LOGINKeinarra dan seorang pria duduk saling berhadapan hanya dibatasi oleh sebuah meja dengan banyak berkas bertumpuk di sisi kanan.
Pria itu menatap Keinarra dengan tatapan layaknya Srigala lapar. Dan senyumnya yang paling Keinarra benci selalu tersungging di sudut bibir. “Kan saya sudah bilang, kalau kamu mau menemani saya semalam … saya bisa atur agar kamu memiliki waktu untuk membayar tunggakan, yaaa sekitar enam bulan ke depan,” kata pria itu pelan agar tidak terdengar oleh rekannya yang lain yang ada di sana. Keinarra balas menatap dingin. “Kalau saya mau menemani Bapak semalam, bisa enggak Bapak buat lunas tunggakan saya sekaligus biaya berobat ayah saya ke depannya?” Keinarra menantang. Karena menurutnya kalau hanya memberi waktu untuk membayar tidak setimpal dengan tubuh dan masa depannya yang akan hancur. Pria itu terkekeh, sejenis kekehan yang yang terang-terangan meledek Keinarra. “Kalau itu, kamu harus jadi simpanan saya … Kamu harus selalu siap kapanpun saya butuhkan.” “Ya mending aku hubungin iklan misterius itu, dapet 5 Milyar … jelas … dan lagi pasti tipe-tipe orangnya sama kaya Bapak.” Yang hanya bisa Keinarra ungkapkan di dalam hati. “Enggak deh Pak, makasih … saya akan cari uangnya.” Keinarra bangkit berdiri. “Memang kamu bisa, dari mana? Kamu enggak bisa mendapatkan jumlah yang sebesar tunggakan kecuali menjual diri.” Pria itu kembali menghina Keinarra. “Iya … aku akan menjual diri, tapi enggak sama Bapak juga.” Keinarra menjulurkan lidahnya lalu pergi dengan jantung berdebar kencang. Di setiap langkahnya keluar dari ruangan bagian keuangan rumah sakit itu, Keinarra berharap kalau iklannya belum terisi. Padahal iklan tersebut dibuat hanya untuknya. Langkah Keinarra berhenti di sebuah ruangan dengan banyak kaca di mana ayah tirinya terbaring dengan banyak mesin penunjang kehidupan di kiri dan kanan ranjang. Sebuah kecelakaan nyaris merenggut nyawa sang ayah beberapa bulan lalu membuat seluruh aset yang mereka punya harus Keinarra jual demi biaya berobat sang ayah yang tak kunjung sadar. “Ayah … Kei ingin Ayah hidup, Kei juga ingin tetap kuliah agar bisa kerja dan menghidupi Ayah dengan layak karena kita enggak punya apa-apa lagi, Yah … Kei menjual semua aset Ayah demi membayar biaya rumah sakit … Kei minta maaf.” Suara Keinarra tercekat, air matanya luruh deras. “Kei enggak tahu harus gimana lagi ... enggak ada jalan selain menjual diri Kei, Kei minta restu ….” Kalimat Keinarra terjeda. Lalu dia tersedak tawa sementara air mata masih mengalir dari kedua sudut mata. “Mau jual diri kok minta restu,” dia bergumam merasa lucu sendiri. Karena Keinarra terbiasa meminta pendapat sang ayah dalam mengambil keputusan. Tapi kali ini, dia harus memutuskan sendiri. Keputusan besar yang akan mengubah hidupnya, selamanya. *** Langkah Reyhan menderap di sepanjang loby, beberapa karyawan yang berpapasan dengannya termasuk sekuriti dan resepsionis mengangguk penuh hormat tapi Reyhan yang terkenal dingin hanya menatap ke depan tanpa membalas anggukan tersebut. Begitu langkahnya sampai di depan loby, tampak langit senja menggelayut kelabu. Mobil mewah Reyhan yang dikemudikan Argo berhenti di lobi bawah MHN Tower tepat di depan pemiliknya. Argo turun sembari memberi anggukan sopan. “Tuan, Tuan Darmawan meminta Anda langsung menuju restoran De Platiné. Beliau sudah ada di sana, katanya penting.” Reyhan menautkan alis. “Penting?” gumamnya sinis, lalu masuk ke dalam mobil tanpa memberi kepastian kalau dia akan pergi ke restoran itu atau tidak. Setelah menutup pintu kabin belakang, Argo kembali mengambil alih kemudi. Di dalam kabin sunyi, Reyhan menyandarkan kepala ke jendela, menatap langit yang baru saja kehilangan sinar. Mendung. Sama seperti pikirannya. “Apakah kita akan pergi ke sana, Tuan?” Argo mencari kepastian. “Apakah aku memiliki pilihan lain, Argo?” Reyhan balas bertanya. Argo melirik Reyhan dari kaca spion tengah kemudian tersenyum kecut. Dia mengerti jawaban Reyhan, sang bos tidak memiliki pilihan selain menemui ayahnya. Restoran De Platiné — sebuah restoran bintang lima yang hanya dikunjungi mereka yang berada di lingkaran teratas piramida sosial. Reyhan masuk dengan langkah tenang, tubuhnya sudah tidak dibalut jas lagi, menyisakan kemeja putih yang bagian lengannya dilinting hingga sikut dan celana hitam legam yang menampilkan kaki panjangnya. Seperti biasa, Reyhan membawa wajah dinginnya tanpa ekspresi bertemu sang ayah. Di salah satu meja sudut VIP, Darmawan Mahendra sudah duduk dengan tenang. Stelan coklat tuanya memberitahu Reyhan kalau pria itu telah berganti pakaian yang itu berarti pertemuan ini memang sangat penting bagi beliau, karena tadi siang—pakaian yang dikenakan Darmawan ketika rapat bersamanya adalah stelan jas abu-abu muda. Baiklah, mungkin ini benar-benar penting. Setidaknya itu yang ada dalam benak Reyhan saat ini. Darmawan tampak meneguk wine dan di sampingnya … langkah Reyhan memelan, dia mulai memikirkan apakah memutar tubuh lalu pergi saja dari sana karena di samping sang ayah ada Nadya. Wanita itu masih cantik di usianya yang menginjak kepala lima. Kulitnya halus, make-upnya sempurna, dan tatapannya penuh kalkulasi terselubung senyum palsu. Dan semua itu membuat Reyhan sangat membenci istri kedua ayahnya itu. “Anakku, akhirnya datang juga,” ucap Darmawan ramah. Reyhan tidak memiliki kesempatan kabur sekarang karena Darmawan telah menyadari keberadaannya. Nadya ikut tersenyum, “Hai, Reyhan. Ibu senang kamu menyempatkan hadir.” Reyhan duduk. Tidak menjabat tangan, tidak menyapa. Matanya hanya menatap Nadya sebentar, cukup untuk menyampaikan seluruh kebencian yang tak pernah bisa ia ucapkan. “Apa pentingnya makan malam ini sampai harus menahanku untuk pulang ke rumah, mengganggu istirahatku?” Suara Reyhan terdengar datar. Darmawan menghela napas, meletakkan gelasnya. “Reyhan, kamu perlu lebih banyak bersosialisasi. Kita jarang makan bersama. Lagipula … Nadya sudah siapkan malam ini.” “Aku enggak lapar,” potong Reyhan ketus. Pelayan datang, menawarkan menu. Reyhan menutupnya tanpa melihat. “Mineral water.” “Reyhan, jangan bersikap seperti itu di depan Ibumu,” tegur Darmawan sedikit geram. “Ini sudah tahun ke delapan belas Nadya bersama kita, masa kamu belum bisa menerimanya?” Ibu? Reyhan hampir tertawa. Namun Nadya lebih dulu merespons dengan suara lembutnya yang menjijikkan. “Enggak apa-apa, Mas. Reyhan mungkin lagi lelah. Dia memang selalu bekerja keras.” Nadya meraih tangan Darmawan, menyentuhnya dengan gaya istri penyayang. Padahal, Reyhan tahu tangan itu lebih sering mencengkram lehernya ketika dia masih kecil dulu, yang tentunya tanpa sepengetahuan Darmawan. Ia menghela napas panjang, berdiri sebelum air minumnya datang. “Aku permisi. Ada yang lebih penting yang harus aku kerjakan.” “Reyhan—” seru Darmawan, hampir berdiri. Tapi Nadya segera menahan suaminya, menggeleng lembut sambil mengelus tangannya. “Biarkan saja, Mas. Namanya juga anak muda.” Reyhan mendengar kalimat itu. Ia tahu Nadya sedang memainkan perannya—istri baik hati, ibu tiri penyayang. Semua demi satu hal: warisan MHN Group. Yang tidak Nadya tahu—semua kekayaan itu bukan milik Darmawan. Itu milik mendiang istrinya, Andini. Ibu kandung Reyhan. Dan Reyhan… tidak akan pernah membiarkan Nadya menyentuh satu sen pun dari apa yang seharusnya milik ibunya. Dia melangkah keluar restoran. Dingin. Kosong. Tapi dalam hatinya, dendam perlahan mulai tumbuh subur.Pagi itu, langit Jakarta terlihat bersih—entah karena matahari sedang ramah… atau karena hati Keinarra sedang bahagia sekali.Untuk pertama kalinya setelah kehamilan dan segala kejutan hidupnya, Keinarra kembali mengenakan ransel kampus. Dress kasual longgar warna pastel dan cardigan tipis membalut tubuhnya yang mulai tampak lebih lembut, lebih berisi akibat awal kehamilan.Dari meja makan, Reyhan memperhatikan istrinya menyiapkan buku catatan dan laptop.“Kamu yakin kuat kuliah hari ini?” tanya Reyhan sambil merapikan dasinya.“Iyalah Mas… aku sudah istirahat beberapa hari. Lagi pula semester delapan itu tinggal bimbingan dan revisi proposal. Aku enggak bakal capek.” Keinarra tersenyum manis, penuh tekad.Reyhan berjalan mendekat, menangkup pipi istrinya.“Kalau kamu pusing sedikit saja, langsung kabarin Mas, ya?”“Siap, Ayahnya dede bayi,” Keinarra terkekeh.Reyhan memeluk pinggangnya pelan, berhati-hati agar tidak menekan perut.“Mas antar sampai gerbang, ya.”Keinarra me
Malam turun perlahan di Jakarta Selatan, menyelimuti kota dengan cahaya kuning yang memantul dari jalanan basah. Di sebuah kawasan elite, pintu gerbang besar rumah Gunawan Anggoro terbuka otomatis—menyambut tiga tamu yang tak disangka akan menjadi pusat takdir baru keluarga itu.Mobil mewah baru Reyhan yang berwarna hitam melaju perlahan memasuki halaman rumah yang besar.Keinarra menggenggam tangan Reyhan lebih erat dari biasanya.“Mas… deg-degan banget,” gumamnya.Reyhan menoleh sebentar, tersenyum menenangkan.“Tenang, sayang. Kamu hanya akan bertemu orang tua yang baik dan ramah.”Kalimat itu hampir membuat Reyhan tersedak oleh rahasianya sendiri.Di kursi belakang, menundukkan kepala, mengelus dadanya pelan—menyimpan rahasia yang lebih berat dari seluruh isi dunia.Reyhan memarkirkan mobilnya, membantu Keinarra turun dari mobil.Pintu depan terbuka sebelum Reyhan sempat mengetuk.Gunawan berdiri di sana.Bukan dengan wajah kejam, bukan dengan aura dingin seorang pengua
Siang itu, ruang kerja pribadi Clarissa di lantai tiga puluh dua kantor pusat Gading Lestari dipenuhi aroma parfum mahal yang menyengat dan denting gelang emas di pergelangan tangannya.Ia duduk di belakang meja kaca besar, menandatangani dokumen sambil sesekali melihat pantulan wajahnya sendiri di permukaan meja—kebiasaan lama untuk memastikan bahwa dunia masih melihatnya sempurna.Assistant pribadinya, Mila, mengetuk pintu dengan ragu.“Bu… sepertinya Anda perlu melihat ini.”Clarissa tidak suka nada itu.Ia menurunkan penanya. “Apa lagi?”Mila menyerahkan tablet yang menampilkan berita terbaru dunia bisnis.Judulnya terpampang besar, lengkap dengan foto Reyhan dalam setelan jas hitam:REYHAN, MANTAN PRESDIR MHN GROUP, RESMI DITUNJUK MENJADI PRESIDENT DIRECTOR AGN CORPAGN CORP.Perusahaan multinasional raksasa.Asetnya bahkan sepuluh kali lipat Gading Lestari.Lima belas kali lipat MHN Group.Clarissa membeku.Lalu tablet itu nyaris terlempar dari tangannya.“APA INI
Hari itu, Reyhan tidak bekerja dari kantor. Sesuai permintaan Gunawan, ia datang hanya sebentar untuk menyerahkan beberapa berkas penting pada Bramantyo. Sisanya—hari ini ditetapkan sebagai hari berpindah rumah.Meski hati Reyhan gelisah, ada semangat berbeda di dalam dadanya.Semangat seorang pria yang siap memberikan kehidupan lebih baik bagi keluarganya.“Pak Reyhan, mobil Bapak sudah menunggu di depan loby.” Bramantyo memberitahu.“Terimakasih ….” Reyhan beranjak dari kursi kebesarannya lalu diantar Bramantyo hingga lift.Reyhan pulang saat hari masih siang dengan mobil AGN Corp yang baru saja dibeli khusus untuknya.Sebuah SUV hitam mewah, lengkap dengan sopir pribadi yang barusan ia minta untuk cuti agar bisa menyetir sendiri.Ketika mobil berhenti di basement apartemen kecil itu, Keinarra sudah berdiri di depan pintu lift.Ia mengenakan dress sederhana warna biru muda, rambut digelung santai, wajahnya terlihat lebih segar berkat hormon kehamilan yang mulai stabil.“Mas
Pagi itu, Jakarta seolah punya detak jantung sendiri. Bukan karena langit berwarna keemasan yang merekah, tetapi karena dunia bisnis sedang menunggu satu nama yang akan kembali muncul ke permukaan.REYHAN.Di apartemen kecil itu, Keinarra masih tidur pulas, wajahnya tenang dengan selimut menutupi perutnya yang belum tampak membesar. Sesekali ia mengerang manja, seperti bayi yang merasa kehilangan guling saat tidur.Reyhan sudah berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas pertama sejak kejatuhannya dari MHN Group.Bukan jas mahal buatan khusus.Hanya jas lama—satu-satunya yang masih ia simpan.Namun cara Reyhan mengenakannya tetap seperti seorang pemimpin.Ia merapikan dasi sambil menatap pantulan dirinya.“Aku akan lakukan ini untuk kalian berdua.”Perut Keinarra dan wajah tidur istrinya sejenak terbayang.Waktu menunjukkan pukul enam pagi.Reyhan menoleh ke arah ranjang.Keinarra tidur miring, memeluk bantal—kebiasaan barunya sejak hamil.Dengan langkah perlahan, Rey
Pintu lift AGN Corp menutup perlahan, memantulkan bayangan Reyhan yang berdiri tegak dengan raut wajah yang sulit dibaca.Hari ini, ia baru saja mengambil keputusan yang akan mengubah seluruh garis hidupnya.Keputusan yang mungkin akan mengguncang Keinarra.Keputusan yang mungkin akan menampar takdir kembali ke arah Nadya dan Darmawan.Dan keputusan yang… entah bagaimana… membuat dada Reyhan terasa berat sekaligus lapang.Di parkiran AGN Corp, Reyhan duduk di dalam mobil sewaan itu selama hampir lima menit tanpa menyalakan mesin.Tangannya memegang setir, tapi pikirannya berkelana ke wajah Keinarra yang pagi tadi ia tinggalkan di rumah.Apa yang harus aku katakan padanya?Haruskah aku memberitahu Keinarra?Atau… haruskah aku mengikuti permintaan Gunawan dulu?Ia memejamkan mata.Tekanan terbesar bukan pada jabatan Presdir.Bukan pada tanggung jawab memimpin raksasa bisnis sebesar AGN Corp.Tekanan terdalam adalah…Menyimpan rahasia bahwa pria yang barusan memintanya dudu







