Hujan semalam meninggalkan bau tanah basah yang samar menusuk hidung Saskia. Pagi ini, suasana rumah Aryasatya terasa lebih dingin dari biasaya, meskipun sinar matahari mencoba menembus tirai jendela yang setengah terbuka.
Saskia masih duduk di pinggir ranjang, dengan mata bengkak bekas semalaman menahan tangis. Di sampingnya, ranjang Keenan kosong. Tidak ada jejak tubuh hangat di sana. Seperti biasa, Keenan pergi pagi-pagi sekali, tanpa sepatah kata pun. Dan Saskia terlalu lelah untuk bertanya ke mana. Ia menatap jemarinya yang saling menggenggam. Sampai kapan aku begini? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan bisa tumbuh begitu ruwet. Dulu ia pikir, ia hanya akan menunaikan kontrak, menutup hutang ayahnya, lalu pergi. Tapi setiap malam ia mendengar napas Keenan di sisinya, ia tahu… hatinya sudah tak bisa diajak kompromi. Saskia bangkit, merapikan bantal yang berantakan. Tatapan matanya jatuh pada gaun tidur biru pucat yang melekat di tubuhnya. Ia teringat kata kata Olivia kemarin: “Kau cocok karena kau murah.” Bibirnya tertarik, mengejek dirinya sendiri. Ia membuka lemari, mengambil cardigan tipis, lalu turun ke lantai bawah. Ia butuh udara. Butuh menelan semua perasaan sakit sebelum Keenan pulang seolah olah semuanya baik-baik saja. Di ruang tamu, Renata duduk dengan kaki disilangkan di sofa putih. Senyum tipisnya langsung muncul saat Saskia muncul di tangga. Seolah-olah ia tahu Saskia baru saja tersesat dalam pikiran sendiri. “Pagi, Nona Saskia,” sapa Renata dengan nada manis yang tidak pernah benar-benar tulus. Saskia berhenti di anak tangga terakhir. Ada rasa enggan untuk melangkah lebih dekat. “Pagi juga, Kak Renata. Ada perlu apa pagi-pagi ke sini?” Renata tertawa pelan. “Lucu ya, kamu memanggilku ‘Kakak’. Padahal sebenarnya aku lebih pantas berdiri di posisimu sekarang.” Saskia menarik napas, menahan kata-kata yang ingin meluncur. “Kalau Kak Renata ingin bertemu Keenan, dia sedang tidak di rumah.” Renata berdiri, mendekat. Bau parfum mahalnya tercium kuat. “Aku tidak mencarimu. Tapi aku hanya ingin memastikan kamu nyaman di rumah ini. Sepertinya terlalu besar untuk orang sepertimu, ya?” Saskia menatap lurus ke mata Renata. “Saya tidak butuh diingatkan.” “Oh? Benarkah? Kalau begitu semoga kau bisa bertahan lama. Keenan orangnya cepat bosan, sayang.” Renata menepuk pipi Saskia pelan, lalu berjalan pergi melewati pintu utama dengan langkah angkuh. Saskia hanya bisa menatap punggungnya, sambil menahan debar jantung yang makin menggila. Sementara itu, di kantor Aryasatya Group, Keenan menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. File laporan keuangan terbuka lebar, tapi tak satu pun angka yang benar-benar masuk ke kepalanya. Tangannya mengepal di atas meja. Ia teringat tatapan Saskia semalam tatapan kecewa, rapuh, dan kosong. Sebagai CEO, Keenan terbiasa membuat keputusan dingin, bahkan memecat orang tanpa rasa bersalah. Tapi menghadapi air mata Saskia, ia merasa ada yang menusuk sisi hatinya yang paling beku. Pintu ruangannya diketuk pelan. Keenan mendongak. Reno, asisten pribadinya, masuk dengan wajah hati-hati. “Tuan Keenan, Nona Renata menunggu di kafe lantai bawah. Dia bilang ingin bicara langsung.” Keenan memejamkan mata sejenak. “Suruh dia naik.” Reno tampak ragu, tapi menurut. Beberapa menit kemudian, Renata masuk dengan senyum manis, seolah tidak pernah ada hal yang tidak pantas kemarin malam. “Keenan,” sapa Renata lembut, duduk tanpa dipersilakan. “Kau masih marah padaku?” “Ada apa Renata?” Keenan tidak membuang waktu. Tatapannya tajam, suaranya dingin. “Kalau hanya mau mengganggu hidupku lagi, kau bisa pergi sekarang.” Renata tersenyum tipis. “Aku hanya ingin memastikan kamu bahagia dengan pilihanmu. Kau tahu, pernikahan kontrak begini biasanya cepat retak.” Keenan meremas ujung pena di tangannya. “Jangan campuri urusanku.” Renata mencondongkan tubuh, menatap Keenan tanpa berkedip. “Kau benar-benar peduli padanya, ya?” Keenan terdiam. Tidak ada jawaban, tapi diamnya cukup jadi bukti. Renata tertawa pelan, sinis. “Lucu. Kau, Keenan Aryasatya, pria yang selalu bilang cinta itu membuang waktu, sekarang terjebak di jaringmu sendiri.” “Cukup Renata. Pergi.” Suara Keenan berat, nyaris geram. Renata berdiri, membetulkan rambut panjangnya. “Baiklah. Tapi ingat kata-kataku. Gadis seperti Saskia hanya akan membuatmu lemah.” Ia berjalan pergi, membiarkan aroma parfumnya tertinggal di ruang kerja Keenan yang dingin. Begitu pintu tertutup, Keenan bersandar di kursi, menatap langit-langit. Lemah? Mungkin dia benar. Tapi kenapa aku tak sanggup melihat air matanya? Sore menjelang. Saskia duduk di taman belakang rumah, menekuk lutut di atas bangku kayu. Di depannya, tanaman mawar yang baru ditanamnya kemarin tampak lemas, tertimpa hujan semalam. Ia membelai kelopak mawar yang layu. Sama seperti aku, pikirnya getir. “Saskia.” Suara berat itu membuatnya mendongak. Keenan berdiri di bawah payung, menatapnya dengan wajah lelah. Saskia buru-buru berdiri. “Kenapa duduk di sini? Kau bisa masuk angin.” Nada Keenan datar, tapi ada sedikit nada peduli yang nyaris tertahan. Saskia menggeleng. “Saya hanya butuh menenangkan pikiran.” Keenan mendekat, berdiri di depannya. Hujan rintik turun lagi, membasahi ujung sepatu mereka. “Kalau kau ada yang mau dibicarakan, katakan.” Saskia menatapnya, mata mereka bertemu dalam diam. “Tuan… kalau saya menyerah, apa Anda akan membiarkan saya pergi?” Pertanyaan itu menghujam Keenan seperti pisau. Rahangnya mengeras. “Kenapa kau bicara seperti itu?” Karena saya lelah pura-pura kuat. Lelah pura-pura tidak peduli.” Suara Saskia bergetar, menahan isak. “Saya bukan boneka yang bisa kau paksa tersenyum di depan keluargamu, lalu kau biarkan patah di belakang.” Keenan meraih bahunya. Hangat telapak tangan Keenan justru membuat Saskia makin ingin menangis. “Kau tidak akan pergi.” Saskia menggeleng pelan, air matanya jatuh juga. “Kenapa? Kontraknya bisa dibatalkan, kan?” Keenan menatapnya lama, seolah mencoba merangkai kata yang tepat. Namun bibirnya tak pernah pandai bicara hal lembut. Ia hanya menarik Saskia ke pelukannya. Untuk pertama kalinya, pelukan itu tidak terasa dingin — tapi juga belum sepenuhnya hangat. Saskia mendengar detak jantung Keenan, cepat, tidak teratur. Sama kacau seperti hatinya. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi,” bisik Keenan, nyaris tak terdengar di antara hujan yang jatuh semakin deras. Mereka berdiri di taman, basah kuyup. Tidak ada kata janji, tidak ada kata cinta. Hanya pelukan kaku dua hati yang sama sama menolak menyerah. Dan di kejauhan, Renata menatap mereka dari balik jendela, senyum tipis di sudut bibirnya. Matanya berkilat, seolah berkata: Pertarungan ini belum selesai.Alya menatap kosong ke arah jendela mobil, melihat bayangan pohon yang berkelebat seiring laju kendaraan. Udara malam yang menusuk masuk melalui celah kaca yang terbuka sedikit, membawa serta aroma hujan yang belum turun. Tangannya mengepal di atas rok, mencoba meredam gemetar yang tak juga mereda sejak percakapan panas dengan Ibu Dara tadi siang.Fitnah itu seperti duri yang ditanam perlahan di bawah kulitnya. Diam-diam menyakitkan, tak berdarah, tapi mencabik harga dirinya pelan-pelan.“Dia sedang menunggu di ujung jalan,” gumam sopir yang mengantar, suaranya datar tanpa intonasi.Alya menoleh. Lampu jalan meredup saat mobil melambat. Di seberang trotoar, berdiri seorang pria dengan kemeja putih kusut dan wajah yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Bayu.Senyum yang dulu menggetarkan dada Alya, kini hanya meninggalkan getir. Lelaki itu berdiri tegak, seperti seseorang yang tahu dirinya tak pantas tapi tetap berharap diberi tempat.
Pagi di rumah besar keluarga Aryasatya tampak seperti pagi yang biasa: sinar matahari menembus tirai tebal, aroma kopi mengepul dari dapur, dan suara langkah kaki para pelayan sibuk menyiapkan sarapan. Tapi bagi Saskia, pagi ini terasa asing.Semalam ia tertidur di pelukan Keenan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan bisa terjadi. Pria dingin itu menahan tangannya sepanjang malam, seolah takut Saskia akan lenyap begitu mata terpejam. Beberapa kali Keenan terbangun, memeriksa apakah gadis itu masih di sana.Sekarang, saat Saskia duduk di tepi ranjang sambil merapikan selimut, dadanya masih sesak. Ia memandangi Keenan yang tertidur di sisi lain ranjang. Rambutnya berantakan, napasnya teratur. Ada gurat lelah di wajah itu tapi entah kenapa, Saskia justru merasa damai.Ia teringat kata-kata Keenan di bawah hujan: “Aku buang kontrak itu. Aku hanya mau kau… apa adanya.”Tapi di sudut hatinya, keraguan kecil berbisik: Bisakah kau benar-benar memegang kata-kat
Hujan turun deras membasahi trotoar kecil di depan galeri lukisan. Lampu jalan berkedip lemah di antara kabut malam, sementara Saskia berdiri di pinggir jalan, tangan memeluk tubuhnya sendiri. Jaket tipis Anita yang dipinjamnya sama sekali tak menahan dingin yang merambat ke tulang.Setiap langkah menjauh dari galeri membuat hatinya terasa ditarik paksa. Ia ingin percaya Keenan akan menahannya, mengejarnya, atau setidaknya memanggil namanya sekali lagi. Tapi langkah kaki di belakang tetap sunyi.Saskia menoleh sekilas. Di balik kaca galeri yang buram oleh embun, siluet Keenan tampak berdiri kaku. Hanya menatap. Tidak bergerak. Tidak bicara.Tawa getir lolos dari bibir Saskia. Bahkan untuk sekadar menahan, kau tak mampu, Keenan.Hatinya seolah menjerit, memohon agar logikanya berhenti berharap. Tapi langkah kakinya tak mau diam di sana selamanya. Ia menunduk, membenahi tali tas kecil di pundaknya, lalu berjalan di bawah hujan.Setiap tetes air
Langit malam di atas kota seolah penuh sorot lampu dan suara klakson bersahutan. Tapi di dalam mobil hitamnya, Keenan hanya mendengar deru napas sendiri. Tangannya meremas setir, matanya menatap lurus ke depan seolah di kepalanya hanya ada satu tujuan: menjemput Saskia.Beberapa jam lalu, ia melempar Renata keluar mobil. Keputusan paling cepat yang pernah ia buat, dan anehnya… Keenan merasa sedikit lega. Tapi rasa lega itu digantikan panik begitu ia kembali ke rumah, hanya untuk mendapati kamar kosong. Saskia pergi. Mbok Marni bilang, gadis itu butuh menenangkan diri — tapi bagi Keenan, itu berarti alarm bahaya.Jika Saskia pergi sekarang, akankah dia kembali?Ponselnya berdering di kursi penumpang. Reno menelepon, lagi. Tapi Keenan mengabaikannya. Ia menepikan mobil, membuka pesan lama di kontaknya: Saskia. Tangan Keenan bergetar di atas layar. Ingin mengetik, ‘Di mana kau?’ Tapi jemarinya hanya terpaku. Sial. Kenapa kata sesederhana ini sulit keluar?
Setelah hujan reda, Saskia masih terjaga di kamar. Baju tidurnya lembap, sisa hujan di taman tadi belum sepenuhnya kering. Di kursi samping ranjang, Keenan duduk diam hanya menatap Saskia yang membelakangi dia di bawah selimut. Mereka seperti dua orang asing yang dipaksa tidur di ranjang sama.Saskia memejamkan mata, tapi pikirannya justru makin gaduh. Pelukan Keenan tadi di taman, kehangatan dadanya semua terasa nyata, tapi juga semu. Kalau memang tak mau aku pergi, kenapa tak pernah bilang kau butuh aku?“Kalau dingin, kau bisa bilang. Aku akan nyalakan penghangat ruangan,” suara Keenan pelan, parau. Tapi Saskia hanya diam. Punggungnya tetap kaku. Beberapa menit kemudian, Keenan berdiri, menarik selimutnya pelan. Saskia menahan napas, berharap ia bicara sesuatu. Tapi Keenan hanya menatapnya sesaat — lalu berjalan pergi ke sofa panjang, membiarkan dirinya terbungkus rasa sepi yang semakin menyesakkan.Pagi datang, membawa denting g
Hujan semalam meninggalkan bau tanah basah yang samar menusuk hidung Saskia. Pagi ini, suasana rumah Aryasatya terasa lebih dingin dari biasaya, meskipun sinar matahari mencoba menembus tirai jendela yang setengah terbuka.Saskia masih duduk di pinggir ranjang, dengan mata bengkak bekas semalaman menahan tangis. Di sampingnya, ranjang Keenan kosong. Tidak ada jejak tubuh hangat di sana. Seperti biasa, Keenan pergi pagi-pagi sekali, tanpa sepatah kata pun. Dan Saskia terlalu lelah untuk bertanya ke mana. Ia menatap jemarinya yang saling menggenggam. Sampai kapan aku begini? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan bisa tumbuh begitu ruwet. Dulu ia pikir, ia hanya akan menunaikan kontrak, menutup hutang ayahnya, lalu pergi. Tapi setiap malam ia mendengar napas Keenan di sisinya, ia tahu… hatinya sudah tak bisa diajak kompromi. Saskia bangkit, merapikan bantal yang berantakan. Tatapan matanya jat