Ruangan itu masih dipenuhi sisa-sisa keheningan setelah Bumi pulang. Tirai putih bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di meja, cangkir teh Bumi telah kosong, sementara kue-kue nastar tak sempat disentuh. Bukan karena tak mau, tetapi enggan—seakan-akan bukan diperuntukkan baginya.
Tari duduk bersandar di sofa, bahunya sedikit turun, matanya kosong menatap karpet. Ibu duduk di seberangnya, memeluk bantal kursi sambil sesekali melirik ke arah Tari. Ayah bersandar di sudut ruangan, tangannya menepuk-nepuk lutut dengan irama gelisah. “Suamimu itu memang kurang pergaulan, kurang relasi,” gumam Ibu akhirnya. “Masih muda, tapi pemalas. Sudah jelas hidup kalian tidak akan bisa terus seperti ini. Buat Ibu, perceraian mungkin satu-satunya jalan yang tepat. Kau pun butuh kehidupan yang baik, Tari... seperti kedua kakakmu, Ira dan Wina. Untung saja kau belum diberi anak!" Tari tidak menjawab. Hanya menggigit bibirnya dan menarik napas pelan. Ia sendiri sudah bosan hidup serba kekurangan. Ia ingin bahagia seperti Ira dan Wina. Ira menimpali dengan suara lebih lembut, “Aku setuju, Bu... tapi mungkin Bumi tak seburuk yang Ibu katakan. Aku pernah lihat dia mengobrol dengan Kenan, anakku, dan membuat Kenan tertarik dengan obrolannya. Mungkin ia butuh waktu untuk berubah, tapi yaa... aku setuju sih kalau Tari bercerai dengannya. Tari berhak hidup lebih baik." Angga, suami Ira, yang duduk di sebelahnya, menegakkan duduknya. “Jangan cepat-cepat ambil keputusan, Tari. Aku ngerti kamu capek, tapi Bumi itu bukan orang jahat. Dia sebetulnya berpotensi. Dia cuma... hmm... mungkin belum mendapat kesempatan.” Ibu menoleh, wajahnya menegang. “Angga, kau tahu betapa tersiksanya Tari dengan kehidupan yang serba berkekurangan selama ini. Tidak cukupkah semua itu untuk mengatakan bahwa laki-laki itu tidak layak? Jangankan mengajak jalan-jalan, untuk beli beras pun seringkali tak ada. Kau juga tak akan tega membuat Ira begitu, kan?" “Bukan itu maksudku, Bu,” balas Angga, nadanya tetap tenang meski terdengar berat. “Aku hanya merasa... mungkin kita bisa bantu mereka cari jalan, bukan langsung pisah.” “Tiga tahun pernikahan! Kita sudah terlalu lama memberi kesempatan,” kata Ayah tiba-tiba. Suaranya pelan tapi tegas. “Dan apa hasilnya? Tari hidup kekurangan. Lebih baik dia hidup bersama Ayah dan Ibu saja." Suasana sejenak terdiam. Lalu, bel pintu berbunyi. Ira bangkit membuka pintu. Wina, kakaknya, masuk dengan langkah cepat, diikuti oleh suaminya, Aldi. Wina langsung memeluk Ira, lalu berjalan mendekati Tari. Begitu Wina melihat wajah adiknya, ia memandang dengan rasa kasihan. “Ya Allah, Tar... Kamu kurusan, sayang,” katanya lembut sambil menyapu rambut Tari dari wajahnya. “Maaf, aku agak telat.” Aldi menyusul, menyalami semua yang ada. Ia duduk di kursi kosong, mengamati suasana tegang yang belum mencair. “Aku dengar dari Wina... tentang Tari dan Bumi,” katanya pelan. “Sedih juga dengar kesulitan Tari." “Bukan kesulitan, tapi sangat kesulitan,” sahut Ibu. “Tapi, Ayah dan Ibu sudah memutuskan. Tari harus mengajukan gugatan cerai secepatnya. Ibu tidak rela anak Ibu hidup susah.” Aldi mengangguk pelan, lalu bersandar sedikit ke depan. Suaranya merendah, seolah sedang menimbang kata. “Aku tahu ini mungkin belum saatnya bicara hal seperti ini, tapi aku cuma kepikiran... Adik laki-lakiku duda satu anak, Tar. Kamu pernah ketemu juga kan, saat kamu dan Bumi ke rumahku dulu. Waktu itu dia belum duda. Dia baik, mapan, kerja di luar kota tapi sering ke Bandung. Menurutku, dia cocok denganmu. Kalau kamu mau, kenalan dulu saja.” Tari mengangkat alis. Wina menahan senyum. “Cocok menurutku sih,” kata Wina cepat. “Aldi sempat bilang soal ini tadi di mobil. Kami belum pernah omong langsung ke kamu, tapi... ya, mungkin ini waktu yang tepat.” “Ini bukan waktunya, Wina,” potong Ira. “Tari belum sepenuhnya lepas dari yang lama. Kita belum tahu bagaimana perasaannya sekarang.” “Tapi kenapa tidak dikenalkan saja?” sela Ibu, matanya berbinar. “Bukan langsung nikah. Berteman dulu. Supaya Tari tahu, dunia nggak sesempit laki-laki bernama Bumi.” Angga menyandarkan tubuh, ekspresinya masam. Ia berbisik kepada Ira, istrinya, “Kadang aku bingung... ini keluarga atau biro jodoh?” Ira mencubit pelan lengan suaminya, tapi tidak menyangkal. “Kalian semua seperti sedang merancang ulang hidupku," kata Tari pedih. Meski ia sendiri sudah kesal terhadap Bumi, tetapi ketika membahas perceraian, entah kenapa hatinya tak bisa lepas begitu saja. Ia ingin mengatakan bahwa ia masih mencintai Bumi, tapi kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. Bahkan kepada dirinya sendiri. “Aku tahu kamu merasa berat mendengar semua ini,” kata Ayah. “Tapi kami cuma ingin kamu bahagia. Kamu anak Ayah, kamu berhak mendapat suami yang mapan." Tari memandang sekeliling. Wajah-wajah yang mencintainya, tapi juga kadang menyesakkan. Ia ingin berteriak, ingin sendiri. Tapi tak ada tempat yang cukup sunyi untuk itu. “Aku juga ingin bercerai, tapi mungkin butuh waktu,” katanya pelan. "Aku... aku takut dinilai sebagai pengkhianat atau tak setia." "Tak perlu setia kepada orang yang tak layak menerima kesetiaan, Tari," kata Aldi dengan yakin. "Nah, Ibu setuju itu," sambut Ibu. "Aldi... bicara apa kau? Haha...," tawa Angga mendengar ucapan Aldi. “Maafkan saya Ayah, Ibu... saya tak ingin terlibat dan ikut campur. Lanjutkanlah pembicaraan, tapi saya tak akan ikut. Saya tak ingin berpihak kepada siapa pun, tidak kepada Tari, tidak kepada Bumi. Tentu, saya berharap Tari berbahagia." Setelah bicara itu, Angga meminta izin mengundurkan diri untuk duduk di ruang lain. Ia melangkah dan menyalakan rokok, lalu berjalan ke kursi di halaman depan rumah. Sesaat kemudian, Wina mencondongkan tubuhnya, menggenggam tangan Tari yang sejak tadi terkulai di pangkuan. “Tari,” katanya lirih, “aku tahu ini berat. Aku tahu kamu nggak pernah benar-benar ingin semuanya berakhir seperti ini. Tapi... kamu juga tahu, kamu sudah berusaha. Bertahun-tahun.” Tari menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca. “Aku cuma takut semua ini salah. Aku takut menyesal.” “Kamu takut bukan karena masih mencintainya, kan?” tanya Wina pelan. “Tapi karena kamu takut dinilai. Takut dibilang gagal. Padahal, justru bertahan dalam hubungan yang menyakitkan itu bentuk kegagalan yang sebenarnya.” Tari menunduk. Tak menjawab. Wina melanjutkan, suaranya tetap lembut. “Kita bukan menyuruh kamu buru-buru menikah lagi. Atau langsung bahagia. Nggak, Tar. Kita cuma ingin kamu hidup dengan tenang. Bisa tertawa. Bisa bangun tidur tanpa cemas soal uang belanja. Bisa bernapas.” Tari menutup wajah dengan telapak tangannya. Bahunya bergetar. “Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Tapi jangan biarkan keraguanmu mengikatmu terus. Kamu sudah cukup lama tersiksa.” Ayah menyela, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. “Kami hanya ingin kamu kembali jadi diri kamu yang dulu, Tari. Bukan yang murung dan terdiam seperti sekarang.” Lalu Wina menambahkan, “Kalau kamu takut merasa sendiri, kamu salah. Kita semua di sini, Tar. Kamu nggak sendiri.” Tari mengangguk pelan, matanya masih basah. Kali ini, tanpa membantah. Hari mulai merambat siang, dan perlahan ketegangan yang menggantung di ruang keluarga mulai mencair. Ibu sibuk membereskan piring-piring kecil dan sisa teh di meja, sementara Wina membantu Ira memilih baju ganti untuk Tari. Ayah berdiri di teras, menelpon seseorang—mungkin memesan tempat di restoran langganan mereka. Bahkan Angga, yang sejak tadi lebih banyak diam, kini berdiri membantu menghidupkan mobil. “Tar, ayo siap-siap,” seru Wina dari balik kamar. “Jangan kelamaan melamun, perut kita semua udah protes.” Tari menoleh perlahan. Di wajahnya masih tersisa bayang-bayang percakapan tadi, tapi kini matanya lebih jernih. Ia mengangguk pelan, lalu berdiri dari sofa. Tubuhnya terasa ringan, seolah keputusan yang sebelumnya terasa berat, kini sudah menepi di satu sisi hatinya. Namun saat ia hendak menuju kamar, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari nomor yang masih tertera sebagai nama yang familiar. “Kabari aku kapan harus kujemput, ya...” Tari terpaku. Seketika langkahnya terhenti. Ia menatap layar ponsel itu lama, seakan mencari makna lebih dari kata-kata yang singkat. “Ayo, Tar!” panggil Ira. Tari tidak langsung menjawab. Ia masih berdiri di tempat, memandangi ponsel dengan dada yang pelan-pelan terasa sesak. Seolah keputusan yang baru saja disepakati... belum selesai dibicarakan.Pagi itu, Bumi duduk diam di teras rumahnya. Gelas kopi yang tak lagi panas ia pegang dengan dua tangan, sementara sebatang rokok terakhir terselip di sela jari. Udara masih lembap sisa hujan semalam, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau tembakau pelan-pelan mengisi hidungnya.Ia belum tahu akan melakukan apa hari ini.Biasanya, meski tak banyak, selalu ada yang bisa digenggam—membuka laptop, memeriksa email, mencari-cari proyek di internet. Tapi pagi ini, bahkan keinginan untuk membuka laptop pun tak muncul. Ia hanya duduk, menatap halaman rumah yang sempit, membiarkan kepalanya pelan-pelan menimbang: siapa yang bisa ia hubungi? Siapa yang bisa memberi sedikit pekerjaan? Sedikit celah?Ia mengingat satu-dua nama—Roni yang dulu sama-sama di redaksi, Dini yang sekarang bekerja di dinas pemerintah sebagai ASN, atau mungkin Mas Arif, dosen yang dulu pernah minta bantuan menyunting makalah.Tapi semuanya terasa jauh, asing. Terlalu lama tak saling menyapa. Terlalu kikuk jika sekadar
Jam dinding berdetak pelan, seolah sedang menghitung waktu bukan dengan detik, tapi dengan beban. Bumi duduk di depan laptop-nya yang mulai lambat, menatap layar kosong dengan mata yang sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.Satu per satu folder terbuka. Draft naskah, revisi catatan editor, email-email lama dari penerbit—sebagian sudah tak dibalas lagi, sebagian lainnya hanya memberi ucapan ‘terima kasih’ tanpa janji lanjutan. Pekerjaan menyunting buku yang selama ini menjadi penopangnya, kini tinggal serpih-serpih kecil yang tak cukup untuk membeli beras seminggu ke depan.Ia menutup laptopnya dan menunduk dalam. Meja kayu itu saksi bisu dari ratusan malam yang pernah ia lewati dengan kalimat-kalimat orang lain yang harus ia rapikan. Tapi sekarang, tak ada lagi kalimat yang datang. Hanya diam.Di meja makan, ada sisa roti tawar dari dua hari lalu. Kopi hitam sudah dingin. Ia menyeduhnya tadi pagi dengan harapan ada email masuk, tapi yang datang hanya notifikasi tagihan listrik dan
Ada suara hujan yang jatuh jauh di luar. Tapi di dalam dadanya, hujan itu sudah lama reda, menyisakan udara basah dan bau tanah. Bumi duduk di tepi ranjang yang dingin, mengamati jari-jarinya sendiri. Tangannya dulu pernah sibuk memeluk, menggenggam, menepuk lembut punggung seseorang yang kini hanya tinggal nama dalam percakapan hatinya.Tari.Bukan hantu, bukan bayang-bayang, tapi luka yang tidak berdarah.Bumi menarik napas panjang.Malam-malam seperti ini selalu berhasil membawanya kembali ke detik-detik remeh yang dulu terasa biasa saja.Dan kini—setelah semuanya hilang—justru terasa paling hidup.---Waktu itu, mereka baru sebulan menikah, masih menumpang di rumah ini—rumah ayah dan ibu Bumi kala mereka masih ada di sini, beberapa bulan sebelum peristiwa tragis yang mengambil nyawa keduanya. Kecelakaan lalu lintas di sebuah tikungan yang licin.“Sayang... kamu mau mie instan atau telur ceplok malam ini?” tanya Tari dari dapur, kepalanya sedikit muncul dari balik pintu.“Gabung aj
Bumi membuka laptopnya untuk ketiga kalinya hari itu, dan lagi-lagi hanya menatap layar kosong. Tak ada e-mail masuk. Tak ada pekerjaan baru. Bahkan surel langganan newsletter pun tak kunjung tiba. Ia mendesah pelan, lalu menutup layar perlahan, seolah jika ia takut jika dilakukan terlalu cepat, kesunyian akan terdengar lebih keras.Putusan itu terus terngiang di benaknya. Kata-kata hukum yang formal dan kaku, tapi seperti dilontarkan dari mulut orang asing yang tak mengenalnya sama sekali: verstek. Tanpa hadirnya Bumi, tanpa ruang bicara, tanpa ruang berdamai.Ia menguap panjang, bukan karena mengantuk, tapi karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain bernapas panjang. Akhirnya ia mengambil jaket tipis, memasukkan dompet yang juga tipis, lalu keluar begitu saja dari rumahnya. Langit cerah. Sepoi angin mengusir gerah.Langkah Bumi tak jelas arah. Kadang ke kiri, kadang berbelok tiba-tiba, seakan tubuhnya lebih tahu ke mana harus pergi daripada pikirannya.Di sebuah warung kopi
Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di ambang pilihan—bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu lama terbiasa menatap ke belakang. Masa lalu, meski telah melukai, sering kali membisikkan rasa bersalah yang sulit diabaikan. Tapi hidup bukan tentang mengulang luka yang sama, melainkan tentang keberanian untuk membuka pintu yang baru, meski tak tahu apa yang menanti di baliknya.Bagi Tari, hari itu bukan sekadar tentang putusan cerai, bukan juga tentang rencana pernikahan yang baru. Hari itu adalah tentang menghadapi suara-suara yang berdesir dalam hati—ragu, takut, dan diam-diam berharap bisa tenang.Kini, semua orang telah menunggu keputusan. Tapi keputusan terbesar justru tak terlihat di atas kertas, melainkan di dalam hati yang mulai berani melangkah."Kau harus menunggu tiga bulan sebelum bisa menikah dengan Radit. Putusan cerai itu baru keluar kemarin," kata Ira dengan nada hati-hati, setelah mendengar kabar dari Tari."Masa sih?" sahut Wina cepat, sambil m
Waktu melintas tanpa tanda. Sudah tiga minggu berlalu sejak hari itu di bangku semen bersama Pak Dedi, dan Bumi belum juga benar-benar pulang ke dirinya sendiri. Ia melewati hari demi hari seperti menumpang hidup, seperti menjadi tamu dalam tubuhnya sendiri.Pagi itu, ia menyiram tanaman di halaman rumah kecilnya. Beberapa pot berisi lidah buaya dan sirih merah yang tumbuh menjalar di pagar kawat."Wah, sirih merahnya subur, Mas Bumi," sapa Bu Harun, tetangga sebelah. "Sudah berapa lama menanam sirih merah?"Bumi tersenyum kecil. "Baru beberapa bulan, Bu. Tapi kayaknya tanamannya lebih cepat betah daripada saya."Bu Harun terkekeh. "Asal disiram, dikasih perhatian, pasti tumbuh. Nggak jauh beda sama manusia."Obrolan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pagi terasa tidak sepenuhnya hampa. Setelah mandi dan berganti baju, Bumi membuka layar ponselnya karena mendengar bunyi notifikasi pesan. "Di mana?" Begitulah pesan singkat itu tertulis. Ryan, sahabatnya dari sejak SMP mengir