Share

6. Malam Sebelum Resepsi

Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah.

“Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu.

Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu.

Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet.

“Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendekat pada pintu.

Di saat yang bersamaan, Nadhif membuka pintu toilet dan membuat Nadina sedikit terhuyung karena kehilangan sandarannya. Dengan sigap sang suami menangkap tubuh Nadina dengan mencekal lembut kedua lengan tangan wanita itu.

“Nadina, kamu baik-baik saja?” sergah Nadhif bersamaan dengan Nadina yang memejamkan mata saat tubuhnya jatuh di dekapan sang suami.

Mata Nadina terbuka lebar dan ia segera menegakkan tubuhnya sembari menjauhi Nadhif. Pria itu sedikit menyunggingkan senyuman dibl balik menunduknya wajah.

“Mas Nadhif jangan berpikiran macam-macam! Aku mau pakai toiletnya tapi mas lama di dalam! Mana tidak ada suaranya! Mas tidur di dalam sana?!” sergah Nadina lalu matanya menunjuk toilet tajam.

“Maaf ya, lain kali kamu bisa ketuk kalau memang kamu terburu ke toilet dan saya tak segera keluar. Saya akan berusaha selesaikan urusan saya agar kamu bisa segera menggunakan toilet,” tutur Nadhif.

“Penjelasannya kelamaan! Minggir!” Nadina langsung sedikit menepikan lengan Nadhif dan mendorong tubuhnya sendiri masuk ke dalam toilet.

Pintu itu tertutup dengan lumayan kencang menandakan jantung Nadina yang berdegup sama kencangnya akibat terpergok tadi.

“Astaga! Kenapa bisa pas begini, sih?!” omel Nadina dalam hatinya. Tak hanya di situ, Nadina yang sedari awal memang tak berniat ke toilet akhirnya hanya memainkan air di bak mandi agar terdengar sedang beraktivitas di sana.

Tak lama kemudian gadis itu keluar, ia melihat Nadhif tengah mengatur bantal dan selimut di atas sofa. Dirinya pun langsung melengos hendak ke ranjang. Saat dirinya bersiap membenamkan diri di balik selimut tebal itu, Nadhif memanggilnya.

“Apa kamu tidak ingin melepas hijabmu, Nadina? Di sini kamu bisa membukanya. Setidaknya itu akan membuat tidurmu lebih nyaman. Kamu bisa mengenakannya lagi besok saat berada di luar kamar,” tutur Nadhif memandang punggung Nadina yang membelakanginya.

“Aku ingin begini saja. Aku masih nyaman mengenakannya seharian,” dusta Nadina tanpa membalik badannya.

“Baiklah.” Nadhif tampak memasang posisi berbaring lalu menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut dan memejamkan mata.

Sementara Nadhif mulai fokus pada rasa kantuknya, Nadina malah membalik tubuhnya dan mulai mengamati pria itu.

“Umi bilang akan ada sebuah rahasia! Rahasia apa? Tidak terjadi apapun padanya selain keanehannya di dalam bilik toilet tadi!” gumam Nadina sembari menarik selimutnya ke separuh mata untuk menutupi lirikannya pada Nadhif.

“Nadina, apa kamu sudah tidur?” Suara Nadhif tiba-tiba mengejutkan Nadina hingga ia langsung memejamkan matanya.

Nadhif tampak bangkit dari tidurnya lalu berjalan ke arah ranjang tempat Nadina berbaring. Wanita itu tampak sedikit gemetar saat melirik Nadhif yang berjalan ke arahnya.

“Astaga, mau apa dia?!” sergah dalam hati Nadina.

“Nadina? Apa kamu benar sudah tidur? Bisa saya bicara sebentar saja denganmu?” tanya Nadhif lirih sembari membungkukkan badannya lalu berjongkok tepat di tepi ranjang tempat Nadina memejamkan matanya.

Tak ada sahutan dari Nadina. Wanita itu tetap bersikukuh bahwa dirinya telah tertidur. Ia takut jika suaminya itu meminta sesuatu yang aneh atau mengungkap sebuah rahasia yang tak akan bisa ia terima.

“Baiklah, maaf karena saya terlambat mengatakan ini, Nadina.” Napas Nadhif sedikit terembus ke arah wajah Nadina meskipun jarak wajah mereka cukup renggang.

“Maafkan semua kesalahan saya hari ini maupun sebelumnya, Nadina. Maaf jika perkataan atau perbuatan saya telah menyakiti kamu di hari ini ataupun di hari sebelumnya. Semoga besok menjadi hari yang lebih baik untuk kita berdua, Nadina. Assalamualaikum, Nadina. Selamat tidur calon bidadari surga!” bisik Nadhif memandang wajah Nadina lalu bangkit dan kembali ke sofa tempatnya tidur.

“Aamiin,” gumam Nadina lalu membuka matanya perlahan. Dilihatnya Nadhif telah berbaring membelakanginya di sofa. Gadis itu sedikit menghela napas.

“Ya, bapak benar. Sepertinya kamu orang yang baik, Mas Nadhif! Tapi sayang, bukan kamu yang aku inginkan. Dan sampai kapan pun, sesempurna apapun kamu, aku akan tetap sulit menerimamu. Karena bukan kamu yang aku mau. Aku mau Mas Sadewa. Bukan Mas Nadhif,” imbuh Nadina lalu kembali memejamkan matanya.

“Suatu hari nanti, saya yakin atas izin Allah, kamu akan mengubah kalimatmu itu, Nadina. Saya yakin jika Allah berkehendak, apapun bisa terjadi. Suatu saat saya harap kamu bangga memiliki saya sebagai pasangan hidupmu dan bukan pemuda lain,” batin Nadhif yang ternyata mendengar penuturan Nadina barusan.

Malam itu berakhir begitu saja. Mentari kembali hadir menelisik sela-sela gorden yang terpasang menutup jendela.

“Nadina, bangun. Ayo bersiap. Semua sudah menunggumu di luar!” bisik Nadhif sembari menepuk lembut pundak sang istri.

Shubuh tadi keduanya telah terbangun dan menunaikan sholat shubuh berjamaah di masjid. Meskipun begitu, rupanya Nadina memilih tidur kembali dengan mukena yang masih ia kenakan meskipun sekarang ia terbangun tanpa menggunakannya.

“Hueueemphh!” Nadina menggeliat lalu meraba kepalanya. Disadarinya jika yang ia pegang bukanlah kain mukena melainkan rambutnya sendiri. Wanita itu segera terjungkat dan menarik mukena kembali menutup kepalanya.

“Mas Nadhif yang melepas mukena Nadina?!” sergah Nadina mengamuk.

“Saya tidak menyentuhnya sedikit pun. Kamu yang melepasnya sendiri saat tertidur tadi. Mungkin kamu merasa gerah jadi kamu melepasnya?” tutur Nadhif.

Nadina mengerutkan dahi. Kejadian ini tak satu dua kali terjadi. Ia pernah melakukannya juga dulu, jadi sudah bisa dipastikan jika bukan Nadhif yang membuka mukenanya.

Suara pintu diketuk membuat keduanya langsung menoleh ke arah pintu. Tak mau berlama-lama dengan rasa canggung itu, Nadina langsung bangkit dari ranjang dan bergegas membuka pintu kamarnya.

Mata wanita itu membulat sempurna saat melihat siapa tamu paginya itu.

“Mas Sadewa?”

“Lho, Nadina?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status