Share

Tidak Setebal Kesabaran Ibu

“Udah ah Mba. Bikin nambah banyak dosaku aja kalau ngomong sama Mba. Bukan ngomong ini sih, jatohnya malah adu mulut,” ujarku hendak berlalu meninggalkan perdebatan yang temanya tidak pernah berubah.

Lelah jiwa ragaku kalau begini terus.

“Eh enggak sopan kamu ya! Main tinggal-tinggal aja,” pekik mba Risma di belakangku.

Kuhiraukan saja dia dan kembali masuk ke dalam rumah. Terserah iparku kalau mau mengumpat sepuas hati, aku tidak peduli. Lagi pula tidak terdengar sampai ke dalam rumah.

“Assalamualaikum, Ibu,” ucapku sambil melangkah ke dapur.

“Waalaikumussalam, ibu di dapur, Laras!” balas ibu setengah berteriak.

Aku melangkah perlahan mendekati beliau yang terduduk lesu.

Ia mengusap air matanya secara sembunyi-sembunyi.

Aku pun sengaja pura-pura tidak memerhatikan beliau dan memilih untuk membuka wajan. Biasanya aku memang seperti ini, memeriksa apakah ibu masak atau tidak.

Jika tidak ada makanan, aku akan mengambil dari rumah lalu mengajak ibu makan bersama.

“Wah, ibu masak oseng genjer!” pekikku sambil menatap ke dalam wajan.

“Iya, kemarin ibu ambil dari sawah. Mau ibu kasih kamu separuh, tapi takut kamu tidak suka. Soalnya Handi dan kakaknya tidak suka,”

Aku menutup kembali wajan yang berisi oseng genjer itu. Kemudian mengambil piring dan mengisinya dengan masakan ibu.

Ibu seperti tidak percaya ketika aku melahap masakannya.

“Kamu bisa makan genjer?” tanya beliau.

“Enggak bisa kalau mentah, Bu,” jawabku sambil mengunyah sayur yang sedikit pahit itu.

Padahal aku pernah tinggal bersama beliau selama 2 tahun. Mungkin beliau lupa, karena jarang sekali sayuran ini kumakan.

Ibu tersenyum, “nanti bawa pulang saja ya, Laras. Ibu sama bapak juga tidak akan habis,” tawar beliau yang langsung kubalas dengan anggukan.

Ibu menatapku yang sedang makan dengan mata berbinar. Aku suka sekali tatapan itu.

Tatapan itu selalu kudapatkan ketika sedang menyantap masakan beliau. Mungkin karena anak-anaknya kurang bisa menghargai masakan sederhananya. Jadi saat melihatku makan dengan lahap, ibu terlihat sangat senang.

Bukan mau cari muka atau pencitraan supaya dianggap menantu baik. Tapi serius, masakan ibu selalu enak walau dengan bahan sederhana. Walau hanya tumis kangkung, tumis bayam, apalagi sayur sopnya.

Setelah selesai makan dan membantu membersihkan rumah ibu, aku mengantar ibu ke kebunnya. Rutinitas ini selalu kulakukan hampir setiap hari.

“Laras, setelah jemput anak-anak jangan lupa mampir ke rumah ibu. Tolong tengok kn bapak,” pesan beliau sebelum aku memutar motor menuju arah pulang. Kami telah sampai di kebun beliau.

“Iya, bu,” balasku seraya mengangguk.

Bapak mertua memang tidak ikut ke kebun. Beliau sudah tidak mampu lagi menggarap kebunnya.

Penglihatan bapak tidak bagus lagi. Penyakit glaukoma menyebabkan beliau mengalami kebutaan.

Itu sebabnya bapak hanya bisa tinggal di rumah. Untungnya beliau bisa menghapal dengan cepat seluk beluk rumah, sehingga jika ditinggal ibu pergi beliau bisa mengurus diri sendiri.

Meski begitu tetap saja harus dijenguk, takutnya terjadi sesuatu.

Kukemudikan motor matic semata wayangku menuju rumah.

Ketika hendak memasuki pekarangan, kutemukan mas Handi baru keluar dari pintu rumah.

“Mas, kok udah pulang?” tanyaku sambil sedikit berteriak.

Tadi mas Handi sudah berangkat kerja. Tidak biasanya ia jam segini berada di rumah.

Suamiku terperanjat menyadari kehadiranku.

“Mas! Kok diem?” tanyaku sambil mendekatinya. Ku lemparkan tatapan menyelidik. 

“Eh tidak ada, Dek,” jawabnya gugup.

Aneh sekali tingkahnya.

“Kenapa kok sudah pulang? Terus ini mau balik lagi apa gimana?” tanyaku lagi memaksanya untuk menjawab.

“Iya mau balik ngojek lagi abang, ini ketinggalan STNK tadi,” jawab suamiku cepat.

“Oh, ngambil STNK toh,” ujarku seraya menganggukkan kepala. “Ada-ada saja Mas, biasanya ‘kan itu STNK ada di dalam dompetmu,”

“Kemarin abang keluarkan dari dompet,” sahut mas Handi sambil menggaruk kepalanya.

“Hmmm... “

“Ya sudah sayang, kalau begitu abang berangkat lagi ya?” Suamiku menyodorkan tangannya untuk kucium.

Segera kuraih tangannya yang menggantung.

“Hati-hati, Mas. Assalamualaikum,”

“Iya dek, waalaikumussalam.” Mas Handi menghidupkan motornya lalu meninggalkan pekarangan rumah kami yang tidak terlalu besar ini.

***

“Ada masalah apalagi sih kamu sama mba Risma, Dek?” tanya mas Handi tepat setelah aku memasuki kamar.

“Tidak ada masalah apa-apa, emang kenapa?” tanyaku sambil mengoleskan crem malam ke wajah.

“Tadi mba Risma bilang kamu kurang ajar sama dia.” Mas Handi menjawab tanpa menatapku. Ia seperti biasa memiringkan ponselnya sambil bermain game.

Aku mendesah pelan. Memutar badan menghadap pria yang sudah 7 tahun menjadi imamku.

“Kamu seperti tidak tahu saja bagaimana sifat mbamu itu, Mas,” ujarku dengan tangan sibuk mengoleskan handbody.

Setelah menikah, baru sekitar dua tahun ini aku rajin merawat wajah dan tubuh. Karena mas Handi tidak memenuhi kebutuhanku yang itu. Alhamdulillah sekarang aku punya penghasilan sendiri yang mas Handi tidak tahu.

“Kalau bisa jangan selalu dibalas omongan mba Risma, Dek,” ujarnya menasehati.

Aku melongo, selalu saja begitu ucapannya. Dia sebagai suami tidak tahu bagaimana cara membela istri.

“Kalau bisa, Mas. Ini masalahnya kesabaranku tidak setebal kesabaran ibu,” balasku lalu beranjak menuju tempat tidur.

Mas Handi menghela napas kemudian meletakkan ponselnya. Ia menatapku yang kini juga sedang menatapnya.

“Mas maunya kamu sama ipar-iparmu itu rukun, Dek. Kalau begini mas jadi pusing, tiap hari ada aja aduan tentang kelakuanmu!” serunya dengan nada sedikit tinggi.

Keningku mengkerut, “kelakuanku? Kelakuanku yang seperti apa hingga membuat kepalamu pusing mas?” tanyaku heran.

Setelah 7 tahun pernikahan kami, dan selama 7 tahun itu juga mungkin sudah beribu kali terjadi adu mulut antara aku dan kakak-kakanya. Namun baru kali ini ia menyalahkanku.

“Kelakuanmu yang suka bertengkar dengan kakak-kakakku. Mas capek Laras, bisa tidak kalau ketemu mereka itu mulutmu dikunci saja?” ucapnya menatapku tajam.

Aku terperanjat mendengar kalimatnya yang sedikit kasar.

“Iya, Mas. Kalau aku bisa tahan, aku akan diam,” ujarku lalu menarik selimut dan berbaring memunggunginya.

Aku tau dosa membantah suami. Jadi lebih baik tidak usah diperpanjang perdebatan yang akan memberikan aku kekalahan ini.

Malam berlalu begitu cepat. Aku tetap bisa tidur dengan nyenyak meski sempat terjadi adu mulut sebelum tidur.

Pukul 06:00 pagi aku sudah sibuk di dapur memasak sarapan untuk keluarga kecilku. Sekaligus beres-beres rumah.

Anak-anakku pun sudah mandi dan sedang sibuk dengan buku mereka. Aku sangat bangga dengan kedua malaikatku, mereka secara alami sangat mencintai buku.

Meski belum terlalu lancar, sulungku sangat suka membaca dengan terbata kisah-kisah para Nabi yang disertai dengan gambar.

Sedangkan si bungsu duduk di samping kakaknya sambil mendengarkan apa yang dibaca. Pandangannya tak lepas dari tiap halaman buku bergambar itu.

Lalu di mana mas Handi?

Tentu saja ia ada di kamar, sedang merajut mimpi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status