Di hadapan Dinda, Anyelir dan 4 Little Stars, air mataku tumpah ruah dengan sendirinya. Rasanya hati ini sudah terhujam sejuta belati tajam, tertancap berjuta-juta anak panah, dirajam tiada henti. Oh, oh, bagaimanakah cara merawatnya? Tolong, tolong beri tahu sekarang juga, bagaimana cara mengikhlaskan Mas Arfen? Ikhlas itu apa?Aku, nyatanya, semakin kuat berusaha untuk ikhlas, semakin kuat pula rasa sakit di hati. Berdenyut-denyut pedih, tiada berkesudahan. Sungguh, tak pernah menyangka sedikit pun kalau Tuhan akan menuliskan alur cerita ini dalam hidupku. Alur cerita yang lebih dari meluluhlantakkan. Tak menampik, kata ikhlas itu tinggallah kata-kata kosong belaka.Oh, aku sungguh tiada berdaya! Membagi cinta bagai membelah jantung sendiri!"Mir, tenang, Mir!" Bella dan Anyelir merangkulku dari samping secara bersamaan. "Sabar, kuat. Aku tahu kok, kamu hebat!" lanjut Bella sambil menciumi pipiku yang basah oleh keringat san air mata. "Aku yakin, Tuhan akan selalu menuangkan kebaha
Seakan-akan telah ada yang mengatur semuanya, kami sama-sama menjenguk Mama di rumah sore ini. Mourin terlihat membeku di ruang tamu, sementara Mas Arfen kikuk luar biasa. Melihat semua itu, aku langsung mengajak Dinda dan si Twins menemui Mama di kamar. Mengabaikan sapaan Mas Arfen yang terdengar hambar."Eh, ada Non Mirah!" Mbak Sri menyambut kami dengan sikap hangat dan ramah yang khas di depan ruang keluarga. Bersyukur, dia masih mau kembali bekerja di rumah ini lagi, walaupun sempat dipecat oleh Mama tanpa alasan dulu itu. Ya, katanya sih, dia memang tak bisa begitu saja meninggalkan kami. "Non Tulip, Non Olive, sayangnya Mbak Sri.""Ya, Mbak Sri." sehangat mungkin aku menyapa balik. "Mama lagi apa, Mbak?" "Selesai mandi, Non. Mari saya antar, kalau mau jenguk Ibu?" Aku mengangguk, sambil menyimpulkan senyuman. Ini pertama kalinya aku menjenguk Mama sepulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Bukan apa-apa, Tulip - Olive demam, tidak mungkin memaksakan diri ke sini."Dinda,
Diam. Aku sama sekali tak menanggapi pertanyaan Mas Arfen. Memangnya penting sekali ya, kalau Mas Arfen tahu aku sebenarnya merindukan dia atau tidak? Berpengaruh apa kalau dia tahu tentang semua yang terjadi kepadaku? Tidak akan berpengaruh apa-apa, kan? "Sayang, kok malah diam gitu, sih?" Mas Arfen menggapai puncak kepalaku dengan bibirnya namun sayangnya, aku malah menjauh secara otomatis. "Lho, kenapa, Sayang?" Menggeleng. Itu yang kulakukan sebagai jawaban lalu menunduk sebagai bentuk kesempurnaan. Mas Arfen bukan orang yang mudah menyerah, aku tahu persis akan hal itu. Lihatlah, dia menggeser tubuh mendekat kepadaku. "Kamu marah sama aku, Sayang?" tanya Mas Arfen kemudian, sambil mendongakkan wajahku. "Maafkan aku ya, Sayang, kalau sudah buat kamu matahari? Emh, tapi kan, aku nikah sama Mourin karena kamu, Sayang?" Aku tahu. Tahu. Tahu. Tahu. "Sayang, please … Aku di sini kan, untuk menciptakan kebahagiaan bersama kamu, Sayang? Ya, masa, kamu malah begini? Aku kan, kangen b
Mas Arfen belum bangun, saat Mourin meneleponku dan menanyakan kenapa dia tak pulang semalam, walaupun hanya sebentar. Dia juga setengah marah kepadaku. Menuduh bahwa akulah yang sudah menahan Mas Arfen. "Bukan begitu, Mourin. Mas Arfen memang nggak mau pulang." "Halah, kayak aku nggak tahu saja gimana kamu?" bantah Mourin dengan ketegasan super. "Kamu pasti bermanja-manja kan, sama Mas Arfen, nggak mau ditinggal? Oh, aku tahu, kamu pasti sudah gatal bangat ya, pingin dicelup?"Klik!Ha, apa?Oh, my God! Kata-kata macam apa itu, murahan sekali? Mourin pasti lupa, Bahasa menunjukkan Bangsa. Kata-kata adalah cerminan dari pemiliknya. Satu lagi, pasti dia tak paham tentang ilmu tuding menuding. Di mana satu jari terarah kepada orang lain, maka empat jari menunjuk kepada diri sendiri. So, untuk apa aku meladeninya? Buang-buang energi![Kamu takut ya, Mirah?] Namanya juga Mourin, bukannya malu atau bagaimana, dia malah menyerangku di chat room. Baik, baik. Cukup abaikan saja, tak perl
Dengan berat hati, akhirnya aku mengikuti perkataan Mas Arfen, memenuhi permintaan Mama. Anggap saja ini sebagai bonus karena Mas Arfen sudah baik budi, baik hati selama di rumah. Bonus juga untuk Mama karena---walaupun belum mencair di hadapan Mourin---tetapi setidaknya tidak menolak kehadirannya. Bukankah semua kebaikan pantas untuk mendapatkan apresiasi?"Kita mau ke pantai mana, Arfen?" penuh semangat petualang, Mama bertanya saat sudah duduk di mobil, di samping Mas Arfen. "Mirah, makasih ya, sudah ngajak Mama jalan-jalan?" "Ke pantai Parangtritis, Mama." Mas Arfen menjawab dengan suara standar untuk Mama. "Iya, sama-sama, Mama." kataku kemudian, sambil mengangsurkan ubi ungu rebus kepadanya. "Mirah juga senang kok, kita jalan-jalan bareng. Sekali-kali, Mama, buat refreshing. Mumpung Mas Arfen sempat juga. Dimakan, Mama, ubinya. Mama yang merebus tadi."Mama menerima kotak makan berisi ubi ungu rebus dariku, tertawa ringan tetapi lalu menangis, tidak tahu mengapa. Mungkin terh
Tidak. Aku tidak lantas tersanjung, walaupun Mas Arfen memuji sampai setinggi puncak langit. Bukan juga aku mau mengatakan kalau semua itu gombal. Tahu kan, maksudku? Mas Arfen pasti sedang dalam proyek mengambil hati terdalamku. Supaya aku tetap love, care dan asyik saat bermain di atas trampolin. Eh, maksudku, tempat tidur. Iya, kam? "Ah, kamu bisa saja, Mas?" akhirnya aku berkilah. "Perasaan aku biasa saja sih, Mas. Kamunya saja kali yang berlebihan. Mana ada di dunia ini manusia yang sempurna, Mas? No body is perfect!"Bukannya mundur atau bagaimana, Mas Arfen malah beringsut turun dari tempat tidur, berjalan mendekatiku. Saat ini mimik wajahnya terlihat seperti seseorang yang berada di bawah tekanan alias stressed. Kesedihan sangat kentara dalam sorot matanya. "Aku tahu, Sayang, tak ada kita yang sempurna. Emh, ya, sudah. Nggak perlu dibahas lagi, Sayang. Aku juga minta maaf ya, karena gagal mengendalikan Mourin tadi."Aku mengangguk mantap. Memejamkan mata rapat-rapat, menghela
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Mas Arfen dan Mourin datang juga. Kemarin sore kami sudah membuat janji untuk makan malam bersama di sini, Kafe Monggo Dahar. Tujuan utama sih, rapat keluarga, menindaklanjuti aksi teror boneka bayi Mourin yang sempat menggemparkan Rumah Cinta. Ya, bagaimana, ya? Mustahil aku membiarkan hidupku dibanjiri aksi teror Mourin. Jadi, aku berbicara dari hati ke hati dan sangat hati-hati dengan Mas Arfen tentang masalah itu, siang harinya. Mumpung masih ada jatah waktu Mas Arfen di Rumah Cinta. Lebih enak lah, komunikasinya. "Hai, Sayang!" Mas Arfen langsung menghampiri, mengulurkan tangan, menyalami. Seperti biasa, aku mengecup punggung tangannya sebagai sebagai simbol bakti. Sementara itu, Mas Arfen juga mengecup kepalaku dengan penuh kelembutan dan kehangatan. "Rajin banget kamu datangnya, Sayang?""Iya dong, Mas. Ini kan, kepentingan keluarga kita?" "Ah, iya, betul banget!"Aku diam, tak menanggapi lagi. Bukan lantaran Mourin