Saskia berdiri terpaku di depan pintu kayu besar yang menjulang di hadapannya. Hujan yang turun sejak pagi membuat ujung rok birunya basah kuyup. Tangannya gemetar saat bel rumah megah itu terbuka perlahan, memperlihatkan bagian dalam rumah keluarga Aryasatya yang lebih mirip istana dibanding rumah pada umumnya.
Di balik pintu, seorang perempuan paruh baya dengan setelan hitam-putih berdiri membungkuk kaku. “Nona Saskia?” tanyanya, suaranya datar seperti nada hujan yang jatuh di halaman marmer. “Ehm… iya.” Saskia berusaha menelan ludahnya, mengusap anak rambut yang menempel di pipi. “Silakan masuk. Tuan Keenan sudah menunggu di ruang keluarga,” kata perempuan itu, lalu berbalik tanpa menunggu Saskia melepas sepatu. Langkah pertama menjejak lantai dingin terasa seperti menginjak dasar penjara. Kilauan lampu kristal di langit-langit terasa menusuk mata. Entah kenapa, Saskia merasa setiap sudut ruangan ini memantulkan suara hatinya yang berdegup panik. Di ruang keluarga, Keenan duduk di sofa panjang, satu kaki disilangkan di atas lutut, satu tangan memegang segelas kopi hitam. Tatapannya lurus ke arah Saskia begitu gadis itu muncul di ambang pintu. “Datang juga kau,” gumamnya. Tak ada nada sambutan, tak ada senyum. Hanya dingin. Saskia menunduk. “Maaf saya terlambat. Saya sempat menunggu angkutan—” “Kau tak perlu menjelaskan,” potong Keenan. Ia mengisyaratkan Saskia duduk di sofa seberang. “Mulai hari ini kau tinggal di sini. Kamar sudah disiapkan di lantai atas.” Perempuan paruh baya yang tadi membukakan pintu kini berdiri di belakang Keenan. “Ini Bu Ratna. Dia kepala pengurus rumah ini. Kalau kau butuh apa pun, bilang padanya. Tapi jangan pikir kau punya hak istimewa.” Saskia mengangguk pelan. Matanya beralih ke Bu Ratna, yang menatapnya seolah menilai harga baju yang Saskia pakai. “Ya, Tuan,” sahut Bu Ratna sambil membungkuk. Ia menoleh sekilas pada Saskia, lalu pergi begitu saja. Hening mendadak merayap di antara mereka. Hanya detak jam di dinding yang terdengar, berdetak seirama dengan napas Saskia yang makin pendek. “Kenapa menatapku begitu?” tanya Keenan tiba-tiba. Suaranya datar, tapi matanya tajam menusuk. Saskia memalingkan wajah, jari-jarinya meremas ujung tas kain yang sudah usang. “Tidak, saya hanya… masih tidak percaya.” Keenan tertawa kecil, suara tawanya lebih terdengar sinis dibanding hangat. “Percayalah. Mulai detik ini kau adalah Nyonya Aryasatya—menantu kontrak, tentu saja. Kuharap kau mengingat batasanmu.” Saskia memberanikan diri mengangkat wajah. “Apa saya boleh menanyakan sesuatu?” “Tanyakan.” “Kenapa saya harus tinggal di sini? Bukankah kita hanya menikah di atas kertas? Saya bisa pulang ke rumah kontrakan saya, Tuan…” Keenan mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Saskia. Gadis itu bisa merasakan aroma kopi hitam yang menempel di napas pria itu. “Karena nenekku mencium bau busuk. Beliau akan datang besok. Beliau ingin melihat langsung istri cucunya. Kalau dia tahu ini hanya pura-pura, kau bisa membayangkan apa yang terjadi.” “Tapi saya—” “Dan satu lagi,” potong Keenan sambil berdiri, menatap Saskia dari atas. “Mulai sekarang kau tidur di kamarku. Kita harus meyakinkan semua orang bahwa kita pasangan suami istri sungguhan.” Darah Saskia terasa surut. Jantungnya membentur tulang rusuk begitu keras. “Tidur… sekamar?” Keenan menyeringai tipis. “Kau pikir aku gila memaksamu? Tenang, ranjangnya cukup besar. Asal kau tidak mendekatiku, aku tak akan mendekatimu. Tapi jangan pernah membuatku terlihat bodoh di depan keluargaku.” Saskia menunduk. Rasa malu, takut, dan getir bercampur jadi satu. Ia hanya bisa mengangguk pelan meski hatinya menjerit. “Baiklah.” Kamar di lantai atas lebih mirip kamar hotel bintang lima. Dindingnya berwarna krem hangat, tirai putih melambai tertiup angin dari balkon kecil. Di sudut ruangan, ada rak buku penuh novel asing yang tampak mahal. Ranjang di tengah ruangan begitu besar, dengan seprai putih rapi yang bahkan terlalu bersih untuk disentuh. Saskia berdiri di ambang pintu, memandangi ruangan itu seolah memandangi kurungan emas. Sementara itu, Keenan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi. “Kau mau mandi?” tanyanya tanpa menoleh. Saskia mengangguk. “Iya.” “Kamar mandi di dalam. Pakai saja handuk bersih di rak. Dan satu lagi…” Keenan berbalik, menatap Saskia yang masih terpaku. “…jangan pernah mengunci pintu.” Saskia hanya menatapnya. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata yang keluar. Ia berbalik, berjalan pelan ke kamar mandi. Saat pintu kayu itu menutup, Keenan menatap cermin di meja rias. Wajahnya sendiri menatap balik, dingin, nyaris tanpa perasaan. ‘Ini cuma dua tahun,’ batinnya. ‘Setelah itu, dia bebas. Aku bebas. Selesai.’ Tapi entah kenapa, di dasar hatinya ada satu rasa yang membuat dada sesak. Rasa yang tidak pernah diundang. Saskia berdiri di bawah pancuran air hangat. Tetesan air merembes dari ujung rambutnya, membasahi wajah pucatnya. Suara air bergema di ruangan marmer putih. Matanya menatap pantulan diri di cermin kabur oleh uap. Dirinya sendiri tampak asing. Seorang ‘nyonya besar’ tapi hanya menantu kontrak. Seorang ‘istri’ tapi hanya penukar hutang. Tangannya meraba jari manis kirinya, membayangkan cincin kawin yang akan melingkar esok saat pertemuan dengan nenek Keenan. Air mata turun bersamaan dengan air pancuran. Tak ada yang mendengar isak tertahan di balik pintu. Malam itu, Keenan sudah berbaring di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Saskia. Saskia hanya berdiri di ujung ranjang, menggigit bibirnya sendiri. Ia menatap sisi ranjang kosong di sebelah pria itu. “Tidur,” kata Keenan tanpa menoleh. “Aku tak akan gigit kau.” Saskia menarik napas pelan, lalu merangkak pelan di sisi luar kasur. Ia berbaring di pinggir, punggungnya nyaris menyentuh tepi ranjang. Jarak di antara mereka seperti jurang. Hening. Lampu kamar diredupkan. Di langit-langit, bayangan dua orang yang sama-sama terjebak kontrak terlihat seperti siluet pahit: pria yang membekukan hati sendiri, dan gadis yang menjual kebebasannya demi hutang keluarga. Di antara jarak yang membeku, hanya detak jantung yang membisikkan satu tanya: Seberapa lama mereka sanggup bertahan tanpa jatuh pada rasa yang tak pernah direncanakan?Ara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Malam telah lewat jauh, tetapi matanya belum bisa terpejam. Lampu tidur menyala temaram, melemparkan bayangan remang di dinding kamar yang terlalu luas, terlalu sunyi, dan kini terasa terlalu asing. Sejak perdebatan terakhir dengan Nathaniel, semuanya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Hati mereka sama-sama berdarah, tapi gengsi dan luka lama membuat keduanya enggan menyentuhnya. Padahal hanya dengan satu sentuhan, satu kejujuran, semuanya bisa mencair. Namun kenyataannya, mereka memilih diam. Lagi. Nathaniel belum juga pulang sejak sore tadi. Biasanya, meski mereka tak bicara banyak, Ara tahu dia akan kembali saat malam menjelang. Tapi kali ini, bahkan suara pintu depan pun tak terdengar. Hanya detak jam dinding yang terus berdetak pelan, seperti mengingatkan Ara bahwa waktu tak pernah berhenti meski perasaannya beku. Gadis itu menghela napas dalam. Jemarinya mengepal erat. Ia mencoba menepis segala prasangka—mung
Malam itu berlalu dalam keheningan yang tak biasa. Setelah Nathaniel membuka sebagian luka lamanya, tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan. Tapi justru dalam diam itulah, mereka merasa lebih terhubung. Tak perlu penjelasan panjang, hanya genggaman tangan yang bertahan hingga suara hujan mereda.Ara tidak tidur di kamar tamu malam itu. Tapi juga tidak masuk ke kamar utama. Ia duduk di sofa, berselimut tipis, matanya masih terbuka, memandangi langit-langit ruang tamu yang tenang. Entah sejak kapan, Nathaniel keluar dari kamarnya. Ia berdiri di ambang ruang tamu, memandangi Ara yang nyaris terlelap.“Kalau kamu kedinginan, kamarnya nggak dikunci,” ucap Nathaniel perlahan.Ara menoleh. Tidak ada senyum, tapi juga tidak ada kecanggungan. Ia hanya mengangguk kecil, lalu berdiri.Saat mereka berdua berada di kamar yang sama, ada jeda aneh yang menggantung. Bukan ketegangan, melainkan keakraban yang canggung. Seperti dua orang asing yang perlahan menging
Langit Jakarta mendung sore itu, seolah ikut menahan napas bersama hati Ara yang berkecamuk. Di balik kaca jendela apartemen mewah yang asing baginya, Ara menatap jalanan yang mulai padat. Setiap mobil melintas seperti potongan kenangan yang menghantam pikirannya tentang luka, tentang janji, dan tentang laki-laki yang kini menjadi suaminya.Nathaniel belum pulang. Dan entah kenapa, justru ketidakhadirannya membuat hati Ara terasa semakin berat. Diam-diam ia berharap laki-laki itu hadir, meski hanya untuk beradu argumen atau bertukar tatapan dingin seperti biasanya. Setidaknya itu membuktikan bahwa ia nyata, bahwa semua ini bukan sekadar mimpi aneh yang berkepanjangan.Suara ponselnya mengusik keheningan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.> “Kamu tahu nggak siapa dia sebenarnya? Nathaniel Arvid bukan laki-laki baik.”Ara menelan ludah, jari-jarinya gemetar. Ia mencoba membalas, tapi pesan itu langsung menghilang terhapus begitu s
Langkah-langkah kaki Ara menggema pelan di koridor rumah keluarga Arvid. Hatinya penuh sesak, tapi wajahnya tetap tenang. Ia seperti terbiasa hidup dalam kesunyian yang tak dimengerti siapa pun. Sejak malam itu malam saat Nathaniel tak pulang ia memutuskan berhenti berharap. Bukan karena ia berhenti mencintai, tapi karena ia lelah mencintai sendirian.Ara membuka pintu kamarnya dan menutupnya perlahan. Ia menoleh sejenak ke jendela, ke langit yang mendung tanpa hujan. Seperti hatinya yang penuh luka tapi tak bisa menangis.Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan masuk dari nenek Arvid.> "Besok, kamu ikut acara makan malam keluarga besar. Pakai gaun yang rapi. Jangan buat malu keluarga ini."Ara menghela napas. Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerimanya, tapi mereka juga tidak membiarkannya pergi. Ia seperti terjebak di antara dua dunia dunia yang tidak sepenuhnya menolaknya, tapi juga tidak pernah menyambutnya.Malam data
Hening menyergap seperti biasa. Hanya deru angin malam dan dengungan jarum jam di sudut ruang yang terdengar mengisi kekosongan. Ara duduk mematung di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian yang sama sejak sore. Gaun sederhana warna krem itu kini tampak kusut dan dingin di kulitnya. Tapi ia tak peduli.Pikirannya masih tertinggal di ruang kerja Nathaniel. Percakapan mereka terus mengulang dalam benaknya, seolah memutar pita kaset rusak yang tak kunjung berhenti.“Kalau kamu mencari cinta, jangan cari di sini.”Kalimat itu, dingin dan tajam, menusuk jauh ke dalam relung hati. Tapi entah mengapa, bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan. Ada semacam kegundahan... semacam kehilangan yang tak ia mengerti. Padahal, dari awal dia sudah tahu—pernikahan ini hanya kontrak. Tak lebih dari kesepakatan antara dua orang asing.Namun, kenapa ada bagian dari dirinya yang berharap lebih?Ketukan di pintu membuatnya tersentak.“Ara?” suara pelan da
Langit tampak mendung ketika Ara menatap kosong ke luar jendela. Hujan belum turun, tapi aroma tanah yang basah sudah lebih dulu menyentuh hidungnya—seolah memberi tanda bahwa badai akan segera datang. Baik di luar sana, maupun di dalam hatinya.Dia masih mengingat jelas kejadian semalam. Kalimat Nathaniel yang dingin, tatapan tajam yang seolah menusuk jantungnya, dan cara pria itu meninggalkannya begitu saja setelah percakapan singkat yang membuat dada Ara semakin sesak."Jangan ikut campur dalam hidupku."Kata-kata itu bergaung terus di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya... apakah ia memang sebegitu tidak pentingnya?Tapi di balik semua luka itu, ada satu yang lebih perih—perasaan yang tumbuh diam-diam di hatinya. Ia benci mengakuinya, namun ia mulai peduli. Pada pria itu. Pada luka di balik dinginnya. Dan ia takut... takut perasaannya akan menjadikannya lebih rapuh dari sebelumnya.Ara menarik napas panjang. Rumah ini terlalu besar u