Home / Romansa / Menantu Kontrak Sang Ceo / BAB 3 - Nenek Sang Pewaris

Share

BAB 3 - Nenek Sang Pewaris

Author: Revri
last update Last Updated: 2025-07-01 08:44:17

Pagi itu, Saskia bangun lebih awal dari alarm ponselnya. Matanya masih berat, kelopak terasa sembap karena semalaman sulit terpejam. Ia menoleh pelan ke sisi ranjang, memastikan Keenan masih tertidur membelakangi dia. Wajah pria itu tenang, dingin seperti malam sebelumnya, seolah jarak mereka di atas ranjang sudah jadi tembok permanen.

Saskia bangkit pelan, menapaki lantai dingin dengan telapak kaki telanjang. Ia berjalan menuju cermin di dekat jendela, menatap pantulan dirinya sendiri. Rambutnya berantakan, ada lingkar hitam samar di bawah mata. Meski begitu, ia tetap mencoba menarik napas panjang, menepuk pipi, lalu merapikan anak rambutnya.

Hari ini adalah hari penting—nenek Keenan akan datang. Dan katanya, sang nenek tidak pernah main-main dalam urusan keluarga.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

“Nona Saskia, sarapan sudah siap di ruang makan,” suara Bu Ratna terdengar datar di balik pintu.

Saskia meraih cardigan tipis, merapikan gaun tidur putihnya, lalu membukakan pintu. Bu Ratna berdiri di koridor, pandangan matanya menilai dari atas ke bawah.

“Setelah sarapan, Tuan Keenan ingin Anda bersiap. Nyonya Besar tiba pukul sepuluh.”

“Baik, Bu.”

Dan satu lagi…” Bu Ratna mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah meski nadanya tetap dingin. “Berhentilah berharap bisa betah di rumah ini. Tak peduli apa yang Anda tanda tangani, di mata kami, Anda tetap orang luar.”

Saskia mengerjapkan mata, menahan perih di tenggorokan. Ia menunduk pelan, menahan diri agar tak membalas.

“Saya akan berusaha sebaik mungkin,” balasnya pendek.

Di ruang makan, Saskia duduk berhadapan dengan Keenan. Meja panjang itu dipenuhi roti panggang, sup ayam hangat, buah-buahan segar. Semua tampak mewah, tapi terasa hambar di mulut.

Keenan menatap Saskia dari atas koran yang dibacanya. Ia mengenakan kemeja putih polos, lengan digulung rapi. Pria itu tampak jauh lebih santai dibanding Saskia yang duduk kaku seperti patung.

“Makanlah, kau perlu tenaga,” katanya tanpa menurunkan koran.

Saskia menahan diri untuk tidak membalas dengan nada sinis. Dalam hatinya, ia ingin bertanya: Tenaga untuk apa? Menjadi boneka di depan keluargamu?

“Apa saya terlihat pantas?” tanya Saskia pelan. “Saya… tidak punya banyak gaun bagus.”

Keenan menurunkan korannya, menatapnya. Untuk sesaat, sorot matanya tidak sedingin semalam.

“Ada lemari penuh di kamarmu. Pilih yang paling sopan. Jangan buat nenek curiga.”

Saskia mengangguk. Ia ingin bicara lebih, tapi Keenan kembali bersembunyi di balik halaman koran. Hatinya kembali mengeras.

Satu jam kemudian, ruang tamu dipenuhi aroma harum teh melati. Saskia duduk di ujung sofa, jari-jarinya saling meremas. Gaun biru pastel yang ia pakai sebenarnya terlalu mewah untuk dirinya—bahannya sutra lembut, jatuh anggun di bahu. Tapi entah kenapa, baju mahal tak membuat nyalinya lebih besar.

Suara mobil berhenti di halaman membuat jantungnya berdegup. Beberapa pelayan bergegas membuka pintu, menunduk sopan saat seorang perempuan tua melangkah masuk. Rambutnya disanggul rapi, kebaya abu-abu menambah wibawa di wajah yang dipenuhi kerutan halus. Di sampingnya, seorang wanita muda berambut panjang—Saskia sempat mendengar ia adalah sepupu Keenan, Olivia, yang katanya selalu dekat dengan sang pewaris.

“Nenek,” Keenan membungkuk sedikit, meraih tangan sang nenek lalu menciumnya. Nenek Aryasatya menepuk pipi cucunya dengan sayang.

“Kau akhirnya menikah juga, Keenan. Kabar ini membuat Nenek sedikit lebih lega.”

Tatapan Nenek Aryasatya lalu beralih ke Saskia, meneliti gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rasanya seperti tertusuk ratusan jarum halus.

“Ini menantumu?”

Saskia segera bangkit, membungkuk dalam. “Selamat pagi, Nenek.”

Nenek Aryasatya menaikkan satu alis, lalu berjalan mendekat. Tangannya yang keriput meraih dagu Saskia, mengangkatnya perlahan agar gadis itu menatap balik.

“Wajahmu polos. Apa kau benar-benar tulus menikahi cucuku, atau kau hanya gadis pemburu harta?”

Saskia menelan ludah. Suasana di ruangan menegang. Olivia berdiri di samping, menatapnya seolah Saskia ini kutu busuk yang menempel di bantal sutra.

“Saya… saya hanya ingin mendampingi Keenan, Nek. Saya… tidak pernah memikirkan harta,” jawab Saskia pelan.

“Hm.” Sang nenek melepaskan dagunya, lalu beralih menatap Keenan. “Kalau dia mengecewakanmu, ceraikan saja. Nenek tidak mau pewaris keluarga kita terjerat perempuan bermuka dua.”

Keenan tak menjawab. Matanya menatap Saskia sesaat, seolah ada yang ingin ia katakan, tapi bibirnya tetap terkunci.

Obrolan keluarga itu terasa panjang. Nenek Aryasatya banyak bertanya—tentang rencana Keenan punya anak, tentang rencana Saskia belajar mengurus yayasan keluarga. Setiap jawaban Saskia seolah dihakimi. Bahkan cangkir teh di tangan Saskia nyaris tumpah karena tangannya gemetar menahan gugup.

Di sela obrolan, Olivia sesekali menyelipkan kalimat menusuk.

“Kalau Keenan mau, aku bisa bantu carikan pendamping yang sekelas. Bukan… ya, gadis semacam dia ini.”

Saskia hanya bisa menunduk. Jantungnya terasa menekan dadanya. Tapi di saat yang sama, ada rasa marah kecil yang tumbuh pelan—marah pada ayahnya yang kabur, pada dirinya sendiri yang terlalu lemah untuk menolak perjanjian ini.

Menjelang siang, sang nenek akhirnya bangkit berdiri.

“Keenan, Nenek akan tunggu kabar baik darimu. Pastikan rumah tanggamu berjalan sesuai adat keluarga Aryasatya.”

Nenek Aryasatya menatap Saskia sekali lagi. Kali ini sorot matanya tajam, menusuk.

“Dan kau, Nona. Jangan pernah lupa siapa dirimu di rumah ini.”

Saskia hanya membungkuk dalam, menahan napas agar air matanya tidak tumpah di hadapan semua orang.

Setelah tamu pergi, Saskia berdiri di koridor, menatap pintu yang menutup. Tubuhnya terasa ringan, seolah semua tulangnya rapuh. Keenan mendekat, berdiri di sampingnya. Suara detak jam dinding terdengar lebih keras dibanding napas mereka.

“Kau baik-baik saja?” tanya Keenan. Untuk pertama kalinya, nadanya terdengar sedikit—hanya sedikit—lebih hangat.

Saskia menggeleng, bibirnya bergetar. “Saya tidak apa-apa, Tuan.”

Keenan mendecak, menatapnya. “Kau tak perlu bersandiwara di depanku. Kau bisa marah kalau mau.”

Saskia menatap matanya. Untuk sesaat, hatinya seperti ingin menumpahkan semua. Tapi entah kenapa, yang keluar hanya senyum getir.

“Kalau saya marah, hutang saya lunas, Tuan?”

Keenan terdiam. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk menjawab.

Malam itu, untuk pertama kalinya Saskia duduk sendirian di balkon kamarnya. Angin malam berembus lembut, tapi dinginnya menusuk tulang. Dari jauh, lampu kota Jakarta berkedip bagai bintang yang terperangkap di aspal.

Ia meraba cincin pernikahan yang baru saja Keenan selipkan di jari manisnya sore tadi—sebuah cincin emas putih sederhana, yang semestinya melambangkan ikatan suci. Tapi bagi Saskia, itu hanya pengingat bahwa kebebasannya kini milik orang lain.

Di balik jendela, Keenan berdiri menatapnya dalam diam. Untuk sesaat, tatapan sang CEO itu tak lagi dingin—tapi juga tak sepenuhnya hangat. Seolah di antara kontrak dan perjanjian, ada ruang kosong yang mereka berdua sama-sama tak sanggup isi.

Dan di atas langit yang kelam, satu bintang jatuh diam-diam. Saskia berbisik lirih, entah pada siapa, “Tuhan… kalau memang takdirku seperti ini, tolong ajari aku bertahan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 18 – Bayang-Bayang yang Belum Pergi

    Ara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Malam telah lewat jauh, tetapi matanya belum bisa terpejam. Lampu tidur menyala temaram, melemparkan bayangan remang di dinding kamar yang terlalu luas, terlalu sunyi, dan kini terasa terlalu asing. Sejak perdebatan terakhir dengan Nathaniel, semuanya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Hati mereka sama-sama berdarah, tapi gengsi dan luka lama membuat keduanya enggan menyentuhnya. Padahal hanya dengan satu sentuhan, satu kejujuran, semuanya bisa mencair. Namun kenyataannya, mereka memilih diam. Lagi. Nathaniel belum juga pulang sejak sore tadi. Biasanya, meski mereka tak bicara banyak, Ara tahu dia akan kembali saat malam menjelang. Tapi kali ini, bahkan suara pintu depan pun tak terdengar. Hanya detak jam dinding yang terus berdetak pelan, seperti mengingatkan Ara bahwa waktu tak pernah berhenti meski perasaannya beku. Gadis itu menghela napas dalam. Jemarinya mengepal erat. Ia mencoba menepis segala prasangka—mung

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 17 - Dibalik Pelukan Yang Tak Biasa

    Malam itu berlalu dalam keheningan yang tak biasa. Setelah Nathaniel membuka sebagian luka lamanya, tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan. Tapi justru dalam diam itulah, mereka merasa lebih terhubung. Tak perlu penjelasan panjang, hanya genggaman tangan yang bertahan hingga suara hujan mereda.Ara tidak tidur di kamar tamu malam itu. Tapi juga tidak masuk ke kamar utama. Ia duduk di sofa, berselimut tipis, matanya masih terbuka, memandangi langit-langit ruang tamu yang tenang. Entah sejak kapan, Nathaniel keluar dari kamarnya. Ia berdiri di ambang ruang tamu, memandangi Ara yang nyaris terlelap.“Kalau kamu kedinginan, kamarnya nggak dikunci,” ucap Nathaniel perlahan.Ara menoleh. Tidak ada senyum, tapi juga tidak ada kecanggungan. Ia hanya mengangguk kecil, lalu berdiri.Saat mereka berdua berada di kamar yang sama, ada jeda aneh yang menggantung. Bukan ketegangan, melainkan keakraban yang canggung. Seperti dua orang asing yang perlahan menging

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 16 - Luka Yang Tak Pernah Sembuh

    Langit Jakarta mendung sore itu, seolah ikut menahan napas bersama hati Ara yang berkecamuk. Di balik kaca jendela apartemen mewah yang asing baginya, Ara menatap jalanan yang mulai padat. Setiap mobil melintas seperti potongan kenangan yang menghantam pikirannya tentang luka, tentang janji, dan tentang laki-laki yang kini menjadi suaminya.Nathaniel belum pulang. Dan entah kenapa, justru ketidakhadirannya membuat hati Ara terasa semakin berat. Diam-diam ia berharap laki-laki itu hadir, meski hanya untuk beradu argumen atau bertukar tatapan dingin seperti biasanya. Setidaknya itu membuktikan bahwa ia nyata, bahwa semua ini bukan sekadar mimpi aneh yang berkepanjangan.Suara ponselnya mengusik keheningan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.> “Kamu tahu nggak siapa dia sebenarnya? Nathaniel Arvid bukan laki-laki baik.”Ara menelan ludah, jari-jarinya gemetar. Ia mencoba membalas, tapi pesan itu langsung menghilang terhapus begitu s

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 15 - Retak Yang Tak Terdengar

    Langkah-langkah kaki Ara menggema pelan di koridor rumah keluarga Arvid. Hatinya penuh sesak, tapi wajahnya tetap tenang. Ia seperti terbiasa hidup dalam kesunyian yang tak dimengerti siapa pun. Sejak malam itu malam saat Nathaniel tak pulang ia memutuskan berhenti berharap. Bukan karena ia berhenti mencintai, tapi karena ia lelah mencintai sendirian.Ara membuka pintu kamarnya dan menutupnya perlahan. Ia menoleh sejenak ke jendela, ke langit yang mendung tanpa hujan. Seperti hatinya yang penuh luka tapi tak bisa menangis.Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan masuk dari nenek Arvid.> "Besok, kamu ikut acara makan malam keluarga besar. Pakai gaun yang rapi. Jangan buat malu keluarga ini."Ara menghela napas. Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerimanya, tapi mereka juga tidak membiarkannya pergi. Ia seperti terjebak di antara dua dunia dunia yang tidak sepenuhnya menolaknya, tapi juga tidak pernah menyambutnya.Malam data

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 14 - Ketika Luka Itu Bernama Cinta

    Hening menyergap seperti biasa. Hanya deru angin malam dan dengungan jarum jam di sudut ruang yang terdengar mengisi kekosongan. Ara duduk mematung di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian yang sama sejak sore. Gaun sederhana warna krem itu kini tampak kusut dan dingin di kulitnya. Tapi ia tak peduli.Pikirannya masih tertinggal di ruang kerja Nathaniel. Percakapan mereka terus mengulang dalam benaknya, seolah memutar pita kaset rusak yang tak kunjung berhenti.“Kalau kamu mencari cinta, jangan cari di sini.”Kalimat itu, dingin dan tajam, menusuk jauh ke dalam relung hati. Tapi entah mengapa, bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan. Ada semacam kegundahan... semacam kehilangan yang tak ia mengerti. Padahal, dari awal dia sudah tahu—pernikahan ini hanya kontrak. Tak lebih dari kesepakatan antara dua orang asing.Namun, kenapa ada bagian dari dirinya yang berharap lebih?Ketukan di pintu membuatnya tersentak.“Ara?” suara pelan da

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 13 - Antara Luka Dan Luka Yang Tak Terucap

    Langit tampak mendung ketika Ara menatap kosong ke luar jendela. Hujan belum turun, tapi aroma tanah yang basah sudah lebih dulu menyentuh hidungnya—seolah memberi tanda bahwa badai akan segera datang. Baik di luar sana, maupun di dalam hatinya.Dia masih mengingat jelas kejadian semalam. Kalimat Nathaniel yang dingin, tatapan tajam yang seolah menusuk jantungnya, dan cara pria itu meninggalkannya begitu saja setelah percakapan singkat yang membuat dada Ara semakin sesak."Jangan ikut campur dalam hidupku."Kata-kata itu bergaung terus di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya... apakah ia memang sebegitu tidak pentingnya?Tapi di balik semua luka itu, ada satu yang lebih perih—perasaan yang tumbuh diam-diam di hatinya. Ia benci mengakuinya, namun ia mulai peduli. Pada pria itu. Pada luka di balik dinginnya. Dan ia takut... takut perasaannya akan menjadikannya lebih rapuh dari sebelumnya.Ara menarik napas panjang. Rumah ini terlalu besar u

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status