แชร์

8. Suara dari Ruang Lain

ผู้เขียน: Hawa Hajari
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-10 16:19:43

Langit pagi tampak putih kusam dari jendela kamar lama Tari. Tirai renda bergetar pelan tertiup angin, membawa serta aroma dapur: tumisan bawang, teh manis, dan hal-hal lain yang mengingatkan Tari pada masa-masa sebelum ia menikah.

Ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kaus tidur kebesaran. Rambutnya belum disisir, dan matanya menyisakan bengkak dari tangis diam semalam. Suara piring beradu di dapur menyadarkannya: ibunya sedang menyiapkan sarapan. Di luar, suara pengajian dari toa masjid terdengar sayup, bertubrukan dengan berita politik dari ruang keluarga. Suasana rumah ini tidak berubah—masih seperti dulu.

“Tari,” panggil ibunya dari dapur, “nasi uduk, ya. Kamu masih suka, kan?”

Tari mengangguk pelan, meski ibunya tak melihat. Ia bangkit dan melangkah keluar kamar, duduk di meja makan sambil memandangi punggung ayahnya yang tengah asyik menyimak berita dan opini politik.

“Radit jadi ke sini, Yah?” tanya ibunya kepada Ayah sambil menuang teh ke gelas bening.

“Tadi dia menelepon, tapi tak terangkat,” jawab Ayah singkat. "Biar saja, mungkin sebentar lagi menelepon ulang."

“Coba kau telepon Wina, Tari... tanyakan apakah Radit jadi datang ke sini?” kata Ibu, separuh memerintah.

Tari diam sejenak. “Nggak enak, ah... gengsi pula seperti ngejar-ngejar. Nanti Kak Wina bilang ke Mas Aldi bahwa aku ngejar-ngejar Radit.”

Ibunya menyela cepat, “Kau ini seperti anak remaja saja, bertanya kepada kakak sendiri pun malu!”

"Bukan malu ke Kak Wina, Bu... gengsi saja kalau Mas Aldi tahu dari Kak Wina, lalu Mas Aldi lapor kepada Radit."

“Nah, ini dia... Radit menelepon lagi," kata Ayah sambil memandangi layar ponselnya.

Ketika Ayah menekan tombol hijau, suara Radit langsung terdengar. Tari terdiam, seakan tak ingin diketahui bahwa ia di situ, mendengarkan.

"Halo Mas Radit... jadi ke sini, tidak?" Bukan Ayah yang bertanya, melainkan Ibu yang menimbrung cepat saat mendengar suara Radit.

"Iya jadi, Bu... saya sedang beli kue-kue dulu buat ke situ. Oya, Ibu mau pesan apa?" jawab Radit.

"Tari kau mau dibawain apa?" Ibu bukannya menjawab, tapi malah bertanya kepada Tari.

Tari cemberut menahan malu. Ia tak menjawab, melainkan lari menghindar, masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, ia menarik napas panjang, menahan kata-kata yang hendak meloncat. Ia ingin marah, tapi untuk apa? Semuanya terasa lelah. Ia hanya ingin duduk tenang, meminum teh panas tanpa harus menjelaskan kenapa dadanya seperti ruang kosong yang tak kunjung terisi. Ia benar-benar belum memahami keinginannya sendiri.

Pikirannya kembali ke dua nama yang akhir-akhir ini silih berganti mengisi benaknya: Radit dan Bumi. Ia tak yakin lagi mana yang sekadar harapan, mana yang sesungguhnya ia inginkan. Apakah diamnya ini bentuk kesetiaan, atau justru pengkhianatan yang perlahan?

Ia benar-benar belum memahami keinginannya sendiri—seperti berjalan dalam kabut, tanpa tahu arah tujuan.

Namun tubuhnya bergerak. Entah oleh apa.

Tari membuka lemari, mengeluarkan handuk. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan keran, dan membiarkan air hangat menyentuh kulitnya, seperti ingin menghapus sisa malam yang menempel. Tak ada niat pasti dalam benaknya, hanya gerakan-gerakan kecil yang terasa otomatis—digiring oleh sesuatu yang lebih tua dari kesadaran. Mungkin kebiasaan. Mungkin harapan yang tak ia akui. Atau mungkin, sesuatu yang disebut cinta—meski ia sendiri tak tahu kepada siapa.

Setelah mandi, ia memilih baju dengan cermat. Bukan yang mencolok, bukan pula yang seadanya. Ia menyisir rambut, mengeringkannya, lalu menggulungnya ke satu sisi dan menjepitnya dengan penjepit kecil berbentuk daun. Ia mengenakan sedikit bedak dan lipstik tipis, lalu menatap cermin.

“Biasa saja,” gumamnya.

Ia mengambil anting kecil—hadiah ulang tahun dari Wina dua tahun lalu—dan memakainya perlahan. Ia kembali ke depan cermin. Diam sejenak. Memiringkan kepala sedikit ke kanan, lalu ke kiri, lalu tersenyum kecil, seakan menguji apakah senyum itu masih miliknya.

Setelah itu, ia keluar kamar... lalu kembali masuk. Berkali-kali.

Entah berapa kali ia berdiri di depan cermin, mencoba memastikan sesuatu yang tak pernah sepenuhnya pasti: apakah ia terlihat cukup baik? Apakah Radit akan melihatnya cantik?

Dan meski tak pernah ada jawaban yang memuaskan, ia tetap berdiri di sana—di depan cermin, dalam kesunyian pagi, mengukur dirinya sendiri dengan rasa ragu yang diam-diam menginginkan pengakuan.

"Apakah Radit akan melihatku cantik?"

Terdengar suara mobil jeep berhenti di halaman. Tari berdiri di balik tirai jendela, mengintip dari sela renda. Itu Radit. Ia turun membawa dua kantong plastik berisi kotak kue dan bungkusan lain, lalu tersenyum kepada Ayah yang membukakan pintu pagar.

Tari buru-buru duduk, pura-pura membaca majalah yang sejak tadi tergeletak tak tersentuh di meja tamu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Radit. Suaranya masih sama—tenang, bersahaja.

“Wa’alaikumussalam,” sahut Ibu. “Ayo, masuk. Sudah kami tunggu-tunggu dari tadi. Itu si Tari juga bangun pagi, katanya takut ketinggalan nasi uduk,” tambahnya, tertawa kecil.

Tari hanya mengangkat wajah sekilas, menyambut dengan senyum tipis. “Hai,” katanya pelan.

“Hai,” jawab Radit. Ia duduk di kursi seberang, sedikit kikuk, tapi mencoba ramah. Ia meletakkan kantong plastik di meja. “Ini ada lemper, risol, dan kue sus. Tadi Ibu suka yang isi vla, kan?”

“Iya, terima kasih ya,” kata Ibu sambil tertawa. “Tari, tolong ambil piring kecil.”

Tari menurut, mengambil piring dan menyusunnya di meja pelan, merasa seolah semua gerak-geriknya diawasi. Tangannya sedikit gemetar saat menuang teh ke gelas Radit.

“Gimana kabar kerjaan, Dit?” tanya Ayah sambil mengambil satu kue.

“Lancar, Yah. Proyek terakhir baru selesai minggu lalu, jadi agak senggang sekarang,” jawab Radit.

“Wah, bagus itu. Kalau ada waktu, ajak teman-teman main ke sini. Biar rumah ini nggak sepi-sepi amat.”

Radit tertawa kecil. “Siap, Pak.”

Setelah percakapan ringan itu, Ibu dan Ayah sengaja berdiri dan pergi ke dapur, memberi ruang. Tari tahu itu, dan Radit pun tahu.

Keheningan melayang di antara mereka.

Radit menatap Tari saat gadis itu menunduk, menyembunyikan wajah di balik uap teh. Wajah itu... wajah yang cantik dan khas. Namun pagi ini, ada sesuatu yang lain. Bukan hanya riasan tipis atau baju rumahan yang lebih rapi dari biasanya—bukan. Kali ini, ada sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi Radit merasakannya. Ia melihat Tari sebagai perempuan yang tidak hanya mencoba bangkit, tetapi diam-diam membuka celah baginya untuk masuk.

Dan itu membuatnya takut... tetapi juga yakin.

Radit kembali mengingat semua perjalanan yang membawanya ke titik ini. Dita, mantan istrinya. Hubungan mereka yang perlahan menguap karena ketidakcocokan yang mereka paksa jalani. Semua percakapan hambar yang dulu tak ia sadari—karena pikirnya, cinta itu hanya soal kebersamaan dan waktu. Namun, bersama Dita, waktu panjang itu tetap terasa datar. Tak ada degup. Tidak seperti sekarang—tidak seperti bersama Tari, yang bahkan hanya diamnya saja bisa membuat Radit gugup, tetapi ingin terus bicara.

Ia mengamati Tari yang kini berbicara dengan ibunya tentang kue. Tampak biasa. Tapi ada sesuatu yang bergerak lembut dalam dirinya. Sesuatu yang menyadarkannya: ia tidak hanya menyukai Tari. Ia jatuh cinta.

Jatuh dalam diam, perlahan, seperti air yang menetes tanpa suara tapi tak henti. Dan ia ingin tetap tinggal.

Ia ingin menjadi bagian dari ruang itu—dapur yang hangat, ruang tamu yang berantakan oleh majalah lama, suara Ibu Tari yang cerewet tapi membuat hati nyaman. Ia ingin mendengar langkah Tari dari balik kamar, menunggu pintu dibuka, melihat wajah itu muncul dari lorong dengan rambut masih basah seusai mandi. Ia juga membayangkan pulang kerja ke rumah, menemukan teh hangat dan Tari di meja makan. Ia ingin itu semua—bukan hanya sebagai pasangan yang hidup bersama, tapi sebagai seseorang yang menempati hati.

Maka Radit tahu, ia harus berhenti ragu.

Mata Tari sempat menangkap pandang Radit. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Radit tersenyum pelan—senyum kecil yang tak mengharap balasan, hanya ingin bertahan di situ.

Hari ini, ia datang bukan hanya untuk bersilaturahmi. Ia datang untuk mencari tempat. Dan kini ia tahu: tempat itu mungkin adalah sisi kiri meja ini, berseberangan dengan Tari, dengan dua cangkir teh dan sekotak lemper yang tak penting lagi isinya.

Yang penting, Tari ada untuknya.

"Tari, aku ingin serius," ucap Radit tiba-tiba saat Tari kembali ke hadapannya.

Tari terpaku. Beku.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    15. Titik Kecil di Peta Hari

    Pagi itu, Bumi duduk diam di teras rumahnya. Gelas kopi yang tak lagi panas ia pegang dengan dua tangan, sementara sebatang rokok terakhir terselip di sela jari. Udara masih lembap sisa hujan semalam, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau tembakau pelan-pelan mengisi hidungnya.Ia belum tahu akan melakukan apa hari ini.Biasanya, meski tak banyak, selalu ada yang bisa digenggam—membuka laptop, memeriksa email, mencari-cari proyek di internet. Tapi pagi ini, bahkan keinginan untuk membuka laptop pun tak muncul. Ia hanya duduk, menatap halaman rumah yang sempit, membiarkan kepalanya pelan-pelan menimbang: siapa yang bisa ia hubungi? Siapa yang bisa memberi sedikit pekerjaan? Sedikit celah?Ia mengingat satu-dua nama—Roni yang dulu sama-sama di redaksi, Dini yang sekarang bekerja di dinas pemerintah sebagai ASN, atau mungkin Mas Arif, dosen yang dulu pernah minta bantuan menyunting makalah.Tapi semuanya terasa jauh, asing. Terlalu lama tak saling menyapa. Terlalu kikuk jika sekadar

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    14. Menyambung Hari

    Jam dinding berdetak pelan, seolah sedang menghitung waktu bukan dengan detik, tapi dengan beban. Bumi duduk di depan laptop-nya yang mulai lambat, menatap layar kosong dengan mata yang sudah lelah bahkan sebelum hari dimulai.Satu per satu folder terbuka. Draft naskah, revisi catatan editor, email-email lama dari penerbit—sebagian sudah tak dibalas lagi, sebagian lainnya hanya memberi ucapan ‘terima kasih’ tanpa janji lanjutan. Pekerjaan menyunting buku yang selama ini menjadi penopangnya, kini tinggal serpih-serpih kecil yang tak cukup untuk membeli beras seminggu ke depan.Ia menutup laptopnya dan menunduk dalam. Meja kayu itu saksi bisu dari ratusan malam yang pernah ia lewati dengan kalimat-kalimat orang lain yang harus ia rapikan. Tapi sekarang, tak ada lagi kalimat yang datang. Hanya diam.Di meja makan, ada sisa roti tawar dari dua hari lalu. Kopi hitam sudah dingin. Ia menyeduhnya tadi pagi dengan harapan ada email masuk, tapi yang datang hanya notifikasi tagihan listrik dan

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    13. Fragmen-Fragmen Kenangan

    Ada suara hujan yang jatuh jauh di luar. Tapi di dalam dadanya, hujan itu sudah lama reda, menyisakan udara basah dan bau tanah. Bumi duduk di tepi ranjang yang dingin, mengamati jari-jarinya sendiri. Tangannya dulu pernah sibuk memeluk, menggenggam, menepuk lembut punggung seseorang yang kini hanya tinggal nama dalam percakapan hatinya.Tari.Bukan hantu, bukan bayang-bayang, tapi luka yang tidak berdarah.Bumi menarik napas panjang.Malam-malam seperti ini selalu berhasil membawanya kembali ke detik-detik remeh yang dulu terasa biasa saja.Dan kini—setelah semuanya hilang—justru terasa paling hidup.---Waktu itu, mereka baru sebulan menikah, masih menumpang di rumah ini—rumah ayah dan ibu Bumi kala mereka masih ada di sini, beberapa bulan sebelum peristiwa tragis yang mengambil nyawa keduanya. Kecelakaan lalu lintas di sebuah tikungan yang licin.“Sayang... kamu mau mie instan atau telur ceplok malam ini?” tanya Tari dari dapur, kepalanya sedikit muncul dari balik pintu.“Gabung aj

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    12. Dua Keberadaan Dua suasana

    Bumi membuka laptopnya untuk ketiga kalinya hari itu, dan lagi-lagi hanya menatap layar kosong. Tak ada e-mail masuk. Tak ada pekerjaan baru. Bahkan surel langganan newsletter pun tak kunjung tiba. Ia mendesah pelan, lalu menutup layar perlahan, seolah jika ia takut jika dilakukan terlalu cepat, kesunyian akan terdengar lebih keras.Putusan itu terus terngiang di benaknya. Kata-kata hukum yang formal dan kaku, tapi seperti dilontarkan dari mulut orang asing yang tak mengenalnya sama sekali: verstek. Tanpa hadirnya Bumi, tanpa ruang bicara, tanpa ruang berdamai.Ia menguap panjang, bukan karena mengantuk, tapi karena tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan selain bernapas panjang. Akhirnya ia mengambil jaket tipis, memasukkan dompet yang juga tipis, lalu keluar begitu saja dari rumahnya. Langit cerah. Sepoi angin mengusir gerah.Langkah Bumi tak jelas arah. Kadang ke kiri, kadang berbelok tiba-tiba, seakan tubuhnya lebih tahu ke mana harus pergi daripada pikirannya.Di sebuah warung kopi

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    11. Membuka Pintu yang Baru

    Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di ambang pilihan—bukan karena tak tahu harus ke mana, tapi karena terlalu lama terbiasa menatap ke belakang. Masa lalu, meski telah melukai, sering kali membisikkan rasa bersalah yang sulit diabaikan. Tapi hidup bukan tentang mengulang luka yang sama, melainkan tentang keberanian untuk membuka pintu yang baru, meski tak tahu apa yang menanti di baliknya.Bagi Tari, hari itu bukan sekadar tentang putusan cerai, bukan juga tentang rencana pernikahan yang baru. Hari itu adalah tentang menghadapi suara-suara yang berdesir dalam hati—ragu, takut, dan diam-diam berharap bisa tenang.Kini, semua orang telah menunggu keputusan. Tapi keputusan terbesar justru tak terlihat di atas kertas, melainkan di dalam hati yang mulai berani melangkah."Kau harus menunggu tiga bulan sebelum bisa menikah dengan Radit. Putusan cerai itu baru keluar kemarin," kata Ira dengan nada hati-hati, setelah mendengar kabar dari Tari."Masa sih?" sahut Wina cepat, sambil m

  • Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia    10. Putusan di Dalam Amplop

    Waktu melintas tanpa tanda. Sudah tiga minggu berlalu sejak hari itu di bangku semen bersama Pak Dedi, dan Bumi belum juga benar-benar pulang ke dirinya sendiri. Ia melewati hari demi hari seperti menumpang hidup, seperti menjadi tamu dalam tubuhnya sendiri.Pagi itu, ia menyiram tanaman di halaman rumah kecilnya. Beberapa pot berisi lidah buaya dan sirih merah yang tumbuh menjalar di pagar kawat."Wah, sirih merahnya subur, Mas Bumi," sapa Bu Harun, tetangga sebelah. "Sudah berapa lama menanam sirih merah?"Bumi tersenyum kecil. "Baru beberapa bulan, Bu. Tapi kayaknya tanamannya lebih cepat betah daripada saya."Bu Harun terkekeh. "Asal disiram, dikasih perhatian, pasti tumbuh. Nggak jauh beda sama manusia."Obrolan itu hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat pagi terasa tidak sepenuhnya hampa. Setelah mandi dan berganti baju, Bumi membuka layar ponselnya karena mendengar bunyi notifikasi pesan. "Di mana?" Begitulah pesan singkat itu tertulis. Ryan, sahabatnya dari sejak SMP mengir

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status