Pagi harinya, nuansa perayaan semalam seolah lenyap ditelan hiruk pikuk rumah keluarga Lewis. Tommy, seperti biasa, adalah orang pertama yang bangun. Ia memulai rutinitas hariannya, membersihkan rumah dengan cekatan—menyapu lantai, merapikan bantal sofa—lalu beralih ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana namun hangat untuk keluarga. Aroma roti bakar dan telur orak-arik mulai memenuhi udara, mengundang siapa saja untuk segera bergabung di meja makan. Setelah semua tertata rapi dan dihidangkan di meja makan, satu per satu anggota keluarga mulai berkumpul. Gerald Lewis, ayah Tiffany, yang biasanya sudah tenggelam dalam koran paginya, duduk di kursinya dengan wajah mengantuk. Nathalia Lewis, ibu Tiffany, yang selalu tampil sempurna bahkan di pagi hari, melangkah masuk dengan aura dingin yang khas. Dan terakhir, Tiffany, yang masih terlihat sedikit mengantuk namun senyum tipisnya di bibir menunjukkan sisa-sisa kebahagiaan semalam. Suasana sarapan yang awalnya tenang, seketika berubah s
Alunan melodi piano dan biola perlahan meredup, menyisakan keheningan romantis yang membalut aula megah Golden Gate Hotel. Malam itu sempurna, melampaui mimpi terindah Tiffany. Ia menatap Tommy, yang kini tersenyum lembut di hadapannya, tatapan mata yang dalam dan penuh makna. "Sayang," ucap Tommy lembut, suaranya mengalun seperti melodi terakhir yang baru saja usai. Tangannya bergerak ke saku, mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru hitam yang terasa begitu misterius. "Ini… adalah bagian terbaik dari malam ini." Jantung Tiffany berdegup lebih cepat, napasnya tertahan. Ia menatap kotak itu, matanya membulat sempurna karena penasaran yang membuncah. Apa lagi kejutan yang telah disiapkan suaminya? Dengan perlahan, Tommy membuka kotak itu, dan cahaya yang memantul dari dalamnya seketika memenuhi mata Tiffany. Di atas bantalan satin putih, terbaring sebuah kalung giok berkilau kehijauan, memancarkan aura kemewahan yang tenang namun mendalam. Giok itu tampak begitu murni, uk
Mentari pagi di Levin terasa berbeda bagi Tommy. Ada campuran antisipasi dan sedikit kegugupan yang tidak biasa. Itu adalah hari ulang tahun pernikahan ketiganya dengan Tiffany, dan malam ini, ia akan membuat sebuah kenangan yang tak terlupakan bagi istrinya. Setelah Tiffany berangkat kerja, Tommy menghubungi Albert Hall untuk memastikan semua persiapan berjalan sesuai rencana. Albert meyakinkannya bahwa semuanya sudah diatur dengan sempurna, hingga detail terkecil. Tommy juga menyiapkan gaun dan jas yang telah ia beli khusus untuk hari ini,yang sudah di sembunyikan dengan sangat rapi dan aman. Sepanjang hari, Tommy mencoba bertindak senormal mungkin di hadapan keluarga, menghindari pertanyaan yang tidak harus di jelaskan. Nathalia dan Gerald terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri di luar rumah. Kejutan di Golden Gate Sore hari, saat Tiffany pulang bekerja, Tommy sudah menunggunya di depan pintu. Tiffany tampak lelah, namun senyumnya segera mengembang melihat Tommy. "Bagai
Malam di Rumah Lewis Malam itu, setelah makan malam yang hening namun tegang di rumah keluarga Lewis—yang seperti biasa dipenuhi oleh aura dominasi Nathalia dan keheningan Tiffany—Tommy kembali ke kamar. Sudah hampir tiga tahun sejak pernikahan mereka, namun kebersamaan mereka di kamar itu selalu terasa terbagi oleh sebuah dinding tak kasat mata. Tiffany selalu tidur di atas ranjang yang empuk dan luas, berbalut selimut tebal dan bantal yang nyaman. Sementara Tommy, dengan patuh pada perjanjian tak tertulis mereka, selalu menyiapkan tempat tidurnya sendiri di lantai. Hanya sebuah kasur busa kecil, tipis, yang menjadi alasnya, diposisikan di sudut terjauh dari ranjang Tiffany. Pernikahan mereka, sejatinya, bukanlah hasil dari cinta yang bersemi atau perjodohan romantis. Itu adalah keputusan yang telah di tetapkan dari mendiang Tuan Richard Lewis, kakek Tiffany. Maka, mereka membangun hubungan mereka di atas fondasi pengertian, rasa hormat, dan penghargaan satu sama lain, berusaha k
"Tentu, Tuan Muda. Saya akan menyiapkan aula utama dan yang terbaik untuk anda. Kami bisa menyiapkan dekorasi apa pun yang Anda inginkan. Tema klasik, modern, atau mungkin sentuhan personal?" Tommy menggelengkan kepala perlahan. "Aku tidak ingin itu terlalu mencolok, Albert. Justru sebaliknya. Aku ingin acara ini tertutup. Sangat tertutup." Tommy menatap Albert dengan sorot mata yang penuh arti, menegaskan setiap kata. "Hanya untukku dan Tiffany. Tidak ada orang lain kecuali pemain musik dan pelayan yang menghidangkan makanan pada saat acara." Albert Hall mengerti dengan cepat. "Anda ingin privasi penuh, Tuan Muda. Akan saya pastikan itu. Seluruh lantai akan kami jaga ketat, tidak ada satu pun yang bisa masuk selain Anda dan Nyonya Tiffany dan juga petugas yang bertugas pada saat acara di selenggarakan." "Terimakasih, aku akan sangat mengandalkan mu untuk ini, Albert." Tommy mengangguk puas. "Untuk dekorasi, aku ingin suasana yang elegan, intim, dan hangat. Bukan pesta besar yan
Malam di Rumah Lewis Malam itu, setelah makan malam yang hening namun tegang di rumah keluarga Lewis—yang seperti biasa dipenuhi oleh aura dominasi Nathalia dan keheningan Tiffany—Tommy kembali ke kamar. Sudah hampir tiga tahun sejak pernikahan mereka, namun kebersamaan mereka di kamar itu selalu terasa terbagi oleh sebuah dinding tak kasat mata. Tiffany selalu tidur di atas ranjang yang empuk dan luas, berbalut selimut tebal dan bantal yang nyaman. Sementara Tommy, dengan patuh pada perjanjian tak tertulis mereka, selalu menyiapkan tempat tidurnya sendiri di lantai. Hanya sebuah kasur busa kecil, tipis, yang menjadi alasnya, diposisikan di sudut terjauh dari ranjang Tiffany. Pernikahan mereka, sejatinya, bukanlah hasil dari cinta yang bersemi atau perjodohan romantis. Itu adalah keputusan yang telah di tetapkan dari mendiang Tuan Richard Lewis, kakek Tiffany. Maka, mereka membangun hubungan mereka di atas fondasi pengertian, rasa hormat, dan penghargaan satu sama lain, berusaha ker