Beranda / Romansa / Menantu Kontrak Sang Ceo / BAB 4 - Retak Yang Tumbuh Diam Diam

Share

BAB 4 - Retak Yang Tumbuh Diam Diam

Penulis: Revri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-01 08:49:21

Hujan deras turun lagi malam itu, mengetuk atap rumah besar keluarga Aryasatya seolah mengingatkan Saskia betapa kecil dirinya di antara dinding marmer dan lampu kristal yang tak pernah padam.

Sejak kepergian Nenek Aryasatya siang tadi, Saskia tak beranjak dari kamar. Ia hanya duduk di tepi ranjang, meremas selimut, membiarkan pikirannya berputar ke mana-mana. Setiap kata tajam Olivia dan pandangan menilai sang nenek seolah terukir di kepalanya.

Pikirannya kembali ke rumah kontrakan lamanya—ke dapur sempit beraroma tempe goreng hangus, ke suara langkah ibunya di tengah malam. Seandainya ayahnya tidak kabur membawa utang berjuta-juta itu… seandainya hidupnya tak harus menukar kebebasan dengan selembar surat nikah palsu…

Saskia mengusap pipi. Basah. Ia bahkan tak sadar kapan air mata itu jatuh.

Keesokan harinya, Saskia bangun dengan kepala berdenyut hebat. Tubuhnya terasa ringan, tapi matanya buram. Saat ia coba berdiri, pandangannya berputar. Tangannya refleks meraih meja rias, tapi gagal. Tubuhnya jatuh terduduk di lantai, napasnya memburu.

“Ah…” bibirnya hanya mampu merintih pelan. Hujan belum berhenti sejak subuh. Suara rintiknya terdengar serempak dengan detak jantung Saskia yang semakin kacau.

Tak lama, suara pintu diketuk pelan. Bu Ratna muncul, seperti biasa dengan tatapan menilai.

“Nona Saskia, sarapan sudah—”

Kalimatnya terpotong saat melihat gadis itu terduduk lemas di lantai, wajahnya pucat seperti kertas. Tanpa berkata apa-apa, Bu Ratna mendekat, menyentuh dahi Saskia dengan punggung tangan.

“Demam tinggi…” gumamnya.

Saskia berusaha tersenyum, meski bibirnya gemetar. “Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa turun nanti.”

Bu Ratna menggeleng, lalu berbalik cepat ke arah koridor. “Tuan Keenan! Tuan Keenan!”

Langkah kaki tergesa terdengar di lorong kayu. Keenan muncul di ambang pintu, dasi hitamnya belum terikat sempurna. Matanya menajam saat melihat Saskia terkulai di lantai.

“Apa yang terjadi?” tanyanya tajam.

Bu Ratna menunduk. “Nyonya demam tinggi. Mungkin karena kelelahan.”

Saskia ingin protes. Ia ingin bilang dia baik-baik saja. Tapi suaranya tak keluar. Yang ada hanya batuk kecil yang membuat tubuhnya bergetar.

Keenan mendekat, berlutut di depannya. Untuk pertama kalinya, tatapan dingin di mata pria itu luruh sedikit. Tangannya meraba dahi Saskia. Hangat—hangat yang salah.

“Kau kenapa tidak bilang kau sakit?” tanyanya pelan. Suaranya tak setajam biasanya, lebih terdengar seperti… khawatir?

Saskia menunduk, menahan pandangan yang kabur. “Maaf… saya tak mau merepotkan…”

“Huh. Keras kepala.”

Keenan menoleh pada Bu Ratna. “Panggilkan dokter. Sekarang.”

“Baik, Tuan.”

Setelah Bu Ratna pergi, hanya keheningan yang tersisa. Keenan membantu Saskia naik ke atas ranjang, membenahi bantal di punggungnya. Jemarinya terasa dingin di kulit Saskia yang panas.

Saskia menatap wajah pria itu. Ada gurat lelah di sana. Garis rahang Keenan tampak lebih tegas ketika dia serius. Entah kenapa, justru hal remeh itu menenangkan Saskia. Ia hampir tertidur kalau saja Keenan tidak membuka suara.

“Kau tidak perlu paksakan diri menghadapi mereka sendirian, tahu?”

Saskia tersenyum tipis. “Bukankah saya hanya menantu kontrak, Tuan? Saya harus melakukannya. Ini bagian dari perjanjian.”

Mata Keenan menatapnya tajam, seolah ada sesuatu yang ingin ia bantah, tapi ia hanya menarik napas, lalu berdiri.

“Beristirahatlah. Jangan banyak bicara.”

Beberapa menit kemudian, dokter keluarga datang memeriksa Saskia. Jarum infus dipasang di punggung tangannya, membuat Saskia merasa seperti pasien rumah sakit meski berbaring di ranjang raksasa milik CEO. Keenan berdiri di samping, tangan disilangkan di dada. Ekspresinya kembali dingin di hadapan orang lain.

“Pastikan dia makan bubur hangat,” kata dokter pada Bu Ratna. “Kalau demamnya tidak turun malam ini, saya sarankan rawat inap.”

Saskia menggeleng pelan. “Tidak… saya mau di sini saja.”

Keenan menoleh, menatap Saskia sebentar. Kali ini tidak ada kata membantah. Hanya anggukan pelan.

Menjelang sore, Saskia terbangun dari tidur singkatnya. Tubuhnya masih lemas, tapi rasa hangat di dahinya membuatnya terkejut. Ia membuka mata—Keenan sedang duduk di tepi ranjang, menempelkan handuk basah ke dahinya.

“Tuan… Anda…” Saskia berusaha bangkit, tapi Keenan menekannya pelan.

“Jangan bergerak.”

“Tuan tidak perlu melakukan ini…”

Keenan mendecak, menatap Saskia seolah gadis itu makhluk aneh.

Kau pikir aku tega membiarkan istri kontrakku mati kedinginan? Kalau kau sakit parah, Nenek akan mencium kebohongan kita. Dan aku tak mau masalah.”

Saskia menahan senyum getir. Di satu sisi, hatinya panas mendengar nada dingin itu. Di sisi lain, sentuhan tangan Keenan pada dahinya terasa begitu… manusiawi.

Hening. Keenan mengganti handuk, memerasnya di baskom kecil di samping ranjang. Ujung kemejanya sedikit basah, tapi pria itu tak peduli.

Saskia memerhatikan bahunya, garis rahangnya yang kokoh, alisnya yang berkerut kecil. Pria ini sama sekali tidak terlihat lembut—tapi di momen kecil seperti ini, ada sesuatu yang Saskia benci akui: ia tak sepenuhnya membeku.

“Tuan…”

“Apa?”

“Terima kasih…”

Keenan hanya mendengus pelan. Tapi jemarinya tetap menempelkan handuk baru ke dahinya, hati-hati, seolah takut melukai.

Malam turun bersama sisa hujan yang menitik pelan di jendela. Lampu kamar diredupkan. Saskia tertidur dengan napas lebih tenang. Di kursi di sudut ruangan, Keenan duduk menatapnya. Ponselnya berdering sekali—Olivia. Ia hanya menatap layar sebentar, lalu mematikan panggilan.

Keenan bersandar di sandaran kursi, menatap bayangan Saskia yang terpantul di cermin lemari. Perlahan, pikirannya menari pada kalimat yang ia benci akui:

Kenapa aku peduli? Bukankah ini hanya kontrak?

Ia memejamkan mata. Di luar, petir kecil membelah langit—menyisakan suara hujan yang semakin mereda.

Dan di dalam kamar, dua hati yang berbeda status terjebak di bawah satu atap. Kontrak di atas kertas yang semula dingin, perlahan retak—membuka celah bagi rasa yang tak mereka rencanakan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 12 - Jalan Yang Terluka Diam Diam

    Alya menatap kosong ke arah jendela mobil, melihat bayangan pohon yang berkelebat seiring laju kendaraan. Udara malam yang menusuk masuk melalui celah kaca yang terbuka sedikit, membawa serta aroma hujan yang belum turun. Tangannya mengepal di atas rok, mencoba meredam gemetar yang tak juga mereda sejak percakapan panas dengan Ibu Dara tadi siang.Fitnah itu seperti duri yang ditanam perlahan di bawah kulitnya. Diam-diam menyakitkan, tak berdarah, tapi mencabik harga dirinya pelan-pelan.“Dia sedang menunggu di ujung jalan,” gumam sopir yang mengantar, suaranya datar tanpa intonasi.Alya menoleh. Lampu jalan meredup saat mobil melambat. Di seberang trotoar, berdiri seorang pria dengan kemeja putih kusut dan wajah yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Bayu.Senyum yang dulu menggetarkan dada Alya, kini hanya meninggalkan getir. Lelaki itu berdiri tegak, seperti seseorang yang tahu dirinya tak pantas tapi tetap berharap diberi tempat.

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 11 - Fitnah Yang Mengakar

    Pagi di rumah besar keluarga Aryasatya tampak seperti pagi yang biasa: sinar matahari menembus tirai tebal, aroma kopi mengepul dari dapur, dan suara langkah kaki para pelayan sibuk menyiapkan sarapan. Tapi bagi Saskia, pagi ini terasa asing.Semalam ia tertidur di pelukan Keenan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan bisa terjadi. Pria dingin itu menahan tangannya sepanjang malam, seolah takut Saskia akan lenyap begitu mata terpejam. Beberapa kali Keenan terbangun, memeriksa apakah gadis itu masih di sana.Sekarang, saat Saskia duduk di tepi ranjang sambil merapikan selimut, dadanya masih sesak. Ia memandangi Keenan yang tertidur di sisi lain ranjang. Rambutnya berantakan, napasnya teratur. Ada gurat lelah di wajah itu tapi entah kenapa, Saskia justru merasa damai.Ia teringat kata-kata Keenan di bawah hujan: “Aku buang kontrak itu. Aku hanya mau kau… apa adanya.”Tapi di sudut hatinya, keraguan kecil berbisik: Bisakah kau benar-benar memegang kata-kat

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 10 - Kata Yang Tak Pernah Terucap

    Hujan turun deras membasahi trotoar kecil di depan galeri lukisan. Lampu jalan berkedip lemah di antara kabut malam, sementara Saskia berdiri di pinggir jalan, tangan memeluk tubuhnya sendiri. Jaket tipis Anita yang dipinjamnya sama sekali tak menahan dingin yang merambat ke tulang.Setiap langkah menjauh dari galeri membuat hatinya terasa ditarik paksa. Ia ingin percaya Keenan akan menahannya, mengejarnya, atau setidaknya memanggil namanya sekali lagi. Tapi langkah kaki di belakang tetap sunyi.Saskia menoleh sekilas. Di balik kaca galeri yang buram oleh embun, siluet Keenan tampak berdiri kaku. Hanya menatap. Tidak bergerak. Tidak bicara.Tawa getir lolos dari bibir Saskia. Bahkan untuk sekadar menahan, kau tak mampu, Keenan.Hatinya seolah menjerit, memohon agar logikanya berhenti berharap. Tapi langkah kakinya tak mau diam di sana selamanya. Ia menunduk, membenahi tali tas kecil di pundaknya, lalu berjalan di bawah hujan.Setiap tetes air

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 9 - Batas Gengsi Yang Retak

    Langit malam di atas kota seolah penuh sorot lampu dan suara klakson bersahutan. Tapi di dalam mobil hitamnya, Keenan hanya mendengar deru napas sendiri. Tangannya meremas setir, matanya menatap lurus ke depan seolah di kepalanya hanya ada satu tujuan: menjemput Saskia.Beberapa jam lalu, ia melempar Renata keluar mobil. Keputusan paling cepat yang pernah ia buat, dan anehnya… Keenan merasa sedikit lega. Tapi rasa lega itu digantikan panik begitu ia kembali ke rumah, hanya untuk mendapati kamar kosong. Saskia pergi. Mbok Marni bilang, gadis itu butuh menenangkan diri — tapi bagi Keenan, itu berarti alarm bahaya.Jika Saskia pergi sekarang, akankah dia kembali?Ponselnya berdering di kursi penumpang. Reno menelepon, lagi. Tapi Keenan mengabaikannya. Ia menepikan mobil, membuka pesan lama di kontaknya: Saskia. Tangan Keenan bergetar di atas layar. Ingin mengetik, ‘Di mana kau?’ Tapi jemarinya hanya terpaku. Sial. Kenapa kata sesederhana ini sulit keluar?

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 8 - Luka Yang Tak Mau Pergi

    Setelah hujan reda, Saskia masih terjaga di kamar. Baju tidurnya lembap, sisa hujan di taman tadi belum sepenuhnya kering. Di kursi samping ranjang, Keenan duduk diam hanya menatap Saskia yang membelakangi dia di bawah selimut. Mereka seperti dua orang asing yang dipaksa tidur di ranjang sama.Saskia memejamkan mata, tapi pikirannya justru makin gaduh. Pelukan Keenan tadi di taman, kehangatan dadanya semua terasa nyata, tapi juga semu. Kalau memang tak mau aku pergi, kenapa tak pernah bilang kau butuh aku?“Kalau dingin, kau bisa bilang. Aku akan nyalakan penghangat ruangan,” suara Keenan pelan, parau. Tapi Saskia hanya diam. Punggungnya tetap kaku. Beberapa menit kemudian, Keenan berdiri, menarik selimutnya pelan. Saskia menahan napas, berharap ia bicara sesuatu. Tapi Keenan hanya menatapnya sesaat — lalu berjalan pergi ke sofa panjang, membiarkan dirinya terbungkus rasa sepi yang semakin menyesakkan.Pagi datang, membawa denting g

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 7 - Retakan Di Antara Kebisuan

    Hujan semalam meninggalkan bau tanah basah yang samar menusuk hidung Saskia. Pagi ini, suasana rumah Aryasatya terasa lebih dingin dari biasaya, meskipun sinar matahari mencoba menembus tirai jendela yang setengah terbuka.Saskia masih duduk di pinggir ranjang, dengan mata bengkak bekas semalaman menahan tangis. Di sampingnya, ranjang Keenan kosong. Tidak ada jejak tubuh hangat di sana. Seperti biasa, Keenan pergi pagi-pagi sekali, tanpa sepatah kata pun. Dan Saskia terlalu lelah untuk bertanya ke mana. Ia menatap jemarinya yang saling menggenggam. Sampai kapan aku begini? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan bisa tumbuh begitu ruwet. Dulu ia pikir, ia hanya akan menunaikan kontrak, menutup hutang ayahnya, lalu pergi. Tapi setiap malam ia mendengar napas Keenan di sisinya, ia tahu… hatinya sudah tak bisa diajak kompromi. Saskia bangkit, merapikan bantal yang berantakan. Tatapan matanya jat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status