Sementara itu di Kediaman Ronald Wijaya.....
"Baru tiga hari yang lalu kamu kakak transfer. Masa sudah habis lagi?" tanya Ronald heran. "Habis dong kak! Uang jajan yang kakak kasih, tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus," protes Irene. "Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela." "Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan mobil sendiri," tebak Pamela. "Iya dong!" Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok." "Hati-hati kamu kalau bicara!" bentak Irene tersinggung. "Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke klub malam. Seksi bener!" ledeknya. Wajah Irene memerah. Aliran darahnya terasa mendidih. "Kurang ajar kau!" "Apa?! Kenapa?! Marah?! Memang begitu kenyataannya! Kamu ini paling boros dalam urusan uang. Kak Ronald itu banting tulang mencari uang buat kita semua setelah papa meninggal, tapi kakak dengan seenaknya menghambur-hamburkan uang! Apa kakak tidak kasihan dengan kak Ronald?!" "Perusahaan yang Kak Ronald pegang sekarang, itu juga punya papa! Jadi, aku ada hak untuk minta uang!" teriak Irene semakin emosi menatap nyalang pada Pamela. "Irene! Pamela! Tutup mulut kalian!" teriak Mama tak kalah kencang dari suara Irene. "Apa yang kalian ributkan?" Irene menatap Pamela penuh amarah, begitu juga sebaliknya, Pamela menatap Irene dengan tidak kalah sewot. "Bocah ini yang mulai ma!" tunjuk Irene pada Pamela. "Kau yang mulai!" Pamela tak mau kalah. "Ada apa dengan kalian berdua ini?! Kenapa selalu ribut kalau sedang berkumpul?! Kamu juga Irene, apa tidak bisa mengalah sedikit pada adikmu?!" bentak mama sewot. Pamela mendelik puas pada kakaknya. Merasa di atas angin karena mama membelanya. "Dan kamu juga Pamela, bicara yang sopan pada kakakmu. Biar bagaimanapun, dia adalah kakakmu yang harus kamu hormati." Giliran Irene yang meledek Pamela dengan menjulurkan lidahnya. "Rasain gentong!" Ronald hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kedua adiknya yang tidak pernah bisa akur. "Kalian ini sudah besar, kenapa seperti anak kecil? Selalu saja bertengkar!" tegur mama kesal. "Apa harus salah satu dari kalian mama masukin ke asrama?" "Tidak! Aku tidak mau!" jawab Irene dengan cepat. "Pamela saja yang masuk asrama." "Eh, sembarangan! Aku juga tidak mau, kakak saja yang masuk asrama biar ada sedikit pengiritan di rumah ini," jawab Pamela. "Makin kurang ajar mulutmu itu!" amarah Irene yang sudah mereda, tersulut kembali mendengar ucapan adiknya. "Stooop! Hentikan!" teriak mama kencang habis kesabaran. "Kalian berdua yang akan mama masukan ke asrama kalau kalian tidak bisa berhenti!" Ronald melihat arloji di tangannya. "Ini sudah siang, aku harus segera berangkat ke kantor. Pagi ini ada meeting penting." "Ronald, jangan lupa transferannya," Mama mengingatkan putranya. "Iya ma, tenang saja. Nanti aku akan minta sekretarisku untuk transfer ke rekening mama." "Ok, thank you." "Lalu aku?" tanya Irene. "Uang sakumu baru tiga hari yang lalu aku transfer. Tunggu satu minggu lagi, baru ditransfer," jawab Ronald. "Tidak bisa begitu kak! Satu minggu itu sangat lama," rengek Irene. "Bagaimana aku bilang pada teman-temanku nanti, kalau mereka mengajak aku jalan ke mall." "Bilang saja tidak punya duit! Begitu saja repot," jawab Pamela bangun dari duduknya. "Berisik!" Pamela mendelik pada Irene. "Aku ikut dengan kak Ronald. Tak sudi duduk satu mobil dengan orang serakah!" "Bagus! Aku jadi bebas, duduk sendirian di dalam mobil. Tidak menghirup udara yang sama dengan bocah tengil!" balas Irene langsung pergi begitu saja melewati Ronald yang telah membuatnya kesal karena tidak diberi uang. "Irene!" panggil mama begitu melihat pakaian yang dipakai anak gadisnya sangat ketat dengan rok mini yang pendek sekali. "Irene!" "Ada apa lagi sih?" tanya Irene kesal menghentikan langkahnya, membalikan badannya melihat Melanie. "Kamu itu mau ke kampus, mau belajar, tapi kenapa pakaianmu seperti itu? Cepat ganti!" "Apa yang salah dengan pakaianku?!" sergah Irene. "Itu roknya pendek sekali!" tunjuk mama geram. "Ini tidak pendek ma, biasa saja," jawab Irene melihat roknya sendiri. "Cepat ganti!" "Ini sudah siang, tidak ada waktu untuk ganti baju lagi!" jawab Irene ketus. "Dosen yang masuk mata pelajaran pertama bisa membunuhku, jika aku terlambat masuk," Irene langsung pergi dengan terburu-buru. "Irene!" panggil Nyonya Melani dengan suara menggelegar. Yang dipanggil tak sedikitpun menghiraukan teriakan mamanya. "Dasar bocah keras kepala!" geram Nyonya Melani melihat putrinya tak menghiraukan panggilannya. "Ma," Ronald mengelus lembut bahu Nyonya Melanie. "Sudah, biarkan saja. Irene masih muda, mama jangan terlalu tegang begitu. Nanti tensinya bisa naik." Mama menghela napas. "Anak itu memang keras kepala." "Nanti juga Irene akan berubah. Mama jangan khawatir," Ronald tak hentinya menenangkan hati mamanya. "Anak itu memang selalu membuat mama sakit kepala!" Ronald tidak menjawab. Namun dalam hati, ia setuju. Inikah yang selama ini dirasakan Adeline? Mengapa dulu ia tak percaya atau mencoba mendengarnya? Ronald menggelengkan kepala. Meski demikian, bukankah Adeline harusnya berkata padanya lebih tegas padanya, sampai dia mau percaya? Bukannya malah pergi dengan selingkuhannya! "Oh, iya Ronald, kamu sudah menceraikan benalu itu kan? Mama tak sudi punya menantu sepertinya. Apa coba yang bisa wanita itu banggakan?! Hanya bikin malu keluarga Wijaya saja!" Ucapan sang ibu membuat Ronald tak nyaman. "Ma!" tegurnya. "Ck! Dari awal pernikahan, mama tidak setuju kamu memperistrinya! Kalau bukan karena kamu yang memohon-mohon agar mama memberikan restu, cuiiih .... sampai matipun mama tidak akan setuju kamu menikah dengan wanita itu!" "Kamu dengar mama!" Melanie melihat putranya hanya diam mematung. "Mama tidak mau mendengar alasan apapun! Secepatnya, kamu ceraikan wanita murahan itu! Wanita yang tidak tahu bibit, bebet dan bobotnya!" Setelah itu, Melanie angkat kaki--tanpa memberi kesempatan putranya itu untuk membela diri. Apa yang telah menjadi keputusannya adalah harga mati yang tak boleh dibantah! "Rasakan," gumamnya, kesal. Entahlah, pokoknya dia benci dengan calon mantan menantunya itu! Toh, dia yakin Adeline pasti akan hidup sulit bila jauh dari putranya! Iya, kan?"Sudahlah, lupakan dulu masalahmu itu. Sekarang, kamu bersiap-siap.""Bersiap-siap untuk apa?" tanya Adeline."Kita akan pergi belanja.""Mama mau beli apa?!" tanya Adeline. "Kita akan beli semua keperluan mu. Banyak yang harus kita beli. Kamu butuh baju dan perhiasan.""Aku tidak perlu semua itu. Bajuku juga banyak dan masih layak dipakai," jelas Adeline. "Ikuti saja apa yang mama katakan." "Tapi ma ,,,,"Nyonya Adras bangun dari duduk. "Tidak ada tapi-tapian."Adeline menghela napas, melihat wajah mamanya. "Baiklah, ma."Tidak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk bersiap dan dalam waktu yang singkat telah sampai di mall. "Pak sopir, ini uang untuk beli kopi. Tunggu di dimanapun yang kau mau, tapi jangan terlalu jauh. Aktifkan selalu ponselnya," ucap Nyonya Adras pada sopir pribadinya."Baik, nyonya.""Ayo, Adeline. Kita akan membeli semua keperluanmu."Nyonya Adras dan Adeline ke luar dari dalam mobil. Adeline hanya mengikuti apa yang dikatakan mamanya. Walau terasa mas
Semua orang langsung menoleh ke arah pintu. "Selamat pagi kak Ronald," sapa Pamela.Ronald duduk di kursi tempat biasa. "Pagi," jawabnya. "Siapa tadi yang tukang selingkuh?""Istrimu," jawab Melani.Tidak ada ekspresi dari Ronald, dengan santainya mengoles roti pakai mentega. "Bibi, minta kopi seperti biasa, jangan terlalu manis.""Iya, tuan.""Kakak kurang tidur ya?" tanya Pamela."Kenapa?""Mata kakak seperti panda, ada lingkaran hitamnya," jawab Pamela."Tapi tetap ganteng, kan?" "He-he-he. Iya tetap ganteng." Pamela terkekeh. "Kak ....""Kenapa?" "Uang jajanku belum ditransfer sudah telat tiga hari," jelas Pamela."O ya? Pasti kakak lupa," jawab Ronald mengambil ponsel yang ada di saku jasnya. "Ini kakak transfer."Tak lama terdengar bunyi notif pesan dari ponsel Pamela. "Terima kasih kak.""Belajar yang rajin. Kalau kamu juara kelas tahun ini, nanti kakak kasih hadiah."Mata Pamela berbinar. "Hadiah?""Iya, kamu boleh minta apapun" jawab Ronald sambil menguyah roti."Hadiahnya
Ronald merasakan seluruh aliran darahnya seakan membakar tubuh. Elusan demi elusan jari jemari Bianca di dada Ronald semakin memancing hasrat."Kenapa aku merasakan ada yang aneh?" bisik hati kecil Ronald di antara kesadarannya yang masih tersisa. Bianca tidak memberi kesempatan Ronald untuk menghindar. Tangannya terus saja bergerak menyusuri setiap lekuk tubuh Ronald."OMG, apa yang terjadi denganku?! Kenapa tubuhku panas?!" Ronald berusaha menghindari tangan Bianca yang terus menerus menggerayangi tubuhnya.Bianca tersenyum senang, obat yang telah dicampurkan dengan air minum perlahan mulai bereaksi, tapi ada sedikit rasa kesal karena Ronald berusaha untuk melawan reaksinya."Tidak, ini salah. Tidak ... Ini ada yang tidak beres di sini," hati kecil Ronald terus memberontak. Walau hati dan tubuhnya bertentangan, tapi Ronald masih berusaha untuk bisa menjaga kewarasannya hingga pada titik di mana Ronald mendorong tubuh Bianca, kemudian langsung pergi ke kamar mandi lalu mengunci pi
"Sedang apa kamu di sini?""Menyambut calon suamiku," jawab Bianca."Jangan mengkhayal Bianca. Aku tidak suka mendengarnya!" bantah Ronald ketus.Bianca bangun mendekati Ronald. "Aku tidak sedang mengkhayal. Mama kamu yang mohon padaku agar mau menjadi istrimu dan tentunya untuk mendapatkan keturunan."Ronald melengos mendengar apa yang dikatakan Bianca.'Memangnya kamu mau menghabiskan sisa hidupmu tanpa adanya keturunan?" ledek Bianca. "Hidup dalam kesepian."Ronald membuka sepatu satu per satu. "Aku lelah. Sebaiknya kau juga istirahat, ini sudah larut malam."Bianca bukannya pergi, malah duduk dengan manisnya. "Aku belum mengantuk."Ronald tidak menghiraukan Bianca, langsung masuk ke kamar mandi, tubuhnya terasa lengket. Bicara dengan Bianca hanya membuang waktu.Bianca tersenyum senang, tangannya sedang memegang botol kecil. "Bagaimana caranya agar Ronald bisa minum ini? Apa yang harus aku lakukan?"Bianca mendengar suara air dari dalam kamar mandi. "Mumpung Ronald lagi mandi, ini
Ronald menghirup uap kopi miliknya. Dirinya sudah malas untuk bicara dengan Rani."Apa kamu sudah punya anak?" tanya Rani basa basi untuk memancing Ronald bicara."Bukan urusanmu!" jawab Ronald ketus.Rani tersenyum kecut. "Sialan. Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa. Pantang bagiku untuk kalah dari pria yang sok suci sepertimu!" bisik hati kecil Rani.Ronald mengedarkan pandangan ke sekeliling, meja dan bangku panjang yang tadi kosong sekarang sudah banyak orang. Kebanyakan dari mereka para pria yang sengaja datang untuk minum kopi sambil merokok dan mengobrol."Mau tambah kopinya?" tanya Rani ketika melihat cangkir kopi Ronald sudah mau habis."Tidak!""Sepertinya kau sedang ada masalah," tebak Rani."Jangan sok tau!" "Wajahmu yang mengatakannya," sambung Rani.Ronald mendengus kesal. "Boleh percaya atau tidak, aku bisa membaca orang lewat wajahnya," ujar Rani menatap lekat wajah Ronald. "Kau sedang dalam masalah besar.""Memangnya kau seorang cenayang?!" "Hi-hi-hi," Ran
Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah semua orang yang berada di mansion Tuan Adras. Putri satu-satunya yang telah lama hilang bertahun-tahun sekarang telah kembali. "Mama sangat bahagia sekali, sekarang kamu telah berada ditengah-tengah kami. Sekarang keluarga kita lengkap lagi.""Iya, pencarian kita selama bertahun-tahun membuahkan hasil. Ini semua berkat Pak Axel. Dulu kami meminta bantuan orang lain untuk mencari putri kami, tapi tidak pernah ada hasilnya. Setelah Pak Axel yang menanganinya, ternyata sangat membuahkan hasil. Adeline Shabira Evander telah kembali," sambung Tuan Adras dengan wajah yang berseri melihat putrinya."Tuan terlalu berlebihan memuji, saya hanya meneruskan apa yang telah orang lain kerjakan," jawab Axel merendah."Aku sekarang punya kakak, ada tempat untuk cerita. Rasanya senang sekali." Adrian ikut bicara."Memangnya kamu tidak bisa cerita ke mama?""Bisa, tapi rasanya berbeda kalau cerita ke kakak sendiri. Kalau ke mama pasti ujungnya aku diomelin," ja