Pernikahan mereka hanya kontrak. Tapi siapa sangka di balik tanda tangan dingin, benih cinta perlahan tumbuh. Mampukah Saskia bertahan jadi menantu pura-pura sang CEO, atau justru hatinya yang hancur duluan?
View MoreSuara rintik hujan yang menetes di atap seng rumah kontrakan itu seperti merangkai irama pilu di dada Saskia. Di meja makan reyot yang sudah berwarna kusam, setumpuk amplop tagihan bertumpuk tak beraturan. Beberapa di antaranya sudah dibuka, sisanya masih tergeletak begitu saja, menunggu diurusi entah kapan.
Saskia memandangi satu surat paling tebal di antara semuanya: peringatan dari bank. Rumah ini akan disita. Semua barang berharga sudah lama dijual. Warung kecil peninggalan almarhum ibunya pun sudah tutup sejak ayahnya kabur entah ke mana. Sejak seminggu lalu, Saskia nyaris tidak tidur memikirkan bagaimana cara membayar utang itu. Hening. Hanya deru napasnya sendiri yang terdengar. Tangannya bergetar meremas ujung surat sambil menatap foto ibunya yang tergantung di dinding. “Bu, kenapa Bapak tega?” bisiknya parau. Tidak ada jawaban, hanya angin dingin yang menelusup ke sela-sela jendela kayu yang sudah rapuh. Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Awalnya dia ragu mengangkatnya, tapi rasa penasaran memaksa. “Halo?” “Ini dengan Saskia Sasmita?” suara di seberang terdengar formal. “Iya, saya sendiri.” “Mohon maaf mengganggu. Kami dari Aryasatya Group. Kami ingin mengundang Anda datang ke kantor pusat kami besok pukul sepuluh pagi. Ada hal penting yang harus dibicarakan.” Saskia mengernyit. “Maaf, saya tidak paham. Kenapa saya?” “Mohon datang saja, Nona Saskia. Detailnya akan kami jelaskan langsung. Ini berkaitan dengan hutang almarhum Bapak Anda.” Deg. Jantung Saskia seolah berhenti berdetak. Telepon terputus begitu saja, menyisakan gema kata ‘hutang’ di kepalanya. Ia mendongak menatap langit-langit yang basah, seolah mencari cara menelan semua kecemasan. Besok. Apa lagi yang harus ia hadapi? Keesokan paginya, Saskia berdiri kaku di depan gedung menjulang tinggi dengan papan nama besar: Aryasatya Group. Tangannya mencengkram gagang tas lusuhnya erat-erat, seolah di dalam tas itu ada nyawanya sendiri. Hujan semalam membuat ujung sepatunya masih basah, dingin merembes sampai ke telapak kaki. Resepsionis menyambutnya sopan, lalu mengantarnya ke lantai paling atas. Ruangan itu sunyi, hanya ada aroma kopi hangat dan kilap perabot mahal. Seorang pria berjas abu-abu berdiri di depan jendela lebar, membelakangi Saskia. Bahunya bidang, postur tubuhnya tegap. Begitu dia berbalik, pandangan mereka bertemu. Mata pria itu tajam, rahangnya tegas, ada aura dingin yang membuat Saskia terpaksa menunduk. Ini pasti Keenan Aryasatya—direktur muda pewaris tunggal perusahaan yang namanya sering muncul di berita bisnis. “Silakan duduk.” Suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Saskia menarik kursi di depannya pelan, takut-takut. Ia meremas ujung roknya di atas paha. “Aku tidak suka basa-basi.” Keenan menatapnya, mencondongkan badan ke depan. “Ayahmu punya hutang seratus lima puluh juta rupiah pada perusahaan kami. Sekarang, beliau menghilang, meninggalkan nama dan tanda tanganmu sebagai penjamin.” Saskia memucat. “Tapi... saya tidak pernah menandatangani apa pun.” Keenan mendecak pelan. “Itu urusanmu dengan ayahmu. Yang jelas, hutang itu jatuh padamu. Jika tidak bisa membayar dalam waktu dekat, rumahmu akan disita.” Lantai seolah runtuh di bawah kakinya. “Saya... saya tidak punya uang sebanyak itu, Tuan.” Untuk pertama kalinya, sudut bibir Keenan terangkat samar—bukan senyum hangat, tapi senyum yang lebih mirip jebakan. Ia membuka map cokelat, menarik selembar dokumen. “Ada satu cara.” Ia meletakkan berkas di hadapan Saskia. Di bagian atas tertera judul: Perjanjian Pernikahan Kontrak. Saskia menatap lembaran itu dengan mata melebar. “Apa maksud Anda?” “Kamu akan menikah denganku. Pernikahan ini hanya di atas kertas. Dua tahun. Setelah itu, kita cerai. Sebagai gantinya, hutang ayahmu lunas, rumahmu aman.” Tubuh Saskia gemetar. “Kenapa saya? Anda bisa memilih wanita mana pun. Kenapa harus saya?” Keenan menatapnya dingin. “Karena aku butuh istri secepatnya. Nenekku menuntutku menikah agar warisan perusahaan tetap padaku. Aku tidak butuh istri sungguhan, hanya orang yang mau pura-pura. Dan kamu, Saskia, kamu orang yang tepat—karena kamu tidak akan pernah berani menuntut lebih.” Saskia tertawa hambar, menatap jari-jarinya yang mulai membiru. Rasanya seperti sedang dipaksa menukar kebebasan dengan kertas. Tapi, jika tidak? Ia bisa kehilangan rumah. Ia dan adiknya akan tidur di jalan. “Aku beri waktu lima menit. Kalau menolak, akan kupastikan bank datang menyegel rumahmu besok pagi.” Waktu berjalan lambat. Telinganya berdengung. Wajah ibu dan adiknya menari di benaknya, berbaur dengan suara hujan semalam. Dalam hati, ia tahu ia kalah sebelum bertarung. Dengan tangan gemetar, Saskia meraih pulpen di atas meja. Ujung penanya menari di atas kertas, menorehkan tanda tangan yang merenggut kebebasannya. Keenan berdiri, meraih map itu kembali, menutupnya rapi. “Bagus. Mulai hari ini, kamu adalah istriku.” Hatinya terasa beku. Saskia bangkit berdiri, berusaha menjaga napasnya tetap teratur. Di antara gemuruh hatinya, sebuah suara kecil berbisik: Kamu baru saja menjual hidupmu pada iblis. Beberapa jam kemudian, Saskia berdiri di lobi gedung megah itu, memandangi jari manisnya. Cincin pernikahan akan segera melingkar di sana, bukan karena cinta, tapi demi hutang ayah yang tak bertanggung jawab. Langkahnya terasa berat saat keluar dari pintu kaca. Angin sore menampar pipinya. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan di balik jendela lantai atas, Keenan Aryasatya menatap punggungnya, seolah mengukur seberapa lama ‘istri kontraknya’ akan bertahan di neraka yang bernama pernikahan pura-pura.Ara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Malam telah lewat jauh, tetapi matanya belum bisa terpejam. Lampu tidur menyala temaram, melemparkan bayangan remang di dinding kamar yang terlalu luas, terlalu sunyi, dan kini terasa terlalu asing. Sejak perdebatan terakhir dengan Nathaniel, semuanya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Hati mereka sama-sama berdarah, tapi gengsi dan luka lama membuat keduanya enggan menyentuhnya. Padahal hanya dengan satu sentuhan, satu kejujuran, semuanya bisa mencair. Namun kenyataannya, mereka memilih diam. Lagi. Nathaniel belum juga pulang sejak sore tadi. Biasanya, meski mereka tak bicara banyak, Ara tahu dia akan kembali saat malam menjelang. Tapi kali ini, bahkan suara pintu depan pun tak terdengar. Hanya detak jam dinding yang terus berdetak pelan, seperti mengingatkan Ara bahwa waktu tak pernah berhenti meski perasaannya beku. Gadis itu menghela napas dalam. Jemarinya mengepal erat. Ia mencoba menepis segala prasangka—mung
Malam itu berlalu dalam keheningan yang tak biasa. Setelah Nathaniel membuka sebagian luka lamanya, tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan. Tapi justru dalam diam itulah, mereka merasa lebih terhubung. Tak perlu penjelasan panjang, hanya genggaman tangan yang bertahan hingga suara hujan mereda.Ara tidak tidur di kamar tamu malam itu. Tapi juga tidak masuk ke kamar utama. Ia duduk di sofa, berselimut tipis, matanya masih terbuka, memandangi langit-langit ruang tamu yang tenang. Entah sejak kapan, Nathaniel keluar dari kamarnya. Ia berdiri di ambang ruang tamu, memandangi Ara yang nyaris terlelap.“Kalau kamu kedinginan, kamarnya nggak dikunci,” ucap Nathaniel perlahan.Ara menoleh. Tidak ada senyum, tapi juga tidak ada kecanggungan. Ia hanya mengangguk kecil, lalu berdiri.Saat mereka berdua berada di kamar yang sama, ada jeda aneh yang menggantung. Bukan ketegangan, melainkan keakraban yang canggung. Seperti dua orang asing yang perlahan menging
Langit Jakarta mendung sore itu, seolah ikut menahan napas bersama hati Ara yang berkecamuk. Di balik kaca jendela apartemen mewah yang asing baginya, Ara menatap jalanan yang mulai padat. Setiap mobil melintas seperti potongan kenangan yang menghantam pikirannya tentang luka, tentang janji, dan tentang laki-laki yang kini menjadi suaminya.Nathaniel belum pulang. Dan entah kenapa, justru ketidakhadirannya membuat hati Ara terasa semakin berat. Diam-diam ia berharap laki-laki itu hadir, meski hanya untuk beradu argumen atau bertukar tatapan dingin seperti biasanya. Setidaknya itu membuktikan bahwa ia nyata, bahwa semua ini bukan sekadar mimpi aneh yang berkepanjangan.Suara ponselnya mengusik keheningan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.> “Kamu tahu nggak siapa dia sebenarnya? Nathaniel Arvid bukan laki-laki baik.”Ara menelan ludah, jari-jarinya gemetar. Ia mencoba membalas, tapi pesan itu langsung menghilang terhapus begitu s
Langkah-langkah kaki Ara menggema pelan di koridor rumah keluarga Arvid. Hatinya penuh sesak, tapi wajahnya tetap tenang. Ia seperti terbiasa hidup dalam kesunyian yang tak dimengerti siapa pun. Sejak malam itu malam saat Nathaniel tak pulang ia memutuskan berhenti berharap. Bukan karena ia berhenti mencintai, tapi karena ia lelah mencintai sendirian.Ara membuka pintu kamarnya dan menutupnya perlahan. Ia menoleh sejenak ke jendela, ke langit yang mendung tanpa hujan. Seperti hatinya yang penuh luka tapi tak bisa menangis.Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan masuk dari nenek Arvid.> "Besok, kamu ikut acara makan malam keluarga besar. Pakai gaun yang rapi. Jangan buat malu keluarga ini."Ara menghela napas. Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerimanya, tapi mereka juga tidak membiarkannya pergi. Ia seperti terjebak di antara dua dunia dunia yang tidak sepenuhnya menolaknya, tapi juga tidak pernah menyambutnya.Malam data
Hening menyergap seperti biasa. Hanya deru angin malam dan dengungan jarum jam di sudut ruang yang terdengar mengisi kekosongan. Ara duduk mematung di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian yang sama sejak sore. Gaun sederhana warna krem itu kini tampak kusut dan dingin di kulitnya. Tapi ia tak peduli.Pikirannya masih tertinggal di ruang kerja Nathaniel. Percakapan mereka terus mengulang dalam benaknya, seolah memutar pita kaset rusak yang tak kunjung berhenti.“Kalau kamu mencari cinta, jangan cari di sini.”Kalimat itu, dingin dan tajam, menusuk jauh ke dalam relung hati. Tapi entah mengapa, bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan. Ada semacam kegundahan... semacam kehilangan yang tak ia mengerti. Padahal, dari awal dia sudah tahu—pernikahan ini hanya kontrak. Tak lebih dari kesepakatan antara dua orang asing.Namun, kenapa ada bagian dari dirinya yang berharap lebih?Ketukan di pintu membuatnya tersentak.“Ara?” suara pelan da
Langit tampak mendung ketika Ara menatap kosong ke luar jendela. Hujan belum turun, tapi aroma tanah yang basah sudah lebih dulu menyentuh hidungnya—seolah memberi tanda bahwa badai akan segera datang. Baik di luar sana, maupun di dalam hatinya.Dia masih mengingat jelas kejadian semalam. Kalimat Nathaniel yang dingin, tatapan tajam yang seolah menusuk jantungnya, dan cara pria itu meninggalkannya begitu saja setelah percakapan singkat yang membuat dada Ara semakin sesak."Jangan ikut campur dalam hidupku."Kata-kata itu bergaung terus di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya... apakah ia memang sebegitu tidak pentingnya?Tapi di balik semua luka itu, ada satu yang lebih perih—perasaan yang tumbuh diam-diam di hatinya. Ia benci mengakuinya, namun ia mulai peduli. Pada pria itu. Pada luka di balik dinginnya. Dan ia takut... takut perasaannya akan menjadikannya lebih rapuh dari sebelumnya.Ara menarik napas panjang. Rumah ini terlalu besar u
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments