“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
Tak adil rasanya jika sama-sama menantu tapi di beda-bedakan. Itu yang aku rasakan selama menjadi menantu dikeluarga ini. Ada dua menantu disini. Aku dan Lika.Namaku Rasti. Karena aku menantu dari keluarga yang 'kere' kata ibu mertua, aku di perlakukan sesuka hatinya. Memang ibu mertua sangat menampakkan ketidak sukaannya didepanku. Tapi tidak didepan anak lanangnya. Karena anaknya sangat mencintaiku apa adanya.Berbeda dengan Lika, Lika anak dari keluarga berada. Dia juga mempunyai gelar dan bekerja sebagai bidan di puskesmas setempat. Ibu mertua selalu manyanjungnya. Tidak pernah menyuruhnya dan selalu membanggakan manantu kesayangannya di depan teman-temannya."Ko, besok istrimu suruh ke sini, suruh bantuin ibuk masak buat acara arisan, istrimu kan nganggur dari pada cuma bengkakin badan suruh ke sini bantu-bantu."Ucap ibu suatu hari dengan gayanya yang sok sibuk."Iya bu nanti tak sampaikan ke Rasti, mantu ibukan gak cuma Rasti, Lika gak disuruh?"Jawab suamiku mas Riko seraya b
"Dek ibuk nelpon disuruh bantuin cuci piring,"Kata mas Riko diambang pintu. Aku dan Yuda asyik nonton TV. Aku malas menjawabnya. Seperti yang kuduga ibu pasti ngadu yang tidak jelas."Kata ibuk kamu pulang duluan gak bantuin sampai acara selesai, kasihan Lika capek sendirian,"Ucap mas Riko masuk kedalam rumah dan bergabung didekatku dan Yuda. Aku masih terdiam menonton TV. Lagi-lagi di mata ibuk hanya Lika yang pengertian. Dan hanya Lika yang capek."Dek kok diem aja sih? Mas ini lagi ngomong lo,"Ucapnya lagi sambil menarik tanganku. Yuda melirik aksi ayahnya dan mengamati raut wajahku yang malas untuk menjawab."Kamu kenapa?"Tanya mas Riko memastikan. Mataku mulai mengembun. Ingin menangis tapi aku tahan karena ada Yuda anakku. Ku menarik nafas dengan kuat dan melepaskannya secara teratur. Menata hati yang terlanjur pecah."Tadi jemput Yuda pulang sekolah."Hanya jawaban itu yang bisa keluar dari mulutku. Percuma juga mau ngadu pasti sudah ke duluan mertua."Ke rumah ibuk yok mas
Akhirnya sampai dirumah juga, tanpa membawa baju kotor mertua. Karena mas Riko tidak mendengar teriakan ibunya ketika terburu melangkah ke kami dengan membawa kresek besar warna hitam. Akupun juga diam saja seolah tak melihatnya. Kalau ibu mau marah, yang kena marahkan anaknya sendiri yang memboceng. Aku mengulum senyuman dibibir dengan puas.Aku membuka pintu rumah dan masuk dengan langkah yang lelah dan perut yang terasa lapar. Langsung melangkah ke dapur. Teringat masih punya mie instan dan telor. Makanan favorit, apa lagi suasana hati lagi kacau. Dengan cepat aku mengolahnya.Satu bungkus mie instan kuah di campur dengan empat telor dan irisan sawi telah matang. Ku tiup pelan-pelan lalu menyantapnya. Memang seperti ini lah aku. kalau hati lagi kacau pelampiasanku ke makanan. Kalau kebanyakan orang, sakit hati gak selera makan, aku malah sebaliknya. Semakin sakit hati semakin aku kuat makan. Biarin saja badan makin melebar seperti drum kata mertua. Dari pada sudah sakit hati badan
“Dek, ibuk nelpon suruh antar bajunya yang kemarin,” Ucap mas Riko sambil meletakkan gawainya dimeja. Membuatku enggan untuk menjawab. “Dek baju ibu udah keringkan?” Tanyanya lagi seraya duduk disofa.“Sudah kayaknya.” Jawabku dengan nada malas, seraya beranjak keluar menuju jemuran. Memastikan baju-baju ibuk kemarin sudah kering atau belum. Ternyata sudah pada kering sekalian aku mengangkat dan membawanya masuk kerumah sekalian melipatnya. “Ini mas baju ibuk, mas yang ngantar ya?” Ucapku kepada mas Riko sambil memasukkan baju ibuk ke dalam kresek yang sudah terlipat rapi.“kamu ajalah dek yang ngantar, mas capek.” Sahutnya sambil rebahan di sofa. Jawaban yang sangat menyebalkan. “Adek juga capek loo mas.” Ucapku dengan nada kesal, meletakkan baju mertua yang sudah rapi di dalam kresek di meja ruang tamu. Karena sejujurnya aku malas kerumah mertua.“Capek apalah kamu ini dek, kalau mas wajar capek habis pulang dari kebun manen sawit.” Jawabnya yang masih rebahan disofa, deng
"Dari awal memang ibuk tidak setuju kamu menikahi Rasti tapi kamu ngeyel, ya ini, sekarang ibumu di fitnah tidak adil dengan menantu, ibu kurang apa selama ini sama kamu Ko? Walaupun ibu gak setuju tapi ibu tetap menikahkan kalian dengan pesta besar-besaran, masih ibu bantu rumah, ibu juga yang belikan kebun sawit, biar apa? Biar rumah tangga kalian bahagia."Ucap mertua kepada mas Riko diruang tamu rumahku. Sudah tiga hari mas Riko tidak tidur di rumah, dia tidur di rumah ibunya. Pulang hanya mengambil baju ganti saja. Mas Riko sudah mengadu kepada ibunya. Dan hari ini mereka datang ke rumah mendudukkan ku. Mas Riko gegabah, seperti anak kecil apa-apa di adukan kepada ibunya.Ucapan ibu memang terkesan memarahi anaknya sendiri, tapi semua ucapannya menyudutkanku. Aku harus bisa menahan air mata agar tidak terjatuh, supaya bisa menjawab dan menjelaskan semuanya."Kamu jelaskan sama ibuk dek, tentang ucapanmu kemarin."Ucap mas Riko memandangku, begitu juga dengan mertua. Tatapan serig
"Maaf, tadi Lika lihat Yuda di gerbang sekolahannya, belum ada yang jemput, kebetulan Lika lewat, jadi sekalian Lika antar."Ucap Lika terlihat kikuk. Mungkin merasa tak enak pada kami. Yuda langsung bergegas masuk rumah dan menyalami kami semua. Kuseka air mataku dengan perlahan, mungkin Lika sudah mendengar sebagian keributan kami."Gakpapa cah ayu, untung ada kamu, jadi Yuda nggak kelamaan nunggu disekolah,"Jawab mertua, disambut dengan Lika mencium punggung tangan mertua. Manis sekali."Ni Ko, untung ada Lika, istrimu terlalu sibuk njelek-njelekin mertuanya, sampai lupa ngurus anak."Jlebbb, terasa hatiku dihunus pedang yang tajam terasah. Kutatap mata mertua dengan penuh amarah. Aku bangkit dari duduk, membuat wajah ibu terlihat gelagapan. Begitu juga dengan mas Riko dan Lika. Mas Riko juga ikut berdiri. Seakan ingin menenangkanku, tapi dia terlihat serba salah."Yuda, masuk ke kamarmu!" Perintahku. Aku tak mau dia mendengar semuanya. Yuda nurut, seakan dia ketakutan. Mataku mem