Saskia baru saja selesai mandi ketika pintu kamar diketuk lembut.
Nona Saskia, Tuan Keenan memanggil," suara Bu Ratna terdengar dari luar, dingin seperti biasanya. Saskia merapikan rambutnya yang masih basah, menatap cermin di hadapannya. Wajahnya sudah jauh lebih segar setelah demamnya mereda. Namun, hati kecilnya masih terasa berat, seolah ada yang belum selesai. Ia mengenakan gaun tidur berwarna biru muda, cukup sederhana untuk sebuah pertemuan dengan suaminya—atau lebih tepatnya, dengan pria yang namanya tertulis dalam kontrak pernikahan. Meski perasaan cemas terus menggelayuti, Saskia berusaha mengatur napasnya sebelum membuka pintu. Di luar, Keenan berdiri menunggu. Pemandangan yang berbeda dari biasa. Biasanya, pria ini akan berada di belakang meja kerjanya atau dengan tumpukan berkas di tangannya. Tapi sekarang, ia berdiri tegap, wajahnya lebih serius dari biasanya. Wajahnya tampak lebih tirus, seperti ada yang mengganggu pikirannya. "Saskia, ikut aku," ucapnya tanpa basa-basi, menyuruhnya berjalan menuju ruang makan. Saskia menuruti, langkahnya ringan meski hatinya berdebar-debar. Mereka berjalan dalam keheningan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang saling bertautan, namun tetap terasa ada jarak yang tak terjangkau. Sesampainya di ruang makan, Keenan mengangkat satu telapak tangan, mengisyaratkan Saskia untuk duduk. Meja panjang berisi hidangan pagi yang terlihat mewah, namun tidak ada kehangatan dalam suasana itu. Keenan duduk berhadapan dengan Saskia, memulai percakapan tanpa senyuman sedikit pun. "Ada hal penting yang perlu kita bicarakan." Suaranya datar, tapi Saskia bisa menangkap ketegangan di balik nada tersebut. "Apa itu, Tuan?" tanya Saskia, mencoba menahan kegugupan yang mulai menjalari tubuhnya. Keenan menghela napas, mengerutkan dahi. "Ini tentang pertemuan yang akan datang. Hari Jumat nanti, ada tamu penting yang akan datang untuk melihat perkembangan perusahaan." Saskia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia bertanya-tanya apa kaitannya hal itu dengan dirinya. Keenan melanjutkan, seolah membaca kebingungannya. "Karena hubungan kita sudah masuk ke ranah publik, aku rasa perlu untuk memperlihatkan pada mereka bahwa pernikahan kita bukan hanya formalitas." Saskia menatapnya bingung. "Tapi, Tuan, saya hanya... seorang wanita biasa. Saya tak tahu bagaimana harus bertindak di depan orang-orang penting seperti itu." Keenan menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Saskia dengan tatapan tajam, seolah memeriksa ketulusan kata-katanya. "Tidak perlu khawatir, kau hanya perlu berperan sebagai istri yang baik. Jangan khawatirkan lainnya." Meskipun kata-kata Keenan terdengar lugas, ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat Saskia merasa cemas. Keenan—pria yang sudah lama ia kenal lewat cerita ayahnya—tiba-tiba menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah pernikahan kosong. “Bagaimana dengan nenek? Apa dia akan hadir?” tanya Saskia, mencoba mengalihkan perhatian dari kerisauan yang semakin mengganggu. Keenan mengangguk, namun tatapannya tak berubah. "Nenek tentu akan hadir. Dia ingin memastikan semuanya berjalan lancar." Saskia menelan ludah. Meskipun Keenan berusaha terdengar tenang, ada ketegangan di balik mata gelapnya. Keenan tidak pernah mengungkapkan apa yang ia rasa, apalagi tentang pernikahan ini. Mungkin bagi Keenan, semuanya hanya soal tugas dan tanggung jawab, namun bagi Saskia, ini lebih dari sekedar permainan bisnis. "Apakah kita akan bertemu banyak orang di sana?" tanya Saskia lagi, berusaha mencari kejelasan. "Ya. Ini pertemuan penting untuk keluargaku. Kami harus menunjukkan pada mereka bahwa aku sudah mengambil langkah yang tepat dalam hidup. Dan kamu..." Keenan berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih berat. "Kamu harus tampil sempurna. Kalau tidak, aku akan terlihat seperti orang yang salah dalam memilih." Saskia menatapnya, bibirnya terkatup rapat. Tersirat rasa sakit dalam kata-kata Keenan, meskipun ia tidak menunjukkannya. Keenan ingin menunjukkan pada semua orang bahwa pernikahannya ini bukanlah sebuah kesalahan, tetapi ia juga tak bisa menghindar dari kenyataan—pernikahan ini, pada akhirnya, hanyalah sekadar kewajiban. Hari Jumat tiba lebih cepat dari yang Saskia duga. Ia mengenakan gaun hitam elegan yang sudah dipilihkan Keenan sebelumnya, dan berjalan dengan hati berdebar menuju ruang tamu yang sudah dipenuhi tamu-tamu penting dari berbagai perusahaan besar. Pembicaraan mereka terdengar lebih serius dan tajam, seperti percakapan dunia bisnis yang tidak pernah ia pahami. Keenan tampak berdiri di tengah ruangan, berbicara dengan beberapa rekan bisnisnya. Ia memakai jas hitam yang sangat rapi, matanya tajam dan penuh wibawa. Semua orang di sekitarnya seperti terkesima oleh kehadirannya. Saskia berdiri di sampingnya, menatap sekeliling. Ia merasa kecil, seolah ia bukan bagian dari dunia ini. Namun, Keenan tetap menuntunnya dengan tangan di punggungnya, seolah menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari dunia yang lebih besar, bahkan jika hanya di atas kertas. Mereka berdiri di samping para tamu saat Keenan memperkenalkan Saskia. "Ini istriku, Saskia," katanya dengan nada yang agak datar. "Dia baru saja menyelesaikan persiapan di rumah." Saskia tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar. Namun, senyum itu terasa lebih seperti topeng, bukan ekspresi tulus. Namun, tak lama kemudian, seorang wanita muda dengan gaun merah mencuri perhatian Saskia. Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri ke arah Keenan, menyapanya dengan senyum yang sangat akrab. Saskia merasa jantungnya seperti terhenti. “Selamat malam, Keenan,” wanita itu berkata dengan suara lembut namun penuh percaya diri. “Sudah lama tidak bertemu. Kau terlihat sangat berbeda.” Keenan hanya tersenyum tipis, tanpa memberi jawaban lebih jauh. Namun, Saskia merasa ada sesuatu yang aneh. Wanita itu jelas tidak asing dengan Keenan, dan rasa cemburu mulai tumbuh di dalam dada Saskia. Wanita itu menoleh pada Saskia, tersenyum tipis, seolah mengenali kehadirannya. "Oh, apakah ini istrimu? Menarik sekali. Aku dengar banyak hal tentangmu." Saskia mencoba tersenyum, meskipun hatinya mulai teraduk oleh perasaan yang belum ia pahami. Wanita itu memberi isyarat pada Keenan untuk berbicara lebih jauh, seolah mereka memiliki sejarah yang tak bisa diungkapkan begitu saja. Saat Keenan berbalik untuk berbicara, Saskia memandang ke arah wanita itu, dengan hati yang semakin terjebak dalam bayangan yang menghantui.Ara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri. Malam telah lewat jauh, tetapi matanya belum bisa terpejam. Lampu tidur menyala temaram, melemparkan bayangan remang di dinding kamar yang terlalu luas, terlalu sunyi, dan kini terasa terlalu asing. Sejak perdebatan terakhir dengan Nathaniel, semuanya terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Hati mereka sama-sama berdarah, tapi gengsi dan luka lama membuat keduanya enggan menyentuhnya. Padahal hanya dengan satu sentuhan, satu kejujuran, semuanya bisa mencair. Namun kenyataannya, mereka memilih diam. Lagi. Nathaniel belum juga pulang sejak sore tadi. Biasanya, meski mereka tak bicara banyak, Ara tahu dia akan kembali saat malam menjelang. Tapi kali ini, bahkan suara pintu depan pun tak terdengar. Hanya detak jam dinding yang terus berdetak pelan, seperti mengingatkan Ara bahwa waktu tak pernah berhenti meski perasaannya beku. Gadis itu menghela napas dalam. Jemarinya mengepal erat. Ia mencoba menepis segala prasangka—mung
Malam itu berlalu dalam keheningan yang tak biasa. Setelah Nathaniel membuka sebagian luka lamanya, tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan. Tapi justru dalam diam itulah, mereka merasa lebih terhubung. Tak perlu penjelasan panjang, hanya genggaman tangan yang bertahan hingga suara hujan mereda.Ara tidak tidur di kamar tamu malam itu. Tapi juga tidak masuk ke kamar utama. Ia duduk di sofa, berselimut tipis, matanya masih terbuka, memandangi langit-langit ruang tamu yang tenang. Entah sejak kapan, Nathaniel keluar dari kamarnya. Ia berdiri di ambang ruang tamu, memandangi Ara yang nyaris terlelap.“Kalau kamu kedinginan, kamarnya nggak dikunci,” ucap Nathaniel perlahan.Ara menoleh. Tidak ada senyum, tapi juga tidak ada kecanggungan. Ia hanya mengangguk kecil, lalu berdiri.Saat mereka berdua berada di kamar yang sama, ada jeda aneh yang menggantung. Bukan ketegangan, melainkan keakraban yang canggung. Seperti dua orang asing yang perlahan menging
Langit Jakarta mendung sore itu, seolah ikut menahan napas bersama hati Ara yang berkecamuk. Di balik kaca jendela apartemen mewah yang asing baginya, Ara menatap jalanan yang mulai padat. Setiap mobil melintas seperti potongan kenangan yang menghantam pikirannya tentang luka, tentang janji, dan tentang laki-laki yang kini menjadi suaminya.Nathaniel belum pulang. Dan entah kenapa, justru ketidakhadirannya membuat hati Ara terasa semakin berat. Diam-diam ia berharap laki-laki itu hadir, meski hanya untuk beradu argumen atau bertukar tatapan dingin seperti biasanya. Setidaknya itu membuktikan bahwa ia nyata, bahwa semua ini bukan sekadar mimpi aneh yang berkepanjangan.Suara ponselnya mengusik keheningan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.> “Kamu tahu nggak siapa dia sebenarnya? Nathaniel Arvid bukan laki-laki baik.”Ara menelan ludah, jari-jarinya gemetar. Ia mencoba membalas, tapi pesan itu langsung menghilang terhapus begitu s
Langkah-langkah kaki Ara menggema pelan di koridor rumah keluarga Arvid. Hatinya penuh sesak, tapi wajahnya tetap tenang. Ia seperti terbiasa hidup dalam kesunyian yang tak dimengerti siapa pun. Sejak malam itu malam saat Nathaniel tak pulang ia memutuskan berhenti berharap. Bukan karena ia berhenti mencintai, tapi karena ia lelah mencintai sendirian.Ara membuka pintu kamarnya dan menutupnya perlahan. Ia menoleh sejenak ke jendela, ke langit yang mendung tanpa hujan. Seperti hatinya yang penuh luka tapi tak bisa menangis.Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan masuk dari nenek Arvid.> "Besok, kamu ikut acara makan malam keluarga besar. Pakai gaun yang rapi. Jangan buat malu keluarga ini."Ara menghela napas. Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerimanya, tapi mereka juga tidak membiarkannya pergi. Ia seperti terjebak di antara dua dunia dunia yang tidak sepenuhnya menolaknya, tapi juga tidak pernah menyambutnya.Malam data
Hening menyergap seperti biasa. Hanya deru angin malam dan dengungan jarum jam di sudut ruang yang terdengar mengisi kekosongan. Ara duduk mematung di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian yang sama sejak sore. Gaun sederhana warna krem itu kini tampak kusut dan dingin di kulitnya. Tapi ia tak peduli.Pikirannya masih tertinggal di ruang kerja Nathaniel. Percakapan mereka terus mengulang dalam benaknya, seolah memutar pita kaset rusak yang tak kunjung berhenti.“Kalau kamu mencari cinta, jangan cari di sini.”Kalimat itu, dingin dan tajam, menusuk jauh ke dalam relung hati. Tapi entah mengapa, bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan. Ada semacam kegundahan... semacam kehilangan yang tak ia mengerti. Padahal, dari awal dia sudah tahu—pernikahan ini hanya kontrak. Tak lebih dari kesepakatan antara dua orang asing.Namun, kenapa ada bagian dari dirinya yang berharap lebih?Ketukan di pintu membuatnya tersentak.“Ara?” suara pelan da
Langit tampak mendung ketika Ara menatap kosong ke luar jendela. Hujan belum turun, tapi aroma tanah yang basah sudah lebih dulu menyentuh hidungnya—seolah memberi tanda bahwa badai akan segera datang. Baik di luar sana, maupun di dalam hatinya.Dia masih mengingat jelas kejadian semalam. Kalimat Nathaniel yang dingin, tatapan tajam yang seolah menusuk jantungnya, dan cara pria itu meninggalkannya begitu saja setelah percakapan singkat yang membuat dada Ara semakin sesak."Jangan ikut campur dalam hidupku."Kata-kata itu bergaung terus di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya... apakah ia memang sebegitu tidak pentingnya?Tapi di balik semua luka itu, ada satu yang lebih perih—perasaan yang tumbuh diam-diam di hatinya. Ia benci mengakuinya, namun ia mulai peduli. Pada pria itu. Pada luka di balik dinginnya. Dan ia takut... takut perasaannya akan menjadikannya lebih rapuh dari sebelumnya.Ara menarik napas panjang. Rumah ini terlalu besar u