Share

6. Dirancang untuk Bertemu

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2025-08-10 16:17:49

Udara malam menyambut Bumi saat ia melangkah keluar dari warung kopi. Langit kelam menyelimuti jalanan yang mulai lengang, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas jauh di kejauhan. Napasnya memburu, bukan karena kelelahan fisik, tapi karena perasaan yang masih bergolak di dalam dada.

Ia berjalan tanpa tujuan jelas, hanya ingin menjauh dari suara-suara yang berputar-putar di kepalanya. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat.

Bumi teringat lagi pada pesan yang tak berbalas di ponselnya. “Kabari aku kapan harus kujemput, ya...” Teks itu kini terasa seperti tali yang menjerat, bukan pengikat.

Ia berhenti di depan sebuah toko kecil yang masih buka. Lampu neon remang dan deretan barang yang berjejer rapi di dalam etalase mengingatkannya pada masa-masa dulu, saat ia dan Tari masih sering mampir ke sini, berbagi cerita ringan di sela kesibukan mereka.

Dengan tangan gemetar, Bumi mengeluarkan ponsel dan menatap layar. Sekilas ia tergoda untuk menulis lagi—mungkin pesan lain yang lebih mudah dipahami, atau malah sekadar mengirim emoji yang tak berarti. Tapi pikirannya terhenti.

“Apa aku masih bisa memperjuangkan ini?” gumamnya lirih, sambil menatap bayangan dirinya yang terpantul samar di kaca toko.

Bumi membiarkan pertanyaannya tanpa jawaban. Setidaknya untuk malam ini ia tak ingin menjawabnya. Biarlah semua berjalan seperti itu. Kini, yang ia butuhkan adalah pulang, beristirahat, dan tidur. Ia juga mencoba menerima kenyataan bahwa Tari memilih tinggal lebih lama di rumah orang tuanya. Bukan, bukan karena ia tak peduli, tapi karena saat ini ia merasa tak punya daya untuk membuktikan hal yang diinginkan Tari dan keluarganya: Kemapanan.

***

Pagi itu, langit Bandung bersih dari awan. Matahari bersinar hangat, tidak terlalu menyengat, seolah memberi isyarat bahwa hari ini akan membawa sesuatu yang berbeda.

Tari duduk di kursi rotan di teras belakang rumah orang tuanya, menyeruput teh hangat sambil menatap taman kecil yang baru saja disiram embun. Rambutnya digerai, mengenakan blus sederhana dan celana kain. Ada kegugupan samar yang ia sembunyikan di balik raut wajahnya yang tenang.

"Kakakmu Wina tadi udah jalan ke toko, katanya jam sebelas dia balik ke sini. Nanti Radit juga barengan ke sini," ujar Bu Santi, ibunya, dari balik pintu dapur.

Tari hanya mengangguk pelan. Nama itu—Radit—sudah beberapa kali disebut dari kemarin. Awalnya ia pikir hanya candaan Wina dan Aldi, tapi ternyata, ini benar-benar pertemuan yang dirancang.

Sekitar pukul sebelas lebih sedikit, suara mobil berhenti di depan rumah. Tak lama kemudian Wina masuk ke halaman, diikuti seorang pria yang membawa tas kecil dan menggandeng seorang anak perempuan berumur sekitar lima tahun.

Tari berdiri refleks, menyambut mereka.

“Nah ini dia, akhirnya ketemu juga kalian,” ujar Wina, berbinar, sambil memeluk Tari lalu berbalik memperkenalkan, “Tari, kenalin ini Radit, adik kandung Aldi. Kau pernah bertemu juga kan. Dan ini Aira, anak semata wayangnya.”

Radit tersenyum sopan sambil mengangguk. “Hai, dulu kita pernah bertemu sekali di rumah Aldi, kakakku. Masih ingat kan?”

Tari membalas senyum itu, sedikit kikuk. “Ya, aku ingat. Hai, Aira.” Tari berjongkok menyapa anak kecil yang bersembunyi di balik kaki ayahnya.

Aira menatap Tari dengan mata bulatnya, lalu menyodorkan boneka kelinci kecil. “Namanya Leli,” katanya lirih.

Tari tertawa pelan. “Hai Leli. Senang ketemu kalian.”

Mereka duduk di ruang tamu. Bu Santi datang membawakan kue-kue kecil dan minuman. Wina dan Aldi sengaja duduk sedikit menjauh, membiarkan percakapan mengalir di antara dua orang yang dirancang untuk dipertemukan.

“Aku dengar kamu kerja di luar kota, ya?” tanya Tari sambil menyesap teh.

“Sebetulnya kantorku di Jakarta, tetapi aku sering ditugaskan ke luar kota. Meski begitu, aku sering pulang ke Bandung. Kamu? Apa kegiatanmu?”

“Aku pengangguran hehe... aku tak bekerja, hanya ibu rumah_" Tari menghentikan kata-katanya. Sebetulnya ia ingin mengatakan ibu rumah tangga yang sibuk melayani suami, tetapi ia lantas teringat betapa ia tak menyukai keadaan rumah tangganya dengan Bumi sehingga ia tak meneruskan kata-katanya.

Ia sadar bahwa saat ini ia sedang "dijodohkan" dengan Radit. Namun, bagaimana pun, di hati kecilnya suara Bumi masih tersisa. Suara yang tak begitu mudah untuk diabaikan sekalipun ia ingin berpisah dari Bumi.

Radit sempat tersenyum tipis mendengar jawaban Tari yang terputus. Ia tak menekan, hanya mengangguk sambil menyesap tehnya.

Namun, sebelum keheningan berubah menjadi canggung, suara Bu Santi tiba-tiba memotong.

“Tari, Mas Radit ini masih muda tapi sudah mapan, lho,” katanya sambil masuk membawa piring berisi tambahan kue pastel. “Kerja di Jakarta, sering dinas ke luar kota, dan tetap bisa urus anak. Nggak semua pria bisa begitu.”

Radit menoleh sopan dan tersenyum, “Ah, Ibu berlebihan. Saya masih belajar juga.”

“Tapi jelas sudah beda kelas, lho,” lanjut Bu Santi tanpa ragu. “Nggak kayak... ya, maksud Ibu, nggak semua pria itu bisa kasih rasa aman. Terutama secara ekonomi.”

Matanya melirik sekilas ke arah Tari, lalu kembali ke Radit. “Tari ini kadang terlalu sabar. Kebanyakan perempuan zaman sekarang sudah kabur duluan kalau hidupnya terus-terusan dibikin susah.”

Tari diam. Matanya menunduk. Wina dan Aldi hanya saling pandang, seperti ingin menengahi tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Radit tersipu. Ia tertawa kecil, tak nyaman tapi mencoba sopan.

“Ibu...” ujar Tari pelan, mencoba menahan. Tapi Bu Santi tetap melanjutkan.

“Aira ini juga lucu, pintar. Tari juga sayang anak kecil, kan? Siapa tahu cocok. Jodoh itu kan rahasia Tuhan, tapi kalau Ibu boleh bantu Tuhan dikit... ya, siapa tahu jalannya lewat pertemuan ini.”

Ucapan itu diakhiri dengan tawa ringan Bu Santi yang terdengar manis di permukaan, tapi bagi Tari, rasanya seperti tamparan perlahan. Ia merasa seperti sebuah barang yang sedang ditawarkan, dinilai dari kemasan dan spesifikasi teknis.

Radit memandang Tari sejenak, lalu berkata dengan tenang, “Saya percaya, kemapanan memang perlu untuk menopang kehidupan yang saling percaya.”

Bu Santi nyaris menjawab setuju, tapi Wina buru-buru menyela, “Bu, coba pastel ini enak banget, loh. Tari yang bikin bareng aku tadi pagi.”

“Oh ya? Ya ampun, kalau udah bisa masak begini, Radit makin beruntung nanti.”

Dan tawa Bu Santi kembali menggema.

Tari tersenyum kaku. Di balik cangkir teh yang hampir kosong, ia menyembunyikan sesuatu yang sulit dijelaskan: semacam penyesalan, semacam keraguan, dan sedikit luka yang belum benar-benar sembuh.

Radit, sementara itu, duduk diam sejenak, menatap wajah Tari di hadapannya yang tampak teduh meski jelas menyimpan banyak hal di balik mata itu. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar pertemuan basa-basi yang digagas oleh keluarga—ada sesuatu yang membuatnya hatinya terpaut sejak pertama kali berbincang dengan Tari.

Tari cantik, serba lentik. Namun, Radit tak tahu persis bagian mana yang membuatnya tercekat: mungkin sorot mata Tari yang jujur, atau senyum kecilnya yang tampak rapuh tetapi tulus.

Ada kelembutan dalam cara Tari memandang Aira tadi, sesuatu yang menyentuh sisi ayah dalam dirinya. Namun, yang membuatnya lebih terpesona adalah caranya tetap tenang meski ibunya terus menekan dengan komentar-komentar yang tajam dan terlalu jujur.

Dalam hati, Radit tahu: ia ingin mengenal lebih jauh perempuan ini, ingin lebih dekat, dan bahkan mungkin ingin membersamainya. Bukan hanya karena kecantikannya yang sederhana dan bersahaja, tapi karena ada kesedihan yang ia rasakan seirama. Dan ia percaya, dari perasaan yang saling memahami, kadang cinta bisa tumbuh dengan cara yang paling tak terduga.

Sejak saat itu, di dalam diamnya, Radit membuat keputusan kecil: Ia tak akan melewatkan kesempatan ini begitu saja. Ia ingin mencoba, ia harus mencoba. Mungkin pelan-pelan, mungkin sederhana, tapi sungguh-sungguh.

Ketika perbincangan mulai bergeser ke topik-topik ringan tentang sekolah Aira dan makanan kesukaan masa kecil, Radit hanya setengah mendengarkan. Ia tetap tersenyum, tetap merespons dengan sopan, tapi pikirannya masih tertinggal di pandangan pertama mereka tadi—saat Tari menyambut dengan senyum kikuk dan mata yang sedikit redup.

Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sekaligus memikat hatinya. Bukan, ini bukan sekadar rasa tertarik. Ini lebih dalam. Ia merasa, seperti menemukan seseorang yang juga sedang mencari jalan keluar dari semacam kabut. Seperti dua orang asing yang berdiri di sisi berlawanan dari sebuah jendela berkabut—tak saling mengenal, tapi saling menyadari keberadaan satu sama lain.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Radit merasa hatinya bergerak. Ada desir yang tak bisa ia abaikan. Ia tahu, pertemuan ini bukan sesuatu yang kebetulan, bukan pula semata usaha kakaknya atau ibunya Tari. Ada ruang yang terbuka dalam dirinya, dan ia ingin tahu apakah Tari juga merasakannya, walau hanya sedikit.

Sore itu, ketika ia berpamitan, Radit melirik sekali lagi ke arah Tari. Tatapan mereka sempat bertemu, singkat namun cukup untuk membekas. Ia tersenyum—bukan sebagai tanda perpisahan, tapi sebagai janji diam-diam untuk kembali. Untuk mencoba. Untuk tidak tinggal diam kali ini.

Dan Tari, meski tak berkata apa-apa, membalas senyuman itu dengan pandangan samar yang sulit ditebak. Seperti seseorang yang baru menyadari bahwa ia akan memasuki percabangan baru dalam hidupnya—dan belum tahu harus ke mana melangkah.

Langit di atas halaman rumah mulai berubah warna. Hari bergeser perlahan menuju senja. Dan di antara bayang-bayang yang mulai memanjang, perasaan yang belum bernama itu tumbuh, pelan-pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    15. Titik Kecil di Peta Hari

    Pagi itu, Bumi duduk diam di teras rumahnya. Gelas kopi yang tak lagi panas ia pegang dengan dua tangan, sementara sebatang rokok terakhir terselip di sela jari. Udara masih lembap sisa hujan semalam, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau tembakau pelan-pelan mengisi hidungnya.Ia belum tahu akan melakukan apa hari ini.Biasanya, meski tak banyak, selalu ada yang bisa digenggam—membuka laptop, memeriksa email, mencari-cari proyek di internet. Tapi pagi ini, bahkan keinginan untuk membuka laptop pun tak muncul. Ia hanya duduk, menatap halaman rumah yang sempit, membiarkan kepalanya pelan-pelan menimbang: siapa yang bisa ia hubungi? Siapa yang bisa memberi sedikit pekerjaan? Sedikit celah?Ia mengingat satu-dua nama—Roni yang dulu sama-sama di redaksi, Dini yang sekarang bekerja di dinas pemerintah sebagai ASN, atau mungkin Mas Arif, dosen yang dulu pernah minta bantuan menyunting makalah.Tapi semuanya terasa jauh, asing. Terlalu lama tak saling menyapa. Terlalu kikuk jika sekadar

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    14. Menyambung Hari

    Jam dinding berdetak pelan, seolah sedang menghitung waktu bukan dengan detik, tapi dengan beban. Bumi duduk di depan laptop-nya yang mulai lambat, menatap layar kosong dengan mata yang sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.Satu per satu folder terbuka. Draft naskah, revisi catatan editor, email-email lama dari penerbit—sebagian sudah tak dibalas lagi, sebagian lainnya hanya memberi ucapan ‘terima kasih’ tanpa janji lanjutan. Pekerjaan menyunting buku yang selama ini menjadi penopangnya, kini tinggal serpih-serpih kecil yang tak cukup untuk membeli beras seminggu ke depan.Ia menutup laptopnya dan menunduk dalam. Meja kayu itu saksi bisu dari ratusan malam yang pernah ia lewati dengan kalimat-kalimat orang lain yang harus ia rapikan. Tapi sekarang, tak ada lagi kalimat yang datang. Hanya diam.Di meja makan, ada sisa roti tawar dari dua hari lalu. Kopi hitam sudah dingin. Ia menyeduhnya tadi pagi dengan harapan ada email masuk, tapi yang datang hanya notifikasi tagihan listrik dan

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    13. Fragmen-Fragmen Kenangan

    Ada suara hujan yang jatuh jauh di luar. Tapi di dalam dadanya, hujan itu sudah lama reda, menyisakan udara basah dan bau tanah. Bumi duduk di tepi ranjang yang dingin, mengamati jari-jarinya sendiri. Tangannya dulu pernah sibuk memeluk, menggenggam, menepuk lembut punggung seseorang yang kini hanya tinggal nama dalam percakapan hatinya.Tari.Bukan hantu, bukan bayang-bayang, tapi luka yang tidak berdarah.Bumi menarik napas panjang.Malam-malam seperti ini selalu berhasil membawanya kembali ke detik-detik remeh yang dulu terasa biasa saja.Dan kini—setelah semuanya hilang—justru terasa paling hidup.---Waktu itu, mereka baru sebulan menikah, masih menumpang di rumah ini—rumah ayah dan ibu Bumi kala mereka masih ada di sini, beberapa bulan sebelum peristiwa tragis yang mengambil nyawa keduanya. Kecelakaan lalu lintas di sebuah tikungan yang licin.“Sayang... kamu mau mie instan atau telur ceplok malam ini?” tanya Tari dari dapur, kepalanya sedikit muncul dari balik pintu.“Gabung aj

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    12. Dua Keberadaan Dua suasana

    Bumi membuka laptopnya untuk ketiga kalinya hari itu, dan lagi-lagi hanya menatap layar kosong. Tak ada e-mail masuk. Tak ada pekerjaan baru. Bahkan surel langganan newsletter pun tak kunjung tiba. Ia mendesah pelan, lalu menutup layar perlahan, seolah jika ia takut jika dilakukan terlalu cepat, kesunyian akan terdengar lebih keras.Putusan itu terus terngiang di benaknya. Kata-kata hukum yang formal dan kaku, tapi seperti dilontarkan dari mulut orang asing yang tak mengenalnya sama sekali: verstek. Tanpa hadirnya Bumi, tanpa ruang bicara, tanpa ruang berdamai.Ia menguap panjang, bukan karena mengantuk, tapi karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain bernapas panjang. Akhirnya ia mengambil jaket tipis, memasukkan dompet yang juga tipis, lalu keluar begitu saja dari rumahnya. Langit cerah. Sepoi angin mengusir gerah.Langkah Bumi tak jelas arah. Kadang ke kiri, kadang berbelok tiba-tiba, seakan tubuhnya lebih tahu ke mana harus pergi daripada pikirannya.Di sebuah warung kopi

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    11. Membuka Pintu yang Baru

    Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di ambang pilihan—bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu lama terbiasa menatap ke belakang. Masa lalu, meski telah melukai, sering kali membisikkan rasa bersalah yang sulit diabaikan. Tapi hidup bukan tentang mengulang luka yang sama, melainkan tentang keberanian untuk membuka pintu yang baru, meski tak tahu apa yang menanti di baliknya.Bagi Tari, hari itu bukan sekadar tentang putusan cerai, bukan juga tentang rencana pernikahan yang baru. Hari itu adalah tentang menghadapi suara-suara yang berdesir dalam hati—ragu, takut, dan diam-diam berharap bisa tenang.Kini, semua orang telah menunggu keputusan. Tapi keputusan terbesar justru tak terlihat di atas kertas, melainkan di dalam hati yang mulai berani melangkah."Kau harus menunggu tiga bulan sebelum bisa menikah dengan Radit. Putusan cerai itu baru keluar kemarin," kata Ira dengan nada hati-hati, setelah mendengar kabar dari Tari."Masa sih?" sahut Wina cepat, sambil m

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    10. Putusan di Dalam Amplop

    Waktu melintas tanpa tanda. Sudah tiga minggu berlalu sejak hari itu di bangku semen bersama Pak Dedi, dan Bumi belum juga benar-benar pulang ke dirinya sendiri. Ia melewati hari demi hari seperti menumpang hidup, seperti menjadi tamu dalam tubuhnya sendiri.Pagi itu, ia menyiram tanaman di halaman rumah kecilnya. Beberapa pot berisi lidah buaya dan sirih merah yang tumbuh menjalar di pagar kawat."Wah, sirih merahnya subur, Mas Bumi," sapa Bu Harun, tetangga sebelah. "Sudah berapa lama menanam sirih merah?"Bumi tersenyum kecil. "Baru beberapa bulan, Bu. Tapi kayaknya tanamannya lebih cepat betah daripada saya."Bu Harun terkekeh. "Asal disiram, dikasih perhatian, pasti tumbuh. Nggak jauh beda sama manusia."Obrolan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pagi terasa tidak sepenuhnya hampa. Setelah mandi dan berganti baju, Bumi membuka layar ponselnya karena mendengar bunyi notifikasi pesan. "Di mana?" Begitulah pesan singkat itu tertulis. Ryan, sahabatnya dari sejak SMP mengir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status