Share

4. Di Ruang Keluarga

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2025-08-10 16:13:02

Ruangan itu masih dipenuhi sisa-sisa keheningan setelah Bumi pulang. Tirai putih bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di meja, cangkir teh Bumi telah kosong, sementara kue-kue nastar tak sempat disentuh. Bukan karena tak mau, tetapi enggan—seakan-akan bukan diperuntukkan baginya.

Tari duduk bersandar di sofa, bahunya sedikit turun, matanya kosong menatap karpet. Ibu duduk di seberangnya, memeluk bantal kursi sambil sesekali melirik ke arah Tari. Ayah bersandar di sudut ruangan, tangannya menepuk-nepuk lutut dengan irama gelisah.

“Suamimu itu memang kurang pergaulan, kurang relasi,” gumam Ibu akhirnya. “Masih muda, tapi pemalas. Sudah jelas hidup kalian tidak akan bisa terus seperti ini. Buat Ibu, perceraian mungkin satu-satunya jalan yang tepat. Kau pun butuh kehidupan yang baik, Tari... seperti kedua kakakmu, Ira dan Wina. Untung saja kau belum diberi anak!"

Tari tidak menjawab. Hanya menggigit bibirnya dan menarik napas pelan. Ia sendiri sudah bosan hidup serba kekurangan. Ia ingin bahagia seperti Ira dan Wina.

Ira menimpali dengan suara lebih lembut, “Aku setuju, Bu... tapi mungkin Bumi tak seburuk yang Ibu katakan. Aku pernah lihat dia mengobrol dengan Kenan, anakku, dan membuat Kenan tertarik dengan obrolannya. Mungkin ia butuh waktu untuk berubah, tapi yaa... aku setuju sih kalau Tari bercerai dengannya. Tari berhak hidup lebih baik."

Angga, suami Ira, yang duduk di sebelahnya, menegakkan duduknya. “Jangan cepat-cepat ambil keputusan, Tari. Aku ngerti kamu capek, tapi Bumi itu bukan orang jahat. Dia sebetulnya berpotensi. Dia cuma... hmm... mungkin belum mendapat kesempatan.”

Ibu menoleh, wajahnya menegang. “Angga, kau tahu betapa tersiksanya Tari dengan kehidupan yang serba berkekurangan selama ini. Tidak cukupkah semua itu untuk mengatakan bahwa laki-laki itu tidak layak? Jangankan mengajak jalan-jalan, untuk beli beras pun seringkali tak ada. Kau juga tak akan tega membuat Ira begitu, kan?"

“Bukan itu maksudku, Bu,” balas Angga, nadanya tetap tenang meski terdengar berat. “Aku hanya merasa... mungkin kita bisa bantu mereka cari jalan, bukan langsung pisah.”

“Tiga tahun pernikahan! Kita sudah terlalu lama memberi kesempatan,” kata Ayah tiba-tiba. Suaranya pelan tapi tegas. “Dan apa hasilnya? Tari hidup kekurangan. Lebih baik dia hidup bersama Ayah dan Ibu saja."

Suasana sejenak terdiam. Lalu, bel pintu berbunyi.

Ira bangkit membuka pintu. Wina, kakaknya, masuk dengan langkah cepat, diikuti oleh suaminya, Aldi. Wina langsung memeluk Ira, lalu berjalan mendekati Tari. Begitu Wina melihat wajah adiknya, ia memandang dengan rasa kasihan.

“Ya Allah, Tar... Kamu kurusan, sayang,” katanya lembut sambil menyapu rambut Tari dari wajahnya. “Maaf, aku agak telat.”

Aldi menyusul, menyalami semua yang ada. Ia duduk di kursi kosong, mengamati suasana tegang yang belum mencair.

“Aku dengar dari Wina... tentang Tari dan Bumi,” katanya pelan. “Sedih juga dengar kesulitan Tari."

“Bukan kesulitan, tapi sangat kesulitan,” sahut Ibu. “Tapi, Ayah dan Ibu sudah memutuskan. Tari harus mengajukan gugatan cerai secepatnya. Ibu tidak rela anak Ibu hidup susah.”

Aldi mengangguk pelan, lalu bersandar sedikit ke depan. Suaranya merendah, seolah sedang menimbang kata. “Aku tahu ini mungkin belum saatnya bicara hal seperti ini, tapi aku cuma kepikiran... Adik laki-lakiku duda satu anak, Tar. Kamu pernah ketemu juga kan, saat kamu dan Bumi ke rumahku dulu. Waktu itu dia belum duda. Dia baik, mapan, kerja di luar kota tapi sering ke Bandung. Menurutku, dia cocok denganmu. Kalau kamu mau, kenalan dulu saja.”

Tari mengangkat alis. Wina menahan senyum.

“Cocok menurutku sih,” kata Wina cepat. “Aldi sempat bilang soal ini tadi di mobil. Kami belum pernah omong langsung ke kamu, tapi... ya, mungkin ini waktu yang tepat.”

“Ini bukan waktunya, Wina,” potong Ira. “Tari belum sepenuhnya lepas dari yang lama. Kita belum tahu bagaimana perasaannya sekarang.”

“Tapi kenapa tidak dikenalkan saja?” sela Ibu, matanya berbinar. “Bukan langsung nikah. Berteman dulu. Supaya Tari tahu, dunia nggak sesempit laki-laki bernama Bumi.”

Angga menyandarkan tubuh, ekspresinya masam. Ia berbisik kepada Ira, istrinya, “Kadang aku bingung... ini keluarga atau biro jodoh?”

Ira mencubit pelan lengan suaminya, tapi tidak menyangkal.

“Kalian semua seperti sedang merancang ulang hidupku," kata Tari pedih. Meski ia sendiri sudah kesal terhadap Bumi, tetapi ketika membahas perceraian, entah kenapa hatinya tak bisa lepas begitu saja. Ia ingin mengatakan bahwa ia masih mencintai Bumi, tapi kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. Bahkan kepada dirinya sendiri.

“Aku tahu kamu merasa berat mendengar semua ini,” kata Ayah. “Tapi kami cuma ingin kamu bahagia. Kamu anak Ayah, kamu berhak mendapat suami yang mapan."

Tari memandang sekeliling. Wajah-wajah yang mencintainya, tapi juga kadang menyesakkan. Ia ingin berteriak, ingin sendiri. Tapi tak ada tempat yang cukup sunyi untuk itu.

“Aku juga ingin bercerai, tapi mungkin butuh waktu,” katanya pelan. "Aku... aku takut dinilai sebagai pengkhianat atau tak setia."

"Tak perlu setia kepada orang yang tak layak menerima kesetiaan, Tari," kata Aldi dengan yakin.

"Nah, Ibu setuju itu," sambut Ibu.

"Aldi... bicara apa kau? Haha...," tawa Angga mendengar ucapan Aldi. “Maafkan saya Ayah, Ibu... saya tak ingin terlibat dan ikut campur. Lanjutkanlah pembicaraan, tapi saya tak akan ikut. Saya tak ingin berpihak kepada siapa pun, tidak kepada Tari, tidak kepada Bumi. Tentu, saya berharap Tari berbahagia."

Setelah bicara itu, Angga meminta izin mengundurkan diri untuk duduk di ruang lain. Ia melangkah dan menyalakan rokok, lalu berjalan ke kursi di halaman depan rumah.

Sesaat kemudian, Wina mencondongkan tubuhnya, menggenggam tangan Tari yang sejak tadi terkulai di pangkuan.

“Tari,” katanya lirih, “aku tahu ini berat. Aku tahu kamu nggak pernah benar-benar ingin semuanya berakhir seperti ini. Tapi... kamu juga tahu, kamu sudah berusaha. Bertahun-tahun.”

Tari menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca.

“Aku cuma takut semua ini salah. Aku takut menyesal.”

“Kamu takut bukan karena masih mencintainya, kan?” tanya Wina pelan. “Tapi karena kamu takut dinilai. Takut dibilang gagal. Padahal, justru bertahan dalam hubungan yang menyakitkan itu bentuk kegagalan yang sebenarnya.”

Tari menunduk. Tak menjawab.

Wina melanjutkan, suaranya tetap lembut. “Kita bukan menyuruh kamu buru-buru menikah lagi. Atau langsung bahagia. Nggak, Tar. Kita cuma ingin kamu hidup dengan tenang. Bisa tertawa. Bisa bangun tidur tanpa cemas soal uang belanja. Bisa bernapas.”

Tari menutup wajah dengan telapak tangannya. Bahunya bergetar.

“Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Tapi jangan biarkan keraguanmu mengikatmu terus. Kamu sudah cukup lama tersiksa.”

Ayah menyela, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. “Kami hanya ingin kamu kembali jadi diri kamu yang dulu, Tari. Bukan yang murung dan terdiam seperti sekarang.”

Lalu Wina menambahkan, “Kalau kamu takut merasa sendiri, kamu salah. Kita semua di sini, Tar. Kamu nggak sendiri.”

Tari mengangguk pelan, matanya masih basah. Kali ini, tanpa membantah.

Hari mulai merambat siang, dan perlahan ketegangan yang menggantung di ruang keluarga mulai mencair. Ibu sibuk membereskan piring-piring kecil dan sisa teh di meja, sementara Wina membantu Ira memilih baju ganti untuk Tari. Ayah berdiri di teras, menelpon seseorang—mungkin memesan tempat di restoran langganan mereka. Bahkan Angga, yang sejak tadi lebih banyak diam, kini berdiri membantu menghidupkan mobil.

“Tar, ayo siap-siap,” seru Wina dari balik kamar. “Jangan kelamaan melamun, perut kita semua udah protes.”

Tari menoleh perlahan. Di wajahnya masih tersisa bayang-bayang percakapan tadi, tapi kini matanya lebih jernih. Ia mengangguk pelan, lalu berdiri dari sofa. Tubuhnya terasa ringan, seolah keputusan yang sebelumnya terasa berat, kini sudah menepi di satu sisi hatinya.

Namun saat ia hendak menuju kamar, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari nomor yang masih tertera sebagai nama yang familiar.

“Kabari aku kapan harus kujemput, ya...”

Tari terpaku. Seketika langkahnya terhenti. Ia menatap layar ponsel itu lama, seakan mencari makna lebih dari kata-kata yang singkat.

“Ayo, Tar!” panggil Ira.

Tari tidak langsung menjawab. Ia masih berdiri di tempat, memandangi ponsel dengan dada yang pelan-pelan terasa sesak. Seolah keputusan yang baru saja disepakati... belum selesai dibicarakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    160A. Produser 1

    Radit awalnya mengabaikan pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal itu. Namun begitu membaca nama pengirim—Reno, keponakan jauh dari sepupu ibunya—ia menghela napas dan akhirnya membuka pesan tersebut:> "Om Radit, maaf mengganggu. Saya mau tanya sesuatu… Om bersedia nggak jadi investor film pendek indie? Teman-teman kampus saya lagi bikin proyek akhir. Kami butuh dana 75–100 juta."Radit memijit kening. Sudah terlalu sering ia menerima pesan serupa, dan biasanya berakhir pada permintaan pinjaman uang. Ia hampir menutup chat ketika pesan berikut menyusul:> "Filmnya horor, Om. Judulnya Tolong. Durasi 30 menit. Konsepnya festival, bukan komersial. Jadi kami nggak bisa janji balik modal. Tapi… kalau Om bersedia, nama Om masuk di credit title sebagai Executive Producer."Kali ini Radit berhenti. Dua kata itu seperti mengetuk bagian dirinya yang jarang tersentuh: Executive Producer. Ia bahkan tak sepenuhnya paham a

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159B. Kisah-Kisah dari Bumi 2

    Sita dan Bumi saling melirik, siaga.“Jadi…” William menarik napas, “Emmet… wants to make a film.”Sepersekian detik ruang menjadi hening. Mahasiswa yang tadinya hanya mendengar sambil lalu, kini merunduk mendekat tanpa sadar.“Film apa?” tanya Sita, meski firasatnya mulai menebak arah pembicaraan.William menatap Kirana sekejap, kemudian kembali ke layar. “Sita… Emmet wants to adapt Stories from Earth into a movie.”Sita terpaku.Bumi bahkan kehilangan kedipan, menatap layar seperti tak yakin mendengar benar.“Wait—apanya?” Bumi memastikan. “Stories from Earth-nya Sita? Novel yang itu?”Sita menghela napas pelan, dada naik turun.William mengangguk mantap. “He thinks it’s brilliant. The themes, the arcs, the visual world… he sees something powerful in it. Powerful enough to pitch to a studio.”S

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    159A. Kisah-Kisah dari Bumi 1

    Kirana mulai menjadi sorotan publik di Amerika. Bukan hanya karena reputasinya sebagai aktris internasional, tetapi juga sebagai istri dari William Lewis—sinematografer muda yang tengah naik daun. Media hiburan kerap memotret mereka diam-diam, lalu membubuhkan narasi manis atau sensasional.Foto Kirana menyuapi William saat sang suami sibuk menatap monitor kamera tersebar di media sosial; video William merapikan kerah kemeja Kirana di parkiran sebelum mereka masuk ke sebuah toko kecil menjadi perbincangan hangat. Bahkan, wajah dan kulit Kirana yang dianggap “eksotis” oleh publik Amerika pun ikut menjadi bahan tulisan.Di kampus, Kirana tak kalah ramai dikelilingi mahasiswa setiap selesai mengajar. Banyak dari mereka berharap Kirana dapat membuka jalan agar mereka bisa terlibat dalam film berikutnya yang mungkin ia bintangi. Kirana selalu menceritakannya kepada William dengan tawa yang tak bisa ia tahan.“Fiuh…,” William menjat

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158B. Gelak Tawa dan Kebersamaan 2

    Pandu bersiul pelan, menegakkan tubuh, lalu menyandarkan diri ke sofa sambil menyilangkan tangan di dada—seolah siap memberi komentar kelas dunia. “Apa yang harus kukatakan…” Ia menoleh dramatis ke Sita dan William. “Hollywood wife? Tidak.” Ia menunjuk Kirana dan William bergantian. “Kau meninggalkan kampus prestisius di Paris untuk mengajar di kampus Amerika. Kau aktris; dia sinematografer Hollywood. Kalian itu…” Pandu mengangkat dagu, menatap mereka seolah sedang mempresentasikan poster film. “…power couple.”William menepuk dada bangga—pura-pura seperti bintang film Marvel yang baru keluar red carpet. “You hear that?” katanya pada Kirana, mencondongkan bahu. “Power couple. I like that.”Kirana terkekeh kecil, tetapi matanya sedikit berkilat—ada haru yang ditahan. Ia menatap wajah-wajah di hadapannya satu per satu. Wajah-wajah yang menjadi kotak harta karunnya selama ini—rumah yang selalu ia pulang, meskipun jarak memisahkan.

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    158A. Gelak Tawa dan Kebersamaan 1

    Rumah Kirana sore itu penuh kehangatan. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi camilan yang mengundang selera. Gelas-gelas berisi es teh dingin berembun di atas meja kecil, sementara gitar tua bersandar manis di dinding, seperti sedang menunggu seseorang memainkannya dalam waktu dekat.Kirana duduk bersila di lantai karpet, kaus gombrong yang ia kenakan benar-benar jauh dari citra desainer modenya. Di sebelahnya, William berkutat dengan toples rengginang yang seolah sengaja dibuat untuk melawan kekuatan manusia.“Aku kira kau kuat, Will,” ujar Pandu sambil menopang dagunya, wajahnya sudah siap menertawakan. “Kamera film saja bisa kau gendong sendirian, masa toples kalah?”William memutar tutupnya sekali lagi—berdecit keras—tetapi tetap tak bergerak. Ia mendesah dramatis. “Toples ini terbuat dari bahan yang lebih kuat dari… pernikahan selebritas,” gerutunya.Seisi ruangan langsung meledak d

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    157B. Merasa Utuh 2

    Beberapa hari setelah pesta selesai, ketika semua tamu telah kembali ke kehidupan masing-masing dan gaun kebaya Kirana telah kembali terlipat rapi dalam lemari, tibalah saatnya kabar itu dibagikan kepada dunia.Bukan bocor.Bukan rumor.Tim kreatif milik William, dengan persetujuan Kirana dan keluarga, mengirimkan rilis resmi kepada beberapa media internasional pilihan — lengkap dengan foto dan pernyataan singkat. Mereka menunggu sampai cinta itu benar-benar menjadi milik mereka dahulu, sebelum akhirnya membiarkan dunia ikut merayakannya.Dan hanya dalam beberapa jam… berita itu menyebar laksana nyala kecil yang menjalar ke segala arah.HOLLYWOOD INSIDER:> “Tanpa rumor kencan. Tanpa dugaan. Tanpa tanda-tanda sebelumnya. Dunia dikejutkan ketika aktris pemenang Oscar, Cempaka Kirana, menikah dengan sinematografer kenamaan William Lewis dalam sebuah upacara pribadi di Bandung, Indon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status