Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.
“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.
“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.
“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.
“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.
Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.
“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.
“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari untuk membahas konsep pemotretan sebelum acara dimulai. Itu akan membuat riasan dan situasi sekitar masih baru jadi hasil foto bisa lebih baik!” pekik Sadewa.
“Ahh, tentu! Silakan masuk, Mas!” pekik Nadina menyela lalu menggeser posisinya guna memberi ruang untuk Sadewa agar bisa masuk ke dalam kamarnya.
“Ehm!” Nadhif berdeham. “Kami akan menemui anda di ruang tamu dalem. Silakan menunggu di sana. Kami akan bersiap-siap dan segera menyusul,” lanjut Nadhif.
Nadina mengerutkan dahinya bingung. Sementara Sadewa langsung mengangguk dan berjalan kembali meninggalkan depan kamar Nadhif dan Madina.
Nadhif langsung membalik tubuhnya dan berjalan ke arah lemari. Sementara itu Nadina langsung menutup pintu dan menyusul Nadhif dengan amarahnya yang tampak memuncak.
“Mas!!” teriak Nadina menarik tangan Nadhif agar pria itu berhenti berjalan dan diam mendengarkannya.
“Ada apa? Kita harus segera bersiap untuk acara kita bukan?” Nadhif membalik tubuhnya dan menatap Nadina dengan ekspresi biasa saja seolah tak pernah terjadi apapun barusan.
“Mas sengaja usir Mas Sadewa?! Kita bisa kok bicara di sini, kenapa harus memintanya pergi? Kenapa mas juga harus meributkan perkara sahutan salam? Mas cemburu?!” sergah Nadina langsung memaki Nadhif.
Nadhif menghela napas sejenak lalu melepaskan genggaman tangan Nadina yang masih mencengkeram tangannya itu dengan cukup kuat.
“Kamar ini ruangan pribadi kita, Nadina. Tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya termasuk Sadewa. Tolong jaga lingkup privasi kita, Nadina.” Nadhif menatap Nadina.
“Tapi dia sudah jauh-jauh dari tempatnya dan mas langsung berbicara ketus! Mas tidak bisa bicara dengan lemah lembut seperti saat mas bicara dengan Nadina? Kenapa nadanya harus penuh penekanan?!” sergah Nadina.
“Penuh penekanan? Saya bicara dengan nada biasa saja Nadina. Jika begitu saja dia merasa sakit hati, kesalahannya bukan ada pada saya, tetapi dia. Mentalnya yang mesti dilatih!” Nadhif lanjut berbalik dan hendak membuka pintu lemari.
Nadina tak berhenti di situ, ia bahkan masih menahan pintu lemari untuk menghalangi sang suami beraktivitas dan terus melanjutkan bahasannya.
“Mas! Nada Mas Nadhif tadi menyindir! Mas cemburu karena Nadina menyukai pemuda itu?! Mas sendiri yang menyetujui ini bukan? Jadi terima saja!” sergah Nadina.
“Saya tidak melakukan penekanan sedikit pun kepada Sadewa, Nadina. Kamu yang terlalu perasan padanya. Sekarang, apa kamu tidak berpikir telah membentak suamimu sendiri hanya untuk pemuda lain? Tidak bisakah kamu berbicara tanpa penekanan?” sindir Nadhif masih dengan gaya bicara datar yang terkesan mencekam.
“Kita tidak punya banyak waktu. Segera siapkan dirimu dan kita keluar bersama!” Nadhif lanjut membuka lemari dan meraih pakaiannya sebelum menghilang di balik pintu toilet.
Kini Nadina dan Nadhif berjalan ke arah ruang tamu dalem dan menemui Sadewa yang telah berada di sana dan baru meneguk teh buatan sang kepala dapur pondok.
“Assalamualaikum!” pekik Nadhif lalu bersama Nadina duduk bersama di sofa di hadapan Sadewa.
“Waalaikumsalam, Ustadz!” pekik Sadewa.
“Tidak perlu memanggil saya seperti itu. Panggil saja Nadhif!” pekik Nadhif bersamaan dengan menyodorkan tangannya pada Sadewa.
“Ah, baiklah Pak Nadhif saja, ya! Saya Sadewa yang akan mengatur semua sesi dokumentasi di acara nanti!” sahut Sadewa membalas tangan Nadhif.
“Ah, iya. Umi kemarin memberikan saya selebaran tentang jasa yang anda berikan. Tapi sepertinya anda sudah mengenal istri saya sebelumnya, ya?” tanya Nadhif sembari sedikit melirik Nadina yang saat itu masih memandangi wajah tampan Sadewa.
Tangan Nadhif menepuk sedikit lutut Nadina hingga membuat wanita itu sedikit tersentak dan mengalihkan tatapannya dari Sadewa.
“Ahh, iya! Nadina adik tingkat saya sewaktu SMA dulu. Saya sedikit terkejut saat melihat dia yang menjadi klien dan istri anda, Pak Nadhif.” Sadewa sedikit menundukkan pandangannya.
Nadhif mengangkat alis lalu melirik ke arah Nadina.
“Memangnya ada apa? Apakah ada masalah?” sahut Nadhif.
“Tidak ada masalah, Pak Nadhif. Saya hanya terkejut jika seorang wanita yang lumayan tenar pada masa sekolah dulu bisa menikahi seorang anak kiai besar seperti anda. Bahkan dia telah menutup auratnya sekarang. Jika melihat saat dulu sepertinya dia bukan tipe wanita yang akan menutup auratnya.” Sadewa menoleh ke pada Nadina.
“Ehm, bagaimana kalian bisa bertemu dan akhirnya memutuskan untuk menikah?” tanya Sadewa membuat Nadhif sejenak terdiam.
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “