MasukLangit pagi tampak putih kusam dari jendela kamar lama Tari. Tirai renda bergetar pelan tertiup angin, membawa serta aroma dapur: tumisan bawang, teh manis, dan hal-hal lain yang mengingatkan Tari pada masa-masa sebelum ia menikah.
Ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kaus tidur kebesaran. Rambutnya belum disisir, dan matanya menyisakan bengkak dari tangis diam semalam. Suara piring beradu di dapur menyadarkannya: ibunya sedang menyiapkan sarapan. Di luar, suara pengajian dari toa masjid terdengar sayup, bertubrukan dengan berita politik dari ruang keluarga. Suasana rumah ini tidak berubah—masih seperti dulu. “Tari,” panggil ibunya dari dapur, “nasi uduk, ya. Kamu masih suka, kan?” Tari mengangguk pelan, meski ibunya tak melihat. Ia bangkit dan melangkah keluar kamar, duduk di meja makan sambil memandangi punggung ayahnya yang tengah asyik menyimak berita dan opini politik. “Radit jadi ke sini, Yah?” tanya ibunya kepada Ayah sambil menuang teh ke gelas bening. “Tadi dia menelepon, tapi tak terangkat,” jawab Ayah singkat. "Biar saja, mungkin sebentar lagi menelepon ulang." “Coba kau telepon Wina, Tari... tanyakan apakah Radit jadi datang ke sini?” kata Ibu, separuh memerintah. Tari diam sejenak. “Nggak enak, ah... gengsi pula seperti ngejar-ngejar. Nanti Kak Wina bilang ke Mas Aldi bahwa aku ngejar-ngejar Radit.” Ibunya menyela cepat, “Kau ini seperti anak remaja saja, bertanya kepada kakak sendiri pun malu!” "Bukan malu ke Kak Wina, Bu... gengsi saja kalau Mas Aldi tahu dari Kak Wina, lalu Mas Aldi lapor kepada Radit." “Nah, ini dia... Radit menelepon lagi," kata Ayah sambil memandangi layar ponselnya. Ketika Ayah menekan tombol hijau, suara Radit langsung terdengar. Tari terdiam, seakan tak ingin diketahui bahwa ia di situ, mendengarkan. "Halo Mas Radit... jadi ke sini, tidak?" Bukan Ayah yang bertanya, melainkan Ibu yang menimbrung cepat saat mendengar suara Radit. "Iya jadi, Bu... saya sedang beli kue-kue dulu buat ke situ. Oya, Ibu mau pesan apa?" jawab Radit. "Tari kau mau dibawain apa?" Ibu bukannya menjawab, tapi malah bertanya kepada Tari. Tari cemberut menahan malu. Ia tak menjawab, melainkan lari menghindar, masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, ia menarik napas panjang, menahan kata-kata yang hendak meloncat. Ia ingin marah, tapi untuk apa? Semuanya terasa lelah. Ia hanya ingin duduk tenang, meminum teh panas tanpa harus menjelaskan kenapa dadanya seperti ruang kosong yang tak kunjung terisi. Ia benar-benar belum memahami keinginannya sendiri. Pikirannya kembali ke dua nama yang akhir-akhir ini silih berganti mengisi benaknya: Radit dan Bumi. Ia tak yakin lagi mana yang sekadar harapan, mana yang sesungguhnya ia inginkan. Apakah diamnya ini bentuk kesetiaan, atau justru pengkhianatan yang perlahan? Ia benar-benar belum memahami keinginannya sendiri—seperti berjalan dalam kabut, tanpa tahu arah tujuan. Namun tubuhnya bergerak. Entah oleh apa. Tari membuka lemari, mengeluarkan handuk. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan keran, dan membiarkan air hangat menyentuh kulitnya, seperti ingin menghapus sisa malam yang menempel. Tak ada niat pasti dalam benaknya, hanya gerakan-gerakan kecil yang terasa otomatis—digiring oleh sesuatu yang lebih tua dari kesadaran. Mungkin kebiasaan. Mungkin harapan yang tak ia akui. Atau mungkin, sesuatu yang disebut cinta—meski ia sendiri tak tahu kepada siapa. Setelah mandi, ia memilih baju dengan cermat. Bukan yang mencolok, bukan pula yang seadanya. Ia menyisir rambut, mengeringkannya, lalu menggulungnya ke satu sisi dan menjepitnya dengan penjepit kecil berbentuk daun. Ia mengenakan sedikit bedak dan lipstik tipis, lalu menatap cermin. “Biasa saja,” gumamnya. Ia mengambil anting kecil—hadiah ulang tahun dari Wina dua tahun lalu—dan memakainya perlahan. Ia kembali ke depan cermin. Diam sejenak. Memiringkan kepala sedikit ke kanan, lalu ke kiri, lalu tersenyum kecil, seakan menguji apakah senyum itu masih miliknya. Setelah itu, ia keluar kamar... lalu kembali masuk. Berkali-kali. Entah berapa kali ia berdiri di depan cermin, mencoba memastikan sesuatu yang tak pernah sepenuhnya pasti: apakah ia terlihat cukup baik? Apakah Radit akan melihatnya cantik? Dan meski tak pernah ada jawaban yang memuaskan, ia tetap berdiri di sana—di depan cermin, dalam kesunyian pagi, mengukur dirinya sendiri dengan rasa ragu yang diam-diam menginginkan pengakuan. "Apakah Radit akan melihatku cantik?" Terdengar suara mobil jeep berhenti di halaman. Tari berdiri di balik tirai jendela, mengintip dari sela renda. Itu Radit. Ia turun membawa dua kantong plastik berisi kotak kue dan bungkusan lain, lalu tersenyum kepada Ayah yang membukakan pintu pagar. Tari buru-buru duduk, pura-pura membaca majalah yang sejak tadi tergeletak tak tersentuh di meja tamu. “Assalamu’alaikum,” sapa Radit. Suaranya masih sama—tenang, bersahaja. “Wa’alaikumussalam,” sahut Ibu. “Ayo, masuk. Sudah kami tunggu-tunggu dari tadi. Itu si Tari juga bangun pagi, katanya takut ketinggalan nasi uduk,” tambahnya, tertawa kecil. Tari hanya mengangkat wajah sekilas, menyambut dengan senyum tipis. “Hai,” katanya pelan. “Hai,” jawab Radit. Ia duduk di kursi seberang, sedikit kikuk, tapi mencoba ramah. Ia meletakkan kantong plastik di meja. “Ini ada lemper, risol, dan kue sus. Tadi Ibu suka yang isi vla, kan?” “Iya, terima kasih ya,” kata Ibu sambil tertawa. “Tari, tolong ambil piring kecil.” Tari menurut, mengambil piring dan menyusunnya di meja pelan, merasa seolah semua gerak-geriknya diawasi. Tangannya sedikit gemetar saat menuang teh ke gelas Radit. “Gimana kabar kerjaan, Dit?” tanya Ayah sambil mengambil satu kue. “Lancar, Yah. Proyek terakhir baru selesai minggu lalu, jadi agak senggang sekarang,” jawab Radit. “Wah, bagus itu. Kalau ada waktu, ajak teman-teman main ke sini. Biar rumah ini nggak sepi-sepi amat.” Radit tertawa kecil. “Siap, Pak.” Setelah percakapan ringan itu, Ibu dan Ayah sengaja berdiri dan pergi ke dapur, memberi ruang. Tari tahu itu, dan Radit pun tahu. Keheningan melayang di antara mereka. Radit menatap Tari saat gadis itu menunduk, menyembunyikan wajah di balik uap teh. Wajah itu... wajah yang cantik dan khas. Namun pagi ini, ada sesuatu yang lain. Bukan hanya riasan tipis atau baju rumahan yang lebih rapi dari biasanya—bukan. Kali ini, ada sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi Radit merasakannya. Ia melihat Tari sebagai perempuan yang tidak hanya mencoba bangkit, tetapi diam-diam membuka celah baginya untuk masuk. Dan itu membuatnya takut... tetapi juga yakin. Radit kembali mengingat semua perjalanan yang membawanya ke titik ini. Dita, mantan istrinya. Hubungan mereka yang perlahan menguap karena ketidakcocokan yang mereka paksa jalani. Semua percakapan hambar yang dulu tak ia sadari—karena pikirnya, cinta itu hanya soal kebersamaan dan waktu. Namun, bersama Dita, waktu panjang itu tetap terasa datar. Tak ada degup. Tidak seperti sekarang—tidak seperti bersama Tari, yang bahkan hanya diamnya saja bisa membuat Radit gugup, tetapi ingin terus bicara. Ia mengamati Tari yang kini berbicara dengan ibunya tentang kue. Tampak biasa. Tapi ada sesuatu yang bergerak lembut dalam dirinya. Sesuatu yang menyadarkannya: ia tidak hanya menyukai Tari. Ia jatuh cinta. Jatuh dalam diam, perlahan, seperti air yang menetes tanpa suara tapi tak henti. Dan ia ingin tetap tinggal. Ia ingin menjadi bagian dari ruang itu—dapur yang hangat, ruang tamu yang berantakan oleh majalah lama, suara Ibu Tari yang cerewet tapi membuat hati nyaman. Ia ingin mendengar langkah Tari dari balik kamar, menunggu pintu dibuka, melihat wajah itu muncul dari lorong dengan rambut masih basah seusai mandi. Ia juga membayangkan pulang kerja ke rumah, menemukan teh hangat dan Tari di meja makan. Ia ingin itu semua—bukan hanya sebagai pasangan yang hidup bersama, tapi sebagai seseorang yang menempati hati. Maka Radit tahu, ia harus berhenti ragu. Mata Tari sempat menangkap pandang Radit. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat Radit tersenyum pelan—senyum kecil yang tak mengharap balasan, hanya ingin bertahan di situ. Hari ini, ia datang bukan hanya untuk bersilaturahmi. Ia datang untuk mencari tempat. Dan kini ia tahu: tempat itu mungkin adalah sisi kiri meja ini, berseberangan dengan Tari, dengan dua cangkir teh dan sekotak lemper yang tak penting lagi isinya. Yang penting, Tari ada untuknya. "Tari, aku ingin serius," ucap Radit tiba-tiba saat Tari kembali ke hadapannya. Tari terpaku. Beku.Radit awalnya mengabaikan pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal itu. Namun begitu membaca nama pengirim—Reno, keponakan jauh dari sepupu ibunya—ia menghela napas dan akhirnya membuka pesan tersebut:> "Om Radit, maaf mengganggu. Saya mau tanya sesuatu… Om bersedia nggak jadi investor film pendek indie? Teman-teman kampus saya lagi bikin proyek akhir. Kami butuh dana 75–100 juta."Radit memijit kening. Sudah terlalu sering ia menerima pesan serupa, dan biasanya berakhir pada permintaan pinjaman uang. Ia hampir menutup chat ketika pesan berikut menyusul:> "Filmnya horor, Om. Judulnya Tolong. Durasi 30 menit. Konsepnya festival, bukan komersial. Jadi kami nggak bisa janji balik modal. Tapi… kalau Om bersedia, nama Om masuk di credit title sebagai Executive Producer."Kali ini Radit berhenti. Dua kata itu seperti mengetuk bagian dirinya yang jarang tersentuh: Executive Producer. Ia bahkan tak sepenuhnya paham a
Sita dan Bumi saling melirik, siaga.“Jadi…” William menarik napas, “Emmet… wants to make a film.”Sepersekian detik ruang menjadi hening. Mahasiswa yang tadinya hanya mendengar sambil lalu, kini merunduk mendekat tanpa sadar.“Film apa?” tanya Sita, meski firasatnya mulai menebak arah pembicaraan.William menatap Kirana sekejap, kemudian kembali ke layar. “Sita… Emmet wants to adapt Stories from Earth into a movie.”Sita terpaku.Bumi bahkan kehilangan kedipan, menatap layar seperti tak yakin mendengar benar.“Wait—apanya?” Bumi memastikan. “Stories from Earth-nya Sita? Novel yang itu?”Sita menghela napas pelan, dada naik turun.William mengangguk mantap. “He thinks it’s brilliant. The themes, the arcs, the visual world… he sees something powerful in it. Powerful enough to pitch to a studio.”S
Kirana mulai menjadi sorotan publik di Amerika. Bukan hanya karena reputasinya sebagai aktris internasional, tetapi juga sebagai istri dari William Lewis—sinematografer muda yang tengah naik daun. Media hiburan kerap memotret mereka diam-diam, lalu membubuhkan narasi manis atau sensasional.Foto Kirana menyuapi William saat sang suami sibuk menatap monitor kamera tersebar di media sosial; video William merapikan kerah kemeja Kirana di parkiran sebelum mereka masuk ke sebuah toko kecil menjadi perbincangan hangat. Bahkan, wajah dan kulit Kirana yang dianggap “eksotis” oleh publik Amerika pun ikut menjadi bahan tulisan.Di kampus, Kirana tak kalah ramai dikelilingi mahasiswa setiap selesai mengajar. Banyak dari mereka berharap Kirana dapat membuka jalan agar mereka bisa terlibat dalam film berikutnya yang mungkin ia bintangi. Kirana selalu menceritakannya kepada William dengan tawa yang tak bisa ia tahan.“Fiuh…,” William menjat
Pandu bersiul pelan, menegakkan tubuh, lalu menyandarkan diri ke sofa sambil menyilangkan tangan di dada—seolah siap memberi komentar kelas dunia. “Apa yang harus kukatakan…” Ia menoleh dramatis ke Sita dan William. “Hollywood wife? Tidak.” Ia menunjuk Kirana dan William bergantian. “Kau meninggalkan kampus prestisius di Paris untuk mengajar di kampus Amerika. Kau aktris; dia sinematografer Hollywood. Kalian itu…” Pandu mengangkat dagu, menatap mereka seolah sedang mempresentasikan poster film. “…power couple.”William menepuk dada bangga—pura-pura seperti bintang film Marvel yang baru keluar red carpet. “You hear that?” katanya pada Kirana, mencondongkan bahu. “Power couple. I like that.”Kirana terkekeh kecil, tetapi matanya sedikit berkilat—ada haru yang ditahan. Ia menatap wajah-wajah di hadapannya satu per satu. Wajah-wajah yang menjadi kotak harta karunnya selama ini—rumah yang selalu ia pulang, meskipun jarak memisahkan.
Rumah Kirana sore itu penuh kehangatan. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi camilan yang mengundang selera. Gelas-gelas berisi es teh dingin berembun di atas meja kecil, sementara gitar tua bersandar manis di dinding, seperti sedang menunggu seseorang memainkannya dalam waktu dekat.Kirana duduk bersila di lantai karpet, kaus gombrong yang ia kenakan benar-benar jauh dari citra desainer modenya. Di sebelahnya, William berkutat dengan toples rengginang yang seolah sengaja dibuat untuk melawan kekuatan manusia.“Aku kira kau kuat, Will,” ujar Pandu sambil menopang dagunya, wajahnya sudah siap menertawakan. “Kamera film saja bisa kau gendong sendirian, masa toples kalah?”William memutar tutupnya sekali lagi—berdecit keras—tetapi tetap tak bergerak. Ia mendesah dramatis. “Toples ini terbuat dari bahan yang lebih kuat dari… pernikahan selebritas,” gerutunya.Seisi ruangan langsung meledak d
Beberapa hari setelah pesta selesai, ketika semua tamu telah kembali ke kehidupan masing-masing dan gaun kebaya Kirana telah kembali terlipat rapi dalam lemari, tibalah saatnya kabar itu dibagikan kepada dunia.Bukan bocor.Bukan rumor.Tim kreatif milik William, dengan persetujuan Kirana dan keluarga, mengirimkan rilis resmi kepada beberapa media internasional pilihan — lengkap dengan foto dan pernyataan singkat. Mereka menunggu sampai cinta itu benar-benar menjadi milik mereka dahulu, sebelum akhirnya membiarkan dunia ikut merayakannya.Dan hanya dalam beberapa jam… berita itu menyebar laksana nyala kecil yang menjalar ke segala arah.HOLLYWOOD INSIDER:> “Tanpa rumor kencan. Tanpa dugaan. Tanpa tanda-tanda sebelumnya. Dunia dikejutkan ketika aktris pemenang Oscar, Cempaka Kirana, menikah dengan sinematografer kenamaan William Lewis dalam sebuah upacara pribadi di Bandung, Indon







