Beranda / Romansa / Menantu Kontrak Sang Ceo / BAB 5 - Bayangan Yang Menghantui

Share

BAB 5 - Bayangan Yang Menghantui

Penulis: Revri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-01 08:55:38

Saskia baru saja selesai mandi ketika pintu kamar diketuk lembut.

Nona Saskia, Tuan Keenan memanggil," suara Bu Ratna terdengar dari luar, dingin seperti biasanya. Saskia merapikan rambutnya yang masih basah, menatap cermin di hadapannya. Wajahnya sudah jauh lebih segar setelah demamnya mereda. Namun, hati kecilnya masih terasa berat, seolah ada yang belum selesai.

Ia mengenakan gaun tidur berwarna biru muda, cukup sederhana untuk sebuah pertemuan dengan suaminya—atau lebih tepatnya, dengan pria yang namanya tertulis dalam kontrak pernikahan. Meski perasaan cemas terus menggelayuti, Saskia berusaha mengatur napasnya sebelum membuka pintu.

Di luar, Keenan berdiri menunggu. Pemandangan yang berbeda dari biasa. Biasanya, pria ini akan berada di belakang meja kerjanya atau dengan tumpukan berkas di tangannya. Tapi sekarang, ia berdiri tegap, wajahnya lebih serius dari biasanya. Wajahnya tampak lebih tirus, seperti ada yang mengganggu pikirannya.

"Saskia, ikut aku," ucapnya tanpa basa-basi, menyuruhnya berjalan menuju ruang makan.

Saskia menuruti, langkahnya ringan meski hatinya berdebar-debar. Mereka berjalan dalam keheningan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang saling bertautan, namun tetap terasa ada jarak yang tak terjangkau.

Sesampainya di ruang makan, Keenan mengangkat satu telapak tangan, mengisyaratkan Saskia untuk duduk. Meja panjang berisi hidangan pagi yang terlihat mewah, namun tidak ada kehangatan dalam suasana itu. Keenan duduk berhadapan dengan Saskia, memulai percakapan tanpa senyuman sedikit pun.

"Ada hal penting yang perlu kita bicarakan." Suaranya datar, tapi Saskia bisa menangkap ketegangan di balik nada tersebut.

"Apa itu, Tuan?" tanya Saskia, mencoba menahan kegugupan yang mulai menjalari tubuhnya.

Keenan menghela napas, mengerutkan dahi. "Ini tentang pertemuan yang akan datang. Hari Jumat nanti, ada tamu penting yang akan datang untuk melihat perkembangan perusahaan."

Saskia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia bertanya-tanya apa kaitannya hal itu dengan dirinya. Keenan melanjutkan, seolah membaca kebingungannya.

"Karena hubungan kita sudah masuk ke ranah publik, aku rasa perlu untuk memperlihatkan pada mereka bahwa pernikahan kita bukan hanya formalitas."

Saskia menatapnya bingung. "Tapi, Tuan, saya hanya... seorang wanita biasa. Saya tak tahu bagaimana harus bertindak di depan orang-orang penting seperti itu."

Keenan menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Saskia dengan tatapan tajam, seolah memeriksa ketulusan kata-katanya. "Tidak perlu khawatir, kau hanya perlu berperan sebagai istri yang baik. Jangan khawatirkan lainnya."

Meskipun kata-kata Keenan terdengar lugas, ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat Saskia merasa cemas. Keenan—pria yang sudah lama ia kenal lewat cerita ayahnya—tiba-tiba menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah pernikahan kosong.

“Bagaimana dengan nenek? Apa dia akan hadir?” tanya Saskia, mencoba mengalihkan perhatian dari kerisauan yang semakin mengganggu.

Keenan mengangguk, namun tatapannya tak berubah. "Nenek tentu akan hadir. Dia ingin memastikan semuanya berjalan lancar."

Saskia menelan ludah. Meskipun Keenan berusaha terdengar tenang, ada ketegangan di balik mata gelapnya. Keenan tidak pernah mengungkapkan apa yang ia rasa, apalagi tentang pernikahan ini. Mungkin bagi Keenan, semuanya hanya soal tugas dan tanggung jawab, namun bagi Saskia, ini lebih dari sekedar permainan bisnis.

"Apakah kita akan bertemu banyak orang di sana?" tanya Saskia lagi, berusaha mencari kejelasan.

"Ya. Ini pertemuan penting untuk keluargaku. Kami harus menunjukkan pada mereka bahwa aku sudah mengambil langkah yang tepat dalam hidup. Dan kamu..." Keenan berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih berat. "Kamu harus tampil sempurna. Kalau tidak, aku akan terlihat seperti orang yang salah dalam memilih."

Saskia menatapnya, bibirnya terkatup rapat. Tersirat rasa sakit dalam kata-kata Keenan, meskipun ia tidak menunjukkannya. Keenan ingin menunjukkan pada semua orang bahwa pernikahannya ini bukanlah sebuah kesalahan, tetapi ia juga tak bisa menghindar dari kenyataan—pernikahan ini, pada akhirnya, hanyalah sekadar kewajiban.

Hari Jumat tiba lebih cepat dari yang Saskia duga. Ia mengenakan gaun hitam elegan yang sudah dipilihkan Keenan sebelumnya, dan berjalan dengan hati berdebar menuju ruang tamu yang sudah dipenuhi tamu-tamu penting dari berbagai perusahaan besar. Pembicaraan mereka terdengar lebih serius dan tajam, seperti percakapan dunia bisnis yang tidak pernah ia pahami.

Keenan tampak berdiri di tengah ruangan, berbicara dengan beberapa rekan bisnisnya. Ia memakai jas hitam yang sangat rapi, matanya tajam dan penuh wibawa. Semua orang di sekitarnya seperti terkesima oleh kehadirannya.

Saskia berdiri di sampingnya, menatap sekeliling. Ia merasa kecil, seolah ia bukan bagian dari dunia ini. Namun, Keenan tetap menuntunnya dengan tangan di punggungnya, seolah menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari dunia yang lebih besar, bahkan jika hanya di atas kertas.

Mereka berdiri di samping para tamu saat Keenan memperkenalkan Saskia. "Ini istriku, Saskia," katanya dengan nada yang agak datar. "Dia baru saja menyelesaikan persiapan di rumah."

Saskia tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar. Namun, senyum itu terasa lebih seperti topeng, bukan ekspresi tulus.

Namun, tak lama kemudian, seorang wanita muda dengan gaun merah mencuri perhatian Saskia. Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri ke arah Keenan, menyapanya dengan senyum yang sangat akrab. Saskia merasa jantungnya seperti terhenti.

“Selamat malam, Keenan,” wanita itu berkata dengan suara lembut namun penuh percaya diri. “Sudah lama tidak bertemu. Kau terlihat sangat berbeda.”

Keenan hanya tersenyum tipis, tanpa memberi jawaban lebih jauh. Namun, Saskia merasa ada sesuatu yang aneh. Wanita itu jelas tidak asing dengan Keenan, dan rasa cemburu mulai tumbuh di dalam dada Saskia.

Wanita itu menoleh pada Saskia, tersenyum tipis, seolah mengenali kehadirannya. "Oh, apakah ini istrimu? Menarik sekali. Aku dengar banyak hal tentangmu."

Saskia mencoba tersenyum, meskipun hatinya mulai teraduk oleh perasaan yang belum ia pahami.

Wanita itu memberi isyarat pada Keenan untuk berbicara lebih jauh, seolah mereka memiliki sejarah yang tak bisa diungkapkan begitu saja. Saat Keenan berbalik untuk berbicara, Saskia memandang ke arah wanita itu, dengan hati yang semakin terjebak dalam bayangan yang menghantui.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 12 - Jalan Yang Terluka Diam Diam

    Alya menatap kosong ke arah jendela mobil, melihat bayangan pohon yang berkelebat seiring laju kendaraan. Udara malam yang menusuk masuk melalui celah kaca yang terbuka sedikit, membawa serta aroma hujan yang belum turun. Tangannya mengepal di atas rok, mencoba meredam gemetar yang tak juga mereda sejak percakapan panas dengan Ibu Dara tadi siang.Fitnah itu seperti duri yang ditanam perlahan di bawah kulitnya. Diam-diam menyakitkan, tak berdarah, tapi mencabik harga dirinya pelan-pelan.“Dia sedang menunggu di ujung jalan,” gumam sopir yang mengantar, suaranya datar tanpa intonasi.Alya menoleh. Lampu jalan meredup saat mobil melambat. Di seberang trotoar, berdiri seorang pria dengan kemeja putih kusut dan wajah yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Bayu.Senyum yang dulu menggetarkan dada Alya, kini hanya meninggalkan getir. Lelaki itu berdiri tegak, seperti seseorang yang tahu dirinya tak pantas tapi tetap berharap diberi tempat.

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 11 - Fitnah Yang Mengakar

    Pagi di rumah besar keluarga Aryasatya tampak seperti pagi yang biasa: sinar matahari menembus tirai tebal, aroma kopi mengepul dari dapur, dan suara langkah kaki para pelayan sibuk menyiapkan sarapan. Tapi bagi Saskia, pagi ini terasa asing.Semalam ia tertidur di pelukan Keenan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan bisa terjadi. Pria dingin itu menahan tangannya sepanjang malam, seolah takut Saskia akan lenyap begitu mata terpejam. Beberapa kali Keenan terbangun, memeriksa apakah gadis itu masih di sana.Sekarang, saat Saskia duduk di tepi ranjang sambil merapikan selimut, dadanya masih sesak. Ia memandangi Keenan yang tertidur di sisi lain ranjang. Rambutnya berantakan, napasnya teratur. Ada gurat lelah di wajah itu tapi entah kenapa, Saskia justru merasa damai.Ia teringat kata-kata Keenan di bawah hujan: “Aku buang kontrak itu. Aku hanya mau kau… apa adanya.”Tapi di sudut hatinya, keraguan kecil berbisik: Bisakah kau benar-benar memegang kata-kat

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 10 - Kata Yang Tak Pernah Terucap

    Hujan turun deras membasahi trotoar kecil di depan galeri lukisan. Lampu jalan berkedip lemah di antara kabut malam, sementara Saskia berdiri di pinggir jalan, tangan memeluk tubuhnya sendiri. Jaket tipis Anita yang dipinjamnya sama sekali tak menahan dingin yang merambat ke tulang.Setiap langkah menjauh dari galeri membuat hatinya terasa ditarik paksa. Ia ingin percaya Keenan akan menahannya, mengejarnya, atau setidaknya memanggil namanya sekali lagi. Tapi langkah kaki di belakang tetap sunyi.Saskia menoleh sekilas. Di balik kaca galeri yang buram oleh embun, siluet Keenan tampak berdiri kaku. Hanya menatap. Tidak bergerak. Tidak bicara.Tawa getir lolos dari bibir Saskia. Bahkan untuk sekadar menahan, kau tak mampu, Keenan.Hatinya seolah menjerit, memohon agar logikanya berhenti berharap. Tapi langkah kakinya tak mau diam di sana selamanya. Ia menunduk, membenahi tali tas kecil di pundaknya, lalu berjalan di bawah hujan.Setiap tetes air

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 9 - Batas Gengsi Yang Retak

    Langit malam di atas kota seolah penuh sorot lampu dan suara klakson bersahutan. Tapi di dalam mobil hitamnya, Keenan hanya mendengar deru napas sendiri. Tangannya meremas setir, matanya menatap lurus ke depan seolah di kepalanya hanya ada satu tujuan: menjemput Saskia.Beberapa jam lalu, ia melempar Renata keluar mobil. Keputusan paling cepat yang pernah ia buat, dan anehnya… Keenan merasa sedikit lega. Tapi rasa lega itu digantikan panik begitu ia kembali ke rumah, hanya untuk mendapati kamar kosong. Saskia pergi. Mbok Marni bilang, gadis itu butuh menenangkan diri — tapi bagi Keenan, itu berarti alarm bahaya.Jika Saskia pergi sekarang, akankah dia kembali?Ponselnya berdering di kursi penumpang. Reno menelepon, lagi. Tapi Keenan mengabaikannya. Ia menepikan mobil, membuka pesan lama di kontaknya: Saskia. Tangan Keenan bergetar di atas layar. Ingin mengetik, ‘Di mana kau?’ Tapi jemarinya hanya terpaku. Sial. Kenapa kata sesederhana ini sulit keluar?

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 8 - Luka Yang Tak Mau Pergi

    Setelah hujan reda, Saskia masih terjaga di kamar. Baju tidurnya lembap, sisa hujan di taman tadi belum sepenuhnya kering. Di kursi samping ranjang, Keenan duduk diam hanya menatap Saskia yang membelakangi dia di bawah selimut. Mereka seperti dua orang asing yang dipaksa tidur di ranjang sama.Saskia memejamkan mata, tapi pikirannya justru makin gaduh. Pelukan Keenan tadi di taman, kehangatan dadanya semua terasa nyata, tapi juga semu. Kalau memang tak mau aku pergi, kenapa tak pernah bilang kau butuh aku?“Kalau dingin, kau bisa bilang. Aku akan nyalakan penghangat ruangan,” suara Keenan pelan, parau. Tapi Saskia hanya diam. Punggungnya tetap kaku. Beberapa menit kemudian, Keenan berdiri, menarik selimutnya pelan. Saskia menahan napas, berharap ia bicara sesuatu. Tapi Keenan hanya menatapnya sesaat — lalu berjalan pergi ke sofa panjang, membiarkan dirinya terbungkus rasa sepi yang semakin menyesakkan.Pagi datang, membawa denting g

  • Menantu Kontrak Sang Ceo    BAB 7 - Retakan Di Antara Kebisuan

    Hujan semalam meninggalkan bau tanah basah yang samar menusuk hidung Saskia. Pagi ini, suasana rumah Aryasatya terasa lebih dingin dari biasaya, meskipun sinar matahari mencoba menembus tirai jendela yang setengah terbuka.Saskia masih duduk di pinggir ranjang, dengan mata bengkak bekas semalaman menahan tangis. Di sampingnya, ranjang Keenan kosong. Tidak ada jejak tubuh hangat di sana. Seperti biasa, Keenan pergi pagi-pagi sekali, tanpa sepatah kata pun. Dan Saskia terlalu lelah untuk bertanya ke mana. Ia menatap jemarinya yang saling menggenggam. Sampai kapan aku begini? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan bisa tumbuh begitu ruwet. Dulu ia pikir, ia hanya akan menunaikan kontrak, menutup hutang ayahnya, lalu pergi. Tapi setiap malam ia mendengar napas Keenan di sisinya, ia tahu… hatinya sudah tak bisa diajak kompromi. Saskia bangkit, merapikan bantal yang berantakan. Tatapan matanya jat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status