Udara malam menyambut Bumi saat ia melangkah keluar dari warung kopi. Langit kelam menyelimuti jalanan yang mulai lengang, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas jauh di kejauhan. Napasnya memburu, bukan karena kelelahan fisik, tapi karena perasaan yang masih bergolak di dalam dada.
Ia berjalan tanpa tujuan jelas, hanya ingin menjauh dari suara-suara yang berputar-putar di kepalanya. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat. Bumi teringat lagi pada pesan yang tak berbalas di ponselnya. “Kabari aku kapan harus kujemput, ya...” Teks itu kini terasa seperti tali yang menjerat, bukan pengikat. Ia berhenti di depan sebuah toko kecil yang masih buka. Lampu neon remang dan deretan barang yang berjejer rapi di dalam etalase mengingatkannya pada masa-masa dulu, saat ia dan Tari masih sering mampir ke sini, berbagi cerita ringan di sela kesibukan mereka. Dengan tangan gemetar, Bumi mengeluarkan ponsel dan menatap layar. Sekilas ia tergoda untuk menulis lagi—mungkin pesan lain yang lebih mudah dipahami, atau malah sekadar mengirim emoji yang tak berarti. Tapi pikirannya terhenti. “Apa aku masih bisa memperjuangkan ini?” gumamnya lirih, sambil menatap bayangan dirinya yang terpantul samar di kaca toko. Bumi membiarkan pertanyaannya tanpa jawaban. Setidaknya untuk malam ini ia tak ingin menjawabnya. Biarlah semua berjalan seperti itu. Kini, yang ia butuhkan adalah pulang, beristirahat, dan tidur. Ia juga mencoba menerima kenyataan bahwa Tari memilih tinggal lebih lama di rumah orang tuanya. Bukan, bukan karena ia tak peduli, tapi karena saat ini ia merasa tak punya daya untuk membuktikan hal yang diinginkan Tari dan keluarganya: Kemapanan. *** Pagi itu, langit Bandung bersih dari awan. Matahari bersinar hangat, tidak terlalu menyengat, seolah memberi isyarat bahwa hari ini akan membawa sesuatu yang berbeda. Tari duduk di kursi rotan di teras belakang rumah orang tuanya, menyeruput teh hangat sambil menatap taman kecil yang baru saja disiram embun. Rambutnya digerai, mengenakan blus sederhana dan celana kain. Ada kegugupan samar yang ia sembunyikan di balik raut wajahnya yang tenang. "Kakakmu Wina tadi udah jalan ke toko, katanya jam sebelas dia balik ke sini. Nanti Radit juga barengan ke sini," ujar Bu Santi, ibunya, dari balik pintu dapur. Tari hanya mengangguk pelan. Nama itu—Radit—sudah beberapa kali disebut dari kemarin. Awalnya ia pikir hanya candaan Wina dan Aldi, tapi ternyata, ini benar-benar pertemuan yang dirancang. Sekitar pukul sebelas lebih sedikit, suara mobil berhenti di depan rumah. Tak lama kemudian Wina masuk ke halaman, diikuti seorang pria yang membawa tas kecil dan menggandeng seorang anak perempuan berumur sekitar lima tahun. Tari berdiri refleks, menyambut mereka. “Nah ini dia, akhirnya ketemu juga kalian,” ujar Wina, berbinar, sambil memeluk Tari lalu berbalik memperkenalkan, “Tari, kenalin ini Radit, adik kandung Aldi. Kau pernah bertemu juga kan. Dan ini Aira, anak semata wayangnya.” Radit tersenyum sopan sambil mengangguk. “Hai, dulu kita pernah bertemu sekali di rumah Aldi, kakakku. Masih ingat kan?” Tari membalas senyum itu, sedikit kikuk. “Ya, aku ingat. Hai, Aira.” Tari berjongkok menyapa anak kecil yang bersembunyi di balik kaki ayahnya. Aira menatap Tari dengan mata bulatnya, lalu menyodorkan boneka kelinci kecil. “Namanya Leli,” katanya lirih. Tari tertawa pelan. “Hai Leli. Senang ketemu kalian.” Mereka duduk di ruang tamu. Bu Santi datang membawakan kue-kue kecil dan minuman. Wina dan Aldi sengaja duduk sedikit menjauh, membiarkan percakapan mengalir di antara dua orang yang dirancang untuk dipertemukan. “Aku dengar kamu kerja di luar kota, ya?” tanya Tari sambil menyesap teh. “Sebetulnya kantorku di Jakarta, tetapi aku sering ditugaskan ke luar kota. Meski begitu, aku sering pulang ke Bandung. Kamu? Apa kegiatanmu?” “Aku pengangguran hehe... aku tak bekerja, hanya ibu rumah_" Tari menghentikan kata-katanya. Sebetulnya ia ingin mengatakan ibu rumah tangga yang sibuk melayani suami, tetapi ia lantas teringat betapa ia tak menyukai keadaan rumah tangganya dengan Bumi sehingga ia tak meneruskan kata-katanya. Ia sadar bahwa saat ini ia sedang "dijodohkan" dengan Radit. Namun, bagaimana pun, di hati kecilnya suara Bumi masih tersisa. Suara yang tak begitu mudah untuk diabaikan sekalipun ia ingin berpisah dari Bumi. Radit sempat tersenyum tipis mendengar jawaban Tari yang terputus. Ia tak menekan, hanya mengangguk sambil menyesap tehnya. Namun, sebelum keheningan berubah menjadi canggung, suara Bu Santi tiba-tiba memotong. “Tari, Mas Radit ini masih muda tapi sudah mapan, lho,” katanya sambil masuk membawa piring berisi tambahan kue pastel. “Kerja di Jakarta, sering dinas ke luar kota, dan tetap bisa urus anak. Nggak semua pria bisa begitu.” Radit menoleh sopan dan tersenyum, “Ah, Ibu berlebihan. Saya masih belajar juga.” “Tapi jelas sudah beda kelas, lho,” lanjut Bu Santi tanpa ragu. “Nggak kayak... ya, maksud Ibu, nggak semua pria itu bisa kasih rasa aman. Terutama secara ekonomi.” Matanya melirik sekilas ke arah Tari, lalu kembali ke Radit. “Tari ini kadang terlalu sabar. Kebanyakan perempuan zaman sekarang sudah kabur duluan kalau hidupnya terus-terusan dibikin susah.” Tari diam. Matanya menunduk. Wina dan Aldi hanya saling pandang, seperti ingin menengahi tapi tak tahu harus mulai dari mana. Radit tersipu. Ia tertawa kecil, tak nyaman tapi mencoba sopan. “Ibu...” ujar Tari pelan, mencoba menahan. Tapi Bu Santi tetap melanjutkan. “Aira ini juga lucu, pintar. Tari juga sayang anak kecil, kan? Siapa tahu cocok. Jodoh itu kan rahasia Tuhan, tapi kalau Ibu boleh bantu Tuhan dikit... ya, siapa tahu jalannya lewat pertemuan ini.” Ucapan itu diakhiri dengan tawa ringan Bu Santi yang terdengar manis di permukaan, tapi bagi Tari, rasanya seperti tamparan perlahan. Ia merasa seperti sebuah barang yang sedang ditawarkan, dinilai dari kemasan dan spesifikasi teknis. Radit memandang Tari sejenak, lalu berkata dengan tenang, “Saya percaya, kemapanan memang perlu untuk menopang kehidupan yang saling percaya.” Bu Santi nyaris menjawab setuju, tapi Wina buru-buru menyela, “Bu, coba pastel ini enak banget, loh. Tari yang bikin bareng aku tadi pagi.” “Oh ya? Ya ampun, kalau udah bisa masak begini, Radit makin beruntung nanti.” Dan tawa Bu Santi kembali menggema. Tari tersenyum kaku. Di balik cangkir teh yang hampir kosong, ia menyembunyikan sesuatu yang sulit dijelaskan: semacam penyesalan, semacam keraguan, dan sedikit luka yang belum benar-benar sembuh. Radit, sementara itu, duduk diam sejenak, menatap wajah Tari di hadapannya yang tampak teduh meski jelas menyimpan banyak hal di balik mata itu. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar pertemuan basa-basi yang digagas oleh keluarga—ada sesuatu yang membuatnya hatinya terpaut sejak pertama kali berbincang dengan Tari. Tari cantik, serba lentik. Namun, Radit tak tahu persis bagian mana yang membuatnya tercekat: mungkin sorot mata Tari yang jujur, atau senyum kecilnya yang tampak rapuh tetapi tulus. Ada kelembutan dalam cara Tari memandang Aira tadi, sesuatu yang menyentuh sisi ayah dalam dirinya. Namun, yang membuatnya lebih terpesona adalah caranya tetap tenang meski ibunya terus menekan dengan komentar-komentar yang tajam dan terlalu jujur. Dalam hati, Radit tahu: ia ingin mengenal lebih jauh perempuan ini, ingin lebih dekat, dan bahkan mungkin ingin membersamainya. Bukan hanya karena kecantikannya yang sederhana dan bersahaja, tapi karena ada kesedihan yang ia rasakan seirama. Dan ia percaya, dari perasaan yang saling memahami, kadang cinta bisa tumbuh dengan cara yang paling tak terduga. Sejak saat itu, di dalam diamnya, Radit membuat keputusan kecil: Ia tak akan melewatkan kesempatan ini begitu saja. Ia ingin mencoba, ia harus mencoba. Mungkin pelan-pelan, mungkin sederhana, tapi sungguh-sungguh. Ketika perbincangan mulai bergeser ke topik-topik ringan tentang sekolah Aira dan makanan kesukaan masa kecil, Radit hanya setengah mendengarkan. Ia tetap tersenyum, tetap merespons dengan sopan, tapi pikirannya masih tertinggal di pandangan pertama mereka tadi—saat Tari menyambut dengan senyum kikuk dan mata yang sedikit redup. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sekaligus memikat hatinya. Bukan, ini bukan sekadar rasa tertarik. Ini lebih dalam. Ia merasa, seperti menemukan seseorang yang juga sedang mencari jalan keluar dari semacam kabut. Seperti dua orang asing yang berdiri di sisi berlawanan dari sebuah jendela berkabut—tak saling mengenal, tapi saling menyadari keberadaan satu sama lain. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Radit merasa hatinya bergerak. Ada desir yang tak bisa ia abaikan. Ia tahu, pertemuan ini bukan sesuatu yang kebetulan, bukan pula semata usaha kakaknya atau ibunya Tari. Ada ruang yang terbuka dalam dirinya, dan ia ingin tahu apakah Tari juga merasakannya, walau hanya sedikit. Sore itu, ketika ia berpamitan, Radit melirik sekali lagi ke arah Tari. Tatapan mereka sempat bertemu, singkat namun cukup untuk membekas. Ia tersenyum—bukan sebagai tanda perpisahan, tapi sebagai janji diam-diam untuk kembali. Untuk mencoba. Untuk tidak tinggal diam kali ini. Dan Tari, meski tak berkata apa-apa, membalas senyuman itu dengan pandangan samar yang sulit ditebak. Seperti seseorang yang baru menyadari bahwa ia akan memasuki percabangan baru dalam hidupnya—dan belum tahu harus ke mana melangkah. Langit di atas halaman rumah mulai berubah warna. Hari bergeser perlahan menuju senja. Dan di antara bayang-bayang yang mulai memanjang, perasaan yang belum bernama itu tumbuh, pelan-pelan.Bumi duduk di hadapan kamera studio televisi. Entah sudah berapa kali ia tampil di beberapa siaran televisi nasional, ia tak menghitungnya. Lampu-lampu studio menyinari wajahnya, sementara kamera berputar menangkap setiap gerakan dan ekspresi. Di hadapannya, sang host tersenyum ramah, siap memulai sesi tanya-jawab.“Jadi, sekarang sedang proses audisi atau casting, ya?” tanya host itu dalam sesi akhir percakapan.“Ya, kami sudah mengumumkan tanggal awal dan akhirnya,” jawab Bumi tenang. “Dimulai sekitar dua minggu lagi, insya Allah.”“Kenapa harus pemain lokal dengan wajah baru saja? Apa alasannya?” host itu melanjutkan.“Ini keputusan saya dan Franz setelah dialog panjang,” jawab Bumi. “Lebih kepada dugaan dan harapan sebetulnya. Kami ingin kekuatan utama film ini benar-benar berasal dari naskah novel yang kemudian dijadikan skenario, bukan dari daya tarik aktor atau aktris yang sudah terkenal.”
Setelah beberapa waktu berbincang tentang banyak hal, Mutia merasa sudah waktunya untuk pamit. Sita menatap Mutia dengan mata berbinar. “Dari sini, Teteh mau langsung ke tempat kerja?” Mutia menggeleng, tersenyum santai. “Tidak, Teteh mau pulang saja. Santai di rumah...” Sita menatapnya penuh semangat. “Sita ikut dong. Soal pulang gampang, nanti Sita minta dijemput Kang Bumi.” Mutia tertawa kecil. “Ayo, ayo… Teteh senang banget kalau begitu. Gimana kalau kita jalan-jalan dulu? Ke mal misalnya, atau lihat-lihat film yang lagi tayang?” Ayah Sita ikut bersuara, sedikit khawatir tapi ramah. “Sita, pastikan dulu Kang Bumi bisa jemput… jangan sampai nanti ia sedang sibuk.”Mutia menepuk bahu Sita dengan santai. “Tenang saja, Ayah. Kalau bukan Bumi, Teteh akan antar Sita pulang lagi. Tidak ada masalah.” Sita tersenyum lebar
"Nah itu dia kafe kopi...," gumam Mutia saat melihat plang besar bertuliskan kafe kopi yang mencolok. Ia melajukan mobilnya pelan, lalu tersenyum kecil ketika sebuah rumah besar bergaya lama dengan halaman luas tampak di seberang kafe itu. "Nah, ini rumahnya, nomornya sesuai," bisiknya pada diri sendiri. Alih-alih masuk ke pelataran kafe, Mutia membelokkan mobilnya ke gerbang rumah itu. Rumah Sita. Mutia menghentikan mobil di pelataran yang kurang lebih sama luasnya dengan rumahnya sendiri. Dari balik kaca, ia melihat pemandangan sederhana tapi menyejukkan hati: Sita sedang berdiri di taman depan rumah, tertawa kecil bersama ayahnya. Tak jauh dari sana, ibunya Sita tengah duduk di kursi bambu, melipat bendera dengan rapi. Semua tampak hangat, teduh, dan akrab. Begitu pintu mobil terbuka, Sita langsung menyadari kehadiran Mutia. Mata gadis itu berbinar, tubuhnya melompat ringan seperti
Sore itu, ia duduk di sebuah kafe. Meja kayu kecil, secangkir kopi panas, dan novel Bumi tergeletak di sampingnya. Ia tersenyum, memotret suasana itu, lalu mengirimkannya langsung ke Bumi melalui pesan singkat.Cempaka Kirana:[foto novel Bumi dengan cangkir kopi di sampingnya]> “Kang Bumi… akhirnya aku punya alasan lagi buat duduk di kafe sendirian sambil baca. Selamat ya… karyamu sudah sampai di tanganku 😊📖☕”Bumi membalas tak lama kemudian. Suaranya—walau hanya lewat kata-kata tertulis—seakan terdengar hangat dan mantap:> "Wah… Kirana… terima kasih sudah membeli. Semoga betah menemani bukuku, jangan cepat bosan ya 😅🙏"Kirana menahan tawa, meletakkan ponsel sebentar, lalu menatap halaman depan novel. Ia merasa seperti sedang berbicara langsung, walau hanya lewat layar kecil itu:> “Kalau dari tanganmu, mana mungkin aku bosan? Hehe… Btw, kenapa tidak kiri
Di sebuah sore yang teduh, Kinanti duduk di ruang tamunya. Di meja ada sebuah paket bersegel rapi yang baru saja diantarkan kurir. Namanya tertulis jelas di atas amplop cokelat itu, dan di sudut kecilnya ada tulisan tangan yang tak asing baginya: Bumi.Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Sebuah buku bersampul tebal keluar, judulnya tercetak gagah.BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayel and Honor in The Old Archipelago)Tangan Kinanti gemetar kecil. Matanya menyapu halaman pertama, lalu berhenti pada sebuah tulisan tangan yang ditorehkan Bumi:> "Untuk Kinanti, rekan terbaik Bumi, sahabat yang paling tulus, kuhaturkan novel ini. Maaf tidak sempat mengantarkan sendiri ke sana sambil ngopi 😅"Seulas senyum hangat muncul di wajahnya. Ada perasaan haru, bangga, sekaligus getir yang tak bisa ia jelaskan. Selama ini, ia selalu tahu Bumi berbeda. Ia tulus, apa adanya, p
Gerbang pagar rumah mewah di daerah Dago Atas itu digeser hingga terbuka."Masuk saja, Kang Bumi... Pak Rio dan Bu Mutia sedang santai di rumah," ucap seorang sekuriti."Lho, buku apa itu?" tanya Bumi sambil menunjuk Buku yang dipegang oleh petugas sekuriti itu. "Buku bagus, Kang... semua sekuriti dikasih satu satu sama Pak Rio. Disuruh baca biar melek katanya," ujar petugas sekuriti itu sambil tertawa.Sita tersenyum mendengar ucapan petugas sekuriti itu. "Bagus tidak, Pak?""Bagus, Neng... kata orang sini mah rame pisan," jawab petugas sekuriti itu. "Saya yang malas baca saja malah keasyikan, tak mau berhenti. Ada dua bahasa, tapi saya baca yang bahasa Indonesia saja."Sita berbisik kepada Bumi. Setelah Bumi mengangguk, Sita menyodorkan sebuah bungkusan kepada sekuriti itu, "Pak, ini ada sop kaki sapi buat Bapak, juga ada satu pak rokok, ya.""Aduh