Share

Ancaman Siska!

Mega membawa dagangannya ke mesjid besar, tiga puluh buah sosis sayur dan tiga puluh buah martabak tertata rapi dalam kotak plastik transparan. Sejak semalam ia tak berhenti membuat, hingga sebelum subuh tadi jajanan itu sudah selesai ia goreng.

"Mbak Dewi, nitip ini ya." Mega berdiri di depan meja tempat Dewi menjajakan dagangannya.

"Iya, taruh saja di situ." Dewi masih sibuk menata dagangannya yang lain.

Mega duduk di kursi terdekat, memperhatikan masjid yang masih belum terlalu ramai di suasana gelap setelah subuh. Langit yang telihat sedikit mendung membuat ia cemas, jika hujan turun di hari ini, mungkinkah dagangannya bisa laku banyak.

" Mbak, kalau hujan biasanya jualannya ramai nggak?"

"Lumayan sih, tapi nggak seramai kalau cuacanya cerah. Kenapa?

Mega tersenyum." Nggak apa mbak, ini kayaknya kaya mau hujan ya?"

"Oh, iya nih, tumben. Nggak apa-apa tapi Ga, kan kita ada di bawah tenda, jadi bisa sekalian berteduh."

Mega kembali tersenyum, tapi bukan itu keresahannya, ia lebih khawatir pada dagangan yang mungkin saja tak laku. Padahal kebutuhannya tak bisa di tunda lagi untuk esok atau lusa.

"Ga, mbak mau tanya sesuatu." Dewi membuyarkan lamunan Mega. "Kamu ribut sama Siska ya?"

kalimat Dewi membuat Mega heran. "Kok mbak Dewi tiba-tiba tanya begitu?"

"Emakmu bilang kamu ambil anak-anak saat bersama Siska, mbakmu nangis seharian di rumah Emak."

Mega terdiam, ia merasa tak harus menjelaskan apapun, terlalu banyak drama di buat kakak iparnya itu.

"Ah, nggak ada apa-apa mbak, mungkin cuma salah paham saja. Mega pulang dulu mbak, lupa belum goreng lauk."

Mega memilih pergi meninggalkan Dewi, meski Dewi tau itu hanya alasan Mega menutupi masalahnya. Ia terus memperhatikan Mega yang berjalan ke parkiran untuk mengambil sepeda motornya.

"Ih, adik ipar nggak tau diri di sini!"

Mega melihat Siska sudah berdiri di dekat motornya, ia sendiri dan menatap tak suka padanya.

"Mbak Siska ngapain di sini, mau ngaji ya?"

"Suka hatiku lah mau di mana, orang punya uang sepertiku bisa kemanapun aku suka! Kamu nitip dagangan tepat Mbak Dewi ya?"

Mega menghela napas, "Iya mbak, sudah ya mbak aku pulang dulu." Mega menyentuh motornya, namun Siska mencabut kunci yang tergantung dengan cepat.

"Tunggu, aku belum selesai bicara!" Siska sudah berdiri di depan motor Mega, membuat wanita itu terkejut hingga hampir terjatuh dari motornya.

"Ada apa mbak? tolong kembalikan kunci motorku!"

Siska melipat tangannya di depan dada. "Aku sebenarnya tak ingin mengatakan ini, namun melihat apa yang kamu lakukan padaku, sepertinya kamu harus tau satu hal!"

Mega terdiam, ia membiarkan saja kakak iparnya ini berkoar-koar.

"Aku ini kakak kandung Ridho, jangan karena kamu merasa Ridho membelamu, kamu jadi sok berkuasa akan dirinya."

"Apa maksudnya mbak?"

Siska mendekatkan wajahnya. "Aku bisa meminta Ridho meninggalkanmu begitu saja, Mega. Ridho itu sangat menurut padaku, dia bisa saja meninggalkanmu begitu saja!"

Dada Mega bergemuruh, dirinya tau Siska hanya menggertak, tapi tetap saja hatinya terluka dan memanas.

"Aku tidak takut! Jika memang mbak bisa memaksa mas Ridho menceraikan aku seperti katamu, lakukan saja!"

Mega merembut kunci dari tangan kakak iparnya. Dengan segera ia meninggalkan Siska sendirian di tempat parkir, sementara Mega sudah melaju keluar dari pelataran masjid.

****

Sampai di rumah, Mega melihat suaminya menyapu halaman, sementara Emak sudah duduk di dekat Alika dan Alina.

"Assalamualaikum." Mega mendekati Ridho, ia mencium takzim tangan suaminya itu.

"Waalaikumsalam. Katanya mau ikut pengajian, kok sudah pulang?"

"Iya mas, mau beres-beres rumah dulu saja. Taruh saja sapunya mas, biar adek yang selesaikan sisanya nanti."

Mega berjalan masuk ke teras rumahnya mendekati Siti dan mencium takzim tangan ibu mertuanya. "Masak apa mak?"

"Sayur bayam, anak-anakmu suka bayam kan?" Siti menyuapi dua cucunya itu.

Mega tersenyum. "Ia Mak, terimakasih ya, Mega masuk dulu ya mak, mau ganti baju." sementara Mega masuk ke dalam rumah, Siti kembali menyuapi cucunya.

Ibu mertuanya itu memang unik, terkadang dia bisa marah dan terkadang juga bersikap baik. Ibunya bisa menyembunyikan lauk dari cucunya atau tiba-tiba memberikan satu atau lebih lauk untuk Alika dan Alina.

Mega segera berganti baju, ia kemudian kembali ke teras untuk menyelesaikan menyapu halaman. Mengerjakan pekerjaan lain yang juga belum di selesaikannya hingga hari menjelang siang.

Siti bahkan sudah pulang setelah puas bermain dengan cucunya, Mega yang sejak datang belum menyentuh nasi sama sekali, merasa sedikit pusing dan mual.

"Dek, kamu nggak apa-apa?" Ridho menopang tubuh istrinya yang hampir rubuh.

"Agak pusing mas, nggak tau ini kenapa" Mega menyentuh kepalanya yang berdenyut. Sejak tadi memang ia tak berhenti memikirkan kalimat kakak iparnya. Membuat ia merasa nelangsa dan tak berselera makan.

"Istirahat dulu dek, biar mas yang selesai kan cuciannya." Ridho memapah tubuh Mega ke ruang tengah, ia merebahkan istrinya di sofa.

"Tinggal di keringkan saja mas bajunya, bisa kan?"

"Bisa, sudah kamu istirahat saja."

Ridho melanjutkan lagi pekerjaan Mega, sementara istrinya duduk di depan televisi.

"Assalamualaikum!"

Sesaat setelah dirinya istirahat, Mega mendengar suara seseorang dari luar.

"Waalaikumsalam, Mas Agus, masuk mas, masuk!" Mega yang tengah merebahkan diri, bangkit dan duduk di dekat Agus, suami Siska.

"Emak ke mana ya?" Lelaki bertubuh tambun itu duduk dengan wajah tak tenang.

"Di rumah nya nggak ada mas?" Mega berdiri untuk memanggil suaminya.

"Nggak ada, sudah di ketuk-ketuk juga tetap nggak ada yang buka pintunya."

"Sebentar Mega panggil mas Ridho dulu."

Mega mencari Ridho di belakang, suaminya itu sedang menjemur pakaian anak-anak mereka.

"Mas, ada mas Agus di ruang tengah, Ke sana dulu saja mas." Mega menarik baju di tangan Ridho dan meminta suaminya masuk ke dalam rumah.

"Ada apa memangnya dek?"

Mega hanya menggelengkan kepala dengan bahu terangkat. Ia sendiri juga tak tau apa tujuan kakak iparnya itu datang. "Nggak tau, mas ke sana saja dulu, biar adek yang selesaikan ini baju, cuma tinggal sedikit juga."

Ridho berjalan masuk, ia melihat Agus sudah duduk di sofa ruang tengah dengan mata terpejam dan tubuh bersandar kebelakang.

"Assalamualaikum mas!" Ridho menepuk tubuh kakak ipar nya.

"Waalaikum salam, lagi apa kamu?"

"Jemur baju mas, tumben sendiri, mana mbak Siska?"

Agus menghela napas kasar, ia lalu menatap wajah Ridho dengan tajam. " Aku sudah nggak tahan dengan watak keras mbakmu itu dho!"

Ridho terdiam mendengarkan. Ia menangkap ada yang serius dari kalimat kakak iparnya itu.

"Aku nggak bisa hidup berumah tangga dengan keadaan yang selalu panas dan saling curiga!"

"Maksudnya mas?"

"Aku nggak tau salah apa dho, beberapa hari lalu Siska pulang dengan marah, ia membanting pintu kamar kami dan mengunci diri semalaman di sana, aku mengalah tidur di depan televisi."

"Mungkin sebaiknya kita bicara dengan Emak dan Bapak mas?" Ridho menawari, ia merasa apa yang diceritakan kakak iparnya sudah bukan haknya lagi.

"Kalau ada nggak apa dho, sekalian saja aku bicarakan semuanya."

Dengan cepat Ridho menemui Mega lagi" Dek, buatkan minum dulu, sekalian buat Emak dan Bapak juga!"

Mega yang baru saja menjemur baju terakhir terkejut dengan suaminya yang nampak tergesa-gesa. Segera ia menuju dapur dan memanaskan air.

Tak lama Siti dan Harun datang dan duduk di ruang tengah bersama Ridho.

"Kok nggak ke rumah to gus?" Emak berkata saat baru masuk ke dalam ruang tengah.

"Sudah, tapi nggak ada orang. Mobil Agus juga di sana mak, mak dan Bapak dari mana?"

"Di belakang, Emak bersihkan rumput di kebun. Yok pulang Ke rumah saja gus?"

Agus terdiam, ia ingin bicara di rumah Ridho saja. "Di sini saja mak, aku ngantuk."

"Memang mau bicara apa Gus?" Harun akhirnya ikut bertanya.

"Soal Siska mak, kalau memang sudah nggak bisa sama-sama lagi, aku pasrahkkan saja dia kembali pada Bapak dan Emak...."

Kalimat itu membuat mereka semua terdiam, bahkan Mega yang baru masuk membawa nampan berisi teh hangat, gemetar hebat.

"Maksudnya di pulangkan itu apa gus?"

"Cerai mak, kalau memang nggak mau bersama lagi sebaiknya memang pisah! Aku cuma mau mengurus yang mau di urus, kalau nggak mau di urus ya sudah, kita berpisah saja!"

Ridho terdiam memperhatikan, sementara Emak dan Bapak masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. kenapa tiba-tiba saja Agus mengatakan ingin berpisah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status