Share

5. Obrolan Warung Kopi

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-10 16:15:00

Cahaya sore menyelinap masuk lewat sela tirai tipis di ruang kerja yang sempit. Di atas meja kayu yang mulai usang, laptop terbuka dengan dokumen panjang yang menunggu untuk disunting. Jari-jari Bumi bergerak lambat, menyoroti kalimat demi kalimat dengan tatapan yang seolah membaca lebih dari sekadar kata-kata—seolah mencari arah, atau jawaban.

Ia menekuk lehernya ke kiri, terdengar bunyi kecil dari ruas-ruas tulang. Bahunya pegal. Sudah lebih dari dua jam ia duduk di kursi yang terlalu keras untuk pekerjaan yang terlalu sunyi.

Beberapa cangkir kopi kosong berjejer di meja samping di antara tumpukan buku dan sticky note warna pastel. Biasanya, dan itu sudah lama, suara Tari mengisi sela-selanya. Tertawa pelan dari dapur. Suara air mengalir dari kamar mandi. Pertanyaan-pertanyaan kecil tentang hari, makan malam, dan rasa lelah.

Sekarang, hanya suara keyboard saja yang terdengar, juga gesekan halaman buku yang dibalik.

Bumi menarik napas panjang dan menatap layar. Ia mencoba fokus. Naskah yang disuntingnya adalah memoar seorang perempuan tua yang kehilangan anaknya karena kecelakaan. Kalimat demi kalimat penuh luka, tetapi tertata. Rapi dan rasional. Seolah sang penulis sudah lebih dulu selesai dengan dukanya.

Bumi tidak. Ini baru dimulai.

Setiap jeda dalam suntingan seperti celah kecil yang cukup untuk ingatan menyelinap masuk—membawanya kembali ke suasana rumah mertuanya pagi tadi. Tidak ada pertengkaran dalam perjalanan pergi, tidak ada juga perbincangan. Ia mengingat bagaimana tangan Tari memeluk tasnya terus-menerus, seakan tak ingin bersentuhan dengan dirinya sedikit pun di atas motor.

Dan… bagaimana ibunya—ah, ibu mertuanya itu—tatapan dingin yang tak pernah berubah akhir-akhir ini, dan itu menjadi jarak yang tidak bisa ia jembatani. Sikap ayah dan ibu mertuanya terhadap Angga sungguh berbeda. Senyum yang hangat, sapaan yang tulus, pelukan ringan di bahu.

Sementara untuknya—diam, atau sekadar anggukan kosong. Ia bukan bagian dari mereka. Mungkin memang tak pernah.

Apakah itu cara keluarga Tari mengatakan bahwa mereka menginginkan perceraian itu terjadi? Apakah mereka menunggu momen ini sejak lama—dan kini hanya tinggal menyingkirkan sisa-sisa keraguan?

Bumi mengusap wajahnya, lalu bersandar di kursi, menatap langit-langit.

Selama ini ia berpikir bahwa cinta bisa menyambung jarak, menjembatani perbedaan, menahan hujan. Tapi hari ini ia merasa seperti sedang mengering pelan-pelan di dalam rumah yang sudah kehilangan atap.

Kemiskinan tidaklah diterima.

Beberapa kali Bumi melirik layar ponselnya yang tergeletak di sisi laptop. Tidak ada notifikasi baru. Ia menggeser layar—hanya ada pesan yang ia kirim tadi siang, masih tetap tanpa balasan.

> “Kabari aku kapan harus kujemput, ya...”

Pesan yang singkat, ringan, tapi kini terasa menggantung seperti tanya yang tak punya tempat mendarat. Ia menatapnya beberapa detik, seakan berharap balasan muncul begitu saja. Tapi layar tetap sunyi, sama sunyinya dengan ruangan ini.

Mungkin Tari masih sedang makan siang atau sore bersama keluarganya. Ayah dan ibunya duduk di ujung meja panjang. Ira dan Wina berceloteh ringan. Angga tertawa kecil sambil menepuk lengan Aldi. Mereka berbagi sendok, saling berbagi makanan favorit, menertawakan sesuatu yang hanya dimengerti mereka.

Sebuah keluarga yang utuh. Tanpa dirinya.

Bumi menahan napas, lalu mengembuskannya perlahan. Ia tahu pikirannya bisa berlebihan, tapi tak bisa menghentikannya. Ada ruang kosong di dalam dirinya yang tak berhasil diisi oleh apa pun—dan Tari, dalam diam dan kesalnya, seolah memilih untuk memperlebar ruang itu.

Bumi menutup laptop, berdiri, dan meraih jaket dari gantungan di belakang pintu. Ia butuh udara. Butuh ruang lain yang bukan tembok dan kenangan. Mungkin juga butuh sedikit kebodohan, sedikit pelarian.

Langkahnya membawanya ke warung kopi kecil di ujung jalan. Tempat itu tak banyak berubah: bangku kayu, meja bundar, dan aroma kopi yang pekat bercampur suara motor sesekali melintas.

Di sana, ia memesan kopi hitam. Panas, pekat, pahit dengan sedikit gula. Lalu ia membeli sebungkus rokok dari etalase kecil di sebelah kasir—sesuatu yang sudah lama tak ia sentuh lagi.

Satu isapan pertama terasa asing, lalu perlahan familiar. Asapnya naik pelan, menciptakan kabut tipis di antara pikirannya yang kusut. Bumi menutup mata sebentar, membiarkan rasa terbakar itu memenuhi dadanya.

Mungkin ini bukan soal kebiasaan lama yang kembali. Mungkin ini soal butuh sesuatu yang bisa membuatnya merasa masih hidup.

Asap rokok perlahan menipis di antara meja-meja kayu yang mulai terisi. Sore menjelang malam membuat warung kopi kecil itu lebih ramai, meski tetap tenang. Orang-orang datang dengan jaket tipis, beberapa membawa helm di tangan, dan aroma hujan yang menggantung di udara.

Bumi duduk di pojok, punggungnya bersandar pada dinding setengah semen, setengah kayu. Kopi di tangannya mulai mendingin. Di meja sebelah, tiga pria paruh baya duduk melingkar sambil membagi rokok dan seteko kopi hitam. Suara mereka tidak keras, tapi cukup jelas untuk sampai ke telinga Bumi.

“Aku tuh bingung ya,” kata salah satu dari mereka, suaranya berat dan lambat, “kalau laki-laki kerja, dibilang nggak becus karena uangnya kurang. Tapi kalau nganggur di rumah, dibilang pemalas. Mau diapain coba?”

“Betul,” sahut yang lain, mengangkat gelasnya. “Duduk di depan rumah aja dibilang nggak punya malu. Padahal mikirin utang. Giliran keluar cari kerja, dibilang keluyuran dan lari dari tanggung jawab.”

Tawa kecil pecah di antara mereka. Bumi menoleh pelan, tak ikut tertawa, tapi bibirnya membentuk senyum tipis yang nyaris tak terlihat.

“Pokoknya, kalau miskin tuh, semua yang lo lakukan salah. Istri lo liat muka lo aja udah capek. Salah gerak dikit, dikira nyusahin.”

“Tapi ya mau gimana,” tambah yang pertama lagi, “hidup tetap harus jalan, kan?”

Bumi menunduk sedikit, membiarkan kata-kata itu merembes masuk seperti air hujan yang mencari celah genting.

Ia mengingat wajah Tari pagi tadi—yang dingin, tapi juga lelah. Ia mengingat betapa kerasnya ia bekerja beberapa bulan terakhir, menyunting naskah demi naskah sampai mata perih dan bahu pegal, tapi tetap merasa tak cukup. Tidak cukup bagi Tari. Tidak cukup bagi mertuanya. Tidak cukup bahkan untuk dirinya sendiri.

Semua yang dilakukannya seolah selalu kurang. Salah langkah, salah niat, salah waktu.

Ia mengangkat cangkir dan menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya masih tertinggal, seperti sisa-sisa perdebatan dalam dirinya yang belum juga reda. Tapi untuk sesaat, ada semacam kenyamanan aneh mendengar keluhan-keluhan itu. Seolah ia tidak sendiri. Seolah, tanpa sengaja, warung kopi ini memberinya ruang untuk merasa wajar.

Ia menyandarkan kepala ke dinding, memejamkan mata sebentar. Di antara kepulan asap, suara tawa serak, dan kopi pahit yang menghangatkan lambung, ia menemukan sepotong kelegaan kecil—bahwa mungkin ia tidak gila. Bahwa mungkin perasaannya valid. Bahwa menjadi lelaki yang lelah bukanlah dosa.

Salah satu dari mereka—yang dari tadi lebih banyak diam sambil menghisap rokok sampai hampir ke filternya—akhirnya buka suara. Suaranya serak, tapi bernada pahit yang jujur.

“Yang lucu tuh,” katanya pelan, “kalau lu jadi menantu miskin, senyum mertua tuh kayak diskon akhir tahun—jarang dan penuh syarat.”

Tawa kecil terdengar, bercampur dengan batuk dari pria yang barusan menyesap kopi terlalu cepat.

“Betul,” sahut yang lain cepat, matanya berbinar seperti menemukan kawan senasib. “Tapi giliran si menantu baru, yang kerja kantoran, bawa mobil, gaji dua digit... wih, langsung dipanggil Nak, disodorin buah tangan tiap pulang.”

Tawa mereka pecah lebih keras sekarang. Bumi tersenyum tipis lagi, tapi matanya tetap tenang. Ada rasa getir yang ikut mengalir di balik tawa itu. Ia tak mengenal nama-nama mereka, tak tahu apa pekerjaan atau latar belakang mereka. Tapi rasanya ia tahu persis dunia yang sedang mereka bicarakan.

“Padahal ya,” lanjut pria pertama lagi, nadanya mulai serius, “kadang yang miskin itu justru yang paling jujur niatnya. Tapi karena nggak bisa bawa apa-apa selain diri sendiri, ya dianggap beban.”

Bumi tak ikut menanggapi. Ia hanya duduk bersandar di batu besar, kedua lengannya terlipat di dada. Tatapannya tenang, seolah suara-suara itu mengalir melewatinya tanpa riak—namun dari caranya menoleh sesekali dan mengernyit tipis, jelas ia menyimak. Seperti biasa, ia memilih diam, menyimpan pikirannya dalam-dalam, hanya memberikannya ketika benar-benar dibutuhkan.

Bumi menatap cangkirnya yang kini hanya menyisakan ampas. Di bawah cahaya remang dan bau rokok yang makin pekat, ia merasa sedang berada di dalam ruang pengakuan tak resmi—sebuah mihrab bagi lelaki-lelaki yang kalah oleh keadaan, tapi masih mencoba bertahan dengan sedikit tawa dan pahit kopi.

Ia bersandar lagi, memejamkan mata. Kata-kata itu terpantul-pantul dalam benaknya, seperti gema dari sesuatu yang sudah ia tahu, tapi baru sekarang bisa ia akui: bahwa mungkin, di mata keluarga Tari, ia memang tidak pernah cukup.

Dan mungkin... cinta semata, itu memang bukanlah hal yang berharga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Farhat Ashshidiq
apa si tari tidak ingin bekerja juga untuk membantu ekonomi rumah tangganya....hmmm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    160A. Produser 1

    Radit awalnya mengabaikan pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal itu. Namun begitu membaca nama pengirim—Reno, keponakan jauh dari sepupu ibunya—ia menghela napas dan akhirnya membuka pesan tersebut:> "Om Radit, maaf mengganggu. Saya mau tanya sesuatu… Om bersedia nggak jadi investor film pendek indie? Teman-teman kampus saya lagi bikin proyek akhir. Kami butuh dana 75–100 juta."Radit memijit kening. Sudah terlalu sering ia menerima pesan serupa, dan biasanya berakhir pada permintaan pinjaman uang. Ia hampir menutup chat ketika pesan berikut menyusul:> "Filmnya horor, Om. Judulnya Tolong. Durasi 30 menit. Konsepnya festival, bukan komersial. Jadi kami nggak bisa janji balik modal. Tapi… kalau Om bersedia, nama Om masuk di credit title sebagai Executive Producer."Kali ini Radit berhenti. Dua kata itu seperti mengetuk bagian dirinya yang jarang tersentuh: Executive Producer. Ia bahkan tak sepenuhnya paham a

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159B. Kisah-Kisah dari Bumi 2

    Sita dan Bumi saling melirik, siaga.“Jadi…” William menarik napas, “Emmet… wants to make a film.”Sepersekian detik ruang menjadi hening. Mahasiswa yang tadinya hanya mendengar sambil lalu, kini merunduk mendekat tanpa sadar.“Film apa?” tanya Sita, meski firasatnya mulai menebak arah pembicaraan.William menatap Kirana sekejap, kemudian kembali ke layar. “Sita… Emmet wants to adapt Stories from Earth into a movie.”Sita terpaku.Bumi bahkan kehilangan kedipan, menatap layar seperti tak yakin mendengar benar.“Wait—apanya?” Bumi memastikan. “Stories from Earth-nya Sita? Novel yang itu?”Sita menghela napas pelan, dada naik turun.William mengangguk mantap. “He thinks it’s brilliant. The themes, the arcs, the visual world… he sees something powerful in it. Powerful enough to pitch to a studio.”S

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159A. Kisah-Kisah dari Bumi 1

    Kirana mulai menjadi sorotan publik di Amerika. Bukan hanya karena reputasinya sebagai aktris internasional, tetapi juga sebagai istri dari William Lewis—sinematografer muda yang tengah naik daun. Media hiburan kerap memotret mereka diam-diam, lalu membubuhkan narasi manis atau sensasional.Foto Kirana menyuapi William saat sang suami sibuk menatap monitor kamera tersebar di media sosial; video William merapikan kerah kemeja Kirana di parkiran sebelum mereka masuk ke sebuah toko kecil menjadi perbincangan hangat. Bahkan, wajah dan kulit Kirana yang dianggap “eksotis” oleh publik Amerika pun ikut menjadi bahan tulisan.Di kampus, Kirana tak kalah ramai dikelilingi mahasiswa setiap selesai mengajar. Banyak dari mereka berharap Kirana dapat membuka jalan agar mereka bisa terlibat dalam film berikutnya yang mungkin ia bintangi. Kirana selalu menceritakannya kepada William dengan tawa yang tak bisa ia tahan.“Fiuh…,” William menjat

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158B. Gelak Tawa dan Kebersamaan 2

    Pandu bersiul pelan, menegakkan tubuh, lalu menyandarkan diri ke sofa sambil menyilangkan tangan di dada—seolah siap memberi komentar kelas dunia. “Apa yang harus kukatakan…” Ia menoleh dramatis ke Sita dan William. “Hollywood wife? Tidak.” Ia menunjuk Kirana dan William bergantian. “Kau meninggalkan kampus prestisius di Paris untuk mengajar di kampus Amerika. Kau aktris; dia sinematografer Hollywood. Kalian itu…” Pandu mengangkat dagu, menatap mereka seolah sedang mempresentasikan poster film. “…power couple.”William menepuk dada bangga—pura-pura seperti bintang film Marvel yang baru keluar red carpet. “You hear that?” katanya pada Kirana, mencondongkan bahu. “Power couple. I like that.”Kirana terkekeh kecil, tetapi matanya sedikit berkilat—ada haru yang ditahan. Ia menatap wajah-wajah di hadapannya satu per satu. Wajah-wajah yang menjadi kotak harta karunnya selama ini—rumah yang selalu ia pulang, meskipun jarak memisahkan.

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158A. Gelak Tawa dan Kebersamaan 1

    Rumah Kirana sore itu penuh kehangatan. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi camilan yang mengundang selera. Gelas-gelas berisi es teh dingin berembun di atas meja kecil, sementara gitar tua bersandar manis di dinding, seperti sedang menunggu seseorang memainkannya dalam waktu dekat.Kirana duduk bersila di lantai karpet, kaus gombrong yang ia kenakan benar-benar jauh dari citra desainer modenya. Di sebelahnya, William berkutat dengan toples rengginang yang seolah sengaja dibuat untuk melawan kekuatan manusia.“Aku kira kau kuat, Will,” ujar Pandu sambil menopang dagunya, wajahnya sudah siap menertawakan. “Kamera film saja bisa kau gendong sendirian, masa toples kalah?”William memutar tutupnya sekali lagi—berdecit keras—tetapi tetap tak bergerak. Ia mendesah dramatis. “Toples ini terbuat dari bahan yang lebih kuat dari… pernikahan selebritas,” gerutunya.Seisi ruangan langsung meledak d

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    157B. Merasa Utuh 2

    Beberapa hari setelah pesta selesai, ketika semua tamu telah kembali ke kehidupan masing-masing dan gaun kebaya Kirana telah kembali terlipat rapi dalam lemari, tibalah saatnya kabar itu dibagikan kepada dunia.Bukan bocor.Bukan rumor.Tim kreatif milik William, dengan persetujuan Kirana dan keluarga, mengirimkan rilis resmi kepada beberapa media internasional pilihan — lengkap dengan foto dan pernyataan singkat. Mereka menunggu sampai cinta itu benar-benar menjadi milik mereka dahulu, sebelum akhirnya membiarkan dunia ikut merayakannya.Dan hanya dalam beberapa jam… berita itu menyebar laksana nyala kecil yang menjalar ke segala arah.HOLLYWOOD INSIDER:> “Tanpa rumor kencan. Tanpa dugaan. Tanpa tanda-tanda sebelumnya. Dunia dikejutkan ketika aktris pemenang Oscar, Cempaka Kirana, menikah dengan sinematografer kenamaan William Lewis dalam sebuah upacara pribadi di Bandung, Indon

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status