biasa seperti cuaca, lalu lintas, dan sandwich yang dia sukai untuk makan siang di toko makanan favoritnya. Dan saat mereka tiba lagi di flatnya, pria itu mengambil barang-barangnya lalu mengatakan padanya 'semoga harimu menyenangkan, Kate’, sebelum berjalan keluar dari pintu depan, membuatnya benar-benar bingung.Kate tidak berkomentar, lalu dia mandi dan kembali bekerja. Seluruh hari-harinya telah dihabiskan di depan laptopnya dan pada saat dia menyadari berapa jam telah berlalu, hari sudah pukul dua siang. Dia bersandar di kursinya dan meregangkan tubuhnya. Perutnya terasa keroncongan seperti protes tetapi dia menolak untuk memindahkan pantatnya ke dapur dan menyiapkan makanan yang layak untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, dia terus bekerja di meja dekat jendela sampai jam tiga sore.Bel pintu berbunyi dan dia tersentak kaget. Meras
William menatap langit-langit dan menghela napas. Dia tidak bisa tidur seperti ini. Sofa itu sangat kecil untuk ukuran pria seukurannya sehingga dia yakin dia akan sakit punggung di pagi hari. Tetap saja, dia berbaring di sana dan mencoba memikirkan hal lain selain fakta bahwa Katherine Bennet masih perawan. Dia tidak yakin mengapa gadis itu tidak mengatakan apa-apa kepadanya, tetapi dia berpikir bahwa jika Kate tidak mengatakan apa-apa maka dia juga tidak.Dia menggigit bibir bawahnya, melakukan yang terbaik agar bibirnya tidak membentuk senyuman. Kurangnya kontrol Kate yang spektakuler tidak hanya menyebabkan dia berhubungan seks. Itu telah mendorong gadis itu berhubungan seks untuk pertama kalinya.William menutupi dahinya dengan lengannya dan memejamkan matanya. Dia tidak dapat mengingat seperti apa pengalaman pertamanya meskipun dia samar-samar ingat bahwa itu terjadi di sebuah pesta dan bahwa gadis itu lebih tua darinya. Dia mencoba mengingat nama gadis itu dan gagal total. Tid
Katherine Bennet menyesap kopinya lalu menghela napas saat dia menelan cairan pahit bercampur susu itu. Memandangi apartemennya, dia merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya dan menyadari bahwa itu adalah kesepian. Dia merasa sendirian meskipun selama lima tahun tinggal di sini dia tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Sambil menggelengkan kepalanya, dia mengalihkan pandangannya kembali ke layar laptopnya dan terus mengerjakan kontrak penerbitan untuk salah satu penulis non-fiksi terkenal di Summers Publishing House, Julie St Matthews. Tidak kurang dari tiga puluh menit kemudian, gerimis di luar mulai semakin deras dan menit berikutnya, hujan turun. Guntur menggelegar melintasi langit dan getaran terasa di bawah kakinya. Petir menyambar secepat kilat di dalam awan. Pikirannya langsung bertanya-tanya di mana William berada dan apakah dia baik-baik saja. Dia ingat pernah membaca di salah satu majalah di suatu tempat bahwa William sering bepergian menggunakan jet
William mencium Kate, dia berpikir dengan pasti bahwa Kate akan mendorongnya menjauh, tetapi sebaliknya, gadis itu menanggapi ciumannya, perlahan pada awalnya tetapi kemudian semakin menggebu gebu. Seolah-olah, sama seperti pria itu, Kate juga perlu merasakan ciuman itu lagi, ingin merasakan kembali perasaan hangat dan senang yang memenuhi dirinya setiap kali bibir William menyentuh bibirnya. Alih-alih mendorongnya menjauh, gadis itu melingkarkan lengannya di leher suaminya dan menariknya lebih dekat, mendekapnya seerat yang dia bisa sementara mereka berdua berdiri di samping sofa.William merasa tersentak dan dia tahu bahwa satu ciuman tidak akan cukup. Dia tahu pasti bahwa dia tidak akan pernah bisa merasa cukup. Dia membutuhkan istrinya dengan segala cara yang mungkin, dan di sinilah istrinya saat ini, dalam pelukannya, menawarkan tubuhnya kepadanya sekali lagi. Tidak ada ruang atau waktu untuk logika atau rasionalitas lagi.William mendorongnya sampai gadis itu menyentuh tepi so