Keinarra Athaletta, gadis Cantik yang masih duduk di bangku kuliah semester enam itu tertegun di depan layar komputer di perpustakaan kampusnya.
Sebuah email masuk dengan nama anonim99 berisi sebuah iklan. Bukan iklan biasa, tapi iklan penawaran sebagai istri kontrak selama satu tahun dengan banyak syarat yang menyertai. Tidak boleh mencari tahu siapa calon suami, tidak boleh banyak bicara, tidak boleh banyak bertanya, tidak boleh jatuh cinta dan masih banyak lagi tidak boleh yang membuat bibir Kei-sapaan gadis bermata bulat itu terangkat sedikit. “Apaan sih, enggak jelas banget iklan tuh ….” Dia bergumam. Mengeratkan sweater lusuhnya karena di luar hujan tidak mereda sejak pagi. Meski begitu, jemari Keinarra tidak berhenti scroll mouse dalam lingkupan telapak tangannya hingga dia menemukan sebuah angka fantastis yang membuat bibirnya kini bukan hanya terangkat sedikit melainkan terbuka lebar sama seperti mata bulatnya yang terbelalak melihat jumlah yang besar tersebut. 5 Milyar, adalah angka yang bagi gadis miskin seperti Keinarra merupakan angka yang luar biasa karena dia bisa membayar hutang biaya berobat dan tunggakan rawat inap ayah tirinya serta tunggakan uang kuliah, bahkan mungkin Keinarra bisa hidup enak dan nyaman menggunakan uang itu, tidak perlu kelaparan dan tinggal di kossan kumuh yang dihuni oleh preman dan pemulung. “Ini pasti prank ….” Keinarra menolak percaya. Dia hendak keluar dari layar tersebut namun sebuah nomor ponsel yang tertera dengan warna merah mengurungkan niatnya. Keinarra membaca setiap angkanya, terasa nyata dan bayangan akan hidup nyaman serta tidak dikejar hutang kembali menari dalam benak gadis itu. Keinarra memejamkan mata, menarik nafas dalam lalu mencatat nomor tersebut di ponselnya. Dia melirik arloji di pergelangan tangan lalu bergegas mematikan layar komputer. Selanjutnya langkah Keinarra menggema di ruang perpustakaan yang sepi, dia hampir terlambat masuk kelas berikutnya. “Kei!” seru Widhy-sahabatnya dari tengah-tengah ruang kelas membuat sang dosen dan seluruh isi kelas menoleh ke pintu. “Masuk! Kamu beruntung karena saya baru datang.” Sang dosen berujar ketus. “Maaf Pak … tadi keasyikan ngerjain tugas di Perpus.” Keinarra menyengir memperlihatkan dua gigi kelincinya. Sang dosen paruh baya berkepala botak itu mendelik sebagai respon. Lalu Keinarra melangkah ke kursinya di samping Widhy dengan diiringi teriakan, “Huuuuuu ….” Dari teman sekelasnya. Keinarra memberikan senyum manisnya lalu duduk dan mengeluarkan buku. “Kamu ngerjain apa sih di Perpus?” tanya Widhy berbisik. “Baca buku, enggak ngerjain tugas …,” jawab Keinarra berdusta karena sebenarnya dia menghindar dari ajakan makan siang dari Widhy tadi. Tabungan Keinarra semakin menipis jadi dia harus mengirit. Widhy berdecak lidah kesal. “Padahal aku mau traktir kamu, aku baru dapet kiriman duit dari tanteku yang di Jerman.” “Lain kali,” kata Keinarra yang tahu kalau Widhy sedang berbohong. Widhy mengetahui segala permasalahan hidup Keinarra yang sebagian besar menyangkut uang jadi Widhy sering kali mentraktir Keinarra atau membantu meminjamkannya uang untuk kebutuhan hidup atau membeli obat ayah tirinya Keinarra sampai bayar uang kuliah. Dan Keinarra sudah tidak mau merepotkan sahabatnya itu lagi. Usai perkuliahan selesai, Keinarra bergegas merapihkan bukunya. “Mau ke mana lagi sih Kei? Kita ngafe dulu yuk, temenin aku.” Widhy bertanya sambil santai-santaian memasukan barang-barangnya. “Aku mau ke rumah sakit … tadi perawat ayah kirim chat.” “Hah? Kenapa? Ayah kamu bangun dari koma?” Widhy bangkit dari kursi menatap Keinarra serius. Keinarra menggelengkan kepala, dia tahu kalau sang perawat memintanya datang ke rumah sakit pasti untuk bertemu dengan bagian keuangan. “Aku antar,” kata Widhy. “Eh jangan … jauh, nanti aja aku kabarin.” Keinarra tersenyum, mengecup pipi Widhy sekilas kemudian pergi dengan langkah cepat setengah berlari. “Keinarra!” Suara Bu Abeka membuat langkah Keinarra terhenti di lorong. Tapi hanya terhenti tanpa berniat berbalik bahkan kalau bisa dia lari sekarang juga. “Kenapa kamu enggak datang ke ruangan saya?” tanya bu Abeka dari arah belakang kemudian langkahnya berhenti di depan Keinarra. Keinarra menyengir lucu. “Karena saya tahu Ibu mau nagih uang semesteran, uangnya lagi saya usahakan Bu.” Bu Abeka menatap kesal. “Dengar Kei, kamu enggak akan bisa membayar tunggakan biaya kuliah kalau hanya bekerja di mini market ….” Keinarra mengembuskan nafas panjang. “Saya akan usahakan Bu, kasih saya waktu sebulan.” “Saya enggak mau percaya sama janji kamu, saya sarankan kamu ambil cuti, kamu enggak usah lanjut semester tujuh, kamu cuti dan cari pekerjaan yang bener untuk bayar tunggakan setelah itu baru lanjut.” Bu Abeka memberi saran dengan suara lembut. “Baik Bu,” kata Keinarra sambil tersenyum lalu pergi. Dia melewati tubuh bu Abeka seraya membungkuk setelah itu punggungnya menegak bersamaan dengan jatuh beberapa bulir air mata ke pipi. Tinggal dua semester lagi, sayang sekali kalau Keinarra ambil cuti. Dan meskipun dia ambil cuti lalu mencari pekerjaan, belum tentu bisa membayar tunggakan kuliah dan biaya rumah sakit ayah. “Tuhan … Kei lelah sama semua ini, apa yang harus Kei lakukan?” Dia melirih dengan kepala tertunduk dalam. *** Ruang kerja di gedung pencakar langit lantai 19 itu tampak terang benderang bermandikan cahaya matahari sore yang cukup terik usai hujan sejak pagi tadi. Reyhan Mahendra, pria berusia dua puluh delapan tahun itu tengah berkutat dengan MacBooknya. Meski dia calon pewaris tunggal MHN Group tapi tidak membuatnya malas-malasan dalam menjalankan perusahaan. Pria dengan tubuh atletis dan berparas tampan bak dewa Yunani terkenal sangat ambisius ingin membesarkan MHN Group hingga ke Negri Eropa sana. Tok … Tok … Suara pintu diketuk disusul sosok cantik dibalut stelan blazer dan rok span yang super seksi masuk ke dalam ruangan. “Sore Pak …,” sapanya dengan suara menggoda. “Sore.” Tapi Reyhan membalas dingin dan datar seperti biasa. “Bapak … ini sudah Lisa urutkan laporan yang Bapak minta, terus pak Handoko sedang dinas ke Luar Kota jadi enggak apa-apa biar Lisa temenin Bapak ke acara nanti malam.” Reyhan mengangkat pandangannya. “Saya enggak akan datang, kalau begitu kamu datang dan catat setiap detail penting yang disampaikan sama pak Wali Kota.” Deg. Wajah Lisa langsung memucat. Sedangkan Reyhan, kini sudah fokus dengan data yang diberikan Lisa barusan. “Em … Ba … baik, Pak.” Lisa meringis, dia menyesal menawarkan diri karena sebenarnya malas sekali hadir di acara membosankan itu jika tidak dengan si bos tampan. “Sore, Pak.” Suara lain terdengar dari arah pintu. “Sore,” kata Reyhan sembari mengendikan dagu meminta pria itu masuk. “Lisa … kamu keluar dulu,” kata Argo, sekretaris merangkap orang kepercayaan Reyhan. Lisa mendelik kepada Argo kemudian pergi menghentakan heelsnya membuat bokong sintal itu bergerak sensual. Argo mengembuskan nafas panjang lalu kembali ke pintu karena Lisa tidak menutupnya dengan benar. “Ada kabar baik?” tanya Reyhan, meski suaranya dan ekspresi wajahnya datar namun Argo bisa melihat sorot mata bosnya itu tampak penasaran. “Email yang kami kirim sudah terbaca oleh nona Keinarra menggunakan komputer kampus ….” Argo menjeda. “Lalu?” kejar Reyhan penasaran. Argo menggelengkan kepala. “Tapi saya sudah pastikan kalau nona Keinarra sangat membutuhkan uang saat ini … biaya berobat ayah tirinya, uang kuliah dan kontrakan kumuhnya belum dibayar … sementara dia selalu berada di perpus setiap siang, tidak pernah terlihat di kantin.” Argo menyampaikan detail. “Baiklah … kita tunggu sampai besok, kalau dia masih belum menghubungi … Kamu datang ke rumah sakit dan kampusnya memaksa mereka menekan perempuan itu agar membayar tunggakan,” ujar Reyhan dingin. “Baik, Tuan ….” Argo membungkuk kemudian undur diri dari ruangan itu. Sepeninggalan Argo, Reyhan menautkan jemarinya dengan menumpu kedua sikut di atas meja, tatapan mata elangnya terarah keluar jendela, ada dendam di sana yang menunggu untuk dilampiaskan.Villa itu kembali hangat begitu Reyhan dan Keinarra masuk. Setelah seharian penuh aktivitas, tubuh mereka sama-sama letih. Keinarra lebih dulu masuk kamar mandi, sementara Reyhan melepaskan kemejanya lalu duduk di tepi ranjang, menyalakan lampu tidur yang temaram. Suara gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi, membuat suasana semakin terasa damai.Ketika Keinarra keluar dengan rambut basah dan piyama tipis, Reyhan sudah berganti dengan celana santai. Keinarra naik ke ranjang, menarik selimut lalu merebahkan tubuhnya dengan wajah lega. Akhirnya bisa bertemu kasur.Reyhan baru saja hendak ikut berbaring ketika ponselnya bergetar. Nama Argo tertera di layar. Ia menjawab sambil berjalan ke arah teras belakang.“Ya, Argo?”Suara tenang sekretarisnya terdengar. “Tuan, laporan yang Anda minta sudah saya terima. Orang suruhan Nona Clarissa sudah menyampaikan semua informasi tentang Nyonya Keinarra kepada beliau. Sepertinya proses itu berjalan sesuai dugaan Anda.”Mata Reyhan
Angin sore mulai berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan suara deburan ombak yang tak pernah lelah menyapa pasir putih Pulau Seribu. Setelah seharian dipenuhi dengan berbagai aktivitas seru yang diarahkan tim EO, wajah setiap orang terlihat sedikit lelah, namun senyum masih terus merekah.“Semua kumpul, ya! Kita mau sesi foto bareng sebelum sunset!” seru salah satu panitia, membuat rombongan mahasiswa dan bergerak menuju spot yang sudah dipilih.Sebuah gazebo bambu dihias dengan kain putih dan rangkaian bunga tropis berdiri megah di tepi pantai. Di belakangnya, langit mulai berubah warna menjadi jingga, keemasan, dan semburat ungu yang indah.Seseorang dari EO mengarahkan mereka untuk berfoto. Suasana penuh tawa, ada yang saling merangkul, ada yang berpose konyol sambil mengangkat tangan.Setelah foto bersama, ada foto per-seksi di ulai dari panitia inti, seksi acara, perlengkapan dan lain-lain.“Ada lagi yang mau foto?” Sang phographer bertanya sebelum dia menyelesaikan pe
Cahaya keemasan pagi menyelinap masuk melalui tirai tipis, membias di lantai marmer dan menari lembut di dinding villa. Suara ombak terdengar lirih, berpadu dengan kicauan burung yang hinggap di pohon kelapa.Keinarra terbangun lebih dulu. Matanya masih setengah berat, seberat tubuhnya yang lemas digempur Reyhan.Keinarra benar-benar merasakan momen bulan madu yang sebenarnya.Matanya kembali terpejam kemudian tersenyum, senyum bahagia yang tengah melingkupi hatinya dan Keinarra berharap kebahagiaan ini tidak cepat berakhir. Ia lantas menoleh ke samping.Reyhan masih tertidur. Wajahnya tenang, rahang tegasnya yang ditumbuhi bulu halus terlihat lebih lembut tanpa ekspresi dingin. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan lengannya terlipat santai di atas selimut tipis yang menutupi pinggangnya.Keinarra terdiam. Ada sesuatu yang menyesakkan sekaligus indah melihat Reyhan dalam keadaan seperti itu—tanpa topeng dingin, tanpa wibawa bisnis, hanya … seorang pria yang kini jadi milikny
Malam sudah jauh melewati tengah, riuh pesta pantai perlahan mereda. Beberapa mahasiswa sudah kembali ke villa masing-masing, sementara sebagian kecil masih bertahan di depan api unggun, melantunkan lagu dengan gitar dan tawa ringan. Namun, semua menoleh ketika Reyhan menggandeng Keinarra menjauh.Siulan nakal dan celetukan menggoda terdengar.“Cieee, pengantin baru!”“Eh hati-hati, jangan keras-kerasan desahannya ya Kei!”Widhy bahkan sempat melambaikan tangan disertai ekspresi jahil.Keinarra malu sekali, dia menundukan kepala, pipinya panas menahan malu, sementara Reyhan tetap melangkah tenang, wajahnya dingin tapi genggaman tangannya pada Keinarra semakin erat.Semua mahasiswi terpesona kepada Reyhan, mereka semua iri dan ingin memiliki suami seperti Reyhan.Begitu sampai di suite, suasana berubah. Senyap, hanya suara laut berdebur dari kejauhan. Lampu di sekitar private pool memantulkan cahaya lembut ke permukaan air, menciptakan kilau seperti permata.Reyhan melepas keme
Selesai makan siang, rombongan diarahkan menuju area lapangan rumput luas di tepi pantai. Pohon kelapa berderet rapi, angin laut semilir membuat suasana tidak terlalu panas. Semua mahasiswa masih riuh membicarakan villa mewah yang mereka tempati, terutama suite Reyhan dan Keinarra yang jadi bahan gosip paling hangat.Tiba-tiba, beberapa orang dengan seragam kaus putih dan celana pendek khaki muncul dari arah gazebo. Mereka membawa pengeras suara, papan skor, dan beberapa kotak hadiah berbalut kertas warna-warni.“Selamat siang semuanya! Kami dari tim event organizer yang akan menemani kegiatan kalian selama di sini!” seru salah satu pemandu dengan semangat.Mahasiswa saling pandang. “Hah, ada EO?” bisik Widhy heran.Arya tampak sama terkejutnya, ia menoleh ke arah Reyhan yang berdiri santai dengan tangan di saku. “Pak Reyhan … ini maksudnya apa?”Reyhan menoleh sekilas, suaranya datar namun tegas. “Aku enggak suka liburan yang berantakan. Jadi aku percayakan sama tim EO untuk atu
“Oke, silahkan menyimpan koper dan istirahat sebentar di kamar setelah itu kita berkumpul di restoran satu jam lagi,” kata Arya memberi arahan.Mereka pun bubar menuju kamar masing-masing.“Wid, kamu enggak apa-apa ‘kan sama yang lain dulu?” Keinarra tampak tidak enak hati.“Enggap apa-apa lah, ya masa aku ikut kamu … nanti kita bertiga donk, ya Pak Reyhan?” Widhy menggoda suami sahabatnya.Reyhan tersenyum tipis sementara Keinarra mengerucutkan bibirnya.“Dah lah enggak mikirin aku, teman aku bukan kamu aja … Kamu fokus sama honeymoon kamu, oke?” Keinarra memeluk Widya sekilas.“Nov, titip Widhy ya.” Keinarra berpesan kepada teman sekamar Widhy.Mereka berpisah di sana.Reyhan menggenggam tangan Keinarra menyusuri jalan setapak menuju kamar mereka.Villa suite itu berdiri sedikit terpisah dari deretan villa lain. Bangunannya dua lantai dengan fasad putih modern minimalis yang berpadu dengan aksen kayu tropis. Halaman depannya dipenuhi tanaman hijau rapi, dan suara deburan