Home / Romansa / Menantu Kontrak Sang Ceo / BAB - 2 Rumah bernama penjara

Share

BAB - 2 Rumah bernama penjara

Author: Revri
last update Huling Na-update: 2025-07-01 08:37:52

Saskia berdiri terpaku di depan pintu kayu besar yang menjulang di hadapannya. Hujan yang turun sejak pagi membuat ujung rok birunya basah kuyup. Tangannya gemetar saat bel rumah megah itu terbuka perlahan, memperlihatkan bagian dalam rumah keluarga Aryasatya yang lebih mirip istana dibanding rumah pada umumnya.

Di balik pintu, seorang perempuan paruh baya dengan setelan hitam-putih berdiri membungkuk kaku. “Nona Saskia?” tanyanya, suaranya datar seperti nada hujan yang jatuh di halaman marmer.

“Ehm… iya.” Saskia berusaha menelan ludahnya, mengusap anak rambut yang menempel di pipi.

“Silakan masuk. Tuan Keenan sudah menunggu di ruang keluarga,” kata perempuan itu, lalu berbalik tanpa menunggu Saskia melepas sepatu.

Langkah pertama menjejak lantai dingin terasa seperti menginjak dasar penjara. Kilauan lampu kristal di langit-langit terasa menusuk mata. Entah kenapa, Saskia merasa setiap sudut ruangan ini memantulkan suara hatinya yang berdegup panik.

Di ruang keluarga, Keenan duduk di sofa panjang, satu kaki disilangkan di atas lutut, satu tangan memegang segelas kopi hitam. Tatapannya lurus ke arah Saskia begitu gadis itu muncul di ambang pintu.

“Datang juga kau,” gumamnya. Tak ada nada sambutan, tak ada senyum. Hanya dingin.

Saskia menunduk. “Maaf saya terlambat. Saya sempat menunggu angkutan—”

“Kau tak perlu menjelaskan,” potong Keenan. Ia mengisyaratkan Saskia duduk di sofa seberang. “Mulai hari ini kau tinggal di sini. Kamar sudah disiapkan di lantai atas.”

Perempuan paruh baya yang tadi membukakan pintu kini berdiri di belakang Keenan.

“Ini Bu Ratna. Dia kepala pengurus rumah ini. Kalau kau butuh apa pun, bilang padanya. Tapi jangan pikir kau punya hak istimewa.”

Saskia mengangguk pelan. Matanya beralih ke Bu Ratna, yang menatapnya seolah menilai harga baju yang Saskia pakai.

“Ya, Tuan,” sahut Bu Ratna sambil membungkuk. Ia menoleh sekilas pada Saskia, lalu pergi begitu saja.

Hening mendadak merayap di antara mereka. Hanya detak jam di dinding yang terdengar, berdetak seirama dengan napas Saskia yang makin pendek.

“Kenapa menatapku begitu?” tanya Keenan tiba-tiba. Suaranya datar, tapi matanya tajam menusuk.

Saskia memalingkan wajah, jari-jarinya meremas ujung tas kain yang sudah usang.

“Tidak, saya hanya… masih tidak percaya.”

Keenan tertawa kecil, suara tawanya lebih terdengar sinis dibanding hangat.

“Percayalah. Mulai detik ini kau adalah Nyonya Aryasatya—menantu kontrak, tentu saja. Kuharap kau mengingat batasanmu.”

Saskia memberanikan diri mengangkat wajah. “Apa saya boleh menanyakan sesuatu?”

“Tanyakan.”

“Kenapa saya harus tinggal di sini? Bukankah kita hanya menikah di atas kertas? Saya bisa pulang ke rumah kontrakan saya, Tuan…”

Keenan mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Saskia. Gadis itu bisa merasakan aroma kopi hitam yang menempel di napas pria itu.

“Karena nenekku mencium bau busuk. Beliau akan datang besok. Beliau ingin melihat langsung istri cucunya. Kalau dia tahu ini hanya pura-pura, kau bisa membayangkan apa yang terjadi.”

“Tapi saya—”

“Dan satu lagi,” potong Keenan sambil berdiri, menatap Saskia dari atas. “Mulai sekarang kau tidur di kamarku. Kita harus meyakinkan semua orang bahwa kita pasangan suami istri sungguhan.”

Darah Saskia terasa surut. Jantungnya membentur tulang rusuk begitu keras. “Tidur… sekamar?”

Keenan menyeringai tipis. “Kau pikir aku gila memaksamu? Tenang, ranjangnya cukup besar. Asal kau tidak mendekatiku, aku tak akan mendekatimu. Tapi jangan pernah membuatku terlihat bodoh di depan keluargaku.”

Saskia menunduk. Rasa malu, takut, dan getir bercampur jadi satu. Ia hanya bisa mengangguk pelan meski hatinya menjerit.

“Baiklah.”

Kamar di lantai atas lebih mirip kamar hotel bintang lima. Dindingnya berwarna krem hangat, tirai putih melambai tertiup angin dari balkon kecil. Di sudut ruangan, ada rak buku penuh novel asing yang tampak mahal. Ranjang di tengah ruangan begitu besar, dengan seprai putih rapi yang bahkan terlalu bersih untuk disentuh.

Saskia berdiri di ambang pintu, memandangi ruangan itu seolah memandangi kurungan emas. Sementara itu, Keenan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi.

“Kau mau mandi?” tanyanya tanpa menoleh.

Saskia mengangguk. “Iya.”

“Kamar mandi di dalam. Pakai saja handuk bersih di rak. Dan satu lagi…” Keenan berbalik, menatap Saskia yang masih terpaku. “…jangan pernah mengunci pintu.”

Saskia hanya menatapnya. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata yang keluar. Ia berbalik, berjalan pelan ke kamar mandi. Saat pintu kayu itu menutup, Keenan menatap cermin di meja rias. Wajahnya sendiri menatap balik, dingin, nyaris tanpa perasaan.

‘Ini cuma dua tahun,’ batinnya. ‘Setelah itu, dia bebas. Aku bebas. Selesai.’

Tapi entah kenapa, di dasar hatinya ada satu rasa yang membuat dada sesak. Rasa yang tidak pernah diundang.

Saskia berdiri di bawah pancuran air hangat. Tetesan air merembes dari ujung rambutnya, membasahi wajah pucatnya. Suara air bergema di ruangan marmer putih. Matanya menatap pantulan diri di cermin kabur oleh uap.

Dirinya sendiri tampak asing. Seorang ‘nyonya besar’ tapi hanya menantu kontrak. Seorang ‘istri’ tapi hanya penukar hutang.

Tangannya meraba jari manis kirinya, membayangkan cincin kawin yang akan melingkar esok saat pertemuan dengan nenek Keenan.

Air mata turun bersamaan dengan air pancuran. Tak ada yang mendengar isak tertahan di balik pintu.

Malam itu, Keenan sudah berbaring di sisi ranjang, punggungnya membelakangi Saskia. Saskia hanya berdiri di ujung ranjang, menggigit bibirnya sendiri. Ia menatap sisi ranjang kosong di sebelah pria itu.

“Tidur,” kata Keenan tanpa menoleh. “Aku tak akan gigit kau.”

Saskia menarik napas pelan, lalu merangkak pelan di sisi luar kasur. Ia berbaring di pinggir, punggungnya nyaris menyentuh tepi ranjang. Jarak di antara mereka seperti jurang.

Hening. Lampu kamar diredupkan. Di langit-langit, bayangan dua orang yang sama-sama terjebak kontrak terlihat seperti siluet pahit: pria yang membekukan hati sendiri, dan gadis yang menjual kebebasannya demi hutang keluarga.

Di antara jarak yang membeku, hanya detak jantung yang membisikkan satu tanya: Seberapa lama mereka sanggup bertahan tanpa jatuh pada rasa yang tak pernah direncanakan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 12 - Jalan Yang Terluka Diam Diam

    Alya menatap kosong ke arah jendela mobil, melihat bayangan pohon yang berkelebat seiring laju kendaraan. Udara malam yang menusuk masuk melalui celah kaca yang terbuka sedikit, membawa serta aroma hujan yang belum turun. Tangannya mengepal di atas rok, mencoba meredam gemetar yang tak juga mereda sejak percakapan panas dengan Ibu Dara tadi siang.Fitnah itu seperti duri yang ditanam perlahan di bawah kulitnya. Diam-diam menyakitkan, tak berdarah, tapi mencabik harga dirinya pelan-pelan.“Dia sedang menunggu di ujung jalan,” gumam sopir yang mengantar, suaranya datar tanpa intonasi.Alya menoleh. Lampu jalan meredup saat mobil melambat. Di seberang trotoar, berdiri seorang pria dengan kemeja putih kusut dan wajah yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Bayu.Senyum yang dulu menggetarkan dada Alya, kini hanya meninggalkan getir. Lelaki itu berdiri tegak, seperti seseorang yang tahu dirinya tak pantas tapi tetap berharap diberi tempat.

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 11 - Fitnah Yang Mengakar

    Pagi di rumah besar keluarga Aryasatya tampak seperti pagi yang biasa: sinar matahari menembus tirai tebal, aroma kopi mengepul dari dapur, dan suara langkah kaki para pelayan sibuk menyiapkan sarapan. Tapi bagi Saskia, pagi ini terasa asing.Semalam ia tertidur di pelukan Keenan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan bisa terjadi. Pria dingin itu menahan tangannya sepanjang malam, seolah takut Saskia akan lenyap begitu mata terpejam. Beberapa kali Keenan terbangun, memeriksa apakah gadis itu masih di sana.Sekarang, saat Saskia duduk di tepi ranjang sambil merapikan selimut, dadanya masih sesak. Ia memandangi Keenan yang tertidur di sisi lain ranjang. Rambutnya berantakan, napasnya teratur. Ada gurat lelah di wajah itu tapi entah kenapa, Saskia justru merasa damai.Ia teringat kata-kata Keenan di bawah hujan: “Aku buang kontrak itu. Aku hanya mau kau… apa adanya.”Tapi di sudut hatinya, keraguan kecil berbisik: Bisakah kau benar-benar memegang kata-kat

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 10 - Kata Yang Tak Pernah Terucap

    Hujan turun deras membasahi trotoar kecil di depan galeri lukisan. Lampu jalan berkedip lemah di antara kabut malam, sementara Saskia berdiri di pinggir jalan, tangan memeluk tubuhnya sendiri. Jaket tipis Anita yang dipinjamnya sama sekali tak menahan dingin yang merambat ke tulang.Setiap langkah menjauh dari galeri membuat hatinya terasa ditarik paksa. Ia ingin percaya Keenan akan menahannya, mengejarnya, atau setidaknya memanggil namanya sekali lagi. Tapi langkah kaki di belakang tetap sunyi.Saskia menoleh sekilas. Di balik kaca galeri yang buram oleh embun, siluet Keenan tampak berdiri kaku. Hanya menatap. Tidak bergerak. Tidak bicara.Tawa getir lolos dari bibir Saskia. Bahkan untuk sekadar menahan, kau tak mampu, Keenan.Hatinya seolah menjerit, memohon agar logikanya berhenti berharap. Tapi langkah kakinya tak mau diam di sana selamanya. Ia menunduk, membenahi tali tas kecil di pundaknya, lalu berjalan di bawah hujan.Setiap tetes air

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 9 - Batas Gengsi Yang Retak

    Langit malam di atas kota seolah penuh sorot lampu dan suara klakson bersahutan. Tapi di dalam mobil hitamnya, Keenan hanya mendengar deru napas sendiri. Tangannya meremas setir, matanya menatap lurus ke depan seolah di kepalanya hanya ada satu tujuan: menjemput Saskia.Beberapa jam lalu, ia melempar Renata keluar mobil. Keputusan paling cepat yang pernah ia buat, dan anehnya… Keenan merasa sedikit lega. Tapi rasa lega itu digantikan panik begitu ia kembali ke rumah, hanya untuk mendapati kamar kosong. Saskia pergi. Mbok Marni bilang, gadis itu butuh menenangkan diri — tapi bagi Keenan, itu berarti alarm bahaya.Jika Saskia pergi sekarang, akankah dia kembali?Ponselnya berdering di kursi penumpang. Reno menelepon, lagi. Tapi Keenan mengabaikannya. Ia menepikan mobil, membuka pesan lama di kontaknya: Saskia. Tangan Keenan bergetar di atas layar. Ingin mengetik, ‘Di mana kau?’ Tapi jemarinya hanya terpaku. Sial. Kenapa kata sesederhana ini sulit keluar?

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 8 - Luka Yang Tak Mau Pergi

    Setelah hujan reda, Saskia masih terjaga di kamar. Baju tidurnya lembap, sisa hujan di taman tadi belum sepenuhnya kering. Di kursi samping ranjang, Keenan duduk diam hanya menatap Saskia yang membelakangi dia di bawah selimut. Mereka seperti dua orang asing yang dipaksa tidur di ranjang sama.Saskia memejamkan mata, tapi pikirannya justru makin gaduh. Pelukan Keenan tadi di taman, kehangatan dadanya semua terasa nyata, tapi juga semu. Kalau memang tak mau aku pergi, kenapa tak pernah bilang kau butuh aku?“Kalau dingin, kau bisa bilang. Aku akan nyalakan penghangat ruangan,” suara Keenan pelan, parau. Tapi Saskia hanya diam. Punggungnya tetap kaku. Beberapa menit kemudian, Keenan berdiri, menarik selimutnya pelan. Saskia menahan napas, berharap ia bicara sesuatu. Tapi Keenan hanya menatapnya sesaat — lalu berjalan pergi ke sofa panjang, membiarkan dirinya terbungkus rasa sepi yang semakin menyesakkan.Pagi datang, membawa denting g

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 7 - Retakan Di Antara Kebisuan

    Hujan semalam meninggalkan bau tanah basah yang samar menusuk hidung Saskia. Pagi ini, suasana rumah Aryasatya terasa lebih dingin dari biasaya, meskipun sinar matahari mencoba menembus tirai jendela yang setengah terbuka.Saskia masih duduk di pinggir ranjang, dengan mata bengkak bekas semalaman menahan tangis. Di sampingnya, ranjang Keenan kosong. Tidak ada jejak tubuh hangat di sana. Seperti biasa, Keenan pergi pagi-pagi sekali, tanpa sepatah kata pun. Dan Saskia terlalu lelah untuk bertanya ke mana. Ia menatap jemarinya yang saling menggenggam. Sampai kapan aku begini? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan bisa tumbuh begitu ruwet. Dulu ia pikir, ia hanya akan menunaikan kontrak, menutup hutang ayahnya, lalu pergi. Tapi setiap malam ia mendengar napas Keenan di sisinya, ia tahu… hatinya sudah tak bisa diajak kompromi. Saskia bangkit, merapikan bantal yang berantakan. Tatapan matanya jat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status