Share

Mempertahankan Harga Diri

Ridho datang ke rumah ibunya, di sana Alika kembali melihat Ponsel Siska. Ridho memperhatikan lagi, Alika nampak larut dalam dunianya sendiri. Gadis itu bahkan tak perduli saat Ayahnya mengucap salam.

"Alika, ayo kita pulang!" Ridho mengusap lembut punggung kecil putri sulungnya.

"Nanti Ayah, nonton HP dulu." 

Jawaban Alika membuat Ridho terpaku, anak gadis nya tak pernah menolak setiap kali di minta, tapi sekarang dia sudah bisa memberi alasan.

"Sekarang yuk, ibuk sudah nunggu di rumah."

Alika melirik nya tajam, seolah tak suka bila kesenangannya di ganggu.

"Sudah pulang dho?" Siska keluar kamar bersama Alina, ia lalu duduk di kursi makan dan membuka tudung saji di meja.

"Sudah, mbak bisa tolong ambil ponselmu?" Ridho meminta. Mungkin jika Siska sendiri yang mengambil, Alika tak akan terlalu marah.

"Buat apa? Istrimu melarang anaknya nonton HP?" Siska menebak, selama ini memang hanya Mega yang melarangnya memberikan ponsel pada Alika dan Alina

"Halah, semua aturan dia buat sendiri, serasa dia yang paling benar saja!" Siti tiba-tiba keluar juga dari kamar, ibu Ridho itu langsung menyela pembicaraan kakak beradik itu.

"Memang ibulah yang paling benar dan tau anaknya mak, Emak juga nggak seharusnya merubah cara kami mendidik." 

"Eh kok berani kamu atur-atur Emakmu ini?" Siti berkacak pinggang.

"Kualat kamu berani sama Emak dho, lagian apa sih susahnya kasih anak nonton video? Yang di lihat juga video kartun, bukan aneh-aneh."

Ridho diam, dia mengambil ponsel milik kakaknya dan membawa Alika dan Alina dalam gendongan. Gadis kecil itu menolak, ia berusaha turun sambil berteriak kencang.

"Turunkan Dho!" Siti membentak anaknya, menarik paksa Alika turun dari gendongan.

"Nenek... Nenek... " Tangis Alika semakin kencang, sementara Ridho semakin kuat memeluk tubuh putrinya.

"Ridho, turunkan Alika!" Siska meninggikan suaranya, hingga tarik menarik tak dapat lagi terelakkan. Ridho merasa ini sudah keterlaluan, ia yang punya anak, namun seolah tak di beri hak untuk memberikan didikan.

Sementara Alika meronta, Alina juga menangis ketakutan. Siti masih berusaha mengambil alih cucunya.

"Mak, jangan begini!" Ridho memohon, apa yang dilakukan ibu dan kakaknya sudah tidak benar.

"Jangan begini apa, Siska cuma mau bersama anak-anakmu Dho, jangan egois!" 

"Tapi bukan begini caranya Dho, apa susahnya kamu memberikan sedikit waktu untukku bermain dengan mereka? Aku cuma ingin menghabiskan waktu dengan dua anakmu, aku nggak meminta mereka, nggak juga ingin memiliki!" Siska terlihat mengiba, kini fua matanya berkaca.

Ridho terdiam melihat wajah memelas kakaknya, ia jadi berpikir mungkin dia lah yang sudah salah karena terlalu memaksa mengambil dua putrinya.

"Kalau mbak memang sayang anak-anak., harusnya mbak belajar juga untuk memberikan yang terbaik!" Mega sudah berdiri di ambang pintu, menjawab kalimat kakak iparnya, rupanya ia juga menyaksikan kegaduhan itu sejak tadi.

"Memang apa yang nggak Siska berikan untuk anakmu? Dia lebih sering memberikan baju baru di bandingkan dirimu, ibunya."

Dada Mega bergemuruh, kalimat ibu mertuanya kembali menggores luka yang belum kering.

"Apa yang Emak tau dariku? Jika aku membelikan anak-anak semua kebutuhannya, apa Emak perlu tau? Apa aku meminta pujian dan nilai lebih juga? Tidak Mak, itu sudah kewajibanku!"

Siska dan Siti melihat tajam ke arah Mega. Berapa tahun mereka bersama, baru kali ini Mega yang pendiam itu membuka suara saat di tekan mertuanya.

"Gendong Alika pulang mas!" Mega meminta Ridho kembali membawa Alika, sementara ia mengambil Alina dari dalam gendongan Siska. "Maaf mbak, anak-anak harus tidur siang dulu!"

Mega membawa keluar dua putrinya, meski ada rasa iba juga melihat kakak iparnya menatap pilu, namun ia harus mempertahankan apa yang seharusnya ia lakukan, bagaimanapun ini yang terbaik untuk Alika dan Alina.

Sampai di rumah, Mega membawa mereka ke kamar, sementara Suaminya hanya duduk di ruang tengah, mendengarkan tangis Alika yang masih menggema.

"Alika, Diam!" Mege membentak putrinya, rasa amarahnya pada ibu dan kakak ipar terbawa hingga ke rumah, membuat gadis kecil itu seketika membekap mulutnya karena takut.

Mega terdiam, menyadari dirinya salah sudah melampiaskan amarah, di dekapnya tubuh kecil Alika. "Maafkan ibuk ya sayang, Alika jangan nangis lagi ya?"

Gadis kecil itu sesegukan, menatap Sendu wajah Mega dengan air mata berlinang. "Mau nonton HP bu-k" Ucapnya di antara celah tangis yang tertahan.

"Iya, besok lagi kita nonton bersama ya."

"Tapi buk, tapi..."

"Alika sayang ibuk ?"

Alika menganggukkan kepalanya. "Iya, Sayang ibuk."

"Kalau begitu, Alika nurut apa kata ibuk dan Ayah, jangan nangis, jangan banyak nonton HP ya?"

Mega masih terus memeluk tubuh ke dua putrinya. Sementara Alina sudah terdiam dan tidur, Mega meletakkan gadis bungsunya ke atas tempat tidur. Lalu ia kembali fokus menenangkan Alika dalam dekapan.

Gadis itu tenang dalam pelukan ibunya, sesekali ia masih sesegukan, namun matanya mulai terpejam, mungkin Alika lelah juga menangis. Mega masih tetap mendekap tubuh gempal putri sulungnya, hingga gadis kecil itu tertidur pulas Mega meletakkan ya di dekat Alina. Berkali-kali Mega mengecup wajah dua anaknya, ia mungkin terlihat jahat untuk sebagian orang, namun yang ia inginkan hanyalah kebaikan untuk ke dua anaknya, meski banyak orang menilai salah, Mega tetap berdiri di aras pendiriannya sendiri.

****

Setelah kejadian itu, untuk beberapa hari Siska tak datang Ke rumah Emaknya. Mega juga lebih banyak diam di dalam rumah, menghabiskan waktu dengan dua anak gadis nya.

"Dek, besok malam arisan RT, kamu ada simpanan uang?" Ridho yang baru selesai sholat Isya ikut duduk di samping istrinya.

"Uangku tinggal dua puluh ribu di dompet mas, gajian dari menulis masih beberapa hari lagi."

Mega menjelaskan, ia memang hobi menulis dan ternyata tulisannya menghasilkan rezeki yang membantunya menyambung hidup.

"Bagaimana ya, mas nggak enak mau pinjam Bapak, kamu tau sendiri kan, uang simpanan kita untuk bayar angsuran Bank."

Ridho menjelaskan kembali, ia tau istri nya sudah paham kondisi keuangannya. Mereka memang punya tanggungan hutang di bank, dulu saat masih hidup bersama orang tua, Ridho memang di paksa Siska untuk segera membangun rumah sendiri, Segala cacian dan hinaan ia terima dari kakaknya yang saat itu masih di Kalimantan, akhirnya dengan tabungan yang belum mencukupi, Ridho membangun rumah kecil di tanah pemberian Harun, Bapaknya.

Awalnya ia hanya ingin membangun rumah sederhana, semampu yang yang ada di dalam tabungan, namun Siti bersikeras memaksakan kehendak, Ridho harus membangun rumah tembok yang kokoh dengan kayu jati terbaik, Jadilah ia menerima usul sang Ibu yang memintanya mencari pinjaman ke Bank.

"Semoga besok ada uang tambahan mas." Mega mengusap punggung suaminya, meski ia sendiri tau, tak ada bayangan kemana ia akan mencari tambahan juga.

"Apa mas minta uang di muka dulu ya dek?" Ridho meminta pendapat istrinya. Ia yang sedang bekerja membangun rumah di desa sebelah, mungkin saja bisa meminjam dulu uang mandor nya.

"Jangan mas, Mas kan baru dua hari ikut kerja, masak sudah mau pinjam uang, nggak enak mas sama yang lain."

Ridho kembali diam, sebenarnya ia juga merasa bersalah. Sebelum menanggung hutang di bank, ia dan Mega hidup dalam cukup meski tak melimpah, namun kini lebih banyak Mega yang memikirkan segala kebutuhan harian mereka semua.

"Mas, bantu adek buat adonan kulit sosis yuk!" Mega menepuk pundak suaminya. Ia teringat besok adalah hari minggu, ia bisa membuat jajanan yang di titipkan ke tempat Dewi. Dewi berjualan di masjid raya setiap Minggu, ia menjajakan lauk dan sayur matang masakan Halimah.

" kamu yakin mau masak sosis dek? Uang kita tinggal dua puluh ribu, jika daganganmu nggak laku, kita bisa makan apa?"

Mega tersenyum. "Insyaallah kita akan bisa tetap makan mas, Nih, tolong belikan gandum satu kilo, jagung dan wortel. Kita buat sosis sayur saja."

Mega memberikan satu-satunya uang di dalam dompetnya pada Ridho, rumah mereka tak terlalu jauh dari pasar kota, dan setiap malam masih ada penjual di halaman pasar hingga pukul sepuluh malam.

Sementara Ridho ke pasar, Mega mencari bahan di kulkas nya. Ia masih punya satu kilo telur dan seikat daun bawang hasil panen kebun kecilnya di belakang rumah.

"Aku bisa buat sosis sayur dan martabak dengan bahan ini!" Batin Mega optimis, ia yakin segala usahanya akan membuahkan hasil.

Malam itu mereka membuat isian sosis, kulit sosis dan bumbu martabak, Mega begitu yakin usahanya tak akan mengkhianati hasil.

Yakin saja kita ini sedang berikhtiar, percaya saja Allah akan memudahkan segalanya. Allah selalu bersama hambanya yang tak menyerah, percaya dan pasrah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status