Wajah sendu Adeline langsung berubah senang, "Mau, mau!"
Axel mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini alamat kantorku. Datanglah besok jam sepuluh pagi."
"Iya, baik!"
Drrt!
Ponsel Axel bergetar. Nama Tuan Adras tertera di layar ponsel.
"Siapa?!" tanya Adeline penasaran karena Axel terpaku melihat layar ponselnya.
"Klienku, Tuan Adras. Salah satu konglomerat dengan aset triliunan yang sedang mencari putrinya yang hilang dipanti asuhan beberapa tahun ke belakang."
Hanya saja, Adeline tak enak bila bertanya.
Sementara itu, di dalam rumah mewah bergaya Eropa modern, Nyonya Adras sedang duduk melamun di ruang keluarganya yang megah dengan segala macam pajangan rumah yang terbuat dari kristal.
"Adeline, di mana kamu sekarang nak? Mama sangat merindukanmu," gumamnya lirih, mata sendunya menyiratkan begitu banyak kerinduan dalam hati.
"Ma!" panggilan dari putra bungsunya membuyarkan lamunan Nyonya Adras. "Mama kenapa?!" tanyanya begitu melihat raut wajah ibunya penuh kesedihan.
Nyonya Adras mencoba tersenyum, menekan segala kesedihan di depan putranya. "Mama tidak apa-apa, nak."
Adrian meraih tangan ibunya. "Mama pasti sedang merindukan Kak Adeline."
Kesedihan yang sedang ditekannya tak bisa membendung air mata. Perlahan butiran bening itu bergulir menyusuri pipi. "Mama sangat merindukan kakakmu."
Hati Adrian berdesir, menatap dalam sorot mata ibunya yang penuh kesedihan. "Jangan menangis ma," bisiknya lembut. "Bukankah, kita semua sedang berusaha mencari Kak Adeline?"
Bulir-bulir air mata semakin tak bisa dibendung. Nyonya Adras terisak. Hatinya menjerit. Kesedihan yang telah dirasakan selama bertahun-tahun, entah kapan akan segera berakhir dan mungkinkah akan berakhir?
"Ma, jangan menangis." Adrian merangkul tubuh wanita yang telah melahirkannya. "Aku ikut sedih kalau mama seperti ini."
"Mama merasa sangat bersalah pada kakakmu," ucap Nyonya Adras serak di antara isak tangisnya. "Seandainya dulu, mama dan papamu tidak menitipkannya dipanti asuhan, kakakmu pasti sekarang ada bersama kita."
Dengan lembut, Adrian mengelus punggung ibunya. "Mama tidak bersalah. Apa yang mama dan papa lakukan, itu semua demi keselamatan Kak Adeline."
"Bagaimana ,,," Nyonya Adras menjeda kalimatnya, dadanya terasa sesak sampai tak kuasa untuk bicara, "bagaimana ,,, kalau kakakmu tidak memaafkan mama," bisiknya lirih.
Adrian bingung tidak tahu harus berkata apa. Tubuh ibunya yang berguncang karena Isak tangis, dipeluknya penuh sayang.
"Bagaimana kalau kakakmu membenci mama?!"
"Jangan bicara seperti itu!" suara bariton Tuan Adras Tanudirga terdengar dari arah belakang keduanya.
Adrian menoleh ke belakang. "Pa."
Tuan Adras mendekati istrinya yang sedang sesenggukan menangis. "Berapa kali papa minta, mama jangan menangis seperti ini. Putri kita pasti akan kembali. Hanya waktu yang bisa menjawab semua keinginan kita. Mama harus sabar."
Adrian mengambil tisu yang tak jauh darinya. Diberikan pada ibunya.
"Axel sebentar lagi akan datang," jelas Tuan Adras. "Mudah-mudahan membawa kabar baik."
"Semoga saja pa," bisik istrinya serak penuh harap.
Tak lama kemudian, salah satu pelayan rumah keluarga Tuan Adras datang memberitahu kalau Tuan Axel telah sampai dan sekarang sedang menunggu di ruang depan.
Tanpa membuang waktu, Tuan Adras bergegas menemui Axel. Langkah tegasnya penuh kepastian, tak sabar ingin segera menemui Axel, membawa berita apa tentang putri yang sedang dicarinya.
Axel menjabat tangan Tuan Adras. Setelah cukup berbasa basi sekedar bertanya kabar, keduanya duduk.
"Jadi, berita apa yang ingin Pak Axel informasikan pada saya?!" tanya Tuan Adras.
"He-he-he," Axel terkekeh mencairkan suasana yang terasa tegang. "Tuan sepertinya sudah tidak sabar."
Tuan Adras menghela napas panjang. Beban berat rasa bersalah terus menghantui dirinya. Kehilangan putri yang sangat disayanginya seperti hidup tanpa arah, apalagi putrinya hilang dikarenakan keputusan yang telah diambilnya.
"Masa lalu tidak akan pernah kembali lagi," ujar Axel. "Penyesalan selalu datang terlambat, tapi saya yakin, tuan melakukan itu karena ada alasan kuat untuk melindungi putri tuan."
Tuan Adras menekan segala kesedihannya. Sorot matanya tidak bisa bohong. Pura-pura tegar di depan semua orang padahal hatinya juga penuh dengan kesedihan karena kehilangan darah dagingnya sendiri.
"Tuan Adras, sejujurnya saya belum berani untuk memberikan informasi mengenai apa yang telah saya dapatkan mengenai keberadaan putri tuan karena bukti-bukti yang saya pegang masih kurang, tapi terlepas dari itu semua, tuan jangan khawatir karena titik terang mengenai putri tuan sudah mulai terlihat. Saya janji dalam waktu dekat, saya akan memberitahu tuan jika apa yang saya duga memang itu benar-benar putri tuan," jelas Axel panjang lebar.
Kening Tuan Adras mengernyit. "Jadi saudara belum tahu mengenai putri saya?!"
"Seperti yang saya bilang tadi, saya belum berani mengungkap semuanya sebelum bukti yang saya temukan cukup kuat."
Wajah kecewa nampak di raut muka Tuan Adras. "Saudara bicara terlalu berbelit-belit. Saya pikir, saudara datang ke sini karena sudah menemukan putri saya. Kalau memang tidak sanggup dan tidak bisa menemukan putriku, lebih baik kita akhiri saja kerjasama kita ini! Saya menyesal telah bekerjasama dengan saudara kalau akhirnya akan seperti ini!"
Axel tertegun mendengar pernyataan tegas dari Tuan Adras.
"Seharusnya, saudara datang ke sini sudah mengetahui di mana keberadaan putri saya, ini malah masih berspekulasi!" ujar Tuan Adras kecewa, bangun dari duduk.
Axel mencoba meredakan kekecewaan kliennya tersebut. "Saya mengerti tuan secepatnya ingin menemukan putri yang telah lama hilang, tapi seperti yang saya bilang tadi, saya memang telah menemukan titik terang, tapi terlepas dari itu semua, saya tidak mau bertindak gegabah yang nantinya akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari."
Senyum mencemooh tersungging di bibir Tuan Adras. Hatinya kecewa, tapi apa yang dikatakan Axel ada benarnya juga.
"Tuan ,,," Axel bangun dari duduk, berdiri depan Tuan Adras. "Percaya pada saya, secepatnya saya yang akan membawa putri tuan ke rumah ini. Saya hanya minta waktu sebentar saja, hanya untuk lebih memastikan dan meyakinkan kalau apa yang telah saya temukan adalah benar."
Tuan Adras menatap tajam iris mata Axel, seakan sedang mencari kejujuran dan bukti keseriusan dari ucapan kliennya itu.
"Panti asuhan, tempat di mana semua identitas dari penghuni panti telah habis terbakar. Itu yang menyulitkan saya. Maka dari itu, saya tidak mau bertindak gegabah," sambung Axel meyakinkan Tuan Adras.
"Detektif?" "Iya," Jihan mengangguk. "Seorang detektif untuk mencari keberadaan Nyonya Adeline.""Kenapa aku tidak terpikirkan sampai ke situ?" gumam Ronald."Karena bapak terlalu fokus mencari nyonya Adeline dengan cara bapak sendiri," jawab Jihan. "Kalau begitu, aku akan mencoba minta bantuan temanku, siap tahu dia punya koneksi orang yang bisa membantuku mencari Adeline," ujar Ronald."Iya, pak. Semoga nyonya bisa cepat ditemukan."Jihan kemudian meletakkan beberapa map di atas meja. "Apa ini?" tanya Ronald."Berkas yang harus bapak tanda tangan, tapi sebelumnya bapak harus lihat lagi. Mungkin saja, saya ada kesalahan.""Iya, baiklah. Biar saya periksa lagi nanti," jelas Ronald. Setelah itu, Jihan langsung pergi meninggalkan ruangan Ronald. Kembali duduk di meja sekretarisnya. "Pak Ronald sekarang terlihat kusut dan tua. Kasihan banget," gumamnya."Siapa yang tua dan kusut?!"Jihan melonjak kaget. "Astaga!" Pria berpostur tubuh tinggi berdiri di belakang Jihan. "Hehehe. Kaget
"Kak Adeline sudah pergi," jawab Irene. "Tadi bertemu di luar, ditempat parkir.""Kenapa tadi tidak bilang kamu ada di mall ini," sergah Ronald kesal. "Aku kan tidak tahu kakak ada di mall ini! Tadi waktu ditelpon cuma bilang lagi makan siang dengan Jihan!" sanggah Irene tidak mau disalahkan.Ronald mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Tadi Adeline dengan siapa?""Dengan seorang wanita!""Wanita?"Irene mengangguk. "Iya dan kak Adeline memanggil wanita itu mama," jelasnya lagi. "Betulkan Kevin?! Kau tadi mendengarnya bukan?" "Iya," jawab Kevin."Kamu mengenal wanita yang bersama Adeline?!" tanya Ronald. Irene menggeleng. "Tidak. Dilihat dari penampilannya, wanita itu bukan orang biasa. Wanita itu sangat anggun dan berkelas."Ronald terdiam."Mereka berdua terlihat sangat akrab," lanjut Irene. "Mungkin saja ,,, ""Apa?!" "Mungkin saja wanita itu calon mertuanya," sambung IreneDeg!Jantung Ronald berdetak kencang. Seketika hawa panas langsung menyelimuti seluruh tubuhnya. "Mungki
"Bapak memang Bos yang sangat pengertian," puji Jihan. "Memuji kalau ada maunya." Ronald langsung masuk ke restoran."Yes!" Jihan tersenyum lebar mengikuti Ronald dari belakang. Ronald mencari meja yang nyaman dan strategis. "Kita duduk di mana?""Di sana saja!" tunjuk Jihan pada meja di sudut ruangan. Setelah mendapat meja yang cocok, Ronald pesan menu begitu juga dengan Jihan yang tidak hentinya tersenyum senang karena makan siangnya gratis.Tidak jauh dari meja Ronald, Adeline sedang asik mengobrol dengan Nyonya Adras, menceritakan tentang perjalanan hidupnya selama ini."Mama lega ternyata kamu di adopsi orang baik, tapi sayang sekali umur mereka tidak panjang. Mama tidak bisa mengucapkan terima kasih kepada orangtua angkat mu.""Iya. Mereka meninggal saat aku masih muda. Tapi aku tetap bersyukur telah mengenal mereka dan melindungiku dari panas dan hujan," jelas Adeline. "Mereka sangat menyayangi aku.""Andai mereka masih ada, mama pasti akan mengucapkan banyak terima kasih."
Seorang pegawai butik datang dengan membawa nampan kecil. "Ini juice pesanannya. Silahkan.""Terima kasih," jawab Nyonya Adras tersenyum ramah."Sama-sama, nyonya." Tak lama kemudian datang pegawai yang lain. "Maaf, nyonya, Nyonya Kati meminta anda datang ke ruangannya.""Saya?" Nyonya Adras menunjuk dirinya sendiri karena di situ juga ada Nyonya Melani."Iya. Mari ikut dengan saya, nyonya," jawab pegawai tersebut."Iya, baiklah." Nyonya Adras mengambil tas brandednya. "Maaf Nyonya Melanie, saya masuk dulu.""Iya, silahkan." Nyonya Adras pergi mengikuti pegawai butik masuk ke salah satu ruangan meninggalkan Melanie yang menatapnya tanpa berkedip."Benar-benar wanita berkelas, dari ujung kaki sampai ujung rambut semua barang yang dipakainya branded. Apalagi kalung diamond yang berkilauan itu, aku yakin harganya ratusan juta," gumam Melanie.Di dalam ruangan, Adeline sudah memilih beberapa pakaian yang cocok dengannya. "Ma, lihat ini. Apa cocok untukku?""Ini pakaian yang kamu pili
"Sudahlah, lupakan dulu masalahmu itu. Sekarang, kamu bersiap-siap.""Bersiap-siap untuk apa?" tanya Adeline."Kita akan pergi belanja.""Mama mau beli apa?!" tanya Adeline. "Kita akan beli semua keperluan mu. Banyak yang harus kita beli. Kamu butuh baju dan perhiasan.""Aku tidak perlu semua itu. Bajuku juga banyak dan masih layak dipakai," jelas Adeline. "Ikuti saja apa yang mama katakan." "Tapi ma ,,,,"Nyonya Adras bangun dari duduk. "Tidak ada tapi-tapian."Adeline menghela napas, melihat wajah mamanya. "Baiklah, ma."Tidak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk bersiap dan dalam waktu yang singkat telah sampai di mall. "Pak sopir, ini uang untuk beli kopi. Tunggu di dimanapun yang kau mau, tapi jangan terlalu jauh. Aktifkan selalu ponselnya," ucap Nyonya Adras pada sopir pribadinya."Baik, nyonya.""Ayo, Adeline. Kita akan membeli semua keperluanmu."Nyonya Adras dan Adeline ke luar dari dalam mobil. Adeline hanya mengikuti apa yang dikatakan mamanya. Walau terasa mas
Semua orang langsung menoleh ke arah pintu. "Selamat pagi kak Ronald," sapa Pamela.Ronald duduk di kursi tempat biasa. "Pagi," jawabnya. "Siapa tadi yang tukang selingkuh?""Istrimu," jawab Melani.Tidak ada ekspresi dari Ronald, dengan santainya mengoles roti pakai mentega. "Bibi, minta kopi seperti biasa, jangan terlalu manis.""Iya, tuan.""Kakak kurang tidur ya?" tanya Pamela."Kenapa?""Mata kakak seperti panda, ada lingkaran hitamnya," jawab Pamela."Tapi tetap ganteng, kan?" "He-he-he. Iya tetap ganteng." Pamela terkekeh. "Kak ....""Kenapa?" "Uang jajanku belum ditransfer sudah telat tiga hari," jelas Pamela."O ya? Pasti kakak lupa," jawab Ronald mengambil ponsel yang ada di saku jasnya. "Ini kakak transfer."Tak lama terdengar bunyi notif pesan dari ponsel Pamela. "Terima kasih kak.""Belajar yang rajin. Kalau kamu juara kelas tahun ini, nanti kakak kasih hadiah."Mata Pamela berbinar. "Hadiah?""Iya, kamu boleh minta apapun" jawab Ronald sambil menguyah roti."Hadiahnya