Hujan deras turun lagi malam itu, mengetuk atap rumah besar keluarga Aryasatya seolah mengingatkan Saskia betapa kecil dirinya di antara dinding marmer dan lampu kristal yang tak pernah padam.
Sejak kepergian Nenek Aryasatya siang tadi, Saskia tak beranjak dari kamar. Ia hanya duduk di tepi ranjang, meremas selimut, membiarkan pikirannya berputar ke mana-mana. Setiap kata tajam Olivia dan pandangan menilai sang nenek seolah terukir di kepalanya. Pikirannya kembali ke rumah kontrakan lamanya—ke dapur sempit beraroma tempe goreng hangus, ke suara langkah ibunya di tengah malam. Seandainya ayahnya tidak kabur membawa utang berjuta-juta itu… seandainya hidupnya tak harus menukar kebebasan dengan selembar surat nikah palsu… Saskia mengusap pipi. Basah. Ia bahkan tak sadar kapan air mata itu jatuh. Keesokan harinya, Saskia bangun dengan kepala berdenyut hebat. Tubuhnya terasa ringan, tapi matanya buram. Saat ia coba berdiri, pandangannya berputar. Tangannya refleks meraih meja rias, tapi gagal. Tubuhnya jatuh terduduk di lantai, napasnya memburu. “Ah…” bibirnya hanya mampu merintih pelan. Hujan belum berhenti sejak subuh. Suara rintiknya terdengar serempak dengan detak jantung Saskia yang semakin kacau. Tak lama, suara pintu diketuk pelan. Bu Ratna muncul, seperti biasa dengan tatapan menilai. “Nona Saskia, sarapan sudah—” Kalimatnya terpotong saat melihat gadis itu terduduk lemas di lantai, wajahnya pucat seperti kertas. Tanpa berkata apa-apa, Bu Ratna mendekat, menyentuh dahi Saskia dengan punggung tangan. “Demam tinggi…” gumamnya. Saskia berusaha tersenyum, meski bibirnya gemetar. “Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa turun nanti.” Bu Ratna menggeleng, lalu berbalik cepat ke arah koridor. “Tuan Keenan! Tuan Keenan!” Langkah kaki tergesa terdengar di lorong kayu. Keenan muncul di ambang pintu, dasi hitamnya belum terikat sempurna. Matanya menajam saat melihat Saskia terkulai di lantai. “Apa yang terjadi?” tanyanya tajam. Bu Ratna menunduk. “Nyonya demam tinggi. Mungkin karena kelelahan.” Saskia ingin protes. Ia ingin bilang dia baik-baik saja. Tapi suaranya tak keluar. Yang ada hanya batuk kecil yang membuat tubuhnya bergetar. Keenan mendekat, berlutut di depannya. Untuk pertama kalinya, tatapan dingin di mata pria itu luruh sedikit. Tangannya meraba dahi Saskia. Hangat—hangat yang salah. “Kau kenapa tidak bilang kau sakit?” tanyanya pelan. Suaranya tak setajam biasanya, lebih terdengar seperti… khawatir? Saskia menunduk, menahan pandangan yang kabur. “Maaf… saya tak mau merepotkan…” “Huh. Keras kepala.” Keenan menoleh pada Bu Ratna. “Panggilkan dokter. Sekarang.” “Baik, Tuan.” Setelah Bu Ratna pergi, hanya keheningan yang tersisa. Keenan membantu Saskia naik ke atas ranjang, membenahi bantal di punggungnya. Jemarinya terasa dingin di kulit Saskia yang panas. Saskia menatap wajah pria itu. Ada gurat lelah di sana. Garis rahang Keenan tampak lebih tegas ketika dia serius. Entah kenapa, justru hal remeh itu menenangkan Saskia. Ia hampir tertidur kalau saja Keenan tidak membuka suara. “Kau tidak perlu paksakan diri menghadapi mereka sendirian, tahu?” Saskia tersenyum tipis. “Bukankah saya hanya menantu kontrak, Tuan? Saya harus melakukannya. Ini bagian dari perjanjian.” Mata Keenan menatapnya tajam, seolah ada sesuatu yang ingin ia bantah, tapi ia hanya menarik napas, lalu berdiri. “Beristirahatlah. Jangan banyak bicara.” Beberapa menit kemudian, dokter keluarga datang memeriksa Saskia. Jarum infus dipasang di punggung tangannya, membuat Saskia merasa seperti pasien rumah sakit meski berbaring di ranjang raksasa milik CEO. Keenan berdiri di samping, tangan disilangkan di dada. Ekspresinya kembali dingin di hadapan orang lain. “Pastikan dia makan bubur hangat,” kata dokter pada Bu Ratna. “Kalau demamnya tidak turun malam ini, saya sarankan rawat inap.” Saskia menggeleng pelan. “Tidak… saya mau di sini saja.” Keenan menoleh, menatap Saskia sebentar. Kali ini tidak ada kata membantah. Hanya anggukan pelan. Menjelang sore, Saskia terbangun dari tidur singkatnya. Tubuhnya masih lemas, tapi rasa hangat di dahinya membuatnya terkejut. Ia membuka mata—Keenan sedang duduk di tepi ranjang, menempelkan handuk basah ke dahinya. “Tuan… Anda…” Saskia berusaha bangkit, tapi Keenan menekannya pelan. “Jangan bergerak.” “Tuan tidak perlu melakukan ini…” Keenan mendecak, menatap Saskia seolah gadis itu makhluk aneh. Kau pikir aku tega membiarkan istri kontrakku mati kedinginan? Kalau kau sakit parah, Nenek akan mencium kebohongan kita. Dan aku tak mau masalah.” Saskia menahan senyum getir. Di satu sisi, hatinya panas mendengar nada dingin itu. Di sisi lain, sentuhan tangan Keenan pada dahinya terasa begitu… manusiawi. Hening. Keenan mengganti handuk, memerasnya di baskom kecil di samping ranjang. Ujung kemejanya sedikit basah, tapi pria itu tak peduli. Saskia memerhatikan bahunya, garis rahangnya yang kokoh, alisnya yang berkerut kecil. Pria ini sama sekali tidak terlihat lembut—tapi di momen kecil seperti ini, ada sesuatu yang Saskia benci akui: ia tak sepenuhnya membeku. “Tuan…” “Apa?” “Terima kasih…” Keenan hanya mendengus pelan. Tapi jemarinya tetap menempelkan handuk baru ke dahinya, hati-hati, seolah takut melukai. Malam turun bersama sisa hujan yang menitik pelan di jendela. Lampu kamar diredupkan. Saskia tertidur dengan napas lebih tenang. Di kursi di sudut ruangan, Keenan duduk menatapnya. Ponselnya berdering sekali—Olivia. Ia hanya menatap layar sebentar, lalu mematikan panggilan. Keenan bersandar di sandaran kursi, menatap bayangan Saskia yang terpantul di cermin lemari. Perlahan, pikirannya menari pada kalimat yang ia benci akui: Kenapa aku peduli? Bukankah ini hanya kontrak? Ia memejamkan mata. Di luar, petir kecil membelah langit—menyisakan suara hujan yang semakin mereda. Dan di dalam kamar, dua hati yang berbeda status terjebak di bawah satu atap. Kontrak di atas kertas yang semula dingin, perlahan retak—membuka celah bagi rasa yang tak mereka rencanakan.Ara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Malam telah lewat jauh, tetapi matanya belum bisa terpejam. Lampu tidur menyala temaram, melemparkan bayangan remang di dinding kamar yang terlalu luas, terlalu sunyi, dan kini terasa terlalu asing. Sejak perdebatan terakhir dengan Nathaniel, semuanya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Hati mereka sama-sama berdarah, tapi gengsi dan luka lama membuat keduanya enggan menyentuhnya. Padahal hanya dengan satu sentuhan, satu kejujuran, semuanya bisa mencair. Namun kenyataannya, mereka memilih diam. Lagi. Nathaniel belum juga pulang sejak sore tadi. Biasanya, meski mereka tak bicara banyak, Ara tahu dia akan kembali saat malam menjelang. Tapi kali ini, bahkan suara pintu depan pun tak terdengar. Hanya detak jam dinding yang terus berdetak pelan, seperti mengingatkan Ara bahwa waktu tak pernah berhenti meski perasaannya beku. Gadis itu menghela napas dalam. Jemarinya mengepal erat. Ia mencoba menepis segala prasangka—mung
Malam itu berlalu dalam keheningan yang tak biasa. Setelah Nathaniel membuka sebagian luka lamanya, tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan. Tapi justru dalam diam itulah, mereka merasa lebih terhubung. Tak perlu penjelasan panjang, hanya genggaman tangan yang bertahan hingga suara hujan mereda.Ara tidak tidur di kamar tamu malam itu. Tapi juga tidak masuk ke kamar utama. Ia duduk di sofa, berselimut tipis, matanya masih terbuka, memandangi langit-langit ruang tamu yang tenang. Entah sejak kapan, Nathaniel keluar dari kamarnya. Ia berdiri di ambang ruang tamu, memandangi Ara yang nyaris terlelap.“Kalau kamu kedinginan, kamarnya nggak dikunci,” ucap Nathaniel perlahan.Ara menoleh. Tidak ada senyum, tapi juga tidak ada kecanggungan. Ia hanya mengangguk kecil, lalu berdiri.Saat mereka berdua berada di kamar yang sama, ada jeda aneh yang menggantung. Bukan ketegangan, melainkan keakraban yang canggung. Seperti dua orang asing yang perlahan menging
Langit Jakarta mendung sore itu, seolah ikut menahan napas bersama hati Ara yang berkecamuk. Di balik kaca jendela apartemen mewah yang asing baginya, Ara menatap jalanan yang mulai padat. Setiap mobil melintas seperti potongan kenangan yang menghantam pikirannya tentang luka, tentang janji, dan tentang laki-laki yang kini menjadi suaminya.Nathaniel belum pulang. Dan entah kenapa, justru ketidakhadirannya membuat hati Ara terasa semakin berat. Diam-diam ia berharap laki-laki itu hadir, meski hanya untuk beradu argumen atau bertukar tatapan dingin seperti biasanya. Setidaknya itu membuktikan bahwa ia nyata, bahwa semua ini bukan sekadar mimpi aneh yang berkepanjangan.Suara ponselnya mengusik keheningan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.> “Kamu tahu nggak siapa dia sebenarnya? Nathaniel Arvid bukan laki-laki baik.”Ara menelan ludah, jari-jarinya gemetar. Ia mencoba membalas, tapi pesan itu langsung menghilang terhapus begitu s
Langkah-langkah kaki Ara menggema pelan di koridor rumah keluarga Arvid. Hatinya penuh sesak, tapi wajahnya tetap tenang. Ia seperti terbiasa hidup dalam kesunyian yang tak dimengerti siapa pun. Sejak malam itu malam saat Nathaniel tak pulang ia memutuskan berhenti berharap. Bukan karena ia berhenti mencintai, tapi karena ia lelah mencintai sendirian.Ara membuka pintu kamarnya dan menutupnya perlahan. Ia menoleh sejenak ke jendela, ke langit yang mendung tanpa hujan. Seperti hatinya yang penuh luka tapi tak bisa menangis.Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan masuk dari nenek Arvid.> "Besok, kamu ikut acara makan malam keluarga besar. Pakai gaun yang rapi. Jangan buat malu keluarga ini."Ara menghela napas. Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerimanya, tapi mereka juga tidak membiarkannya pergi. Ia seperti terjebak di antara dua dunia dunia yang tidak sepenuhnya menolaknya, tapi juga tidak pernah menyambutnya.Malam data
Hening menyergap seperti biasa. Hanya deru angin malam dan dengungan jarum jam di sudut ruang yang terdengar mengisi kekosongan. Ara duduk mematung di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian yang sama sejak sore. Gaun sederhana warna krem itu kini tampak kusut dan dingin di kulitnya. Tapi ia tak peduli.Pikirannya masih tertinggal di ruang kerja Nathaniel. Percakapan mereka terus mengulang dalam benaknya, seolah memutar pita kaset rusak yang tak kunjung berhenti.“Kalau kamu mencari cinta, jangan cari di sini.”Kalimat itu, dingin dan tajam, menusuk jauh ke dalam relung hati. Tapi entah mengapa, bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan. Ada semacam kegundahan... semacam kehilangan yang tak ia mengerti. Padahal, dari awal dia sudah tahu—pernikahan ini hanya kontrak. Tak lebih dari kesepakatan antara dua orang asing.Namun, kenapa ada bagian dari dirinya yang berharap lebih?Ketukan di pintu membuatnya tersentak.“Ara?” suara pelan da
Langit tampak mendung ketika Ara menatap kosong ke luar jendela. Hujan belum turun, tapi aroma tanah yang basah sudah lebih dulu menyentuh hidungnya—seolah memberi tanda bahwa badai akan segera datang. Baik di luar sana, maupun di dalam hatinya.Dia masih mengingat jelas kejadian semalam. Kalimat Nathaniel yang dingin, tatapan tajam yang seolah menusuk jantungnya, dan cara pria itu meninggalkannya begitu saja setelah percakapan singkat yang membuat dada Ara semakin sesak."Jangan ikut campur dalam hidupku."Kata-kata itu bergaung terus di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya... apakah ia memang sebegitu tidak pentingnya?Tapi di balik semua luka itu, ada satu yang lebih perih—perasaan yang tumbuh diam-diam di hatinya. Ia benci mengakuinya, namun ia mulai peduli. Pada pria itu. Pada luka di balik dinginnya. Dan ia takut... takut perasaannya akan menjadikannya lebih rapuh dari sebelumnya.Ara menarik napas panjang. Rumah ini terlalu besar u