Share

Ancaman Siska!

Author: Pramesti GC
last update Last Updated: 2022-05-24 10:49:17

Mega membawa dagangannya ke mesjid besar, tiga puluh buah sosis sayur dan tiga puluh buah martabak tertata rapi dalam kotak plastik transparan. Sejak semalam ia tak berhenti membuat, hingga sebelum subuh tadi jajanan itu sudah selesai ia goreng.

"Mbak Dewi, nitip ini ya." Mega berdiri di depan meja tempat Dewi menjajakan dagangannya.

"Iya, taruh saja di situ." Dewi masih sibuk menata dagangannya yang lain.

Mega duduk di kursi terdekat, memperhatikan masjid yang masih belum terlalu ramai di suasana gelap setelah subuh. Langit yang telihat sedikit mendung membuat ia cemas, jika hujan turun di hari ini, mungkinkah dagangannya bisa laku banyak.

" Mbak, kalau hujan biasanya jualannya ramai nggak?"

"Lumayan sih, tapi nggak seramai kalau cuacanya cerah. Kenapa?

Mega tersenyum." Nggak apa mbak, ini kayaknya kaya mau hujan ya?"

"Oh, iya nih, tumben. Nggak apa-apa tapi Ga, kan kita ada di bawah tenda, jadi bisa sekalian berteduh."

Mega kembali tersenyum, tapi bukan itu keresahannya, ia lebih khawatir pada dagangan yang mungkin saja tak laku. Padahal kebutuhannya tak bisa di tunda lagi untuk esok atau lusa.

"Ga, mbak mau tanya sesuatu." Dewi membuyarkan lamunan Mega. "Kamu ribut sama Siska ya?"

kalimat Dewi membuat Mega heran. "Kok mbak Dewi tiba-tiba tanya begitu?"

"Emakmu bilang kamu ambil anak-anak saat bersama Siska, mbakmu nangis seharian di rumah Emak."

Mega terdiam, ia merasa tak harus menjelaskan apapun, terlalu banyak drama di buat kakak iparnya itu.

"Ah, nggak ada apa-apa mbak, mungkin cuma salah paham saja. Mega pulang dulu mbak, lupa belum goreng lauk."

Mega memilih pergi meninggalkan Dewi, meski Dewi tau itu hanya alasan Mega menutupi masalahnya. Ia terus memperhatikan Mega yang berjalan ke parkiran untuk mengambil sepeda motornya.

"Ih, adik ipar nggak tau diri di sini!"

Mega melihat Siska sudah berdiri di dekat motornya, ia sendiri dan menatap tak suka padanya.

"Mbak Siska ngapain di sini, mau ngaji ya?"

"Suka hatiku lah mau di mana, orang punya uang sepertiku bisa kemanapun aku suka! Kamu nitip dagangan tepat Mbak Dewi ya?"

Mega menghela napas, "Iya mbak, sudah ya mbak aku pulang dulu." Mega menyentuh motornya, namun Siska mencabut kunci yang tergantung dengan cepat.

"Tunggu, aku belum selesai bicara!" Siska sudah berdiri di depan motor Mega, membuat wanita itu terkejut hingga hampir terjatuh dari motornya.

"Ada apa mbak? tolong kembalikan kunci motorku!"

Siska melipat tangannya di depan dada. "Aku sebenarnya tak ingin mengatakan ini, namun melihat apa yang kamu lakukan padaku, sepertinya kamu harus tau satu hal!"

Mega terdiam, ia membiarkan saja kakak iparnya ini berkoar-koar.

"Aku ini kakak kandung Ridho, jangan karena kamu merasa Ridho membelamu, kamu jadi sok berkuasa akan dirinya."

"Apa maksudnya mbak?"

Siska mendekatkan wajahnya. "Aku bisa meminta Ridho meninggalkanmu begitu saja, Mega. Ridho itu sangat menurut padaku, dia bisa saja meninggalkanmu begitu saja!"

Dada Mega bergemuruh, dirinya tau Siska hanya menggertak, tapi tetap saja hatinya terluka dan memanas.

"Aku tidak takut! Jika memang mbak bisa memaksa mas Ridho menceraikan aku seperti katamu, lakukan saja!"

Mega merembut kunci dari tangan kakak iparnya. Dengan segera ia meninggalkan Siska sendirian di tempat parkir, sementara Mega sudah melaju keluar dari pelataran masjid.

****

Sampai di rumah, Mega melihat suaminya menyapu halaman, sementara Emak sudah duduk di dekat Alika dan Alina.

"Assalamualaikum." Mega mendekati Ridho, ia mencium takzim tangan suaminya itu.

"Waalaikumsalam. Katanya mau ikut pengajian, kok sudah pulang?"

"Iya mas, mau beres-beres rumah dulu saja. Taruh saja sapunya mas, biar adek yang selesaikan sisanya nanti."

Mega berjalan masuk ke teras rumahnya mendekati Siti dan mencium takzim tangan ibu mertuanya. "Masak apa mak?"

"Sayur bayam, anak-anakmu suka bayam kan?" Siti menyuapi dua cucunya itu.

Mega tersenyum. "Ia Mak, terimakasih ya, Mega masuk dulu ya mak, mau ganti baju." sementara Mega masuk ke dalam rumah, Siti kembali menyuapi cucunya.

Ibu mertuanya itu memang unik, terkadang dia bisa marah dan terkadang juga bersikap baik. Ibunya bisa menyembunyikan lauk dari cucunya atau tiba-tiba memberikan satu atau lebih lauk untuk Alika dan Alina.

Mega segera berganti baju, ia kemudian kembali ke teras untuk menyelesaikan menyapu halaman. Mengerjakan pekerjaan lain yang juga belum di selesaikannya hingga hari menjelang siang.

Siti bahkan sudah pulang setelah puas bermain dengan cucunya, Mega yang sejak datang belum menyentuh nasi sama sekali, merasa sedikit pusing dan mual.

"Dek, kamu nggak apa-apa?" Ridho menopang tubuh istrinya yang hampir rubuh.

"Agak pusing mas, nggak tau ini kenapa" Mega menyentuh kepalanya yang berdenyut. Sejak tadi memang ia tak berhenti memikirkan kalimat kakak iparnya. Membuat ia merasa nelangsa dan tak berselera makan.

"Istirahat dulu dek, biar mas yang selesai kan cuciannya." Ridho memapah tubuh Mega ke ruang tengah, ia merebahkan istrinya di sofa.

"Tinggal di keringkan saja mas bajunya, bisa kan?"

"Bisa, sudah kamu istirahat saja."

Ridho melanjutkan lagi pekerjaan Mega, sementara istrinya duduk di depan televisi.

"Assalamualaikum!"

Sesaat setelah dirinya istirahat, Mega mendengar suara seseorang dari luar.

"Waalaikumsalam, Mas Agus, masuk mas, masuk!" Mega yang tengah merebahkan diri, bangkit dan duduk di dekat Agus, suami Siska.

"Emak ke mana ya?" Lelaki bertubuh tambun itu duduk dengan wajah tak tenang.

"Di rumah nya nggak ada mas?" Mega berdiri untuk memanggil suaminya.

"Nggak ada, sudah di ketuk-ketuk juga tetap nggak ada yang buka pintunya."

"Sebentar Mega panggil mas Ridho dulu."

Mega mencari Ridho di belakang, suaminya itu sedang menjemur pakaian anak-anak mereka.

"Mas, ada mas Agus di ruang tengah, Ke sana dulu saja mas." Mega menarik baju di tangan Ridho dan meminta suaminya masuk ke dalam rumah.

"Ada apa memangnya dek?"

Mega hanya menggelengkan kepala dengan bahu terangkat. Ia sendiri juga tak tau apa tujuan kakak iparnya itu datang. "Nggak tau, mas ke sana saja dulu, biar adek yang selesaikan ini baju, cuma tinggal sedikit juga."

Ridho berjalan masuk, ia melihat Agus sudah duduk di sofa ruang tengah dengan mata terpejam dan tubuh bersandar kebelakang.

"Assalamualaikum mas!" Ridho menepuk tubuh kakak ipar nya.

"Waalaikum salam, lagi apa kamu?"

"Jemur baju mas, tumben sendiri, mana mbak Siska?"

Agus menghela napas kasar, ia lalu menatap wajah Ridho dengan tajam. " Aku sudah nggak tahan dengan watak keras mbakmu itu dho!"

Ridho terdiam mendengarkan. Ia menangkap ada yang serius dari kalimat kakak iparnya itu.

"Aku nggak bisa hidup berumah tangga dengan keadaan yang selalu panas dan saling curiga!"

"Maksudnya mas?"

"Aku nggak tau salah apa dho, beberapa hari lalu Siska pulang dengan marah, ia membanting pintu kamar kami dan mengunci diri semalaman di sana, aku mengalah tidur di depan televisi."

"Mungkin sebaiknya kita bicara dengan Emak dan Bapak mas?" Ridho menawari, ia merasa apa yang diceritakan kakak iparnya sudah bukan haknya lagi.

"Kalau ada nggak apa dho, sekalian saja aku bicarakan semuanya."

Dengan cepat Ridho menemui Mega lagi" Dek, buatkan minum dulu, sekalian buat Emak dan Bapak juga!"

Mega yang baru saja menjemur baju terakhir terkejut dengan suaminya yang nampak tergesa-gesa. Segera ia menuju dapur dan memanaskan air.

Tak lama Siti dan Harun datang dan duduk di ruang tengah bersama Ridho.

"Kok nggak ke rumah to gus?" Emak berkata saat baru masuk ke dalam ruang tengah.

"Sudah, tapi nggak ada orang. Mobil Agus juga di sana mak, mak dan Bapak dari mana?"

"Di belakang, Emak bersihkan rumput di kebun. Yok pulang Ke rumah saja gus?"

Agus terdiam, ia ingin bicara di rumah Ridho saja. "Di sini saja mak, aku ngantuk."

"Memang mau bicara apa Gus?" Harun akhirnya ikut bertanya.

"Soal Siska mak, kalau memang sudah nggak bisa sama-sama lagi, aku pasrahkkan saja dia kembali pada Bapak dan Emak...."

Kalimat itu membuat mereka semua terdiam, bahkan Mega yang baru masuk membawa nampan berisi teh hangat, gemetar hebat.

"Maksudnya di pulangkan itu apa gus?"

"Cerai mak, kalau memang nggak mau bersama lagi sebaiknya memang pisah! Aku cuma mau mengurus yang mau di urus, kalau nggak mau di urus ya sudah, kita berpisah saja!"

Ridho terdiam memperhatikan, sementara Emak dan Bapak masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. kenapa tiba-tiba saja Agus mengatakan ingin berpisah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Hina Jadi NyonyaĀ Ā Ā Keputusan Ridho

    POV RidhoAkhirnya sepulang kerja aku bersama Nadila menemui Niko, anak lelakiku sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit saat aku datang. Pembantu Nadila yang menjaga nya selama Nadila kerja, anak itu begitu bahagia melihatku datang."Papa!" Ucapnya dengan senyum tanpa cahaya, wajahnya terlihat pucat."Hay ganteng, kenapa kok sakit."Niko diam, dia melirik ke arah Nadila dengan wajah ragu."Bicara saja, momi tidak akan marah." Ucap Nadila seolah memberikan izin pada anaknya.Niko melihat ke arahku dan memelukku erat, kini aku merasakan tubuhnya berguncang, dia menangis dalam dekapanku."Hey jagoan, kenapa menangis?""Papa nggak mau nikah sama mama ya?"Kalimat tanya itu langsung membuat lidahku kelu, dari mana dia dapatkan kata itu, apakah Nadila menceritakan semua masalah kami kepada Niko juga?Aku menatap manik mata anak lelakiku itu, ada luka dan kecewa di sana, sorot yang justeru menggoyahkan keputusanku dan membuatku berpikir ulang untuk mempertimbangkan juga hati Niko

  • Menantu Hina Jadi NyonyaĀ Ā Ā Pertemuan tak terduga

    Mas Ridho kesal padaku, hari ini kepergianku ke Jogja sukses membuatnya tak bicara padaku saat aku berpamitan. Bebrepa kali dia meminta aku meminjamkan mobilku padanya, namun aku terus beralasan banyak dan sekarang mobil ini aku bawa pergi ke Jogja, tentu saja itu membuat wajahnya masam seperti limau.Aku menitipkan anak-anak pada seorang wanita yang mbak Dewi cari untuk merawat Alina dan Alika selama aku pergi, jika pekerjaan ya baik dan bagus, mungkin aku akan memperkerjakan dia untuk terus membantuku merawat mereka.Perjalananku ke Jogja tak memakan banyak waktu, aku tiba di hotel tempat kami menginap sebelum siang. Sampai di sana beberapa orang sudah mengurus segala keperluanku. Hari ini acara syukuran syuting pertama, tentu saja kami semua sudah sangat siap menjalankan semua jadwal yang sudah di tentukan."Bu Mega mau makan dulu atau ke kamar?""Ke kamar saja, saya belum solat duhur, nanti saya menyusul ke ruang makan ya." Ucapku pada gadis manis bernama Kori, dia bertugas memban

  • Menantu Hina Jadi NyonyaĀ Ā Ā kejutan Mas!

    Hari yang di tunggu tiba, mobil yang aku impikan kini di antar hingga terparkir di depan rumah. Sebuah mobil sedan terbaru keluaran Henda dengan warna hitam klasik yang mewah. Mbak Siska berbisik bersama adik bapak yang lain, sementara emak terus menatap tak percaya ada mobil baru di depan rumah anak lelakinya."Wah Ridho, baru juga berapa hari kerja sudah bisa beli mobil." Sapaan lembut para tetangga sampai ke telingaku juga.Mas Ridho yang beli mobil ini? Dia saja makan ikut aku, bagaimana bisa beli mobil baru!Aku bicara saja dalam hati, masih baik tak aku umbar aibmu mas di depan semua warga dan keluarga besarmu. Bahkan mbak Siska yang sejak tadi hanya mengintip dari rumah Bapak, akhirnya keluar juga setelah mendengar komentar pujian untuk adiknya."Mas, tanda tangan dulu." Ucapku menarik tangan mas Ridho masuk ke dalam rumah."Berkas apa ini?""Serah terima mobil mas, kan tetap butuh tanda tangan suami untuk bisa di terima pengajuannya mas." Ucapku sambil memberikan dua map denga

  • Menantu Hina Jadi NyonyaĀ Ā Ā Sandiwaraku masih berlanjut

    Setelah pertemuan itu, Nadila mengajak paksa Niko pulang. Mas Ridho ingin melindungi anak lelakinya, tapi tak bisa berbuat banyak karena secara hukum Niko anak dari Nadila seorang."Bagaiaman ini bisa terjadi, bagaimana bisa kamu punya anak dari wanita lain Ridho!" Emak duduk bersandar pada dinding rumahnya, kami berkumpul di sini setelah Nadila pulang."Maafkan Ridho mak, Ridho tidak tau jika Nadila hamil dulu.""Terus apa yang kamu tau? Apa waktu kalian buat anak kamu juga nggak merasakan?"Mas Ridho terdiam, aku masih duduk di dekat pintu, mencari udara untuk membantuku bernapas sekarang."Bukan begitu mak, masalahnya saat itu kami sama-sama tidak bisa mengendalikan diri.""Otakmu itu yang tidak terkendali Ridho, bikin malu saja, mau di taruh mana wajah bapak ini!"Mas Ridho tak lagi menjawab, ia memilih diam dan menundukkan kepala, percuma juga ia menjelaskan pada bapak, hati lelaki paruh baya itu sedang terluka hebat."Sekarang bagaimana denganmu Mega, bapak sudah tidak bisa lagi

  • Menantu Hina Jadi NyonyaĀ Ā Ā Bapak yang Terkekut

    "Bagaimana bisa kamu jadi ibu yang baik Dila, sementara kamu tak bisa menjaga amarahmu sendiri!" Ucap mas Ridho dan membuat aku tersenyum lebar karena mendapat pembelaan."Bukan begitu mas, kamu salah paham!" Ucapnya mendekati mas Ridho yang berdiri di ambang pinti ruanh tengah."Berhenti kamu di situ, ingat batasanmu Dila di kantor memang aku bawahanmu, tapi di sini aku tuan rumah dan Mega adalah nyonya rumah ini."Wajah Nadila berubah dingin, ia menatapku tak suka lalu kembali melihat ke arah mas Ridho."Wanita ini yang kamu banggakan menajdi nyonya rumahmu mas?" Tanyanya menunjuk wajagku begitu dekat membuat Alika memelukku erat karena takut."Jangan membuat anakku takut!" Ucapku menurunkan tangannya dengan segera namun dengan cepat dia kembali menunjuk wajahku."Biar mbak bawa Alika dan Niko ke rumah mbak saja Ga, di sini nggak pantas di liha anak-anak." Ucap mbak Dewi mengajak Niko dan Alika keluar dari sisi pintu samping rumahku."Bawa saja gadis itu, tapi biarkan anakku di sini

  • Menantu Hina Jadi NyonyaĀ Ā Ā Nadila marah

    Saat sedang di dapur bersama mbak Dewi, suara Emak terdengar dari luar. Aku dan mbak Dewi bergegas keluar dan melihat emak sedang marahi Niko."Kamu anak siapa kok di sini!" Emak menarik tangan Niko keluar."Mak, lepaskan mak!" Aku memintanya, namun Emak seolah tal perduli."Lain kali tutup pintunya Mega, anak asing ini masuk begitu!" Ucapnya terlihat tak suka pada Niko."Ini tamu Mega mak, anak teman." Jawabku mencari alasan dan emak melepaskan tangan Niko."Yasudah, emak kira anak jahat mau nyelakai cucuku. Mana Alina, emak mau bawa ke rumah!"Dengan segera emak membaww Alina dan tanpa permisi keluar dari rumahku. Niko yang ketakutan memegang pergelangan tangannya yang merah."Maaf ya, Niko nggak apa-apa?"Dia menganggukan kepala dan aku segera mengajaknya berdiri. "Bagaimana kalau kita ke belakang, ada kolam ikan di sana, Niko bisa gambar di saung yang ada di belakang."Dia nampak.senang mendengar ideku. "Ayo bu Mega." Ucapnya tak sabar.Aku segera memgajaknya ke belakang dan duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status