Cahaya sore menyelinap masuk lewat sela tirai tipis di ruang kerja yang sempit. Di atas meja kayu yang mulai usang, laptop terbuka dengan dokumen panjang yang menunggu untuk disunting. Jari-jari Bumi bergerak lambat, menyoroti kalimat demi kalimat dengan tatapan yang seolah membaca lebih dari sekadar kata-kata—seolah mencari arah, atau jawaban.
Ia menekuk lehernya ke kiri, terdengar bunyi kecil dari ruas-ruas tulang. Bahunya pegal. Sudah lebih dari dua jam ia duduk di kursi yang terlalu keras untuk pekerjaan yang terlalu sunyi. Beberapa cangkir kopi kosong berjejer di meja samping di antara tumpukan buku dan sticky note warna pastel. Biasanya, dan itu sudah lama, suara Tari mengisi sela-selanya. Tertawa pelan dari dapur. Suara air mengalir dari kamar mandi. Pertanyaan-pertanyaan kecil tentang hari, makan malam, dan rasa lelah. Sekarang, hanya suara keyboard saja yang terdengar, juga gesekan halaman buku yang dibalik. Bumi menarik napas panjang dan menatap layar. Ia mencoba fokus. Naskah yang disuntingnya adalah memoar seorang perempuan tua yang kehilangan anaknya karena kecelakaan. Kalimat demi kalimat penuh luka, tetapi tertata. Rapi dan rasional. Seolah sang penulis sudah lebih dulu selesai dengan dukanya. Bumi tidak. Ini baru dimulai. Setiap jeda dalam suntingan seperti celah kecil yang cukup untuk ingatan menyelinap masuk—membawanya kembali ke suasana rumah mertuanya pagi tadi. Tidak ada pertengkaran dalam perjalanan pergi, tidak ada juga perbincangan. Ia mengingat bagaimana tangan Tari memeluk tasnya terus-menerus, seakan tak ingin bersentuhan dengan dirinya sedikit pun di atas motor. Dan… bagaimana ibunya—ah, ibu mertuanya itu—tatapan dingin yang tak pernah berubah akhir-akhir ini, dan itu menjadi jarak yang tidak bisa ia jembatani. Sikap ayah dan ibu mertuanya terhadap Angga sungguh berbeda. Senyum yang hangat, sapaan yang tulus, pelukan ringan di bahu. Sementara untuknya—diam, atau sekadar anggukan kosong. Ia bukan bagian dari mereka. Mungkin memang tak pernah. Apakah itu cara keluarga Tari mengatakan bahwa mereka menginginkan perceraian itu terjadi? Apakah mereka menunggu momen ini sejak lama—dan kini hanya tinggal menyingkirkan sisa-sisa keraguan? Bumi mengusap wajahnya, lalu bersandar di kursi, menatap langit-langit. Selama ini ia berpikir bahwa cinta bisa menyambung jarak, menjembatani perbedaan, menahan hujan. Tapi hari ini ia merasa seperti sedang mengering pelan-pelan di dalam rumah yang sudah kehilangan atap. Kemiskinan tidaklah diterima. Beberapa kali Bumi melirik layar ponselnya yang tergeletak di sisi laptop. Tidak ada notifikasi baru. Ia menggeser layar—hanya ada pesan yang ia kirim tadi siang, masih tetap tanpa balasan. > “Kabari aku kapan harus kujemput, ya...” Pesan yang singkat, ringan, tapi kini terasa menggantung seperti tanya yang tak punya tempat mendarat. Ia menatapnya beberapa detik, seakan berharap balasan muncul begitu saja. Tapi layar tetap sunyi, sama sunyinya dengan ruangan ini. Mungkin Tari masih sedang makan siang atau sore bersama keluarganya. Ayah dan ibunya duduk di ujung meja panjang. Ira dan Wina berceloteh ringan. Angga tertawa kecil sambil menepuk lengan Aldi. Mereka berbagi sendok, saling berbagi makanan favorit, menertawakan sesuatu yang hanya dimengerti mereka. Sebuah keluarga yang utuh. Tanpa dirinya. Bumi menahan napas, lalu mengembuskannya perlahan. Ia tahu pikirannya bisa berlebihan, tapi tak bisa menghentikannya. Ada ruang kosong di dalam dirinya yang tak berhasil diisi oleh apa pun—dan Tari, dalam diam dan kesalnya, seolah memilih untuk memperlebar ruang itu. Bumi menutup laptop, berdiri, dan meraih jaket dari gantungan di belakang pintu. Ia butuh udara. Butuh ruang lain yang bukan tembok dan kenangan. Mungkin juga butuh sedikit kebodohan, sedikit pelarian. Langkahnya membawanya ke warung kopi kecil di ujung jalan. Tempat itu tak banyak berubah: bangku kayu, meja bundar, dan aroma kopi yang pekat bercampur suara motor sesekali melintas. Di sana, ia memesan kopi hitam. Panas, pekat, pahit dengan sedikit gula. Lalu ia membeli sebungkus rokok dari etalase kecil di sebelah kasir—sesuatu yang sudah lama tak ia sentuh lagi. Satu isapan pertama terasa asing, lalu perlahan familiar. Asapnya naik pelan, menciptakan kabut tipis di antara pikirannya yang kusut. Bumi menutup mata sebentar, membiarkan rasa terbakar itu memenuhi dadanya. Mungkin ini bukan soal kebiasaan lama yang kembali. Mungkin ini soal butuh sesuatu yang bisa membuatnya merasa masih hidup. Asap rokok perlahan menipis di antara meja-meja kayu yang mulai terisi. Sore menjelang malam membuat warung kopi kecil itu lebih ramai, meski tetap tenang. Orang-orang datang dengan jaket tipis, beberapa membawa helm di tangan, dan aroma hujan yang menggantung di udara. Bumi duduk di pojok, punggungnya bersandar pada dinding setengah semen, setengah kayu. Kopi di tangannya mulai mendingin. Di meja sebelah, tiga pria paruh baya duduk melingkar sambil membagi rokok dan seteko kopi hitam. Suara mereka tidak keras, tapi cukup jelas untuk sampai ke telinga Bumi. “Aku tuh bingung ya,” kata salah satu dari mereka, suaranya berat dan lambat, “kalau laki-laki kerja, dibilang nggak becus karena uangnya kurang. Tapi kalau nganggur di rumah, dibilang pemalas. Mau diapain coba?” “Betul,” sahut yang lain, mengangkat gelasnya. “Duduk di depan rumah aja dibilang nggak punya malu. Padahal mikirin utang. Giliran keluar cari kerja, dibilang keluyuran dan lari dari tanggung jawab.” Tawa kecil pecah di antara mereka. Bumi menoleh pelan, tak ikut tertawa, tapi bibirnya membentuk senyum tipis yang nyaris tak terlihat. “Pokoknya, kalau miskin tuh, semua yang lo lakukan salah. Istri lo liat muka lo aja udah capek. Salah gerak dikit, dikira nyusahin.” “Tapi ya mau gimana,” tambah yang pertama lagi, “hidup tetap harus jalan, kan?” Bumi menunduk sedikit, membiarkan kata-kata itu merembes masuk seperti air hujan yang mencari celah genting. Ia mengingat wajah Tari pagi tadi—yang dingin, tapi juga lelah. Ia mengingat betapa kerasnya ia bekerja beberapa bulan terakhir, menyunting naskah demi naskah sampai mata perih dan bahu pegal, tapi tetap merasa tak cukup. Tidak cukup bagi Tari. Tidak cukup bagi mertuanya. Tidak cukup bahkan untuk dirinya sendiri. Semua yang dilakukannya seolah selalu kurang. Salah langkah, salah niat, salah waktu. Ia mengangkat cangkir dan menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya masih tertinggal, seperti sisa-sisa perdebatan dalam dirinya yang belum juga reda. Tapi untuk sesaat, ada semacam kenyamanan aneh mendengar keluhan-keluhan itu. Seolah ia tidak sendiri. Seolah, tanpa sengaja, warung kopi ini memberinya ruang untuk merasa wajar. Ia menyandarkan kepala ke dinding, memejamkan mata sebentar. Di antara kepulan asap, suara tawa serak, dan kopi pahit yang menghangatkan lambung, ia menemukan sepotong kelegaan kecil—bahwa mungkin ia tidak gila. Bahwa mungkin perasaannya valid. Bahwa menjadi lelaki yang lelah bukanlah dosa. Salah satu dari mereka—yang dari tadi lebih banyak diam sambil menghisap rokok sampai hampir ke filternya—akhirnya buka suara. Suaranya serak, tapi bernada pahit yang jujur. “Yang lucu tuh,” katanya pelan, “kalau lu jadi menantu miskin, senyum mertua tuh kayak diskon akhir tahun—jarang dan penuh syarat.” Tawa kecil terdengar, bercampur dengan batuk dari pria yang barusan menyesap kopi terlalu cepat. “Betul,” sahut yang lain cepat, matanya berbinar seperti menemukan kawan senasib. “Tapi giliran si menantu baru, yang kerja kantoran, bawa mobil, gaji dua digit... wih, langsung dipanggil Nak, disodorin buah tangan tiap pulang.” Tawa mereka pecah lebih keras sekarang. Bumi tersenyum tipis lagi, tapi matanya tetap tenang. Ada rasa getir yang ikut mengalir di balik tawa itu. Ia tak mengenal nama-nama mereka, tak tahu apa pekerjaan atau latar belakang mereka. Tapi rasanya ia tahu persis dunia yang sedang mereka bicarakan. “Padahal ya,” lanjut pria pertama lagi, nadanya mulai serius, “kadang yang miskin itu justru yang paling jujur niatnya. Tapi karena nggak bisa bawa apa-apa selain diri sendiri, ya dianggap beban.” Bumi tak ikut menanggapi. Ia hanya duduk bersandar di batu besar, kedua lengannya terlipat di dada. Tatapannya tenang, seolah suara-suara itu mengalir melewatinya tanpa riak—namun dari caranya menoleh sesekali dan mengernyit tipis, jelas ia menyimak. Seperti biasa, ia memilih diam, menyimpan pikirannya dalam-dalam, hanya memberikannya ketika benar-benar dibutuhkan. Bumi menatap cangkirnya yang kini hanya menyisakan ampas. Di bawah cahaya remang dan bau rokok yang makin pekat, ia merasa sedang berada di dalam ruang pengakuan tak resmi—sebuah mihrab bagi lelaki-lelaki yang kalah oleh keadaan, tapi masih mencoba bertahan dengan sedikit tawa dan pahit kopi. Ia bersandar lagi, memejamkan mata. Kata-kata itu terpantul-pantul dalam benaknya, seperti gema dari sesuatu yang sudah ia tahu, tapi baru sekarang bisa ia akui: bahwa mungkin, di mata keluarga Tari, ia memang tidak pernah cukup. Dan mungkin... cinta semata, itu memang bukanlah hal yang berharga.Pagi itu, Bumi duduk diam di teras rumahnya. Gelas kopi yang tak lagi panas ia pegang dengan dua tangan, sementara sebatang rokok terakhir terselip di sela jari. Udara masih lembap sisa hujan semalam, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau tembakau pelan-pelan mengisi hidungnya.Ia belum tahu akan melakukan apa hari ini.Biasanya, meski tak banyak, selalu ada yang bisa digenggam—membuka laptop, memeriksa email, mencari-cari proyek di internet. Tapi pagi ini, bahkan keinginan untuk membuka laptop pun tak muncul. Ia hanya duduk, menatap halaman rumah yang sempit, membiarkan kepalanya pelan-pelan menimbang: siapa yang bisa ia hubungi? Siapa yang bisa memberi sedikit pekerjaan? Sedikit celah?Ia mengingat satu-dua nama—Roni yang dulu sama-sama di redaksi, Dini yang sekarang bekerja di dinas pemerintah sebagai ASN, atau mungkin Mas Arif, dosen yang dulu pernah minta bantuan menyunting makalah.Tapi semuanya terasa jauh, asing. Terlalu lama tak saling menyapa. Terlalu kikuk jika sekadar
Jam dinding berdetak pelan, seolah sedang menghitung waktu bukan dengan detik, tapi dengan beban. Bumi duduk di depan laptop-nya yang mulai lambat, menatap layar kosong dengan mata yang sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.Satu per satu folder terbuka. Draft naskah, revisi catatan editor, email-email lama dari penerbit—sebagian sudah tak dibalas lagi, sebagian lainnya hanya memberi ucapan ‘terima kasih’ tanpa janji lanjutan. Pekerjaan menyunting buku yang selama ini menjadi penopangnya, kini tinggal serpih-serpih kecil yang tak cukup untuk membeli beras seminggu ke depan.Ia menutup laptopnya dan menunduk dalam. Meja kayu itu saksi bisu dari ratusan malam yang pernah ia lewati dengan kalimat-kalimat orang lain yang harus ia rapikan. Tapi sekarang, tak ada lagi kalimat yang datang. Hanya diam.Di meja makan, ada sisa roti tawar dari dua hari lalu. Kopi hitam sudah dingin. Ia menyeduhnya tadi pagi dengan harapan ada email masuk, tapi yang datang hanya notifikasi tagihan listrik dan
Ada suara hujan yang jatuh jauh di luar. Tapi di dalam dadanya, hujan itu sudah lama reda, menyisakan udara basah dan bau tanah. Bumi duduk di tepi ranjang yang dingin, mengamati jari-jarinya sendiri. Tangannya dulu pernah sibuk memeluk, menggenggam, menepuk lembut punggung seseorang yang kini hanya tinggal nama dalam percakapan hatinya.Tari.Bukan hantu, bukan bayang-bayang, tapi luka yang tidak berdarah.Bumi menarik napas panjang.Malam-malam seperti ini selalu berhasil membawanya kembali ke detik-detik remeh yang dulu terasa biasa saja.Dan kini—setelah semuanya hilang—justru terasa paling hidup.---Waktu itu, mereka baru sebulan menikah, masih menumpang di rumah ini—rumah ayah dan ibu Bumi kala mereka masih ada di sini, beberapa bulan sebelum peristiwa tragis yang mengambil nyawa keduanya. Kecelakaan lalu lintas di sebuah tikungan yang licin.“Sayang... kamu mau mie instan atau telur ceplok malam ini?” tanya Tari dari dapur, kepalanya sedikit muncul dari balik pintu.“Gabung aj
Bumi membuka laptopnya untuk ketiga kalinya hari itu, dan lagi-lagi hanya menatap layar kosong. Tak ada e-mail masuk. Tak ada pekerjaan baru. Bahkan surel langganan newsletter pun tak kunjung tiba. Ia mendesah pelan, lalu menutup layar perlahan, seolah jika ia takut jika dilakukan terlalu cepat, kesunyian akan terdengar lebih keras.Putusan itu terus terngiang di benaknya. Kata-kata hukum yang formal dan kaku, tapi seperti dilontarkan dari mulut orang asing yang tak mengenalnya sama sekali: verstek. Tanpa hadirnya Bumi, tanpa ruang bicara, tanpa ruang berdamai.Ia menguap panjang, bukan karena mengantuk, tapi karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain bernapas panjang. Akhirnya ia mengambil jaket tipis, memasukkan dompet yang juga tipis, lalu keluar begitu saja dari rumahnya. Langit cerah. Sepoi angin mengusir gerah.Langkah Bumi tak jelas arah. Kadang ke kiri, kadang berbelok tiba-tiba, seakan tubuhnya lebih tahu ke mana harus pergi daripada pikirannya.Di sebuah warung kopi
Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di ambang pilihan—bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu lama terbiasa menatap ke belakang. Masa lalu, meski telah melukai, sering kali membisikkan rasa bersalah yang sulit diabaikan. Tapi hidup bukan tentang mengulang luka yang sama, melainkan tentang keberanian untuk membuka pintu yang baru, meski tak tahu apa yang menanti di baliknya.Bagi Tari, hari itu bukan sekadar tentang putusan cerai, bukan juga tentang rencana pernikahan yang baru. Hari itu adalah tentang menghadapi suara-suara yang berdesir dalam hati—ragu, takut, dan diam-diam berharap bisa tenang.Kini, semua orang telah menunggu keputusan. Tapi keputusan terbesar justru tak terlihat di atas kertas, melainkan di dalam hati yang mulai berani melangkah."Kau harus menunggu tiga bulan sebelum bisa menikah dengan Radit. Putusan cerai itu baru keluar kemarin," kata Ira dengan nada hati-hati, setelah mendengar kabar dari Tari."Masa sih?" sahut Wina cepat, sambil m
Waktu melintas tanpa tanda. Sudah tiga minggu berlalu sejak hari itu di bangku semen bersama Pak Dedi, dan Bumi belum juga benar-benar pulang ke dirinya sendiri. Ia melewati hari demi hari seperti menumpang hidup, seperti menjadi tamu dalam tubuhnya sendiri.Pagi itu, ia menyiram tanaman di halaman rumah kecilnya. Beberapa pot berisi lidah buaya dan sirih merah yang tumbuh menjalar di pagar kawat."Wah, sirih merahnya subur, Mas Bumi," sapa Bu Harun, tetangga sebelah. "Sudah berapa lama menanam sirih merah?"Bumi tersenyum kecil. "Baru beberapa bulan, Bu. Tapi kayaknya tanamannya lebih cepat betah daripada saya."Bu Harun terkekeh. "Asal disiram, dikasih perhatian, pasti tumbuh. Nggak jauh beda sama manusia."Obrolan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pagi terasa tidak sepenuhnya hampa. Setelah mandi dan berganti baju, Bumi membuka layar ponselnya karena mendengar bunyi notifikasi pesan. "Di mana?" Begitulah pesan singkat itu tertulis. Ryan, sahabatnya dari sejak SMP mengir