Kini ia menarik kursi di meja rias. Mengambil piring di nampan, lalu mulai menyodorkan sendok berisi makanan. "Aaak!" suruhnya sambil ikut mangap.Melihat tampang dinginnya, aku tidak berani membantah. Walau pun belum berselera makan, tetapi perut ini meminta jatahnya juga."Kamu yang udah ngompres aku?" Aku menebak ketika sudah mendapat dua suapan dari Arzen.Arzen menatapku sejenak. "Ya ... itu Diaz yang nyuruh," jujurnya datar."Makasih," ucapku tulus. Walau bukan dari inisiatif dia sendiri, setidaknya Arzen sudah ada sedikit rasa peduli terhadapku."Oke ... aku masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Kamu habisin sendiri makannya."Arzen menyerahkan piring itu padaku. Setelah itu dia berlalu. Kepergiannya membuat mulutku enggan mengunyah. Bahkan jika dipaksakan, aku bisa muntah.Yakin tidak ingin meneruskan makan, aku menaruh piring tersebut ke nampan. Badan ini sudah bertenaga sedikit. Perlahan kubawa nampan kayu ini ke dapur."Naf." Diaz menyapa. Dia tengah membuat dua cangki
"Pakai bajumu!" Arzen menyudahi kerokan ini.Aku menoleh. Lelaki itu bangkit dari ranjang. Sesaat mata kami bertemu pandang. Tampak jakunnya naik menatapku. Seolah tengah menelan sesuatu."Makasih udah mau ngerokin aku," ucapku tulus.Arzen membuang muka. "Cepat pakai bajumu!" Setelah menyuruh dia melangkah cepat meninggalkan kamar.Kukenakan kaos longgar ini. Lantas mataku tertuju pada minyak angin dan koin yang masih tergeletak di ranjang. Aku tersenyum.Semoga ini awal dari segala kebaikan.Kukembalikan dua buah benda tersebut ke wadahnya. Lalu duduk di ranjang lagi. Badan ini sudah lumayan ringan. Kubaca novel sambil menunggu Arzen masuk. Namun, sampai dua jam lamanya, lelaki itu tidak muncul juga. Akhirnya, kuputuskan terlelap tanpa menantinya.Sampai aku terjaga di waktu subuh, bantal Arzen masih kosong. Tidur di mana dia? Badan ini sudah lumayan bugar. Tanpa membuang waktu, aku bersuci. Lalu menggelar ibadah pagi.Usai melipat mukena, aku keluar kamar. Di bawah tangga berdiri D
Aku belum selesai mandinya," ujarnya mengusir.Aku sendiri mengangguk cepat. Malu juga karena sudah melihat tubuh Arzen. Aku bergerak cepat keluar. Begitu di luar, aku menghembus napas.Sudut bibirku berkedut. Inilah sisi lain dari Arzen. Kini aku berinisiatif memilihkan baju kerjanya.Ketika aku tengah memilah-milah kemeja, Arzen sudah selesai mandi. Badannya terbalut kaos dalam putih dan bokser."Aku pilihkan kemeja ini." Kutunjukan kemeja polos berwarna hitam.Arzen tidak menyahut. Dia hanya meraih kemeja itu dari tanganku. Memakainya tanpa suara. Begitu juga dengan celana jeans hitam yang kusodorkan."Aku sudah buatkan omelette buat sarapan kamu," ujarku saat Arzen sedang menyisir rambut.Arzen berhenti sejenak. "Bekelin aja. Ntar aku makan di kedai." Setelah menyambar ponselnya, dia beranjak.Aku mengikuti langkahnya. Arzen langsung menuju garasi. Aku sendiri tergesa mengambil sebuah kotak makan. Lalu mengisinya dengan telur dadar buatan.Kutarik kaki ini agar gegas menemui Arzen
Gemericik air. Arzen masih betah di kamar mandi. Padahal aku sendiri sudah amat risih. Ingin membersihkan diri juga. Lebih dari empat puluh menit lelaki itu di dalam. Bahkan seprai putih alas bercinta kami sudah selesai kuganti. Kupandang noda merah ini. Tiba-tiba mata ini merebak.Aku menyesal. Seharusnya aku tidak perlu secepat itu meminta hak. Harus sadar diri posisiku di hati Arzen. Sehingga tidak perlu merasa sakit hati ini.Derit pintu membuatku menoleh. Arzen keluar dengan rambut basahnya. Tanpa bicara dia mengambil hair dryer, lalu mulai mengeringkan rambut.Aku sendiri tertatih menuju kamar mandi. Sedikit mendesis menahan rasa sakit di inti tubuh ini. Usai membaca niat mandi besar, shower air menyiram tubuh. Air mataku membaur bersama air yang mengalir.Arzen sudah tertidur ketika aku selesai mandi. Seperti biasa posisinya miring membelakangi. Helaan napasnya terdengar pelan. Dadanya naik turun dengan teratur.Rambutku masih basah. Namun, tidak kukeringkan dengan hair dryer.
Keesokan harinya, sikap Arzen kembali seperti biasa. Sikapnya yang hangat semalam sirna. Dia menjelma menjadi pria yang kaku dan dingin lagi. Namun, aku dibuat terkejut saat tiba-tiba Arsy bertandang ke rumah."Kak Arzen nyuruh aku buat ajak jalan-jalan sama kamu, Mbak," tuturnya ceria. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah. "Katanya biar kamu gak bosen di rumah terus.""Benarkah?" Aku takjub mendengarnya. Tidak menyangka jika Arzen akan memberikan perhatian. "Hu'um. Makanya sekarang Mbak Nafia ingin pergi ke mana? Aku temenin.""Kebetulan isi kulkas mau kosong, bagaimana kalo kita belanja bulanan?""Boleh." Arsy mengangguk setuju, "yodah buruan telpon Bang Diaz buat anter kita.""Kok Diaz? Dia kan harus dampingi Mas Arzen. Kita naik taksi saja.""Gak suka ah!" Arsy menolak langsung, "aku maunya disopirin Bang Diaz," pintanya setengah mengancam.Tidak mau membuat Arsy kecewa, aku menurut. Kuhubungi nomor Diaz. Beruntung pemuda itu dengan senang hati menyanggupi.Arsy berseru se
Ketika bel rumah berbunyi, Arsy melonjak girang. Dia tergopoh-gopoh membukakan pintu."Lihatlah! Betapa cantiknya istrimu, Kak," ujar Arsy ketika masuk bersama Arzen. "Dialah ratumu di pesta nanti."Arzen menatapku lekat. Aku mengembangkan senyum untuknya. Namun, Arzen justru melengos."Kamu yang dandanin dia?" tanya Arzen pada adiknya."Cantik kan?" Arsy meringis senang.Arzen mendengkus marah. "Hapus make-upmu, lepas bajumu! Kamu gak akan ikut ke pesta!" putusnya tegas."Kak Arzen apa-apaan sih?!" Arsy berseru tidak terima."Kamu diem! Kalo mau ikut sana bersiap," tegas Arzen pada adiknya."Aku tentu ikut, bareng Mbak Nafia juga." Arsy bersikeras mengajakku."Sy, tolong jangan buat aku marah ya!" titah Arzen dingin dan tajam. Matanya intens menatap adiknya."Kenapa Kak Arzen enggan ngajak Mbak Nafia sih? Malu?" tebak Arsy dengan nada meninggi. Dua sama sekali tidak takut dengan tajamnya tatapan sang kakak.Arzen tercekat. "Arsyyy!" Arzen balas membentak.Aku sendiri terkaget mendeng
"Kurang ajar!" Paman Santosa menggeram, "saya tidak terima Nafia dipermalukan seperti ini." Diaz terdiam mendengarkan. Sepertinya dia yang telah menceritakan semuanya pada Paman. "Tidak apa kamu menjadi janda, Nafia. Asal kamu tidak dihina oleh keluarga Bapak Ari Wijaya." "Maksud Paman apa?" Dahiku mengerut. "Cerai saja dari Arzen!" Paman Santosa menyahut cepat. "Lalu kita tuntut pertangung jawaban mereka atas meninggalnya keluargamu, Ibnu, dan cacatnya kaki kamu," tuturnya dengan gigi gemelutuk menahan berang. Aku termangu. Sungguh bukan ini yang kuinginkan. "Kenapa kamu diam saja, Naf?" Paman Santosa menatapku lekat. "Kamu setuju kan dengan saran Paman?" Aku menarik napas. Mencoba melegakan himpitan hati. "Aku emang sakit hati atas perlakuan keluarganya, Paman. Tapi, aku tidak ada kepikiran untuk berpisah dari Arzen," jujurku pelan. "Berarti kamu sudah mencintai Arzen, Naf?" Nada bicara Diaz biasa saja. Namun, ada kegetiran yang kutangkap dari pernyatannya. "Eum ... aku gak
Batuk Ibu Sita kian menghebat. Terdengar bunyi mengi setiap kali bernapas. Wajahnya kini memucat dengan keringat mulai membasahi. Dari gejala yang terlihat sepertinya Ibu Sita terkena asma.Tidak tega dengan keadaannya, gegas kudekati Ibu Sita. Membimbingnya duduk dengan posisi tegak."Tenang dan tarik napas yang panjang, Ma," suruhku perhatian.Ibu Sita menurut. Dirinya duduk tegak dan menarik napas dalam-dalam. Aku sendiri melihat sekeliling. Mencari penyebab kambuh asmanya Ibu Sita.Rumah terlihat bersih tanpa debu. Tidak ada benda-benda dari bahan bulu. Apalagi asap rokok karena hanya ada kami berdua. Ibunya Diaz tidak datang hari ini.Mataku tertuju pada jendela yang terbuka. Sepertinya hujan yang menghembuskan udara dingin adalah penyebab kambuhnya asma Ibu Sita. Gegas kututup jendela besar ini.Sekarang kaki ini kuseret ke dapur. Akan kubuatkan kopi untuk Ibu Sita. Karena minuman hangat yang mengandung kafein seperti kopi atau teh dapat sedikit membantu saluran pernapasan.Kafe