Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu
"Cantik sekali."Aku mengulum senyum mendengar pujian yang dilontarkan oleh MUA yang tengah merias wajah ini."Nafia dari kecil memang sudah cantik," timpal Bibi Ira.Wanita itu tampak semringah. Lebih bahagia dari aku sebagai pengantin. Ya hari ini aku akan menikah. Namun, bukan dengan Mas Ibnu. Melainkan dengan Arzen. Pemuda kaya yang baru kutemui satu bulan lalu."Ayo, pengantin laki-lakinya sudah menunggu." MUA itu berbicara lagi sambil meremas pelan pundakku.Aku mengangguk tanpa semangat. Karena memang bukan dengan Arzen aku ingin menikah. Andai waktu bisa diputar kembali."Ayo, Naf!"Kali ini Bibi Ira yang mengajak. Perempuan itu membantuku untuk berdiri. Tangannya langsung mengamit lengan kiriku. Sementara lengan kanan ini diamit oleh MUA.Kami melangkah pelan meninggalkan kamar. Kamar mewah milik calon suamiku yang terletak di lantai dua. Dengan hati-hati aku menuruni anak tangga masih dibimbing oleh Bibi Ira dan MUA. Semua pasang mata tertuju padaku.Sampai di bawah Adik Arz
"Lagi ngapain kamu?"Aku tercekat. Mata ini langsung terbuka. Begitu membalikkan badan, tampak Ibu Sita tengah menatapku tajam."E-e-eum ... saya--""Mau ngikutin jejak bibimu jadi maling?"Hatiku tersayat mendengar tuduhan keji itu."Itulah kenapa saya tidak menginginkan punya menantu miskin seperti kamu!" tandasnya dalam.Seperti ada sebuah belati yang menikam hati ini. Amat dalam sehingga terasa sangat menyakitkan. Aku tahu Ibu Sita tidak menyetujui perjodohan ini. Tetapi, dia tidak bisa seenaknya menuduhku."Karena biasanya orang miskin itu lancang." Makin sempurna Ibu Sita menghina.Aku tarik napas dalam-dalam. Aku harus kuat. Inilah babak baru hidupku. "Maaf, saya bukannya lancang. Tapi, sungguh saya tidak tahu kamar yang Arzen di mana," ucapku pelan. Untuk kesopanan aku menunduk Terdengar Ibu Sita mendengkus. "Gak usah bohong gitu! Masa iya gak bisa membedakan mana kamar pengantin mana kamar biasa," tukas Ibu Sita tajam."Saya benar-benar tidak tahu, Bu. Maaf." Kali ini aku m
"Arzen pergi diantar Diaz. Dia bilang mau keluar sebentar," lapor Bapak Ari seakan tahu isi hatiku.Kutanggapi laporan Bapak Ari dengan anggukan. Lalu mulai memakan hidangan yang ada di meja. Ada banyak makanan yang tersedia. Daging rendang, ayam goreng, sop iga, sayur lodeh, sambal, dan perkedel. Namun, semua makanan ini terasa hambar begitu melihat ekspresi Ibu Sita.Sepanjang acara makan mulut wanita itu tidak bersuara. Namun, matanya selalu mengawasi gerak-gerikku. Membuatku kikuk saat akan mengambil makanan yang ada. Dan aku cukup tahu diri dengan memakan makanan yang berada di jangkauan. Beruntung Arsy pengertian. Gadis itu mengambilkan daging rendang dan ayam goreng yang berada tepat di hadapan Bapak Ari dan Ibu Sita. Ada rona kekesalan yang kutangkap dari wajah Ibu Sita melihat Arsy perhatian padaku.Acara makan malam selesai. Aku dengan sigap membereskan meja makan. Kata Diaz, ibu dan ayahnya hanya bekerja dari pagi hingga petang saja. Jadi kalau malam begini rumah ini suda
(Nafia)"Maaf," ucap Arzen begitu aku membuka mata. "Untuk saat ini aku belum bisa melaksanakan tugas itu, Naf," jujurnya sambil membuang muka.Aku menipiskan bibir, walau Arzen tidak melihatnya. Tiba-tiba dia menatapku lagi."Aku capek dan kamu juga. Iya kan?" tebaknya terlihat yakin.Aku hanya mengangguk kecil. Padahal sebenarnya badan ini lumayan bugar setelah di-charge dengan tidur sore selama dua jam tadi."Yodah ... sebaiknya kita tidur." Arzen menyuruh sambil merebahkan tubuh. Pria itu menarik selimut sampai ke dagu. "Selamat malam," ucapnya dingin. Setelah itu Arzen memutar badan.Aku termangu melihat Arzen tidur membelakangi. Punggung itu tidak bergerak lagi."Malam ...." Aku membalas lirih.Selanjutnya aku mengikuti gaya tidurnya. Masing-masing saling membelakangi. Hingga satu jam berlalu, mata ini belum juga mau diajak tidur.Sungguh ... tidur miring seperti ini terus membuat badanku terasa pegal. Sebenarnya ingin merubah posisi. Namun, aku malu. Malu karena tidak dianggap.
Aku hanya tinggal selama tiga hari di rumah Bapak Ari. Hari keempatnya Arzen memboyongku ke rumahnya sendiri. Itu pun Diaz yang menjemput. Arzen hanya menyuruh saja.Rumah Arzen lebih kecil dibanding rumah orang tuanya. Namun, terkesan lebih modern. Barang-barang di dalamnya juga tidak terlalu mewah.Kamar utama terletak di lantai atas ternyata. Begitu juga kamar Diaz."Biar aku usul ke Arzen kalo sebaiknya kamar kalian pindah di bawah saja," ujar Diaz ketika melihatku tanpa tertatih menapaki tangga. "Biar kamu gak turun naik tangga," lanjutnya sambil menatapku iba. Dan aku merasa terharu. Selama ini cuma Diaz saja yang perhatian padaku."Gak usah, Yaz!" Aku menggeleng pelan, "aku biasa kok turun naik tangga," tuturku meyakinkan pemuda."Gak!" Diaz juga menggeleng, "aku gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa pas ditinggal di rumah sendiri," dalihnya begitu terlihat tulus. "Lagian di lantai bawah juga ada kamar yang ada kamar mandinya juga."Omongan Diaz bukan sekedar kelakar. Pemuda
FlashbackSeharusnya waktu itu adalah hari yang membahagiakan. Karena Rafi adikku akan pulang dari Jogjakarta dengan menyandang gelar sarjana hukum. Dia akan menjadi pengacara sesuai cita-citanya.Akhirnya, pengorbananku selama ini tidak sia-sia. Tiga tahun lamanya, gaji dari menjadi pelayan di sebuah toko roti selalu kukirimkan pada adik semata wayang. Tidak mengapa aku tidak punya tabungan, asal Rafi bisa lulus kuliah."Kenapa dari tadi kok senyum-senyum terus?" tegur Tina. Teman seprofesi. "Lho ... kok udah siap-siap? Waktu pulang masih dua jam lagi, Naf. " Mata Tina menyipit melihatku tengah mengelap etalase yang memajang aneka kue dan roti."Hari ini aku ijin pulang cepet." Aku membalas sambil berlalu menuju ruang ganti. Tina mengekor. "Rafi pulang," terangku dengan senyum yang tersungging."Oh ya? Sudah jadi sarjana dia?""Alhamdulillah ... Rafi lulus dengan nilai terbaik." Aku mengambil blazer berwarna hitam untuk melapisi seragam. "Aku pergi ya," pamitku semringah."Hati-hati
"Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit."Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. "Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilan