Share

6. Malam Sebelum Resepsi

Author: Annisarz
last update Last Updated: 2023-05-30 09:58:07

Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah.

“Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu.

Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu.

Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet.

“Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendekat pada pintu.

Di saat yang bersamaan, Nadhif membuka pintu toilet dan membuat Nadina sedikit terhuyung karena kehilangan sandarannya. Dengan sigap sang suami menangkap tubuh Nadina dengan mencekal lembut kedua lengan tangan wanita itu.

“Nadina, kamu baik-baik saja?” sergah Nadhif bersamaan dengan Nadina yang memejamkan mata saat tubuhnya jatuh di dekapan sang suami.

Mata Nadina terbuka lebar dan ia segera menegakkan tubuhnya sembari menjauhi Nadhif. Pria itu sedikit menyunggingkan senyuman dibl balik menunduknya wajah.

“Mas Nadhif jangan berpikiran macam-macam! Aku mau pakai toiletnya tapi mas lama di dalam! Mana tidak ada suaranya! Mas tidur di dalam sana?!” sergah Nadina lalu matanya menunjuk toilet tajam.

“Maaf ya, lain kali kamu bisa ketuk kalau memang kamu terburu ke toilet dan saya tak segera keluar. Saya akan berusaha selesaikan urusan saya agar kamu bisa segera menggunakan toilet,” tutur Nadhif.

“Penjelasannya kelamaan! Minggir!” Nadina langsung sedikit menepikan lengan Nadhif dan mendorong tubuhnya sendiri masuk ke dalam toilet.

Pintu itu tertutup dengan lumayan kencang menandakan jantung Nadina yang berdegup sama kencangnya akibat terpergok tadi.

“Astaga! Kenapa bisa pas begini, sih?!” omel Nadina dalam hatinya. Tak hanya di situ, Nadina yang sedari awal memang tak berniat ke toilet akhirnya hanya memainkan air di bak mandi agar terdengar sedang beraktivitas di sana.

Tak lama kemudian gadis itu keluar, ia melihat Nadhif tengah mengatur bantal dan selimut di atas sofa. Dirinya pun langsung melengos hendak ke ranjang. Saat dirinya bersiap membenamkan diri di balik selimut tebal itu, Nadhif memanggilnya.

“Apa kamu tidak ingin melepas hijabmu, Nadina? Di sini kamu bisa membukanya. Setidaknya itu akan membuat tidurmu lebih nyaman. Kamu bisa mengenakannya lagi besok saat berada di luar kamar,” tutur Nadhif memandang punggung Nadina yang membelakanginya.

“Aku ingin begini saja. Aku masih nyaman mengenakannya seharian,” dusta Nadina tanpa membalik badannya.

“Baiklah.” Nadhif tampak memasang posisi berbaring lalu menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut dan memejamkan mata.

Sementara Nadhif mulai fokus pada rasa kantuknya, Nadina malah membalik tubuhnya dan mulai mengamati pria itu.

“Umi bilang akan ada sebuah rahasia! Rahasia apa? Tidak terjadi apapun padanya selain keanehannya di dalam bilik toilet tadi!” gumam Nadina sembari menarik selimutnya ke separuh mata untuk menutupi lirikannya pada Nadhif.

“Nadina, apa kamu sudah tidur?” Suara Nadhif tiba-tiba mengejutkan Nadina hingga ia langsung memejamkan matanya.

Nadhif tampak bangkit dari tidurnya lalu berjalan ke arah ranjang tempat Nadina berbaring. Wanita itu tampak sedikit gemetar saat melirik Nadhif yang berjalan ke arahnya.

“Astaga, mau apa dia?!” sergah dalam hati Nadina.

“Nadina? Apa kamu benar sudah tidur? Bisa saya bicara sebentar saja denganmu?” tanya Nadhif lirih sembari membungkukkan badannya lalu berjongkok tepat di tepi ranjang tempat Nadina memejamkan matanya.

Tak ada sahutan dari Nadina. Wanita itu tetap bersikukuh bahwa dirinya telah tertidur. Ia takut jika suaminya itu meminta sesuatu yang aneh atau mengungkap sebuah rahasia yang tak akan bisa ia terima.

“Baiklah, maaf karena saya terlambat mengatakan ini, Nadina.” Napas Nadhif sedikit terembus ke arah wajah Nadina meskipun jarak wajah mereka cukup renggang.

“Maafkan semua kesalahan saya hari ini maupun sebelumnya, Nadina. Maaf jika perkataan atau perbuatan saya telah menyakiti kamu di hari ini ataupun di hari sebelumnya. Semoga besok menjadi hari yang lebih baik untuk kita berdua, Nadina. Assalamualaikum, Nadina. Selamat tidur calon bidadari surga!” bisik Nadhif memandang wajah Nadina lalu bangkit dan kembali ke sofa tempatnya tidur.

“Aamiin,” gumam Nadina lalu membuka matanya perlahan. Dilihatnya Nadhif telah berbaring membelakanginya di sofa. Gadis itu sedikit menghela napas.

“Ya, bapak benar. Sepertinya kamu orang yang baik, Mas Nadhif! Tapi sayang, bukan kamu yang aku inginkan. Dan sampai kapan pun, sesempurna apapun kamu, aku akan tetap sulit menerimamu. Karena bukan kamu yang aku mau. Aku mau Mas Sadewa. Bukan Mas Nadhif,” imbuh Nadina lalu kembali memejamkan matanya.

“Suatu hari nanti, saya yakin atas izin Allah, kamu akan mengubah kalimatmu itu, Nadina. Saya yakin jika Allah berkehendak, apapun bisa terjadi. Suatu saat saya harap kamu bangga memiliki saya sebagai pasangan hidupmu dan bukan pemuda lain,” batin Nadhif yang ternyata mendengar penuturan Nadina barusan.

Malam itu berakhir begitu saja. Mentari kembali hadir menelisik sela-sela gorden yang terpasang menutup jendela.

“Nadina, bangun. Ayo bersiap. Semua sudah menunggumu di luar!” bisik Nadhif sembari menepuk lembut pundak sang istri.

Shubuh tadi keduanya telah terbangun dan menunaikan sholat shubuh berjamaah di masjid. Meskipun begitu, rupanya Nadina memilih tidur kembali dengan mukena yang masih ia kenakan meskipun sekarang ia terbangun tanpa menggunakannya.

“Hueueemphh!” Nadina menggeliat lalu meraba kepalanya. Disadarinya jika yang ia pegang bukanlah kain mukena melainkan rambutnya sendiri. Wanita itu segera terjungkat dan menarik mukena kembali menutup kepalanya.

“Mas Nadhif yang melepas mukena Nadina?!” sergah Nadina mengamuk.

“Saya tidak menyentuhnya sedikit pun. Kamu yang melepasnya sendiri saat tertidur tadi. Mungkin kamu merasa gerah jadi kamu melepasnya?” tutur Nadhif.

Nadina mengerutkan dahi. Kejadian ini tak satu dua kali terjadi. Ia pernah melakukannya juga dulu, jadi sudah bisa dipastikan jika bukan Nadhif yang membuka mukenanya.

Suara pintu diketuk membuat keduanya langsung menoleh ke arah pintu. Tak mau berlama-lama dengan rasa canggung itu, Nadina langsung bangkit dari ranjang dan bergegas membuka pintu kamarnya.

Mata wanita itu membulat sempurna saat melihat siapa tamu paginya itu.

“Mas Sadewa?”

“Lho, Nadina?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status